bc

Obsesi Bad Boy Penipu

book_age18+
0
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
HE
second chance
playboy
badboy
heir/heiress
drama
sweet
bxg
campus
city
highschool
enimies to lovers
love at the first sight
addiction
seductive
wild
like
intro-logo
Uraian

Di mata semua orang, Hyun Jinwoo terkesan seperti sebotol wine merah. Dia mengibarkan bendera yang paling merah dari seluruh warna merah yang ada; dia bukanlah sesuatu yang begitu baik untuk dinikmati, terutama jalan pikirannya sulit dimengerti. Namun, warna merahnya terlalu menggoda untuk dilewatkan.

Dia terkenal sebagai salah satu anggota balap mobil liar yang selalu mengantongi kemenangan; dia berasal dari keluarga konglomerat, merokok, bertato, minum alkohol, berjiwa bebas, dan suka bersenang-senang. Perayu ulung yang macho dan seksi, casanova kampus; tipe-tipe bad boy berparas luar biasa yang sesungguhnya harus dijauhi karena dia takkan bisa kau miliki seorang diri.

Namun, apakah kau percaya bahwa Harin sudah menjalin hubungan dengan pemuda itu selama lima tahun lamanya?

Biarpun begitu, sebetulnya Seo Harin juga memiliki pendapat yang sama (bahkan lebih parah) terhadap Jinwoo. Bagi Harin, Hyun Jinwoo adalah kekasih yang selalu membohonginya. Pria itu adalah pembohong yang andal; dia membohongi Harin setiap waktu. Kepercayaan Harin padanya telah sangat menipis. Kini, bagi Harin, Jinwoo adalah manifestasi sempurna dari bencana, penderitaan, dan keputusasaan. Menurut Harin, hanya cintanyalah yang tersisa; Jinwoo tidak lagi mencintai, menginginkan, serta menghargainya.

Namun, mari kita lihat. Apakah seluruh prasangka Harin benar?

Apakah Jinwoo benar-benar 'tidak' menginginkannya?

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Butterfly in the Dark (1)
Chapter 1 : Butterfly in the Dark (1) ****** HARIN menghela napasnya dengan berat. Malam ini tubuhnya terasa lelah sekali; punggungnya terasa amat pegal akibat terlalu lama membaca di perpustakaan kampus. Menghabiskan waktu hingga malam hari di perpustakaan kampus demi menyelesaikan tugas ternyata adalah ide yang buruk. Saking lelahnya, rasa lapar akibat belum makan malam pun tidak lagi Harin rasakan, yang tersisa hanyalah rasa lelah. Harin mengerang tatkala ia memijit leher bagian belakangnya seraya memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Lehernya terasa sakit juga; ia berasa seolah-olah sedang membawa beban seberat dua karung beras di punggung hingga ke bagian lehernya. Kakinya pun jadi lemah—rasanya enggan sekali dibawa berjalan jauh malam-malam begini—tetapi dia harus pulang. Dia ingin cepat-cepat sampai di apartemen, mandi, lalu langsung membanting tubuhnya ke kasur. Ah, itu terdengar sangat menggoda sebab seluruh tulangnya serasa remuk malam ini. Jalanan di lorong yang sedang ia lalui itu pun gelap, sepi, dan sialnya lampu jalan yang ada di depan apartemennya itu juga sudah rusak sejak satu minggu yang lalu. Untungnya hampir tidak pernah ada kejahatan di sekitar sana. Mudah-mudahan rekor itu bertahan sampai dengan hari ini, setidaknya, soalnya Harin betul-betul tidak ada tenaga lagi untuk berlari demi menghindari penjahat. Apartemennya ada di depan sana, sekitar dua puluh langkah lagi. Mengapa dua puluh langkah terasa seperti jauh sekali? Ah, Harin lupa. Dia juga sedang ada masalah hari ini. Masalah yang membuat rasa lelahnya bertambah menjadi dua kali lipat. Dengan berjalan seraya terus menghela napas lelah, Harin pun akhirnya hampir sampai di depan apartemennya. Ia sudah bisa melihat pagar putih apartemennya dari tempat ia berdiri sekarang. Apartemennya itu bukanlah jenis apartemen yang di daerah terasnya terdapat begitu banyak lampu. Lampunya seadanya, hanya menerangi hingga ke pagar. Di seberang apartemennya itu—dipisahkan oleh jalanan kompleks yang sedang Harin lalui—terdapat sebuah pohon yang tinggi dan di sebelah pohon itu berdirilah lampu jalan yang sedang rusak. Harin melihat ke arah pohon rimbun itu sejenak, out of habit. Mata Harin memang agak sayu karena sedang lelah, tetapi di dalam penglihatan mata lelahnya itu, ia mampu melihat bahwa ada sebuah siluet berwarna hitam yang berdiri di bawah pohon tersebut. Harin agak memicingkan matanya; ia menajamkan penglihatannya. Dia ada firasat bahwa dia hanya salah lihat karena matanya sedang lelah, tetapi di sisi lain ia juga penasaran sebenarnya siluet itu sungguhan atau tidak. Namun, mungkin akan lebih bagus kalau itu tidak sungguhan, soalnya Harin tidak mau menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak ia inginkan. Namun, tak lama kemudian, siluet itu maju ke depan. Ke arah Harin. Melangkah mendekat. Harin pun terkejut, dia spontan berhenti melangkah dan semakin memperjelas pandangan matanya. Kali ini matanya terbuka penuh. Rasa lelahnya jadi agak hilang; siluet yang dia lihat itu sepertinya nyata. Siluet itu bergerak mendekatinya. Hingga akhirnya, sosok itu pun keluar dari area gelap yang ada di bawah pohon itu. Ia terlihat seolah tengah keluar dari kegelapan malam. Perlahan-lahan tubuh sosok yang tinggi itu pun terlihat akibat terkena sinar lampu remang-remang dari balik pagar apartemen Harin. Sinar lampu itu sesungguhnya hanya berupa sedikit pias, tetapi berhasil membuat sosok yang tinggi itu terlihat walau samar. Sinar tersebut mampu mencetak bayangan tubuh sosok itu di aspal jalan kecil yang sedang Harin lewati, mengonfirmasi bahwa: benar, itu adalah manusia. Namun, begitu Harin melihat bentuk tubuh orang itu dengan jelas, lalu mencium aroma yang khas dari sosok itu…serta style-nya yang terlihat familier, jantung Harin jadi seakan berhenti berdegup sejenak. Napasnya sontak tertahan. Setelah itu, degupan jantungnya mendadak berubah total; degupannya kini menjadi lebih intens. Oh Tuhan. Harin kenal sosok itu. Tidak. Itu…jangan-jangan… “My Rin,” panggil sosok itu dengan suaranya yang dalam; suara khasnya yang terdengar berat. Suara yang amat Harin kenali. Suaranya seakan mengonfirmasi tentang siapa dirinya kepada Harin. Harin benar. Dugaannya benar. Tak ayal, Harin melihat sosok itu lagi dengan saksama. Tubuhnya yang tampak kekar dan tinggi itu mulai semakin maju dan akhirnya benar-benar terlihat oleh Harin. Cahaya lampu dari balik pagar itu kini telah menerangi wajah tampannya, garis rahangnya yang tajam, hidung mancungnya, hoop earrings di telinganya yang bertindik, serta tato di lehernya. Sosoknya yang tengah memakai leather jacket berwarna hitam dengan jeans yang juga berwarna hitam, rambut hitam kecoklatannya, semuanya kini terlihat jelas di mata Harin. Ini adalah Hyun Jinwoo. Kekasihnya. “…Jinwoo?” Harin masih ingin memastikan, padahal sudah jelas-jelas bahwa itu memang adalah Jinwoo. Pemuda itu berdiri di sana, berhadapan dengannya, dan menatapnya dengan intens. Hyun Jinwoo. Pemuda berwajah tampan dan bertubuh kekar yang kuliah di universitas yang sama dengan Harin, tetapi berbeda jurusan. Pemuda itu adalah seorang pembalap mobil yang andal; dia mahasiswa dari jurusan Bisnis. Berbeda dengan Harin. Harin merupakan seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika. Harin adalah mahasiswi andalan kampus; dia mahasiswi top yang terkenal rajin dan cerdas, tetapi dia bukan tipe-tipe gadis kutu buku yang biasanya berkacamata. Dia cantik. Cantik dan cerdas. Kulitnya putih, rambutnya panjang hingga sepunggung dan berwarna hitam kelam, seperti malam yang gelap. Dengan panggilan dari Harin tersebut, Jinwoo pun memiringkan kepalanya, tersenyum tipis, lalu mendekati Harin. Semakin pemuda itu melangkah mendekat, semakin jelas pula tercium aroma tubuhnya yang begitu wangi, segar, dan khas di indra penciuman Harin. Ketukan langkahnya di aspal itu terdengar begitu jelas, entah karena jalanan ini sedang sepi…atau karena Harin terlalu fokus kepadanya. Tatkala pemuda itu sudah berada sangat dekat dengan Harin, dalam waktu sepersekian detik Harin merasa bahwa tiba-tiba saja tubuhnya dipeluk. Sebelah tangan pemuda itu meraih pinggang bagian belakang Harin, kemudian meraih tubuh Harin untuk mendekat ke d**a bidangnya. Harin kini telah berada di dalam pelukan pemuda itu sepenuhnya. Pelukan itu terasa hangat dan begitu familier. Aroma tubuhnya menguar di sekitar Harin dan itu sangatlah memabukkan. Harin kemudian merasa bahwa kening, pipi, serta lehernya mulai dicium-cium kecil oleh bibir lembut milik pemuda itu. Napas pemuda itu terasa begitu hangat di wajah dan leher Harin, hampir membuat Harin merasa tak berdaya dan ingin keadaan itu terus berlanjut. Apalagi saat ini Harin sedang lelah minta ampun. Pelukan dan ciuman tersebut jelas mampu membuat orang yang lelah jadi terlena seketika. It makes you wanna surrender. Giving in. Namun, selelah-lelahnya Harin, untungnya otaknya masih berfungsi. Logikanya masih berjalan. Meski rasa lelah dan degupan jantungnya itu tidak seirama dengan jalan pikirannya, ia tetap ingin memenangkan jalan pikirannya. Logika yang ia miliki. Ya. Hari ini hubungannya dengan Jinwoo sedang tidak baik-baik saja. Mereka sudah bertengkar sejak tadi siang. Spontan Harin pun melepaskan pelukan itu. Dia kemudian mundur selangkah, lalu menatap Jinwoo dengan tatapan kesal. Keningnya berkerut; alisnya hampir menyatu. “Apa yang kau lakukan di sini?! Pulang sana.” Mata Jinwoo sedikit melebar. Setelah itu, pemuda itu menghela napas. “Sayang, aku ingin bertemu denganmu,” jawab pemuda itu, ia terdengar sedikit frustrasi. “Sudah seharian ini kita tidak bertemu.” “Aku tidak ingin bertemu dengan seorang pembohong. Mana mobilmu? Pulang sana. Aku sedang tak ingin melihatmu.” Harin mendengkus kesal. Gadis itu langsung bergerak ke samping, berencana untuk berjalan meninggalkan Jinwoo di sana. Namun, naas, dengan cepat lengannya ditahan oleh Jinwoo. Lengan Harin jadi berasa kecil jika dibandingkan dengan tangan kekar Jinwoo. “Mobilku sengaja kuparkir agak jauh dari sini supaya kau tak bisa melihatnya,” jawab Jinwoo, kemudian pemuda itu mendekati Harin lagi agar mereka bisa kembali berhadapan. “Jika kau melihat mobilku, niscaya kau akan berlari demi menghindariku dan aku takkan bisa berbicara denganmu.” “Kau pikir jika kau seperti ini, aku jadi ingin berbicara denganmu?! Tidak. Tetap tidak,” balas Harin. “Lepaskan tanganku.” “Setidaknya dengan begini aku jadi punya kesempatan untuk berbicara denganmu. Dengar aku.” Genggaman tangan Jinwoo pada lengan Harin terasa semakin mengerat; pemuda itu enggan melepaskan Harin begitu saja. “Sayang, aku ke sini karena aku tak mau kau terus marah padaku.” “Kalau kau tak ingin aku marah padamu, seharusnya kau tidak berbohong padaku!!” teriak Harin pada akhirnya. Kekesalannya sejak tadi siang akhirnya tumpah semua—tidak, ini sebenarnya adalah kekesalan yang sudah ia pendam sejak lama—dan ia pun mengempaskan tangan Jinwoo yang tengah menahannya itu dengan kuat. Sangat kuat. Ini karena ia tahu bahwa kekuatan Jinwoo itu amatlah sulit untuk ia kalahkan. “Kau terus berbohong, terus saja membohongiku, dan kau berharap kalau aku tidak marah padamu?! Apa kau gila?!” “Rin, aku berbohong padamu karena aku tak ingin kau marah padaku,” ujar Jinwoo dengan frustrasi. Dia kembali menahan tangan Harin. Dia pun mulai mencoba untuk memegang kedua pipi Harin, tetapi kedua tangannya itu langsung diempaskan begitu saja oleh Harin. “Bullshit, Jinwoo,” jawab Harin. “Kau selalu berbohong, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Alasannya sering kali seperti ini: agar aku tak marah padamu. Tidak masuk akal, Jinwoo. Otakku tak bisa mencernanya sama sekali. Aku tak ingin mendengarmu lebih jauh. Pergilah. Pergi sana.” “Sayang,” panggil Jinwoo sekali lagi. Nada suaranya terdengar amat serius, begitu mengintimidasi. “aku berbohong padamu soal balap mobil hari ini karena aku tahu bahwa kau akan marah padaku jika aku bilang bahwa aku mengikutinya. Kau menyuruhku untuk beristirahat sejenak karena mobilku hampir bertabrakan dengan mobil Hyun di pertandingan yang sebelumnya. Namun, hari ini ada race penting, Sayang, dan senior menuntutku untuk ikut.” “Berbohong tetaplah berbohong, Jinwoo,” jawab Harin. “Kau bisa saja memberitahuku soal race penting itu dan memohon padaku, tetapi kau justru memilih untuk berbohong. Kau selalu memilih untuk membohongiku.” Mata Harin mulai memerah; dia hampir menangis. Dia sungguh tidak suka kalau dibohongi terus menerus seperti ini. Banyak sekali kebohongan yang Jinwoo katakan kepadanya. Terakhir kali Jinwoo pernah terlihat berduaan dengan seorang perempuan; mereka mengobrol hingga tertawa bersama. Namun, ketika Harin menanyainya, pemuda itu memilih untuk berkata bahwa dia dan perempuan itu hanya sedang mengerjakan tugas kuliah bersama. Dia memilih untuk berbohong, padahal jelas-jelas Harin melihat bahwa mereka berdua hanya sedang mengobrol dengan akrab, tidak ada tugas yang sedang dikerjakan. Seolah-olah Jinwoo sengaja menutupinya. Sengaja membuat kebohongan yang sangat kentara itu. Kebohongan demi kebohongan itu sukses membuat Harin jadi merasa tidak berharga. Tidak dihargai sama sekali. Tidak penting, sampai-sampai Jinwoo memilih untuk membohonginya saja alih-alih jujur padanya. Jika ia penting bagi Jinwoo, Jinwoo takkan membohonginya. Jinwoo pasti akan jujur padanya apa pun keadaannya. Namun, dia terus menerus dibohongi. Dia jelas-jelas sedang dipermainkan oleh Jinwoo. Diremehkan. Dia tidak dihormati dan dihargai oleh kekasihnya sendiri. Kekasih yang sudah menjalin hubungan dengannya selama lima tahun lamanya. []

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook