"Siapa, sih, Ma?" Rasya mulai menengok.
Di ruang tamu seorang wanita terlihat menopang kakinya. Gaun pendek berwarna marun dipadu dengan high heels lima senti menghiasi kaki mulus di sana. Wajahnya putih mulus, terlihat sekali perawatan teratur.
Rasya tersenyum ke arahnya. Meski sang wanita memunggungi, tetapi lelaki itu sudah menduga akan ada hari yang indah.
Suami dari Indri itu membenahi penampilannya meski sederhana. Meski hanya kaus oblong dan celana selutut, ia dengan percaya diri menghampiri. Senyumnya tak henti-hentinya bersinar.
"Ra," ucapnya lalu duduk di sebelah wanita itu. Berjarak hanya beberapa jengkal saja.
"Hai, Mas Rasya? Aku lagi bosan aja, jadi main ke sini. Boleh, enggak?" Laura, anak pengusaha kaya yang kini bekerjasama dengan perusahaan tempat Rasya bekerja mengulas senyuman.
"Boleh, dong. Main aja, masa enggak boleh." Lelaki itu terkekeh. Ada rasa kagum melihat wanita berkelas di hadapannya.
Tak lama setelah itu, Alma datang dengan nampan dua gelas berisi air sirup. "Minum dulu, Sayang! Udara panas gini, paling enak minum es."
"Makasih, Tante." Laura segera menerima gelas dari Alma. Ia meneguknya segera.
"Laura, ajak, tuh si Rasya jalan. Dia juga bosan kayaknya di rumah terus. Mana belum makan." Alma menunjukkan senyum terbaiknya.
Rasya tersipu malu. Ia senyam-senyum dari tadi. Menatap wanita cantik seperti mendapat aliran kesegaran.
"Belum makan? Kebetulan banget, nih, Tan. Aku juga belum. Tante, ikut aja sekalian. Kita makan di restoran milik Papa." Laura begitu antusias. "Tapi, bagaimana dengan ...." Wanita itu menghentikan ucapannya karena teringat istri Rasya.
"Kamu aja sama Rasya. Tidak perlu pikirkan kami yang di rumah." Alma yang paham langsung mengalihkan pembicaraan. Ia terus mendukung rencana Laura. Jangan tanya bagaimana ekspresi Rasya ketika dia mendapat tawaran makan malam dengan wanita cantik, anak pengusaha ternama.
Akhirnya, mereka pergi juga. Hanya berdua, penampilan pun menjadi sorotan. Rapi, wangi dan sempurna. Mereka seperti sepasang suami istri sungguhan.
Saat ini, Indri tertidur dengan putranya. Ia tak tahu kalau Rasya pergi bersama wanita lain. Lelah merajai batinnya hingga terlelap setelah melepas sakit dalam d**a.
Bangun-bangun sudah tengah malam, Indri melihat ke sebelahnya dan ternyata kosong. Ia mencoba bangkit dan mencari Rasya. Setelah membuka pintu, rumah ternyata sudah dalam keadaan gelap.
Ia hanya mengambil minum dari kran galon lalu kembali ke kamar. Mencoba menelpon Rasya dengan ponsel jadulnya, juga tak diangkat. Indri lemas.
"Ke mana kamu, Mas? Malam-malam begini belum pulang." Indri menatap benda bulat di dinding. Terus bergerak tanpa henti.
Baru saja bergumam, Indri mendengar deru mobil memasuki halaman. Ia menilik dari jendela kamar. Benar, mobil Rasya datang. Indri segera keluar kamar lalu membuka pintu utama.
"Mas, dari mana saja?" tanya Indri saat Rasya sudah berada di hadapannya.
"Aku ada urusan." Setelah menjawab, lelaki itu melewati istrinya begitu saja.
Indri menutup pintu kembali lalu mengekor di belakang Rasya. Sampai di kamar, Rasya langsung tidur tanpa melepas kemejanya. Ia tidur dengan memunggungi putranya, memeluk guling.
Indri mencoba menjadi istri yang baik. Ia melepas sepatu suaminya lalu ikat pinggang setelah itu. Namun, Rasya malah berdecak seperti tak suka.
.
"Mas, aku mau masak." Indri mendekati suaminya yang tengah berkaca. Menyempurnakan penampilannya karena hendak pergi ke kantor.
"Hem. Ambil, tuh, di dompet. Lima puluh aja, dicukup-cukupin!" Lelaki itu menjawab tanpa menatap istrinya.
Indri segera membuka dompet milik suami yang berada di atas tempat tidur, tepatnya di sebelah jas hitam Rasya.
Isinya dua lembaran merah dan satu lembaran biru. Apalah daya, Indri menurut saja. Lima puluh ribu dia ambil lalu belanja di tukang sayur yang keliling depan rumah.
Indri hanya menggunakan sebagian saja dari uang tadi. Meski isi dompet Rasya tidak banyak, ia tahu, ada beberapa ATM yang jelas isinya. Indri adalah wanita yang pantang meminta lebih. Dia wanita berprinsip, hanya meminta haknya sekadar untuk makan.
Ia tidak sekaligus memasak semua bahan yang tadi dibeli. Hanya cukup untuk sarapan.
"Masak apa, Ndri?" tanya Alma seraya mendekati.
