2. Rumah Impian (2)

1028 Kata
Aku tidak mengerti kenapa Zul disebut idaman, tapi dia memang sering mendapat surat cinta. Wajahnya juga katanya manis seperti member grup band Korea, hidungnya mancung, alis htam tebal melengkung indah, kulit putih bersih yang menurutku malah terkesan feminin, dan yang paling digilai kaum hawa adalah senyumnya yang katanya sehangat mentari namun melelehkan. Kalau mengenai sifat, menurut mereka, Zul itu perwujudan pangeran charming dari negeri dongeng yang selalu diimpikan para gadis saat kecil. Gosip menarik yang tidak kalah heboh adalah kedekatan Zul dan Ero yang terkadang di salahpahami sebagai homo, karena mereka selalu bersama ke mana pun pergi. Mereka juga tinggal di rumah yang sama. Hubungan keduanya dikutuk seluruh kaum hawa, karena mereka khawatir ketua kelas tercinta itu akan tertular kebusukan Ero. Sementara para pria ingin Ero memengaruhi Zul agar mereka tidak mendapat omelan terus dari si ketua kelas yang gila disiplin itu. Di kelas, kerjaan Ero cuma main hp, melamun, atau tidur. Setiap guru yang mengajar tidak pernah marah dengan sikapnya, karena nilai Ero memang selalu berada di atas rata-rata. Sampai sekarang aku heran dengan cara belajarnya. Elfen Rin Ogima, nama lengkap si Ero itu. Aku sedikit tertarik kepadanya karena dia tidak pernah menyapaku, cenderung abai. Setelah aku ingat, kami memang belum pernah bicara sejak sebulan lalu menjadi teman semeja. Yang lain saja mencoba akrab denganku meski selalu kuabaikan, bahkan Zul juga, tapi kenapa Ero tidak pernah menganggapku ada? Bukan berarti aku ingin mendapat perhatiannya, hanya sedikit penasaran dengannya. "Hai?" Zul menyapaku saat mendatangi meja, mengenyahkan lamunanku tentang Ero. Aku beralih menatap ke luar jendela, meski tahu sapaan itu untukku. Aku hanya merasa tidak perlu bersikap ramah kalau tidak penting. Zul menjentikkan jari di depan wajahku, seperti biasa, dia keras kepala. "Aku bicara denganmu." Dia tersenyum, membuat iris cokelat di balik kacamata itu seolah bersinar. "Tanggal satu kemarin kau tidak ikut studi wisata ke laut, kan? Wali kelas menyuruhmu menemuinya di ruang guru." Untuk apa lagi aku menemui guru di sana? Bukankah waktu itu sudah kujelaskan kalau aku ada pekerjaan, makanya tidak bisa ikut ke laut. "Sayang sekali kau tidak ikut, padahal waktu itu sekolah kita bergabung dengan sekolah lain dan naik kapal─" Aku tidak lanjut mendengarkan cerita Zul tentang studi wisata itu karena sudah memasang earphone ke telinga. Berdiri, aku sempat melirik Ero yang tersenyum kecil dalam tidurnya sebelum meninggalkan meja, lalu keluar kelas, menuju ruang guru.   * * *   Hujan deras mengguyur wilayah Binjai tepat bel pulang sekolah. Aku tidak membawa payung, hanya bisa menunggu di kelas saja sambil mengambil gambar dengan kamera. Hobi fotografi membuatku aktif memtoret berbagai tempat dalam banyak situasi. Dari hobi ini pula aku bisa mengumpulkan uang. Ada yang bilang, pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang bisa menghasilkan uang. Aku pikir orang itu benar. Bosan di kelas sendirian, aku keluar dan menjelajah lantai dua yang menjadi area kelasku. Masih membawa kamera, aku potret langit yang menumpahkan air, lalu fokus kamera beralih ke setiap ruang kelas, dan area taman di lantai bawah. Tanpa sengaja, aku menangkap gambar sepasang siswa yang mengulurkan tangan mencecap dinginnya hujan. Wah, sekarang mereka saling menatap. Oh, si lelaki tampaknya tidak suka dengan gadis itu, karena dia pergi menuju gerbang sekolah. Si perempuan bernama Tania, teman sekelasku yang cantik bak model, merupakan anak taekwondo, sementara yang lelaki adalah Zulmi. Biasanya Zulmi selalu sama Ero, kenapa hari ini mereka tidak bersama? Mengenai Tania, semua mendukungnya jadi pacar Zul, tapi sepertinya Zul tidak tertarik. Ketua kelas itu malah terkesan selalu menghindarinya sebisa mungkin. Bukan hanya Tania, semua cewek juga dihindari Zulmi. Saat tengah memotret taman bunga, aku mengambil gambar seorang lelaki yang menghajar tiga pemuda di depan kelas X IPS 3. Setelah melihat dengan detail, lelaki di tengah kerumunan itu adalah teman sekelasku tadi, Rio. Dia memukul seorang badan kurus sampai terjatuh, lalu dua teman si kurus memegangi kedua tangan Rio. Si kurus bangkit kemudian melayangkan tinju ke wajah Rio, tapi Rio tidak tampak kewalahan, malah mudah saja menjatuhkan ketiganya. Dia memukul, menendang lalu menginjak ketiga lawannya yang memang berbeda ukuran badan. Hanya satu yang fisiknya mengimbangi Rio, tapi ternyata bukan tandingan si anak kepala sekolah. Ketiga lawan tumbang dan mengaduh kesakitan. Tentu saja aku abadikan setiap adegan dalam kamera. Lumayan menghibur, dan aku bisa menggunakan gambar ini untuk menghasilkan uang. Bagiku, uang adalah segalanya. Orang yang bilang uang tidak bisa membeli kebahagiaan, dia pasti hanya memilikinya dalam jumlah sedikit. Setelah hujan mereda, aku tidak tertarik melihat sampai akhir hasil perkelahian Rio dan ketiga lawannya, jadi, kuputuskan langsung pulang saja dengan naik bus. Setibanya di rumah, terlihat Yuda─abang tiriku─dipukuli beberapa penagih hutang. Aku mengambil earphone di tas dan memasang ke telinga, lalu melangkah masuk ke rumah minimalis dengan cat dinding warna biru. Adegan Yuda dan ketiga penagih hutang itu bukan pemandangan baru. Sudah sejak tiga tahun lalu abang tiriku rutin menjadi samsak tinju penagih hutang akibat terlambat bayar tagihan rumah sakit almarhum ayahnya. Menginjakkan kaki ke lantai keramik rumah, tercium aroma masakan dari dapur, tapi tidak cukup kuat untuk membuat perutku berbunyi. Aku sudah kenyang karena melihat wajah babak belur Yuda. Beralih ke kamar sebelah ruang tamu, lalu memasuki kamarku. Setelah menutup pintu kamar, aku merebahkan badan ke kasur. Melirik nakas, aku meraih buku catatan berisi jadwal pemotretan. Aku bukan yang jadi model, tapi fotografer. Meski masih pemula, beberapa orang percaya hasil gambarku bisa sebagus ayah. Yah, ayah dulunya seorang fotografer keliling yang terkenal, karyanya bahkan dimuat di media cetak. Dia bukan ayahku, tapi ayah Yuda. Aku dan Yuda memiliki ibu yang sama tapi ayah berbeda. Saat ayah kandungku entah ke mana rimbanya, ayah Yuda dengan senang hati merawat dan membesarkanku selayaknya anak sendiri. Tentu saja ayah Yuda melakukannya setelah aku mengalami kejadian tragis sekitar sepuluh tahun lalu itu. Bagiku, dia ayahku. Mengenyahkan lamunan tentang ayah, aku lantas melihat buku catatan kecil bersampul biru muda. Pada lembar dengan pulpen kecil di tengahnya, tertulis 09 Desember, kebun binatang, lalu ada nomor telepon pelangganku. Oh, ini jadwal kemarin, sudah selesai. Aku membuka lembar berikutnya. Hari ini, 10 Desember, kafe Star, janji temu pukul tujuh malam. Aku masih punya waktu. Membuka lembar berikutnya, ternyata tidak ada lagi. Sampai seminggu ke depan jadwal memotretku kosong. Aku perlu uang tambahan untuk rumah impian. Aku kemudian menatap kamera, seringai terbit. Sudah kukatakan, kan, kalau aku sangat menyukai uang? Mungkin aku bisa melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Aku bisa memanfaatkan hasil gambar pertengkaran Rio ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN