When Eren's Meet Sharon's

1094 Kata
"Mau ke mana membawa baju sebanyak itu?" tanya Sharon saat melihat suaminya yang tengah berkemas, memasukkan beberapa potong pasang pakaian ke dalam koper hitam kecilnya. "Aku ada perjalanan bisnis ke Australia beberapa hari," alibi Kevin tanpa perlu repot-repot melihat wajah istrinya. Tak acuh adalah andalannya ketika berbicara dengan istrinya. Sungguh b******k. "Bukankah semalam kau lembur? Masa sekarang sudah disuruh ke Aussie?" Wajah Sharon langsung murung, ia mengerucutkan bibirnya sok imut. "Kau beberapa hari ini sangat sibuk. Lalu, bagaimana dengan program kehamilannya?" Kevin menatap datar istrinya yang tengah merengut. Sungguh, Sharon cemberut seperti itu tak membuatnya gemas. Berbeda sekali jika Eren yang melakukan hal itu, pasti Kevin akan menggodanya hingga mereka tertawa bersama. Haaah .... Lelaki tinggi itu menghela napasnya, belum apa-apa dirinya sudah merindukan Eren. Sebenarnya, si mungil itu memakai apa sehingga Kevin bisa jatuh cinta setengah mati padanya? "Kau melamun, Kevin." Sharon menepuk bahu suaminya pelan, menariknya dalam kesadaran. "Ada apa denganmu, Kev?" "Tak apa." "Um ...," Sharon terlihat berpikir akan kata-kata yang ia keluarkan. "Jam berapa pesawatmu akan berangkat?" "Jam tiga," jawab Kevin masih melanjutkan kebohongannya. Tentu saja jam tiga sore adalah jam pulang kerjanya Eren. "Masih ada waktu lima jam lagi, Kevin." Sharon terlihat gugup meragu, sedangkan Kevin menatapnya tak paham dengan maksud wanita itu. "A-ayo, kita bercinta. Aku ... ingin mempraktikkan program kehamilanku." Kevin tak mood, sungguh. Apalagi yang ada di pikirannya hanyalah Eren seorang. Ia merasa sangat berdosa jika melakukan hubungan intim dengan Sharon di belakang Eren—sebenarnya Eren dan Kevin yang terlibat affair, tapi Kevin justru merasa istrinya adalah Eren daripada Sharon—ia merasa Sharon seperti orang ketiga dalam hubungan mereka. Ya, meskipun memang benar. Sebelum ada Sharon mereka baik-baik saja dan sudah cukup bahagia. "Aku sedang menjaga energiku untuk bekerja nanti, Sharon," tolaknya, berusaha menolak sebaik mungkin. "Aku ingin pergi ke suatu tempat dan membeli beberapa barang dulu," ujar Kevin sambil meresleting kopernya. "Dan kurasa aku akan langsung ke bandara." "Kevin, tapi ini masih lama—" "Bisakah kau berhenti mencampuri urusanku?" Mulut tajam itu berbicara. Ia membenci jika Sharon banyak cakap seperti ini, membuat kepalanya pening saja. "Dan kau tidak perlu menungguku pulang." Kevin pun berlalu melewati Sharon yang tengah mengepalkan tangannya kesal. - "James! Tak bisakah kau mengurangi jadwal kerja CEO-mu itu? Astaga, dia itu manusia, bukan robot! Tak bisakah kau mengatur jadwalnya agar tidak terlalu padat—h-hah?" Sharon menelepon James, sekretaris pribadi Kevin sekaligus teman di masa SMA-nya dulu. Ia tercengang ketika mendengar bahwa suaminya justru sedang mengambil cuti seminggu dari kemarin sampai lima hari ke depan. "Kau tak bohong, 'kan?" tanya Sharon dengan tajam—yang mana langsung diiyakan oleh sang lawan bicara. Wanita itu langsung membanting ponselnya kasar hingga langsung berceceran di lantai dengan pecahannya yang menyebar di mana-mana. Jika Kevin cuti, lalu mengapa kemarin ia beralasan lembur? Bahkan hari ini pria itu berkata akan melakukan perjalanan bisnis di Australia beberapa hari ke depan. Mengapa pria itu berbohong? Sebenarnya apa yang junior Baldwin itu sembunyikan darinya? Ah, ia akan mempertanyakan hal ini setelah Kevin pulang nanti. Dan ia akan terus mendesak agar suaminya itu menjawab dengan sejujur-jujurnya. Ia mencoba berpikir positif, barangkali lelakinya ini hanya sedang ingin berlibur seorang diri. Ya, dirinya harus selalu berpikiran positif pada suaminya itu. - "Daddy!" teriak Emer sambil berlari merentangkan tangannya ke arah Kevin yang menjemputnya seorang diri. Tentu saja, Eren masih bekerja di kantornya. "Hey, Jagoan!" Kevin langsung menyambut