"Bikin nasi goreng telur, Ma. Mama kalau mau, Indri siapin." Indri menoleh. Ia membawa satu wadah berisi nasi goreng yang dicampur telur serta timur dan tomat di piring lain.
"Enggak, ah. Mama tidak biasa pagi-pagi makan karbo." Alma dengan segera melengos dan pergi.
Indri yang mendengar langkah kaki dari arah kamarnya segera mempercepat gerakan tangannya yang kini sedang menyiapkan bekal untuk Rasya.
Setelah ditengok dari pintu dapur, ternyata Rasya sudah sampai di luar. Indri segera berlari mengejar sang suami.
"Mas, ini bekalnya!" Indri sampai di dekat pintu mobil yang sudah tertutup. Ia berharap, Rasya akan menerima sarapan buatan istrinya yang penuh ikhlas itu.
"Enggak usah dibawain. Buat kamu aja." Mobil mundur dan pergi begitu saja. Tidak ada acara cium tangan apalagi kening seperti kebanyakan suami istri lainnya.
Ada rasa kecewa, padahal itu adalah hal yang sangat dirindukan Indri sejak memiliki Angga kecil. Rasya sudah berubah. Tidak sama seperti dulu, yang selalu manis ketika mereka masih LDR sebelum menikah.
Kini dia lain. Seperti ada jarak dan orang ketiga. Namun, Indri hanya diam. Masih belum menemukan bukti yang kuat jika suaminya itu telah mendua.
Wanita dengan daster robek di ketiak itu kembali ke kamar. Ia mendesah pasrah. Duduk di tepi ranjang dan meraih Angga yang kini merangkak padanya.
"Ndri, ada tamu, tuh, di luar!"
Indri terkejut dengan suara yang telah berada di ambang pintu.
"Siapa, Ma?"
"Lihat aja sendiri," balas Alma lalu pergi lagi. Penampilannya sudah rapi, dan memang sudah menjadi rutinitasnya setiap hari Rabu memanjakan diri ke salon.
Indri menuntun Angga kecil dan melihat siapa yang datang.
"Bu ...."
Rumi datang sendirian. Ia segera memeluk putrinya. Mereka tak tahu ada yang tengah mengumpat di balik dinding.
"Ibu, sendirian?" tanya Indri sambil mengajak Rumi duduk di sofa.
"Tadi Ali yang nganterin. Ibu khawatir sama kamu, makanya ke sini. Gimana kabarmu, Nak?" Wajah keriput itu terlihat gusar.
"Indri baik, Bu. Ibu ... kenapa?" Indri balik tanya. Bukan wanita namanya jika ia tak dapat membaca mimik wajah seseorang.
"Tidak apa-apa. Ibu, cuman ...." Rumi ragu-ragu ingin mengatakan. Ia melirik kanan kiri, takut ada yang mendengar.
"Apa kita bicara di luar aja, Bu?" tawar Indri. Ia tahu maksud lirikan mata Ibunya.
Rumi tersenyum seraya mengangguk.
Mereka kini sudah berada di dalam kendaraan beroda empat. Tidak ada percakapan selain rasa khawatir yang baru saja diucapkan Rumi saat taksi baru saja berjalan membawa mereka.
"Kamu boleh tidak percaya, Nak. Ibu sama Mas-mu, berharap kamu kuat jika semua terbukti nanti."
Indri semakin tak tenang ketika Rumi mengatakan hal itu. "Bu, jangan begitu. Indri harus tahu yang sebenarnya dulu."
"Iya, Ibu tahu. Makanya Ibu ajak kamu ke sana."
Mereka sampai di tempat tujuan. Indri menatap ke atas pada bangunan besar itu lalu lanjut melangkah bersama Ibu dan putranya. Hatinya tak tenang ketika baru saja masuk ke dalam lift.
Sampai di depan ruangan suaminya tanpa basa-basi atau ketuk pintu, Indri membuka pintu dengan kasar.
Kotak bekal makan siang yang ia bawa terjatuh seketika. Wanita dengan gamis panjang dan jilbab segitiga menutup d**a itu terperangah melihat seorang wanita duduk di atas meja kerja suaminya.
Ada menu istimewa di depan Rasya. Bukan hanya itu, Indri semakin perih melihat bekas lipstik di pipi putih Rasya.
"Ndri!" pekik Rasya. Ia tak kalah terkejut. Dengan segera, wanita bernama Laura itu turun dari atas meja. Lalu, merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan.
"Sedang apa kalian?" Air mata Indri pecah.
Rasya menghela napas kasar. Dia tak mampu menjawab. Indri tak kuat berdiri lama-lama, seperti ingin terjatuh.
Ia segera menoleh pada Rumi lalu mengangguk. Indri menggandeng Ibunya, mengajak kembali.
Langkahnya cepat, tak peduli saat Ali yang memang sekantor dengan Rasya memanggilnya.
"Bu ... Ndri ...!"
Indri dan Ibunya memasuki lift lagi. Ada seorang lelaki yang melirik mereka. Terutama pada Indri yang tengah terisak hebat dalam pundak Rumi.
Seseorang tersebut mengulurkan sapu tangan putih miliknya. Indri pun tak sadar telah menerimanya. Ia mengusap wajahnya dengan rasa perih bagai dialiri cairan cuka.