3. Kasus Pengeroyokan (1)

1118 Kata
Keesokannya saat tiba di kelas, aku dikejutkan dengan Rio yang terlihat babak belur. Tangan kiri anak kepsek itu bahkan sampai dipakaikan gips. Terdengar bisik-bisik anak perempuan kalau Rio dikeroyok sepulang sekolah kemarin, dan dia telah mengadukannya ke pihak sekolah. Wah.... benar-benar ladang uang di depan mata. Aku bisa menjual hasil potretku kepada tiga lelaki lawannya. Mereka akan bebas dari tuduhan kalau aku bersaksi melihat Rio yang menghajar mereka. Aku juga punya banyak gambar sebagai bukti pendukung. Tunggu dulu, kalau menjual hasil gambar ke Rio, bukankah penghasilanku bisa lebih besar lagi? Dia ingin memenangkan kasus ini, maka ketika aku bersaksi melawannya, itu akan memberatkannya. Benar, dia akan membayar mahal untuk foto ini. Aku menaruh tas, lalu berdiri untuk mendekati Rio yang telah dikerumuni beberapa teman sekelas, sampai aku sadar, tidak tahu cara bicara dengannya. Menghela napas, aku duduk kembali. Melirik sebelah, terlihat Ero masih fokus menonton anime dari gadget-nya, dengan telinga tersumpal earphone. Dia ini tidak tahu situasi sama sekali atau memang terlewat cuek? Kelas semakin riuh saat seorang lelaki dari tiga lawan Rio mendatangi kelas kami. Dia yang badannya cukup atletis seperti Rio, wajah telah babak belur. Lelaki dengan rahang tegas yang terlihat jelas sedang kesal itu tanpa ragu melayangkan pukulan ke muka Rio, lalu mencengkeram kerah seragamnya. "Kau mau memfitnah kami, hah? Kenapa kau tidak bilang kepada mereka kalau kau yang menyerang kami?" Aku tidak bisa mendengar jawaban Rio karena anak perempuan mulai berteriak heboh dengan sangat menyebalkannya, sementara beberapa lelaki mencoba melerai kedua lelaki yang bertikai. Zul salah satu yang menengahi. Tiba-tiba saja ada seorang guru yang menarik Rio dan lelaki itu. Kelas pun semakin ramai didatangi siswa dari lain kelas. Lalu di tengah kehebohan, kulihat seorang perempuan meletakkan amplop di laci Zul. Dia memberiku ide bagus.   ⁂ ⁂ ⁂ Seminggu kemudian...   Begini bunyi surat yang kutujukan kepada Rio beserta sebuah foto perkelahiannya: Beri aku lima ratus ribu rupiah sebelum sidang kedisiplinan, sepulang sekolah besok, atau foto seperti ini hadir di meja siding, dan aku akan bersaksi melawanmu. Taruh uang di dalam amplop, letakkan di tengah buku matematika, lalu letakkan buku itu di rak perpustakaan sederet dengan buku astronomi. Di sinilah aku sekarang, dalam perpustakaan sekolah yang buka sampai sore, tepatnya di depan deretan rak buku astronomi. Aku mencari buku matematika, tapi tidak menemukannya. Begitu pun dengan uang dari Rio. Padahal uang segitu tidak ada artinya bagi sebagian besar siswa di sekolah ini, tapi kenapa Rio mengabaikan ancamanku? Tidak hilang akal, aku mengambil ponsel dan mengirim foto Rio─saat memukul tiga lawannya─ke salah satu korbannya. Oh, tentang caraku mendapatkan nomor mereka, gampang saja. Ada beberapa grup chat yang entah bagaimana aku termasuk di dalamnya. Padahal aku cuma memberi nomor ponsel kepada Zul untuk dimasukkan ke grup kelas. Mungkin dia yang menambahkanku ke beberapa grup sekolah. Aku punya dua ponsel dengan empat kartu sim, jadi tidak akan ada yang tahu kalau akulah pemilik nomor ini. Dari salah satu grup chat itu, aku mengetahui kalau ketiga korban Rio adalah kakak kelas kami, yang merupakan satu tim ekskul dengannya di sepak bola. Aku meminta bayaran yang sama seperti yang kuminta kepada Rio, tapi Dimas─nama si senior itu─menolak. Katanya dia tidak bisa percaya kepada orang yang tidak dikenal. Bodoh sekali dia. Kubalas seperti ini dalam chat: Kalau ada bukti dan saksi, Rio tidak mungkin berani menuntut. Kalian hanya bisa bebas dengan kesaksianku. Dia membalas lagi: Kami punya bukti dia yang memanggil kami. Aku sedikit terkejut. Setahuku tidak ada bukti Rio memanggil mereka. Berarti ini hanya gertakannya? Aku balas