Tidurku harus selesai, saat sinar matahari menyilaukan mataku.
Aku mengusap mataku, dan mengerjapkannya, agar aku terbiasa dengan cahaya terang yang masuk ke kedua mataku.
"Kau sudah bangun, pemalas!" bentak Normen yang sedang mengasah pisau besarnya, yang merupakan pemberian dari klanku.
Aku mendudukkan diriku, dan mulai melihat ke sekitarku. Hutan ini memang tampak berbeda dari hutan-hutan yang ada di pulau Adon. Mungkin Normen memang benar, bahwa kita sedang ada di luar pulau Adon.
"Mana Yared?" tanyaku.
Normen menunjuk sesuatu di bawahku, dengan pedang besarnya. Saat aku mengikuti arah yang dia tunjukkan, pandanganku berhenti di seekor kadal berwarna biru yang tidur di tanah.
"Akhir-akhir ini, dia lebih menyukai menjadi seekor kadal," papar Normen yang kembali mengasah pedangnya. "Dia bisa menyimpan energi, jika berubah menjadi binatang itu."
"Bagaimana kita membangunkannya?" balasku.
"Tidak perlu," jawab Normen santai. "Kau hanya perlu memasukkannya di saku celanamu, dan dia akan bangun, jika dia perlu bangun."
Aku hanya bisa memandang prajurit tua itu dengan kesal. Dia menyuruhku untuk mengantongi Yared, karena di antara pakaian kami berdua, hanya pakaianku yang memiliki saku.
Lain kali, aku akan menggunakan kemeja dan celana santai sepertinya, agar aku tidak perlu membawa seekor kadal di kantongku.
"Kita pergi sekarang!" kataku sembari mengambil kadal Yared, dan memasukkannya dalam kantongku. "Hari ini, kita harus keluar dari hutan bodoh ini."
Aku bisa mendengar Normen mendengus di belakangku. Namun dengusan itu juga disertai dengan suara langkah kaki yang mengikutiku.
Hutan ini memiliki jenis tanaman yang berdaun rindang, namun tidak sampai menutupi langit, seperti Hutan Hitam. Pohon Wilaja, tanaman yang paling sering terlihat di hutan ini.
Selain jenis itu, masih ada pohon-pohon berbuah yang tumbuh di hutan ini. Aku bisa sarapan hari ini, karena mangga dan alpukat yang tumbuh subur di hutan ini.
Suasana hutan ini juga lebih menyenangkan dan nyaman, karena kicau burung yang terdengar merdu di telingaku, dan Normen yang belum mengoceh.
Tidak perlu waktu lama, aku sudah bisa membawa dua orang ini keluar dari hutan. Di depan kami, terdapat pegunungan yang besar, dan menutup jalan kami.
Aku hanya mengikuti instingku sebagai elf, untuk membawa mereka keluar dari hutan. Hanya saja, aku tidak berharap bahwa kami akan keluar di depan sebuah pegunungan yang membentang.
Normen hanya menghela napas, sembari memandang jauh ke puncak pegunungan di depan kami. Dia tetap mengendalikan mulutnya, untuk tidak mengomel akan kepemimpinanku. Semoga dia tetap menutup rapat mulutnya, meskipun aku tahu kalau aku memang bersalah.
Instingku selalu berhasil saat menebak arah di dalam hutan. Hari ini adalah pertama kalinya aku gagal.
Angin yang datang dari pegunungan di depan kami, harusnya membuat udara di hutan menjadi sedikit lebih dingin. Namun hutan yang ada di belakangku, seolah menyerap angin gunung itu, sehingga aku tidak bisa menebak akan keluar di wilayah seperti apa.
Biasanya aku selalu bisa menebak akan keluar di depan danau, sungai, gunung, atau hutan lain, hanya dengan merasakan hembusan angin yang menerpaku.
Hutan di belakangku ini, memang tampak cerah dan subur. Namun bisa jadi hutan ini lebih berbahaya daripada Hutan Hitam. Aku sudah memutuskan, untuk tidak akan kembali ke hutan ini.
Kadal yang berada di kantongku, bergerak dengan liar, saat aku memikirkan langkah selanjutnya. Aku langsung bergegas mengeluarkannya, dan meletakkan hewan itu di tanah.
Binatang itu pergi ke dalam hutan, tepat setelah kakinya menyentuh tanah. Beberapa saat kemudian, muncullah Yared dari balik pepohonan.
"Kenapa harus di depan pegunungan, kau ingin kita mendaki lereng curam ini?" gerutu Yared yang masih menguap lebar beberapa kali.
Bukan Normen, namun malah Yared yang mengambil peran sebagai orang yang mengomel. Dua orang ini sebenarnya sama saja. Mereka hanya berbeda umur dan penampilan. Selebihnya, mereka berdua memiliki karakter yang sama.
Aku bisa saja kembali ke hutan, dan memimpin mereka untuk mencari jalan keluar yang lain. Tapi perjalanan itu akan terlalu berbahaya, karena ada kemungkinan kalau kami malah bertemu klan Zabash.
"Kau harus memimpin kami dari sini," ujarku lirih kepada Normen. "Kau tahu kalau akan berba—"
"Aku tahu," sela prajurit tua itu. "Ada kemungkinan klan Zabash akan mencegat kita, jika kita memaksakan diri untuk masuk ke dalam hutan lagi."
"Indraku juga merasa hutan di belakang kita, menyimpan sesuatu yang aneh. Aku juga tidak mau kembali ke dalam hutan, dan menghabiskan satu malam lagi di situ," imbuhnya.
"Aku juga!" timpal Yared.
Meskipun dua orang ini memiliki karakter yang menyebalkan, namun mereka berdua juga adalah orang yang memiliki kekuatan besar. Fakta itu tidak boleh aku abaikan.
Apa yang aku rasakan di dalam hutan di belakang kami ini, pasti juga bisa mereka rasakan. Dampak memiliki kekuatan besar, adalah indra yang lebih peka. Itulah yang aku pelajari dari Tuan Daeron.
"Gunung bukanlah medan yang membuatku percaya diri," akuku. "Aku tidak bisa memimpin lagi, setelah keluar dari hutan."
Aku tahu kalau Normen sudah siap membuka mulutnya untuk menolakku, namun prajurit tua itu malah memilih diam. Dia malah memberi isyarat agar kami berdua mengikutinya.
Perjalanan kami teruskan dalam diam. Aku tidak mengenal pengunungan ini, tapi aku cukup yakin kalau bagian timur atau selatan pulau Adon, tidak memiliki pegunungan seperti di depan kami.
Di pulau Adon, tanah sekitar pegunungan selalu berwarna hijau kekuningan, yang membuktikan betapa gersangnya tanah Adon. Sedangkan tanah yang kami injak, masih berwarna hijau tua.
Aku tidak mau mengakui dengan lantang, namun aku harus percaya bahwa kami memang sedang tidak berada di Adon. Tanah di sini terlalu subur.
Meskipun pegunungan megah ada di depan kami, bukan berarti jarak kami sudah dekat. Kami tetap harus berjalan cukup jauh, untuk bisa sampai di kaki gunung terdekat.
"Kau tahu gunung ini?" tanya Yared sembari mendongak untuk mencari puncak gunung yang tepat di depan kami.
Aku berharap Normen menjawab pertanyaan Yared dengan yakin. Namun sebaliknya, Normen malah menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Aku sangat yakin bahwa kita memang berada di Laustrowana," ucap Normen. "Namun aku masih belum yakin, apakah kita sungguh ada di utara Laustrowana, atau bagian yang lain."
"Tebakanmu kemarin?" tanyaku.
Normen mengangkat bahunya. "Jenis pohon, dan logika dasar," jawabnya santai. "Aku tahu kalau suasana pulau ini sangat berbeda dari Adon, hanya saja aku tidak mau berpikir kalau Tequr bisa membuang kita hingga ke bagian lain Laustrowana."
"Hutan Utara Laustrowana, adalah tempat terdekat dengan pantai Adijaya. Aku hanya memaksa diriku, untuk berpikir seperti itu," imbuhnya muram.
Pengakuan dari Normen membuatku sedikit terkejut. Di balik tubuh kekar dan wibawa yang kadang dia tunjukkan, prajurit tua ini masih memiliki rasa takut, selayaknya ras lain di Ueter.
Aku cukup menghormati pengakuannya, karena hanya pria sejati yang berani mengakui bahwa dia takut. Aku juga bisa mengerti alasan Normen meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kami sedang berada di bagian utara Laustrowana.
Membuka sebuah kemungkinan soal Tequr memindahkan kami ke pulau lain saja, sudah menjelaskan kekuatan penyihir agung itu. Apalagi jika Tequr sampai membuang kami hingga ke bagian selatan Laustrowana yang berjarak sangat jauh dari Adijaya.
"Gunung ini, aku merasa ada sesuatu yang buruk di dalamnya," ucapku untuk memecah keheningan, sekaligus mengubah topik. "Sesuatu seolah sedang mengawasi kita."
Ucapanku bukan hanya untuk mengubah topik pembicaraan, tapi memang isi dari otakku. Gunung ini seolah memiliki mata yang tak terlihat, dan sedang melihat setiap gerakan kami.
Normen melangkah maju, lalu dia memungut sebuah batu kecil di depannya. Pria tua itu membisikkan sesuatu ke batu itu, dan melemparkan benda kecil itu ke arah puncak gunung yang ada di depan kami.
Awalnya, aku berpikir kalau dia hanya sedang melampiaskan amarahnya. Hingga beberapa saat kemudian, Normen menangkap sesuatu yang terbang di udara.
Di dalam genggaman pria tua itu, terdapat batu kecil yang beberapa saat lalu dia lemparkan. Namun terjadi sesuatu kepada batu itu.
Aku ingat saat Normen mengambil batu di depannya, dengan banyak pertimbangan. Aku juga menyadari kalau Normen sedang memilih batu paling kuat, karenadia terus menerus meremas setiap batu yang dia ambil.
Singkatnya, Normen melemparkan batu terkuat yang mampu menahan genggamannya. Dan batu terkuat itu kembali ke tangannya, dengan keadaan yang berbeda.
Hanya dengan tekanan pelan dari telapak tangan Normen, batu kuat itu sudah berubah menjadi serbuk pasir berwarna hitam pekat.
"Sesuatu memang ada di dalam hutan itu," gumam Yared. "Yang aneh adalah, kenapa batu ini bisa kembali ke tanganmu?"
"Salah satu sihir sederhana yang aku pelajari dari guruku," jawab Normen. Dia menaburkan serbuk hitam itu ke tanah di bawahnya, dan serbuk itu langsung terbang karena tertiup angin.
"Aku bisa memeriksa keberadaan makhluk selain empat besar, dengan benda kecil yang berada di wilayah mereka. Itulah alasanku mencari batu yang berbahan sama dengan gunung ini, sekaligus memiliki kepadatan paling baik."
"Seperti kata Eleandil, gunung di depan kita ini adalah rumah bagi seekor, atau seorang makhluk yang cukup berbahaya," ujar pria tua itu.
"Empat besar?" tanya Yared. Pemuda itu meminta jawaban dariku, dengan wajahnya yang kebingungan.
"Elf, manusia, kurcaci, dan orc," balasku cepat. "Empat ras yang berjalan dengan dua kaki, dan selalu membangun peradaban, juga mengembangkan teknologi."
"Orc juga termasuk?" tanya Yared lagi.
"Mengapa mereka tidak boleh termasuk dalam empat besar?" sela Normen sebelum aku sempat berbicara. "Orc juga layak mendapat pengakuan sebagai ras yang membangun peradaban, dan teknologi."
"Anggapan bahwa para orc hanya berisi kumpulan makhluk jahat, adalah yang membuat perang berkepanjangan terus terjadi di Adon dan Laustrowana."
"Di Zoinard, para orc diperlakukan dengan adil. Kerajaan mereka juga sama besarnya dengan Oater, Silinde, dan Gilboot. Itulah alasan Zoinard selalu damai," imbuhnya.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Normen melangkahkan kakinya menuju lereng gunung di depan kami. "Kita harus bermalam di balik gunung ini, jadi kita hanya akan memutari lereng," umumnya.
Aku mengikuti langkah kaki prajurit tua itu, sedangkan Yared mengejarku dengan berlari kecil.
"Kau setuju dengan pendapat Normen?" tanya pemuda itu saat berada di sebelahku.
Jauh dalam hatiku, aku ingin berkata setuju terhadap perkataan Normen. Pendapatnya soal empat besar, terutama para orc, adalah pemikiran yang sudah ada di otakku selama ratusan tahun.
Meskipun Tuan Daeron selalu mengajarku untuk membenci orc, aku tetap tidak ingin membenci mereka tanpa alasan yang jelas. Namun ideologiku selalu ditabrak oleh fakta.
Selama ini, orc yang aku temui selalu berkarakter jahat dan berada di pihak musuh. Hingga akhirnya, pemikiranku mulai berubah, saat Nagluk dan satu orc lain, malah diterima oleh Briaron sebagai temannya.
Sahabatku itu bahkan membuat janji yang tak bisa dilanggar oleh seorang orc. Sebuah langkah berani dari putra seorang pemimpin klan elf besar, yang sangat membenci orc.
Kudeta damai di Sonadhor pun, adalah bukti bahwa beberala orc memang memiliki tingkah laku dan karakter yang baik. Mereka hanya terlalu lama dikucilkan, sehingga yang mereka lakukan hanya melindungi sesama mereka.
Para orc Utara di perang Adijaya pun, pasti memiliki alasan yang kuat, untuk pilihan mereka membantu Tequr. Begitu pun dengan klan Zabash. Keduanya pasti terpaksa berada di pihak Tequr.
Memikirkan para orc, membuatku tidak menyadari bahwa Normen sudah memimpin kami untuk hpir memutari gunung megah ini. Dan sejauh ini, kami tidak menemui makhluk yang mengubah batu Normen menjadi butiran pasir hitam.
Aku tertinggal jauh di belakang Normen dan Yared. Dari belakang, mereka berdua tampak hampir sama, karena jenis pakaian dan baju zirah yang mereka gunakan memang berasal dari Donuemont.
Pemandangan di depanku perlahan mulai berganti. Dari sebuah gunung besar, menjadi lereng menurun, yang mengarah ke sebuah padang rumput luas.
Cakrawala hanya memperlihatkan padang rumput itu tak berujung. Sebuah bukti yang jelas, bahwa kami memang tidak berada di Adon.
Mendadak, angin di belakang kepalaku seolah berputar sangat cepat. Instingku tidak pernah salah. "Cepat turun!" seruku dengan suara sekeras mungkin.
Normen sempat menoleh ke arahku, sedangkan Yared langsung berlari menuruni lereng tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Kecepatan dan jumlah anak panah yang mengarah kepada kami, terus bertambah saat kami semakin dekat dengan padang rumput di kaki gunung.
Sesuatu yang tidak aku harapkan terjadi. Sebuah anak panah mengenai paha belakang Yared, hingga membuat anak itu terjatuh dan berguling di atas tanah kasar.
Aku membelokkan arah lariku, ke tempat Yared berada. Begitu pun Normen yang malah berbalik, dan ikut menghampiri Yared, setelah mendengar teriakan pemuda itu.
Tugas para penyerang kami semakin mudah, karena kami, para target, berada di titik yang sama. Akhirnya, kami melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan saat kalah jumlah.
Normen yang mengawali dengan mengangkat tangannya tinggi. "Kami menyerah!" serunya lantang.
Aku yang sudah duduk di sebelah Yared, juga ikut mengangkat kedua tanganku. Hujan panah langsung berhenti, meskipun para penyerang kami masih belum menunjukkan wujud mereka.
"Kenapa kalian malah berbalik menolongku!" gerutu Yared.
Otakku juga mengatakan hal yang sama persis. Aku tidak mengenal anak ini, dan aku seharusnya memikirkan keselamatan diriku, daripada ikut menyerah karena anak ini.
Namun aku tidak bisa membiarkan dia mati di sini. Terutama setelah melihatnya terkena anak panah tepat di depanku.
Aku melihat anak panah yang masih menancap di paha Yared. Di ujung belakang anak panah itu, terdapat bunga kering yang aku kenali. Bunga Asclepias, atau yang biasa disebut sebagai bunga darah.
Hanya ada satu ras, bukan, tapi satu klan, yang memakai bunga darah sebagai identitas mereka. Para peminum darah yang dibuang oleh Raja Silinde. Klan Zabash.
"Para penyerang kita adalah klan Za—"
Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku kepada Normen, karena penglihatanku mendadak kabur. Hingga akhirnya semua menjadi gelap.
Momen terakhir yang berhasil aku lihat, adalah Normen yang tertidur lebih dulu dariku. Begitu pun Yared yang sudah memejamkan matanya di pangkuanku.