anak itu, menggendongnya dengan cepat sehingga membuat bocah lelaki itu langsung menyamankan dirinya di gendongan Kevin yang hangat. "Papa tak menjemputku?" tanya Emer sembari melihati sekelilingnya, berpikir jika ayah kandungnya itu ikut menjemput. "Papa sedang bekerja," tukas yang lebih tua. "Mau makan dulu?" Anak kecil itu langsung mengangguk dengan sangat bersemangat. Untuk urusan makanan memang anak itu benar-benar senang sekali. "Belikan Emer es krim juga, ya?" "Kau sudah makan es krim berapa kali minggu ini? Kau bisa dimarahi papamu—termasuk dirinya juga pasti kena—kalau makan es krim lagi," tutur Kevin berusaha sok tegas. "Tapi, Dad ...." Mata itu memelas, mulai mengeluarkan jurus andalannya yang ternyata adalah replika dari puppy eyes papanya. "Tidak, Daddy tak akan terpengaruh lagi sekarang." "Dad~" Bocah itu merajuk. Mata berkaca-kaca itu menatap matanya sedih. Ia mengeluarkan suara seperti anjing kecil yang tengah merengek. Uh ... siapa pun pasti akan luluh jika melihat hal yang bocah licik ini tunjukkan agar dituruti keinginannya. Kevin mengembuskan napasnya pasrah. "Baiklah. Tapi hanya satu scoop, ya?" "YEAY! DADDY MEMANG YANG TERBAIK!" - Di lain sisi, Eren yang hari ini pulang satu jam lebih cepat karena pekerjaannya yang sudah selesai lantas memilih untuk berbelanja beberapa kebutuhan dapur terlebih dahulu di supermarket sebelum ia menelepon kekasihnya—Kevin—untuk dijemput. "Hm ... sayuran sudah, telur sudah, jagung, daging, s**u Emer sudah, vitamin, dan ... ah! Kopinya Kevin!" pekik Eren begitu teringat Kevin yang merupakan penggemar kopi garis keras. Mata Eren langsung menilik satu per satu segala jenis kopi. Mulai dari kopi hitam, latte, sampai cappucino pun sudah ia lewati, namun merk kesukaan Kevin tak kunjung ketemu juga. Maklum, kopi Kevin memang incaran orang-orang sehingga membuatnya paling sering menjadi out of stock. Hingga akhirnya mata itu terpaku oleh satu bungkus kopi berukuran sedang yang nyempil di tempat yang tak seharusnya. Maksudnya itu moccachino, tapi mengapa disatukan dengan kopi robusta? Biasanya itu adalah kebiasaan orang yang tak jadi membeli dan justru mengembalikan di tempat yang tak semestinya. Sembarangan. Tak ingin banyak berpikir, ia langsung meraihnya. Namun, sayangnya ia tak menyentuh bungkusan itu sendirian. Tangan lain juga menyentuhnya hingga kedua jemari beda orang itu bersentuhan. "Ah, maafkan aku. Silakan ambil saja, Nona." Eren mengalah saat melihat wanita muda yang sama kikuknya menatapnya. "Jika kau lebih menyukainya ambil saja, Tuan. Aku tak membeli ini untuk diriku sendiri, kok," tawar wanita itu juga. "Aku juga membelinya tak untuk diriku sendiri. Ini untuk kekasihku," balas Eren. "Ya, ini juga untuk suamiku." "Ambillah, mungkin suamimu lebih menginginkannya dibanding kekasihku," ucap Eren sambil tersenyum lebar, menampilkan mata sabitnya yang indah. Demi apa pun, oper-operan sebagai bentuk ramah tamah ini seperti tak kunjung usai. "Tak perlu. Ambillah untuk kekasihmu. Suamiku juga jarang di rumah." "Um ... begini saja," Eren berusaha mencari solusi, "karena ini dalamnya ada beberapa sachet, bagaimana kalau kita patungan lalu isinya kita bagi dua?" Perempuan itu mengangguk mendengar saran brilliant yang Eren keluarkan. "Ah, betul juga. Omong-omong, namamu siapa, Tuan?" "Aku Eren. Eren Markley, dan kau?" "Sharon. Sharon Baldwin." Mata Eren melotot kaget. Pantas saja dirinya seperti tak asing dengan wajah perempuan di hadapannya ini. Tentu saja, muka wanita ini pernah nampang di TV beberapa tahun yang lalu. Menghebohkan berita tanah air. Ialah istri Kevin Baldwin, pewaris takhta kerajaan bisnis Baldwin si pengusaha terkenal itu. Menantu dengan sendok emas yang sama dengan keluarga Kevin. Dan sialnya, Kevin yang ini adalah Kevin yang sama dengan Kevin yang berada di apartemennya sekarang, kekasihnya. Benar-benar takdir yang sialan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN