Wanita
"Kadang diuji dengan sehebat-hebatnya ujian, fisiknya lemah tapi batinnya kuat.
Itulah anugrah yang diberikan Allah kepada makhluk yang bernama wanita."
"Kita bukan tidak tahu, menaruh harapan kepada manusia adalah awal dari patah hati. Kita bukan tidak mengerti bahwa mempercayai seutuhnya kepada manusia adalah awal kekecewaan. Hanya saja, kita itu terkadang memang suka sekali jatuh di tempat yang sama."
Indri tak menoleh. Ia hanya menerima sapu tangan tadi lalu menggunakannya. Seseorang di belakang mereka hanya mengangkat dua alisnya saja melihat Indri tak acuh.
Pintu lift terbuka. Indri bersama Ibunya pun meninggalkan tempat itu. Tak peduli dengan suara klakson yang memekik telinga serta teriakan keras saat mereka menyeberang tanpa melihat kanan kiri.
"Ndri, jangan buru-buru! Awas ada mobil." Rumi tak bisa menghentikan langkah putrinya.
Indri menghentikan taksi lalu mengajak Ibu dan putra kecilnya pulang.
.
Semua pakaian sudah tertata. Keputusannya sudah bulat untuk berpisah. Ia juga menyesal kenapa tidak sejak awal percaya dengan ucapan Ibu dan kakaknya.
"Ndri, Ibu sudah telpon Mas-mu. Sebentar lagi dia sampai," kata Rumi berada di dalam kamar bersama putrinya.
"Iya, Bu."
Mereka berjalan ke depan. Menunggu mobil Ali datang. Namun, siapa sangka yang datang malah Rasya. Lelaki berwajah muram itu melangkah dengan kaki panjang.
"Kau tidak boleh pergi!" ucap Rasya.
"Untuk apa aku bertahan dengan lelaki yang jelas-jelas berkhianat? Aku sudah begitu sabar menerima sikap burukmu padaku, Mas! Aku sudah merelakan sebagian hakku. Ketika aku butuh, kau selalu saja sibuk dengan game di ponselmu. Ketika aku butuh, kamu selalu beralasan tapi saat kau butuh, aku ditekan untuk selalu siap melayanimu." Indri meluapkan segala kekesalannya.
"Aku itu suami, berhak atas dirimu. Dan kamu tidak berhak protes karena aku adalah pemimpin rumah tangga. Sekarang, kembali ke kamarmu!" Rasya mengangkat tangannya, menunjuk ke arah kamar mereka.
"Lepaskan aku. Setelah itu terserah kau mau berbuat apa dengan wanita itu." Indri meronta karena tangannya dicekal oleh Rasya. Ia berteriak sudah seperti orang stres.
"Dengar Indri ... laki-laki itu berhak mempunyai istri hingga empat orang sekalipun. Sedangkan tugasmu itu hanya taat," bantah Rasya. Ia mengeluarkan dalihnya.
"Seorang istri saja kau tak mampu memenuhi haknya, apalagi empat. Jangan bermimpi kamu, Mas. Aku akan tetap pulang ke rumah Ibu. Aku tak sanggup jika hidup bersamamu hanya memupuk luka setiap hari."
"Kalau begitu dengarkan! Selangkah kau keluar dari rumah ini, aku tidak akan meridhaimu. Tidak akan pernah! Aku akan membiarkanmu bergelimang dosa setiap embusan napasmu." Rasya terkekeh.
Dia telah puas melihat Indri meratapi nasibnya. Selang beberapa saat, Ali datang. Wajahnya telah menampakkan kepanikan.
"Ada apa ini? Rasya, kau apakan adikku? Sudah lupakah, kau, ketika mengemis kepadaku meminta pekerjaan? Sekarang kau membalas dengan seperti ini?" Ali yang emosi hendak menghajar Rasya segera dicegah oleh Rumi.
"Sudahlah, Al. Percuma saja kau mau bilang bagaimana, sekarang tanya saja Indri. Apakah dia akan pulang bersama kita, atau tidak." Rumi yang menggendong Angga kecil menyentuh lengan putranya.
Mereka menjadi pusat perhatian tetangga yang lewat. Rasya yang melihat sebagian mereka kini menatap tajam. Tangannya mengepal, serta giginya terdengar gemerutuk.
"Ndri, kami terserah padamu. Kau bisa mengadukan semua kebusukan suamimu di pengadilan nanti. Kau tidak perlu takut, ada kami dan pengacara yang akan membantu nanti," jelas Ali.
Indri yang masih sesenggukan, kini tengah bimbang. Sekali lagi, ia menatap Rasya.
"Mas, berikan aku kebebasan. Asal kamu tahu, jangan kira kamu tidak berdosa dalam hal ini. Semua yang kulakukan itu bersumber darimu. Kau berbuat baik padaku, aku akan membalasnya lebih baik lagi. Tapi, ternyata sebaliknya, kau tidak peduli denganku dan Angga."
Kini Angga kecil pun menangis. Ingin ikut dengan Indri. Mereka masih diam mendengar ucapan Indri barusan. Sepoi angin menambah nelangsanya hati Indri.
"Ndri, harusnya kamu juga tahu diri. Tahu terima kasih. Rasya itu setiap hari pulang pergi cari uang buatmu." Tiba-tiba Alma datang dan langsung menjejali mereka semua dengan argumentasinya.
"Cukup, Ma! Selama ini yang pegang gaji Mas Rasya, kan, Mama. Aku hanya dikasih kalau minta," balas Indri. Ia tak terima. Semua orang harus tahu selama ini yang telah terjadi antara dia dan sang mertua.
"Ya, karena aku Ibunya. Aku berhak sepenuhnya atas putraku. Sampai kapanpun, dia itu milikku. Kamu harusnya nyadar, Ndri. Sudah baik dinafkahi."
Indri dan Rumi mengurut d**a karena ucapan Alma. Selama ini Indri sudah menekan rasa sakit akibat ucapan yang selalu menyakitkan. Namun, kali ini rasanya tak kuat lagi.
"Cukup, Ma!" Indri membentak. Ada rasa menyesal setelah itu, tetapi ia telah dikuasai oleh ucapannya sendiri.
"Kau itu yang cukup, Ndri!" Rasya menggeleng kepala. "Kukira dulu, kau adalah gadis yang penurut. Tapi, aku salah setelah kejadian ini. Kau membentak Mama, Ndri? Baik, sekarang dengarkan aku! Hari ini, kau ... Indri Anindita Haryawan, aku talak kamu saat ini juga. Kita bukan lagi suami istri!" Dengan lantang, Rasya mengatakan.
Indri memejamkan matanya. Menelan pil pahit diceraikan saat hamil besar. Saat itu juga, perutnya mendadak sakit. Ia luruh di lantai tak sadarkan diri.
"Indri!" teriak Ali serta Rumi selang satu detik.
Rasya tak peduli. Ia masuk ke dalam rumah beserta Mamanya.
Ali langsung membawa Indri ke rumah sakit. Rumi juga gelisah karena Angga tiba-tiba demam lagi. Bahkan mengeluarkan seisi dalam perut. Bocah kecil itu mendadak pucat dan denyut nadinya melemah drastis.
Dokter keluar dengan wajah menunduk. Ali dan Ibunya sudah memiliki firasat buruk mengenai kondisi ibu dan anak di dalam sana.
"Gimana, Dok? Adik saya baik-baik saja, kan? Tolong mereka, Dok. Saya akan bayar berapapun asal mereka selamat. Lakukan yang terbaik, saya mohon, Dok!" Ali menyeruduk sang dokter dengan permohonannya.
Maafkan saya, Mas, Bu." Dokter mengembus napas berat. "Mbak Indri keguguran. Pendarahan hebat akibat stees membuatnya kehilangan bayi dalam kandungannya. Sementara keadaan bayi tidak bisa ditolong."
Lemas seketika, lelaki berwajah bagus itu terduduk dengan meremas rambutnya sendiri. Tangis Rumi tak terbendung lagi. Ali memeluk Ibunya segera.
"Kasihan Indri, Bu. Aku janji, sebagai Mas-nya, siapapun tak akan kubiarkan membuatnya menderita lagi. Akan kubalas kelakuan Rasya!"
"Sabar, Al. Semua sudah terlanjur. Kita tidak boleh main haakim sendiri. Lebih baik, kita lihat dulu Indri." Rumi berdiri lebih dulu. Ia masuk ke dalam ruangan.
Kedua mata tua itu menatap miris pada sosok yang tergeletak tak sadarkan diri. Perut putrinya sudah tak lagi membumbung. Rata menyamai tubuhnya yang kurus.
Hidung memerah, Rumi susah menarik napas. Berulangkali kali ia mengelus pucuk kepala Indri dan mencium keningnya. Sama sekali tak ada reaksi setelah wanita muda itu melakukan operasi.
"Bu!" teriak Ali yang baru masuk ke dalam ruangan Indri. Lelaki itu mengatur napasnya yang naik turun. Pintu pun terbuka lebar tanpa ia tutup lagi karena lidahnya mendadak kaku ingin mengatakan kabar keponakannya.
"Ada apa?" Rumi segera bangkit melihat putranya mengusap wajahnya dengan punggung tangan.