"Maafkan aku," ujar Kevin setelah melepaskan ciuman sepihaknya. Ia menghapus air mata di pipi Eren, pun dengan darah bercampur saliva di bibir si cantik kesayangannya itu. "Aku ... merasa kesal karena kau tak mau mengakui dan juga menyuruhku menjauhimu dan Emer. Aku tak bisa. Aku takkan melepaskanmu, Eren."
"Kenapa?" tanya Eren lagi. "Kau sudah mempunyai istri yang menunggumu di rumah. Mengapa kau masih menginginkanku?"
"Karena hatiku masih berada erat di genggamanmu. Enam belas tahun aku mencintaimu dan selalu mengingatmu. Mendapatkanmu sangat susah, lalu bagaimana bisa aku lupa? Kau camkan di kepala cantikmu itu, Eren. Aku mencintaimu. Hanya mencintaimu. Tidak dengan istriku, tidak dengan orang lain," papar Kevin. "Kau paham akan perasaanku, bukan?"
Eren merasakan hatinya menghangat. Mendengar penjelasan si pria tinggi dan memikirkan betapa Kevin sama sakitnya dengan dirinya selama itu, membuat ia ingin sedikit egois.
Maka dari itu ia mengangguk tanpa sadar, memeluk pria yang sejak empat belas tahun lalu ia cintai dengan erat. Melampiaskan segala kerinduan yang terpendam dalam hati keduanya.
-
"Papa!" pekik Emer langsung berlari dengan riang saat melihat ayahnya yang menungguinya di depan gerbang sekolah. Tubuh kecil itu memeluk Eren dengan lekat, kebiasaannya sedari kecil. "Eh, ada daddy!"
"Hey, Jagoan!" sapa Kevin dengan gayanya yang khas. Sedikit kaku, namun terasa akrab.
Omong-omong kenapa dua pria dewasa itu bisa bersama? Jawabannya adalah karena keduanya membolos bekerja. Tak usah berpikiran yang tidak-tidak karena mereka hanya sekadar berbincang, menceritakan perjalanan hidup yang telah mereka lalui masing-masing semenjak putusnya hubungan keduanya di apartemen sederhana milik Eren.
"Papa dan Daddy tidak bekerja?" tanya Emer ketika mobil sudah melaju dengan kecepatan rata-rata, "Kenapa arahnya bukan ke day care?"
"Hari ini Papa dan Daddy sedang senggang. Emer mau jalan-jalan dulu?" tanya Kevin dengan mata yang masih terpaku pada jalanan.
"Emer mau makan es krim!" pintanya dengan semangat.
"Emer, kau baru makan es krim dua hari yang lalu," peringat Eren. "Ingat, satu minggu satu kali makan es krim."
Oh, bahkan papanya tak tahu bahwa saat dibawa ke restoran yang kemarin oleh daddy-nya, ia bahkan sudah menghabiskan dessert es krim empat scoops sendirian.
"Tapi ...." Kepala bocah itu menunduk. Ia ingin es krim varian baru, rasa hazelnut seperti yang teman sebangkunya bilang.
"Mau beli es krim di mana?" tanya Kevin yang langsung dihadiahi pelototan oleh sepasang ayah dan anak itu. Yang tua dengan pelototan sebalnya, yang muda dengan pelototan tak percaya bahwa permintaannya akan dikabulkan.
"Daddy akan membelikan Emer es krim?"
"Mh-hm!" respons Kevin dengan anggukan santainya.
"Kevin!" sentak Eren tertahan. Ia mau memarahi Kevin, tapi rasanya tak baik jika di depan anak kecil. Bisa-bisa Emer menjadi tak sopan terhadap Kevin.
"Kenapa? Sesekali melanggar peraturan tak apa, Eren. Kulihat Emer sangat menginginkannya, aku tak tega."
Oke, lelaki tinggi itu sudah termakan ekspresi palsu yang Emer pasang. Maka dari itu Eren hanya membuang napasnya lelah, terlampau hafal pada sikap keduanya. Yang satu hobi mendrama, yang satu terlalu mudah luluh—terlebih pada anak kecil. "Oke, kali ini saja."
"Horeee!" Dan teriakan yang menggema di dalam mobil itu pun tak terelakkan, memekakkan kuping kedua orang dewasa yany berada di dalamnya.
-
"Kau tak pulang?" Eren yang baru saja menidurkan Emer langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang, menyusul Kevin yamg sudah lebih dahulu duduk santai di situ sambil menonton televisi, ditemani dengan kaleng biskuit di pangkuannya.
"Kenapa aku harus?"
"Karena ini sudah jam sebelas, Kevin. Ini sudah terlalu larut," kata Eren pelan.
"Aku masih ingin mengobrol denganmu."
"Apa kurang enam jam kita mengobrol berdua tadi siang?" Dahi Eren berkerut pura-pura kesal.
"Tak akan pernah cukup jika itu bersamamu," gombal Kevin mengarahkan pandangannya pada kepala Eren yang sedang bersandar di bahunya. Ia mengelus pipi gembil itu lembut. "Kau semakin manis. Oh, bahkan kau sangat cantik."
"Aku tak cantik!" protes Eren.
Oh, dia bukan pemilik tipe wajah androgini—sebenarnya ia punya, hanya ia enggan mengakuinya—yang patut dikatai cantik. Lelaki sepertinya pasti anti sekali dikatai cantik.
"Masa?" Bukan Kevin namanya kalau tak hobi menggoda Eren. "Lihatlah bulu mata lentik ini." Kevin menyentuh bulu mata tebal Eren. Eren pun langsung memejamkan matanya nyaman, menikmati sentuhan Kevin di area wajahnya dengan lembut.
"Dan hidung kecil ini." Jari si dominan bergeser, mengikuti arah tulang hidung Eren. Mengelusnya hingga ke pucuknya.
"Lalu, bibir ini," lanjutnya sambil mengusap dan menatap intens bibir tipis Eren. Menatapnya dengan tatapan memuja yang tak bisa disembunyikan.
Kelopak mata itu terbuka, menatap mata Kevin dengan netra kebiruannya. Terlihat tenang hingga rasanya Kevin ingin menyelam di dalamnya.
"Kau sungguh cantik. Sangat indah." Hingga akhirnya kedua bibir itu bertemu. Berpagut dalam ciuman manis penuh rasa damba.
Eren selalu terbuai dalam ciuman Kevin, tubuhnya seperti terombang-ambing dalam kenikmatan ketika bibir tipisnya dikulum dan dihisap. Sesekali ia melenguh untuk membuang napas dalam ciumannya. Jemari lentik itu pun meremas kemeja yang Kevin kenakan sebagai manifestasi kenikmatannya.
Ah, sungguh. Suasana penuh romansa telah menguasai ruangan ini.
Di sela pagutannya, Kevin menarik sebuah jeda untuk berbisik dengan penuh kesungguhan, menatap mata itu penuh sayang. "Aku mencintaimu, Eren."
"Aku juga mencintaimu, Kevin."
Dan lagi, mereka kembali berpagutan dalam ciuman yang tak kalah panjang.
"Kau tak pulang?" Eren mempertanyakan hal itu kembali setelah sesi ciuman mereka berdua selesai.
"Bagaimana bisa aku meninggalkan kucing nakalku ini?" goda Kevin. Ah, pria satu ini memang genit sekali.
"T-tapi istrimu ...."
Kevin tersenyum tipis, "Lain kali, jika kita sedang berdua tolong jangan bicarakan orang lain, oke?"
"Jadi aku tak boleh berbicara mengenai Emer?"
"Boleh."
"Kalau tentang orang tuaku?"
"Boleh."
"Tentang rekan kerjaku?"
Kevin mencubit pipi Eren gemas. "Kurasa aku harus meralatnya."
Eren terkekeh pelan. "Jadi?"
"Kita tidak boleh membicarakan orang lain YANG mengganggu kesenangan kita. Oke?"
Lelaki mungil itu tersenyum lebar, mendekap yang lebih tinggi dengan manja. "Okeee~"
"Lalu artinya kau tak pulang?" tanya Eren sambil menatap Kevin dengan puppy eyes-nya, berharap lelaki itu berkata tidak.
"Aku harus pulang, Sayang."
Bibir Eren langsung mengerucut lucu, merajuk. "Katamu kau tak mau dengan hal yang mengganggu kesenangan kita."
"Aku tak mau membuat Sharon curiga, Eren."
Mata itu semakin memelas, memasang jurus yang sama seperti Emer ketika meminta es krim tadi.
Kevin tertawa gemas dan mengecup bibir manyun itu cepat. "Kau ini, membuatku semakin jatuh cinta saja!"
Wajah Eren memanas, Kevin memang benar-benar perayu ulung. Kurang ajar.
"Begini saja, besok aku akan menginap di sini. Bagaimana?"
Eren langsung mengangguk semangat dengan mata berbinarnya, mengingatkan Kevin dengan mainan yang berada di dashboard mobil keponakannya.
"Kau memang yang terbaik, Kev!" Kemudian tubuh kecil itu langsung memeluk Kevin kesenangan.
"Aku memang yang terbaik untukmu, kau tahu itu 'kan?"