"Gimana?" tanya seseorang kepada orang kepercayaan sekaligus asisten pribadinya yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
"Aman. Target masuk dalam perangkap," jawab sang asisten menghampiri bos nya itu.
"Sudah cukup aku membebaskannya membiarkannya bersenang-senang di luar sana," ucapnya menghela napas dengan pelan menatap figura di atas meja kerjanya. "Bagaimana bisnisnya? sudah kamu hancurkan satu-persatu. Jangan sampai ada yang tersisa, ataupun terendus oleh aparat, apa lagi media. Bisa rusak nama besarku dan reputasi perusahaanku"
"Ini data-data nya bos. Ada beberapa Club malam sudah tidak beroperasi lagi. Sisanya, saya belum bisa ambil alih karena meraka lebih kuat dari anak buah saya. Lagi pula, mereka bekerja sama dengan para mafia." Terang sang asisten memberikan satu buah map berisikan data-data bisnis haram orang yang dimaksud ke atas meja kerja.
Dia sampai tak habis pikir, kenapa dia bisa kecolongan dalam pemantauannya. Sekarang dia harus kerja keras untuk bisa melindungi nama besar nya.
Dia mengambil map tesebut dan membacanya, sesekali respon dia hanya menggeleng dan menghela napas pelan. Memijit pelipis yang tiba-tiba saja terasa berdenyut nyeri. Melempar asal map tersebut, menatap sang asisten dengan mata yang sudah memerah manahan amarahnya.
"Jauhkan dia dari perempuan itu, Van!!" Menggebrak meja dengan keras, hingga benda-benda di atasnya berlompatan dan berhamburan.
***
Sepasang manusia berlainan jenis, tengah tertidur pulas karena pengaruh obat bius yang dicampurkan ke dalam minuman. Bahkan, mereka bisa dikatakan tertidur nyenyak sekali seperti orang mati. Mereka sudah tidak sadarkan diri walaupun penampilan mereka sama-sama dalam keadaan polos.
Pengatur suhu ruangan yang begitu dingin sama sekali tak mengusik tidur mereka. Tanpa sadar, mereka tidur dengan saling berpelukan mencari kenyamanan masing-masing selama semalaman. Hingga saat pagi hari, kegaduhan terjadi di dalam kamar Hotel tersebut.
Mereka bangun dari tidurnya dengan sangat terkejut. Rasa takut bercampur malu, kala Richard datang meradang. Memergoki mereka tengah tertidur dalam keadaan polos di satu ranjang yang sama. Rachel tengah tertidur dalam pelukan Arka dengan keadaan sangat intim tanpa sehelai benangpun..
Lelaki yang sejak kecil Rachel kagumi dan sayangi. Lelaki yang sering dia sebut dalam doa di sepanjang waktu. Lelaki pemilik tahta tertinggi hatinya. Dia adalah seorang Arkana Revano Richardo yang sering disebut sebagai abang angkatnya, anak dari istri kedua Richard dengan kekasih gelapnya. Terdengar sangat rumit. Namun, itulah kenyataan yang sesungguhnya.
Sekeras apapun mereka mengelak. Namun, keadaan pagi ini dengan semua bukti dan juga penampilan mereka saat itu, menegaskan bahwa, telah terjadi sesuatu pada malam itu.
Setelah kepergian Richard, mendadak suasana dalam kamar hotel diliputi keheningan. Baik Rachel dan Arka sama-sama terdiam. Tidak ada satupun suara yang keluar dari bibir mereka. Bingung dengan apa yang telah terjadi saat itu, juga sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing.
Arka menatap dingin pada Rachel, dia beranjak berdiri dengan lilitan selimut menutupi sebagian bawah tubuhnya. Melangkah menuju kamar mandi meninggalkan Rachel.
Rachel hanya bisa menangis terisak tanpa suara. Menunduk malu, juga takut akan tatapan Arka yang sangat berbeda dari yang pernah dia kenal sebelumnya. Tatapan itu adalah tatapan kebencian, tatapan yang menyiratkan akan kekecewaan atas apa yang terjadi.
Tapi bagaimana mungkin, lelaki itu bisa sampai menyalahkannya. Sedangkan dia juga sama seperti lelaki itu, bingung dan tak tahu apa-apa.
Arka keluar dari dalam kamar mandi, melirik sekilas ke arah gadis yang tengah tertunduk. Memunguti pakaian milik Rachel yang berserakan di lantai. Dan tanpa perasaan, dia melempar pakaian tersebut tepat mengenai wajah Rachel.
"Bersihkan tubuhmu. Setelahnya, aku ingin bicara," ucap Arka dingin, berlalu pergi dari hadapan Rachel ke arah balkon kamar Hotel.
Rachel bergegas beranjak berdiri, melilitkan sebagian tubuhnya dengan menggunakan selimut, menyisakan kepalanya saja. Tak lupa dia membawa pakaian yang telah dilemparkan oleh Arka tadi.
Setelah Rachel menutup pintu kamar mandi, tubuhnya langsung meluruh di lantai. Dia menenggelamkan kepala diantara kedua lututnya menumpahkan semua tangis. Dia tak mau tangisnya sampai terdengar keluar, Rachel menutup mulut menggunakan kedua tangan.
Setelah puas menangis Rachel bergegas membersihkan tubuhnya. Menghela napas pelan, lalu memberanikan dirinya keluar dari dalam kamar mandi dengan sudah berpakaian lengkap. Dia sempat melirik sekilas ke arah balkon, di sana lelaki itu masih tetap berdiri mengepulkan asap nikotinnya.
Di balkon, Arka berpikir keras atas apa yang telah terjadi. Seingatnya, semalam dia masih berada di dalam Club duduk menikmati minumannya bersama Niken dan Rendi. Dia menggelengkan kepala mencoba mengingat kembali. Sayangnya, dia sama sekali tidak mengingatnya.
Aahh sialan! gue sama sekali nggak ingat apa-apa!!
Arka mematik korek apinya. Menyundutkan api tersebut pada batang nikotin yang tengah dia apit dalam jari telunjuk dan jari tengahnya. Kemudian menyesap dalam-dalam rokoknya, menghembuskannya ke udara.
Arka menoleh sekilas ke dalam kamar saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Disusul Rachel menyembul dari balik pintu berjalan duduk di atas kasur dengan terus menundukan pandangannya. Dia masih betah pada posisinya, menatap pemandangan dari atas sana. Hingga beberapa menit kemudian, dia membuang batang rokok itu yang baru dihisap separuhnya, lalu menginjak puntung tersebut hingga lebur.
"Siapa yang membawa kamu kesini, Cel?" tanya Arka dengan suara yang terdengar dingin. Dua manik mata abu-abu itu menyorot tajam ke arah, Rachel. Lelaki itu melipat tangan di depan d**a lalu bersandar di dinding.
Rachel menunduk takut, lalu di detik kemudian dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan, Arka.
"Aku yakin, kita tidak melakukan apapun!"
"Aku akan menjelaskan pada, Papih."
"Nggak, semudah itu!"
"Tapi memang kita tidak melakukan apapun, aku tetap akan menjelaskannya,"uajar Rachel mendongakkan kepala agar dia bisa menatap lelaki pemilik hatinya.
"Maaf! Abang, nggak bisa jaga kamu," sesal Arka, yang ditanggapi oleh Rachel dengan gelengan kepala.
"Enggak perlu ada kata maaf. Nanti aku yang akan menjelaskan semuanya sama, Papih."
"Nggak akan ada yang percaya itu!" sahut Arka berjalan dan mendaratkan b****g pada sofa. Kemudian bersandar dan menghembuskan napas sambil mengusap wajah.
Rachel memberanikan diri untuk mendekat, duduk disisi Arka, memberi usapan beberapa kali dibahunya. Lalu bersandar di sana.
"Kenapa kamu bisa ada di sini, Cel?" tanya Arka kembali, masih dengan kebingungannya, dan masih belum puas dengan jawaban dari Rachel sebelumnya. Dia menoleh sebentar ke arah Rachel yang tengah menatapnya. Pandangan kami sempat saling beradu, hingga dia memutus tatapan itu kemudian menegakkan tubuhnya. Dia duduk sembari menekuk kepala dengan kedua telapak tangan menutupi wajah.
"Aku pun nggak tau, kenapa aku bisa ada di sini." Kata Rachel sama bingungnya.
Arka mengguyar kepala sampai kebelakang, lalu mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Vika yang aku minta membawamu ke Apartment. Karena nggak mungkin kamu pulang dalam keadaan mabuk, tapi kenapa kamu bisa ada di sini? dan kenapa juga aku bisa ada di sini bersamamu?" kata Arka memberondong dengan banyak pertanyaan pada Rachel. Tapi sayangnya, Rachel tak dapat menjawab semua pertanyaannya itu.
Arka beranjak berdiri, berjalan lalu dia berhenti saat tangannya akan memegang Handle pintu. Dia berkata tanpa menoleh ke arah Rachel "Aku pergi!" setelahnya dia membuka pintu kamar, berlalu meninggalkan Rachel seorang diri di kamar hotel itu.
Selepas kepergian, Arka. Rachel hanya bisa diam, mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, kemudian menekuknya. Dia rebahkan kepala di atas kedua lutut, lalu memeluk kedua kakinya. Hanya menangis yang bisa dia lakukan saat itu. Rachel terisak tanpa suara, seriring tubuhnya yang bergetar. Lelehan air mata yang menetes dikedua pipinya sudah tak bisa lagi dia cegah.