dalam pesannya: Tuntutan Rio atas pengeroyokan, bukan siapa yang mendatangi duluan. Tiga lawan satu, kau pikir siapa yang akan memercayai kalian kalah begitu saja? Aku menunggu lama sebelum balasannya datang. Dimas bilang kalau aku benar dan setuju membayar, tapi kubilang, aku sedikit tersinggung dengan tuduhannya, padahal maksudku baik ingin membantu. Dia meminta maaf, dan sangat memohon agar aku tidak berubah pikiran. Lalu kubilang: Aku memaafkan kalau bayarannya jadi dua kali lipat. Setelah kupikir lagi, akan lebih menguntungkan kalau memberikannya kepada Rio. Dimas mengamini dan mengatakan akan membayar sisanya besok, karena baru ada separuh uangnya untuk saat ini. Aku setuju dan meminta dia meletakkan uang di bawah pot mawar depan kelasku, tentu saja aku tidak bilang bahwa itu kelasku. Dia akan tiba di sana dalam lima belas menit dan ingin aku segera mengirimkan seluruh foto sebelum sidang dimulai. Yah, hari ini aku tetap mendapat uangku. Tentang bersaksi untuknya, tentu saja tipuan. Aku tidak mau menunjukkan wajahku di depan Rio. Anak kepala sekolah yang bengis itu bisa menghajarku sampai mati kalau tahu aku bersaksi melawannya. Aku sudah beranjak dari rak astronomi untuk menemui Dimas, tapi tiba-tiba Rio muncul di depan pintu perpustakaan. Napasnya terengah-engah, dengan bulir keringat membasahi seragam, dan wajah memerah yang sarat akan gurat khawatir. Dia langsung menuju tempatku. Aku tidak jadi keluar, malah mengambil buku di rak lain sambil mengawasi Rio. Sialnya, dia juga sembunyi di balik rak novel yang bersisian dengan rak astronomi. Sepertinya dia ingin tahu orang yang mengancamnya. Aku menunggu selama lima belas menit, tapi Rio tidak kunjung pergi. Padahal sidang akan dimulai lima menit lagi. Aku juga sudah janji dengan Dimas. Awalnya kupikir bisa mendapatkan uang dari kedua pihak saat melihat Rio datang, tapi tampaknya aku harus memilih; Rio atau Dimas. Uang dari Rio seperti memanggilku untuk segera diambil, tapi resikonya aku akan ketahuan dan entah bagaimana nasibku kalau itu terjadi. Kalau aku menemui Dimas, ada kemungkinan dia juga menungguku seperti yang dilakukan Rio. Lebih gawatnya kalau dia membuat jebakan. Bodohnya aku tidak berpikir sejauh itu tadi. Yah, ini lah keputusanku: Menunggu sidang dimulai dan mengambil uang dari kedua pihak. Kalupun Rio akhirnya berubah pikiran dan mengambil kembali uangnya, aku masih punya uang dari Dimas, dan seandainya pun Dimas mengambil kembali uangnya, aku akan memposting foto ini di akun media sosial sekolah. Dengan begitu, pihak sekolah akan mencoba mencari tahu tentangku yang telah mencemarkan nama baik sekolah, begitu pula dengan Dimas dan Rio. Kalau sudah begitu, akan ada banyak pihak yang nantinya akan membayarku. Maka langkah selanjutnya, aku akan meminta bayaran yang lebih tinggi lagi. Itulah balasannya kalau berani main-main denganku. Lima menit berlalu, Rio akhirnya keluar tanpa mengambil kembali uangnya. Menyeringai, memutuskan tetap akan melakukan rencana dalam otakku tadi; memposting foto-foto ini di akun media sosial pihak sekolah. Biarkan saja! Rio sudah membuatku menunggu dan berpikir keras, ini hanya sedikit pelajaran. Aku pun segera mengambil uang dalam amplop, kemudian berlari ke kelas untuk mengambil uang dari Dimas. Sialnya, di tengah jalan, Zul mengambil amplop uang yang dari Rio. Dia tersenyum, seolah menyadari perbuatanku. "Ternyata ada saksi dari kasus itu, ya," ujar Zul sembari tersenyum miring. Dia dalam posisi bersedekap, setengah badannya bersandar pada dinding kelas. Saat aku berusaha mengambil kembali amplop uang itu, Zul malah mengangkat tinggi-tinggi tangannya, seakan menghinaku yang hanya sebatas bahunya. Zul tertawa. "Aku tidak tahu kalau kau sangat menyukai ini," dia mengacungkan amplop, mengejek, "padahal aku berpikir keras cara mendekatimu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN