Aku berharap akan terbangun di Tekoa, dan bersyukur karena semua yang kualami hanyalah deretan mimpi buruk.
Faktanya, aku malah terbangun di sebuah ruangan pengap dan gelap. Dua tangan dan kakiku diikat kencang dengan sebuah tali yang cukup tebal.
Dengan kedua mataku yang terbiasa dengan kegelapan Hutan Hitam pun, aku hanya bisa melihat sesuatu yang tidak terlalu jauh.
Kursi dengan dua kaki yang patah. Meja batu yang memiliki sebuah retakan besar. Bangkai tikus dan banyak serangga yang bertebaran di sekitarku. Ruangan ini pasti tidak pernah digunakan.
Tak jauh di sisi kiriku, Normen Harv masih tak sadarkan diri. Dua tangannya diikatkan ke pilar yang menjadi sandarannya. Sedangkan di kakinya, terdapat seutas tali yang berujung kepada pisau besar yang tergantung di langit-langit.
Jika Normen bergerak sedikit saja, maka prajurit tua itu akan kehilangan dua kakinya. Aku harus memberi informasi ini kepadanya, sebelum dia melakukan hal bodoh.
Masih ada satu orang lagi yang seharusnya kucari. Namun pemuda aneh itu tidak terlihat olehku, meskipun aku sudah memincingkan kedua mataku untuk melihat seluruh sudut ruangan ini. Semoga anak itu baik-baik saja.
Aku sudah salah mengira tentang klan Zabash, terutama soal tempat tinggal mereka. Alih-alih di dalam hutan, klan Zabash sepertinya mendirikan kota mereka sendiri.
Perabotan yang ada di sekelilingku, lebih tampak seperti buatan tangan manusia, ketimbang dibuat langsung oleh tangan elf. Aku bisa membedakannya.
Bangkai tikus yang tak jauh dari kakiku, memiliki ukuran yang sedikit lebih besar daripada tikus di Hutan Hitam. Tampilan fisik para tikus ini juga agak mirip dengan gabungan kelinci dan marmut. Ini adalah tikus gunung.
Hewan ini seharusnya hidup di lereng yang cukup tinggi, karena mereka menyukai hawa dingin di atas gunung. Mengapa mereka bisa sampai berada di bawah sini?
Atau aku harus membalik sudut pandangku. Bukan tikus gunung yang turun, melainkan klan Zabash yang naik terlalu jauh? Apakah elf bisa tinggal tanpa dikelilingi pepohonan?
Normen mengerang saat aku sedang berkutat dengan pikiranku sendiri. "Kau menemukan Yared?" ujarnya lirih.
Daripada bertanya soal tempat ini, atau siapa yang membawa kami, prajurit tua itu langsung menanyakan soal Yared. Pemuda itu adalah satu-satunya yang terkena panah di antara kami.
Di balik sifat menyebalkannya, Normen menyimpan karakter pemimpin sejati, yang hanya akan dia tunjukkan di kala keadaan sedang tidak memihaknya.
"Kau memiliki ide?" erang Normen, sambil mencoba berdiri. "Aku akan meregangkan tubuhku lebih dulu."
"Jangan berdiri!" seruku. "Jangan bergerak sedikit pun!"
Prajurit tua itu mengangkat alisnya. "Kenapa?" tanyanya polos. Meskipun dia tampak kebingungan, namun Normen tetap melakukan perintahku.
Gelapnya ruangan ini pasti membuat penglihatan Normen terganggu. Dia bahkan tidak tahu kalau ada sebuah pisau besar di langit-langit ruangan ini, yang mengincar kedua kakinya.
"Ada tali di kakimu, yang jika bergerak sedikit saja, maka kau akan keluar dari ruangan ini tanpa kaki," paparku dengan cepat. "Biarkan aku berpikir sejenak."
Meskipun aku tidak seperti Briaron yang selalu tenang, aku selalu bisa keluar dari situasi yang tidak menyenangkan. Aku hanya cukup melakukan pengamatan sederhana, dan membuat ide untuk memecahkan masalah.
Empat alat gerakku terikat dengan kencang, namun semuanya diikat di depan. Aku bisa menggigit tali yang mengikatku, atau merangkak ke arah benda tajam di sekitar sini.
Sebelum itu, aku memastikan adanya senjata di punggungku, dengan menyandarkan diriku ke dinding terdekat. Aku bisa merasakan senjata kesukaanku masih ada di belakangku, sedangkan pedang besarku sudah hilang entah di mana.
Aku hanya perlu melenturkan tubuhku, dan membuat tanganku yang terikat bisa berada di belakangku. Sedikit sentuhan dari mata pedang senjataku, pasti akan membuat ikatanku terlepas.
Di sisi kiriku, Normen berusaha untuk melihat sesuatu yang sedang kulakukan. Namun prajurit tua itu juga tidak melanggar perintahku yang menyuruhnya untuk tidak bergerak.
Ikatan di tanganku berhasil terlepas. Beberapa saat kemudian, aku juga berhasil melepas ikatan yang ada di kakiku. Hanya tersisa milik Normen.
Pria tua itu sempat terkejut, saat aku tiba-tiba ada di sebelahnya. Aku memotong tali yang mengikat dirinya ke pilar di belakangnya, dan menggagalkan jebakan yang mengincar kakinya.
Kami sudah siap untuk mencari pintu keluar dari ruangan ini, dan tiba-tiba seseorang yang berjarak cukup jauh dari kami, menyalakan obor yang langsung menerangi ruangan ini.
Pemegang obor itu adalah seorang elf Zabash, karena bola matanya yang hanya dipenuhi warna hitam
Elf itu memakai gaun panjang berwarna putih yang indah, dan tersenyum pada kami. Kami akan menyapanya dengan hormat, jika kami bisa mengesampingkan pedang besar di genggamannya.
"Kalian akan keluar?" Elf itu memiringkan kepalanya. Dia masih mempertahankan senyum di wajahnya, namun senyum itu perlahan hanya berada di sisi kiri bibirnya.
Normen menghunus pedang besarnya. "Katakan di mana teman kami," geram prajurit tua itu. "Dia terluka di pahanya, kami harus segera mengobati anak itu."
Elf itu masih tidak berhenti tersenyum. "Jawabanmu tidak sesuai dengan pertanyaanku," ujarnya. "Apakah kalian adalah dua orang bodoh?"
"Kami akan keluar dari sini," selaku. Aku menghunus pedang-panah milikku, dan langsung menodongkan mata pedangku ke leher elf itu. "Beri tahu kami jalan keluar dari sini!"
"Jika aku tidak mau?" balasnya dengan nada geli.
Karena elf ini masih belum sadar bahwa aku sedang tidak bercanda, maka aku menekan mata pedangku sedikit ke lehernya. Darah segar menetes keluar dari lehernya, dan membasahi pedangku.
"Aku bisa membunuhmu, jika kau menolak," geramku. "Mau mencobanya?"
Normen mencengkeram lenganku. Saat aku menoleh kepadanya, dia mengangguk pelan kepadaku sembari menuntunku untuk menurunkan pedangku.
"Jangan mencari masalah di rumah orang," bisik Normen di telingaku. "Kita harus mencari tempat mereka mengurung Yared, sekaligus jalan keluar dari sini."
Saat ini, Normen menggantikan peran Briaron untuk menjadi pihak yang memaksaku berpikir dengan kepala dingin.
Lagipula, rencana pria tua ini jauh lebih baik daripada menyerang elf setengah gila di depanku, dengan membabi buta.
Saat ujung pedangku sudah mengarah ke tanah, elf yang ada di depanku malah tertawa cekikikan. Dia mengerjapkan matanya, lalu tiba-tiba menendang perutku.
Aku tidak siap menerima serangan itu, sehingga tendangan elf itu benar-benar menyakitiku. Normen langsung menghadang di depanku, dengan pedang besarnya, saat elf dengan gaun yang indah itu siap menyerangku sekali lagi.
"Kami tidak berniat bertarung," ujar Normen sambil mengangkat tangannya. "Kami bahkan tidak tahu alasan kalian menyerang, bahkan menangkap kami."
Elf itu kembali menyerang kami dengan tertawa pelan. Kali ini, dia tidak sendirian. Para elf klan Zabash yang sejak tadi ternyata ada di sekitar kami, mulai menampakkan diri mereka.
Tujuh atau delapan orang elf klan Zabash menyerang kami secara bersamaan. Sekuat apa pun kami, melawan musuh yang berjumlah empat kali lipat tetap bukanlah sebuah tindakan yang bijak.
Normen juga pasti menyadari hal itu. Pria tua itu langsung mendekat ke arahku, sehingga kami berdua bertarung melawan elf Zabash dengan saling memunggungi.
Untuk pertarungan yang tak bisa dimenangkan, kami hanya perlu bertahan. Entah untuk menunggu bantuan datang, atau sampai kami mendapat ide cemerlang.
Hanya saja klan Zabash tidak menurunkan kekuatan mereka, meskipun hanya melawan dua orang. Tujuh orang termasuk elf bergaun putih yang pertama kali kami temui, menyerang kami tanpa henti.
Aku tidak tahu sudah berapa banyak darah yang keluar dari tubuhku. Yang aku tahu, aku sudah terlalu lelah, dan tubuhku sudah mencapai batasnya.
Suara napas Normen yang terengah-engah di belakangku, juga menandakan bahwa dia juga sama kelelahannya denganku.
Seharusnya prajurit tua ini memiliki kekuatan besar yang bisa mengalahkan klan Zabash. Atau dia hanya pria tua yang kekuatannya terlalu dilebih-lebihkan.
Dua elf di depanku menendang perut dan dadaku. Mereka membuat aku terhuyung ke belakang, dan bersandar ke punggung Normen.
Normen yang ada di belakangku, juga sedang mengerang kesakitan. Dia pasti memiliki banyak luka sepertiku.
Setelah Yared, mungkin aku juga akan kehilangan Normen, jika muncul keraguan dalam diriku. Saat ini, hanya aku yang bisa menyelamatkan mereka berdua.
Harapan agar Normen yang lebih dulu menolongku, harus segera ditepiskan dari pikiranku. Pria tua ini memang tidak berniat untuk menunjukkan kekuatannya.
Aku menyarungkan pedang-panah milikku. Lalu sebilah pedang mengarah ke wajahku, namun aku menangkap mata pedang itu dengan tangan kosong.
Rasa sakit menjalar dari telapak tanganku, tapi aku bisa menahannya sedikit lebih lama. Aku harus mengeluarkan lebih banyak darah, agar aku bisa langsung mengalahkan mereka semua sekaligus.
Dua elf Zabash yang lain, mulai menyerangku dengan ganas. Mereka menyayat pinggang, perut, betis dan bagian lain di tubuhku. Namun rasa sakit itu perlahan memudar.
Kekuatan yang tidak ingin aku tunjukkan ke banyak orang, mulai mengisi setiap sendi tubuhku. Dan yang pertama aku lakukan, adalah melempar Normen dari sebelahku. Pria tua itu tidak boleh terlalu dekat denganku, saat aku sudah berubah.
Pandanganku perlahan juga mulai berganti warna. Dengan mata klan Daeron, semua hal di sekitarku tampak lebih cerah dan hitam. Sedangkan saat ini, semua hal tampak merah, dan begitu menyebalkan.
Aku merasakan angin dari kananku, yang ternyata sebuah serangan dari elf yang tadinya melawan Normen.
Tanpa senjata di tanganku, aku menangkis serangan elf itu, dan memukul perutnya hingga dia terpental ke sudut ruangan. Kejadian itu membuat para elf yang lain mundur satu langkah dariku.
Hanya satu orang yang masih berani maju mendekatiku. Elf bergaun putih. Raut wajahnya menunjukkan betapa terkejutnya dia, namun elf itu masih memaksakan diri untuk tersenyum.
"Kau menyimpan kekuatan sebesar ini?" tanya elf itu. Suaranya sedikit tercekat, namun dia menyembunyikan ketakutannya dengan berpura-pura tenang.
Beberapa sudut ruangan ini masih belum terlihat merah. Aku masih memiliki kesempatan, sebelum kekuatan ini menguasai diriku sepenuhnya.
"Katakan di mana Yared?" tanyaku, yang lebih terdengar seperti sebuah geraman.
"Aku takut, aku tidak bisa mengatakannya padamu," ujar elf itu. Dia mengulurkan tangannya ke depanku. "Bagaimana jika kita berkenalan lebih dulu? Namaku Arasne. Arasne Aelar."
"Katakan di mana Yared!" desisku dengan suara berat. Hanya tersisa sedikit saja warna selain merah, yang ada di penglihatanku. Tidak ada waktu lagi.
Elf itu menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum muram. Respon yang bodoh darinya, tepat saat semua yang aku lihat sudah berubah menjadi merah.
"Adikku, katakan nama adikku!" seruku ke arah Normen, sebelum aku mulai menerjang tujuh elf Zabash yang ada di depanku.
Tubuhku sudah tidak lagi dikontrol oleh otakku. Setiap sendiku bergerak atas kemauannya sendiri, sedangkan aku hanya bisa menonton melalu lubang mataku, saat kedua tangan dan kakiku mulai bertarung dengan mengerikan.
Tidak ada yang luput dari seranganku. Atau lebih tepatnya, tubuhku tidak membiarkan satu orang pun luput dariku.
Aku masih bisa merasakan sakit, saat kulitnya bertemu dengan mata pedang, atau tendangan mereka. Namun yang keluar dari mulutku, malah sebuah raungan mengerikan, yang bahkan membuatku bergidik ngeri.
Tendangan dan pukulanku selalu membuat mereka terpental. Sebelum mereka bangkit lagi, aku sudah menendang kepala mereka lagi.
Perlahan, mereka mulai mengubah cara bertarung. Dari yang awalnya menjadi pihak penyerang, mereka berubah menjadi pihak yang bertahan.
Para elf mengayunkan pedang mereka masing-masing, bukan untuk menyerangku, melainkan bertahan dari setiap tendangan dan pukulanku.
Penglihatanku masih belum berhenti berubah. Dari merah cerah, semua hal di sekitarku mulai berubah menjadi merah darah. Perubahan warna itu, juga semakin memengaruhi caraku bertarung.
Tanganku tidak lagi memukul untuk sekedar mementalkan mereka. Sekarang, tanganku mulai bergerak untuk mengincar mereka.
Satu elf yang berada paling dekat denganku, mengayunkan pedangnya ke arahku. Aku menghindari serangannya, lalu melangkah ke belakangnya dengan gesit. Setelah itu, aku langsung mematahkan lehernya. Korban pertama untuk pertempuran hari ini.
Di sudut mataku, seorang pria tua berwarna merah, ikut menyerang ke arah para elf yang tercengang melihatku. Prajurit bodoh itu masih berusaha untuk membantuku, di saat aku sudah tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.
Pertarungan melawan klan Zabash berlangsung tanpa kejutan. Tidak ada yang berhasil mengalahkanku. Sebaliknya, satu per satu dari mereka, malah berubah menjadi mayat karena leher yang patah.
Hanya tersisa satu elf di depanku. Elf bergaun putih, yang bernama Arasne. Kali ini, dia tidak repot untuk menutupi ketakutan yang terlihat di wajahnya.
"Aku bisa memberi tahumu lokasi Yared," bujuknya sambil terus melangkah mundur. "Dia ada di sebelah ruangan ini. Kami sudah mengobatinya."
"Bagaimana dengan jalan keluar?" timpal Normen yang berdiri cukup jauh dari kami.
Arasne menoleh kepada Normen, lalu dia kembali melihatku yang terus mendekat kepadanya. "Ruangan Yared memiliki sebuah pintu keluar," ujarnya cepat. "Kalian bisa keluar dari situ."
Normen langsung bergegas pergi. Pria tua itu meninggalkanku bersama Arasne sendirian. Padahal, dia bisa saja menghentikanku lebih dulu.
"Aku sudah memberi tahu soal Yared dan pintu keluar, mengapa kau masih mencoba membunuhku!" pekik Arasne dengan putus asa.
Elf itu mundur terlalu jauh, karena sekarang dinding ruangan ini sudah menabrak punggungnya.
Kakiku tidak berhenti, untuk mendekat ke arahnya. Napas cepat elf itu, bahkan berhembus di wajahku. Kami sudah sangat dekat, dan tanganku sudah terangkat untuk melakukan serangan pamungkas terhadapnya.
Tiba-tiba, seseorang berseru dari arah pintu ruangan ini. "Eleanar!" seru Normen.
Aku mengerjapkan mataku, dan semua hal di sekitarku mulai menunjukkan warna aslinya.
"Eleanar!" seru Normen sekali lagi. "Kau bisa berjalan? Aku bisa membopongmu, jika kau memintaku."
Aku melambaikan tanganku, dan bergegas pergi ke arahnya. Sesuai perkataan Arasne, sebuah pintu keluar memang ada di dalam ruangan sebelah.
Rumah klan Zabash berhasil kami tinggalkan. Sekarang, kami bertiga berada di tempat yang lebih menyeramkan.
Kami berada di dalam gunung Alcyne yang gelap.