Bab 2. Jatuh Ke Jurang

1277 Kata
Dodi, kayaknya dia udah mati,” kata Lena. “Lena, jangan sampai orang lain tahu, kalau kita penyebab dia mati di sini, kamu tahu kan akibatnya kita bakal masuk penjara,” ucapnya. “Tapi, mamih ingat dokumen aset warisan di rumah, gimana!” Keluh Sela ibunya. “Kita pulang sekarang!” Saat mereka hendak masuk kembali ke dalam mobil. Tiba-tiba ada mobil berwarna hitam yang melintas hingga menimbulkan cipratan air yang mengenai wajah mereka, bau air comberan mereka rasakan hingga terminum kotorannya. “Sialan! Mobil siapa sih!” Keluh Dodi. “Udah cepat-cepat! Kita pulang!” Ucap Lena mengajaknya. “Gimana kalau dia mati! Lagian dia kabur dari rumah, sialan!” Keluh Dodi. “Dia mobil siapa sih, gue makan bau kotoran itu, pengen muntah.” “mamih juga pengen muntah,” keluhnya. Gadis yang mereka kejar hingga masuk jurang ternyata masih hidup. Ia tersangkut di akar pohon, baru sadarkan diri setelah ada tetesan air dari dedaunan menumpahi wajahnya. Kemudian batuk-batuk, baju yang tersangkut ia paksa robek hingga membuat dirinya jatuh lagi. Sekuat tenaga ia berjalan lagi demi mencari tempat yang aman. Di tengah jalan, ia mendapati mobil pick up sayuran. Berhenti di perkebunan lalu diam-diam Nirmala menumpang di belakang. Ketika berhenti di depan perumahan mewah di waktu subuh ia mendapati pintu pagar yang terbuka, karena demi bersembunyi ia pun nekad masuk setelah itu dia merasakan kegelapan lalu terkapar. Pagi hari yang cerah, Nirmala membuka matanya. Ia melihat ada sinar cerah yang menembus matanya melalui jendela. Dan dia sadar kalau itu bukan rumahnya. “Di mana aku?” Lirihnya. “Oh, kamu udah sadar? Syukurlah,” ucap seorang wanita dewasa menatapnya. Nirmala terbangun dan kaget ketika mendapati seisi ruangan yang asing di matanya. “Di mana saya?” “Kamu aman di sini. Saya temukan kamu pingsan di halaman belakang waktu subuh, nyonya sama Pak boss ganteng suruh saya buat tolong kamu,” ungkapnya.” Panggil saya Bi Mumun.” FLASHBACK ON Pagi hari sekitar jam 06.00, Chandra keluar rumah untuk menghirup udara segar. Baru saja merentangkan tangannya, matanya terbelalak ketika mendapati sosok wanita tergeletak di belakang rumah san badannya menindih tanaman mahalnya. Tentu membuatnya naik darah. “Bi, bi Mumun? Sini, bi!” Pintanya.  “Ada apa den ganteng, pagi-pagi udah rame,” sahutnya. Ia pun kaget ketika melihat nirmala tergeletak. “Astagfirullah, siapa dia! Kok ada orang di sini?” “Bi, lihat tuh pintu pagar kenapa kebuka? Untung yang masuk bukan begal,” kata Chandra. “Wah ada apa ini?” Tanya Pak Beni sang supir yang juga suaminya bi Mumun menghampiri dengan terburu-buru. “Eh, ada cewek kok bobo di sini?” “Ini pingsan, Pak! Mana ada orang yang tidur di tanah,” tukas Chandra. “Kita gotong nih cewek ke dalam rumah, kasihan kayaknya dia luka.” FLASHBACK OFF Kemudian bi Mumun memberikan berkas dokumen dan ponsel milik Nirmala yang sudah kotor. “Ini barang kamu yang tersisa. Siapa nama kamu?” “Saya—” Nirmala masih ragu mengatakannya. “Duh, lupa.” “Kamu amnesia?” “Hmmm, mungkin saja, iya,” sahutnya. “Kamu mandi dulu, gih. Udah gitu saya pinjemin kebaya, ya. Setelah itu makan terus kamu sambangi nyonya, dia pemilik rumah ini, sekaligus pengusaha kaya se-Asia tenggara,” ucap bi Mumun. “Hah! Masa sih bi? Iya, deh nanti saya mandi dulu,” ucapnya. Nirmala beranjak dari ranjangnya, ia merasakan kegalauan dan sakit di bagian kaki dan seluruh badannya. Waktu mandi ia mendapati luka lebam di sekujur badannya, seketika hatinya hancur berkeping-keping karena sudah bertaruh nyawa semalaman. Setelah mandi lalu bercermin. Menatap sekujur badannya sambil menitikan air mata kepedihan. Ia ingat waktu malam terperosok ke jurang. “Terima kasih, Tuhan. Aku masih hidup ternyata, tapi harus kemana lagi aku selanjutnya? Mereka mereka bisa saja bunuh aku,” lirihnya. Ia mendapati baju kebaya yang sama di atas ranjang seperti yang bi Mumun pakai. Tanpa berfikir dua kali ia langsung pakai, tak lama kemudian perutnya keroncongan.  “Lapar banget,” keluhnya. Nirmala menuju dapur, matanya terbelalak ketika melihat dapur mewah dengan desain dan furniture yang berkelap-kelip.  “Mewah banget, inj rumah sultan nih,” ucapnya sembari memutar mata ke sekeliling. Kemudian dia melihat makanan di meja makan dapur khusus ART. Makanan empat sehat lima sempurna tersaji lengkap dengan buah-buahan juga. Karena lapar, Nirmala melahap semua makanan itu dengan cepat. Ia nikmati seorang diri. “Gimana makanannya, enak?”  “Eh, bi. Iya, enak banget. Sini makan, bi,” ajaknya. “Nanti nyonya mau ketemu kamu katanya, tapi kalau anaknya udah tiba, dia mau pulang dari eropa,” kata bi Mumun. “Oh, gitu, ya.  “Nyonya pengusaha entertainment juga pertambangan. Ya suka bikin orang main film itu, Neng. Bibi kurang ngerti. Tuan bapak yang jadi presdir di perusahaannya,” ungkapnya. “Nama mereka siapa, bi?” “Nyonya besar namanya Yuni Wijaya, kalau tuan bapak namanya Hendra Wijaya, anak sulungnya bernama Chandra Wijaya, terus anak kedua namanya Kirana Wijaya, gitu neng.” “Oh, gitu ya.” Siang hari, Nirmala membantu bi Mumun membereskan semua perabotan rumah, mulai dari cuci piring, masak, angkat jemuran, dsb. Tiba-tiba saja ada wanita yang menyapa dari belakang. “Kamu, kenapa belum juga temui saya?” Sapanya. Seorang wanita cantik, outfitnya modis, perhiasannya mewah berdiri di depan Nirmala.  “Maaf, bu. Belum sempat, saya bereskan dulu kerjaannya, ya?” “Setelah kamu temui saya di ruang tamu,” pintanya, kemudian ia berlalu di hadapannya. Nirmala tak lantas menemui pemilik rumah itu, ia ingat di mesin cuci masih ada pakaian yang harus ia jemur. Ia pun menjemur bajunya lebih dulu di belakang rumah itu. Karena baru pertama kali dia mengenal halaman itu, matanya langsung terpukau dengab taman yang indah dan banyak pohon buah. “Ini istana bukan rumah kayaknya,” gumamnya. Lalu ia menyimpan jemurannya di tiang yang tersedia, satu persatu digantungkan. Saking terhiburnya melihat buah strawberry yang merah ada dorongan kuat untuk memetiknya.  “Satu boleh kali,” gumamnya, ia petik buahnya lalu melahapnya. “Seger banget.” Karena ketagihan, Nirmala memetik beberapa strawberry itu lagi. Ia teringat kalau perintah nyonya harus segera dilaksanakan, kalau tidak? Mungkin saja bisa terusir dari rumah ini. “Saatnya temui nyonya,” gumamnya. Ia beranjak lalu berjalan mundur dan terjadilah sesuatu. *Bruk* Nirmala menabrak pria tampan yang masih memakai jas mewah. Wajahnya bak artist kenamaan hollywood, alis yang tebal, mancung, brewokan dan kumis tipis menambah kesan seksi. Mereka tak lantas jatuh tapi malah berputar layaknya penari balet, pria itu menahan badan Nirmala agar tidak jatuh. Seketika berhenti dan angin berhembus menyibakan rambut pria tampan itu. “Kamu yang waktu di pengadilan itu, kan?” Pria itu melepaskan Nirmala hingga membuatnya tersungkur. “Ugh! Kasar banget,” keluhnya. “Kenapa kamu sampai di sini? Harusnya kamu menghadap ibu aku sekarang juga,” pintanya. “Iya, baik.” Saat Nirmala mau menghadap nyonya rumah itu, ia mendapati kejutan yang membuatnya tercengang. Nyonya Yuni nampak gusar dan memasang wajah yang sangar. “Maaf, saya baru menemui ibu—” “Kamu anak seorang penipu! Tidak pantas ada di sini, sekarang juga kamu pergi!” Bentak beliau pada Nirmala. “Dari mana ibu tahu?” “Dokumen ini tertulis kamu anak dari Tedi Subagja, yang menggelapkan uang puluhan miliar setelah sewa gedung tempat kami shooting,” kata Yuni, tangannya hendak memukul Nirmala. Dengan cepat Putra sulungnya menghampirinya ibunya yang sedang gusar, menahan tangannya agar tidak memukul. “Mah, jangan main kasar dulu.” “Chandra, apa-apaan kamu? Dia anak penipu, yang menggelapkan uang kita, uang itu memang sedikit bagi kami tapi itu hasil jerih payah,” kata Yuni. Nirmala menangis karena ketakutan. Ia terisak-isak. “Saya memang anak dari Pak Tedi Subagja, tapi biarkan saya kasih penjelasan dulu,” pinta Nirmala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN