"Kau sendirian ke sini?" tanya Eren sambil mendorong trolinya beriringan dengan Sharon.
"Ya, seperti yang kaulihat." Sharon menjawab seadanya. "Dan kau, Eren? Kau tak minta dijemput kekasihmu? Mendengar ceritamu, pasti kekasihmu adalah pria idaman. Hhh ...." Wanita itu mengembuskan napasnya pelan.
"Dan suamimu sendiri pasti sangat baik. Aku ... aku pernah beberapa kali melihatnya di TV." Entah kenapa untuk mempertanyakan hal itu saja membuat kerongkongannya mengering. Ia sebenarnya ingin memisahkan diri dari Sharon, tapi perempuan cantik itu justru terus menempelinya. Ia membutuhkan teman, katanya.
"Y-ya, sebenarnya dia baik. Tapi kurasa hatinya bukan untukku, jadi ... dia sedikit dingin dan mulutnya agak ... ya, agak pedas." Sharon tertawa getir.
Untuk beberapa saat, Eren melihati ekspresi Sharon yang sepertinya tidak sadar ketika menceritakan Kevin. Ia merasa cerita itu terlontar begitu saja dari bibir mungil wanita tersebut. Mata wanita itu meredup ketika mulutnya terus bercerita tanpa sadar dengan air muka yang bukan main kecewanya.
"Awalnya menyebalkan, kau tahu? Aku menikah muda dengannya karena bisnis antara ayahnya dan ayahku. Perjodohan dalam bisnis, tidak ada sangkutan hati. Tapi, entah kenapa aku justru berakhir jatuh cinta dengannya. Padahal kalau dipikir-pikir, tidak ada sikapnya satu pun yang patut untuk kucintai. Sedikitnya aku merasakan sepuluh tahun rumah tanggaku tak membuahkan apa-apa. Tidak ada anak, cinta sepihak." Air mata itu meluncur dengan mudahnya, dibarengi dengan tatapan kosong puan itu.
"Sharon, kau menangis," kata Eren sambil menyeka air mata Sharon.
"Ah, maafkan aku, Eren. Aku kalut. Hahahaha," tawa Sharon meluncur dengan kakunya.
"L-lalu ... ke mana suamimu s-sekarang?"
"Ia bilang sedang perjalanan bisnis ke Aussie—"
"Sayang, bacon-nya gosong."
"A-ah?" Lelaki mungil itu tersentak saat tiba-tiba sepasang tangan melingkari perutnya, memeluk tubuhnya yang sedang sibuk memasak makan malam dari belakang.
Yang lebih tinggi langsung mematikan kompor si pendek, membalik tubuhnya dalam sekejap untuk mempertemukan keduanya pada tatapan intens. Mencoba menyelami pikiran masing-masing. "Apa yang kau pikirkan, hm?"
Eren mengusap sebagian wajahnya pelan, agaknya masalah ini membuatnya pening.
Ia terus saja memikirkan bagaimana perasaan Sharon, betapa malangnya perempuan itu. Membuatnya dihantui rasa bersalah. Ia merasa Sharon adalah gadis yang baik, cantik pula. Mengapa Kevin tak bisa jatuh cinta padanya? Rasanya seperti Sharon adalah orang yang tepat di waktu yang salah.
"Ceritalah," bisik Kevin sambil memainkan wajahnya di ceruk leher Eren, menghirup aroma citrus dari si mungil dalam-dalam.
Aroma Eren benar-benar memabukkan.
"Tadi aku bertemu Sharon," ungkap Eren tiba-tiba.
Kevin langsung menegakkan tubuhnya, menatap wajah Eren dengan teliti. "Lalu, dia melakukan sesuatu padamu?"
"Tidak," Eren menjawab dengan jujur, "kita hanya berbincang biasa. Aku membicarakan kekasihku, dia membicarakan suaminya."
Pria bongsor itu terkekeh pelan, "Pantas saja kedua kupingku panas, kalian berdua membicarakan orang yang sama ternyata."
"K-kupikir dia baik."
"Memang baik." Kevin membalas dengan santai.
"Dia juga cantik."
"Iya, dia cantik sekali," sahut Kevin sembari menatap mata Eren penuh binar.
"Dia sebenarnya juga polos," lanjut Eren.
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan, Eren Sayang?" Pria tiga puluh dua tahun itu menggusakkan kedua hidung bangir itu bersamaan. Agaknya ia gemas dengan kekasihnya yang sedikit bertele-tele dan banyak berpikir. Tipe pria yang berpikiran sedikit kompleks.
"Mengapa ... k-kau tidak mencintainya?"
"Karena aku sudah mencintaimu," jawab Kevin cepat. "Kau tahu? Mau sebaik apa pun orang lain, lebih cantik darimu pun, atau ada yang lebih polos darimu ... kalau aku sudah mencintaimu, susah untuk berpaling. Apalagi untuk orang mempesona sepertimu—"
"—sulit untuk dilewatkan!" Tangan besar itu mengelus pinggang si kecil dengan lembut, mendorong punggungnya untuk maju ke depan mendekatinya. Memagut bibir itu dalam lumatan sekilas.
Kevin menyatukan kedua dahi mereka setelah bibirnya berpisah. Sangat dekat sehingga Eren bisa merasakan aroma mint bercampur after shave yang menguar dari napas prianya. "Tolong, jangan memikirkan hal yang tidak perlu. Kau hanya perlu berpikir kau mencintaiku dan aku mencintaimu, tidak ada yang lain yang perlu kau pikirkan, Sayang."
Netra abu-abu itu menatap mata kebiruan Eren dengan lamat-lamat, seolah menghipnotis si mungil untuk mengangguk.
Dan terbukti, Eren mengangguk dengan mata yang masih terpaku dengan mata Kevin yang tak kalah indah warnanya.
"Aku mencintaimu, Kevin," lirih si androgini terlampau pelan. Tapi untungnya, Kevin masih bisa mendengar kalimat itu.
"Aku lebih mencintaimu, Eren," bisik si dominan tepat di samping telinganya, "Tak peduli apa pun yang terjadi, aku tetap akan mencintaimu."
-
"Kau dari mana saja, Kev?" Wanita cantik dengan bathrobe biru laut itu keluar dari kamar mandi setelah mengetahui suaminya sudah pulang dari yang katanya perjalanan bisnisnya.
"Dari Aussie. Menurutmu dari mana lagi?"
"Kau ... tak berbohong padaku 'kan?" Dengan ragu puan itu bertanya.
Kevin mengerutkan keningnya kesal. Antara tak suka dicurigai atau sedikitnya kelabakan karena mungkin kebohongannya sudah tercium oleh istrinya. "Y-ya."
"James bilang kau ... cuti seminggu kemarin."
SKAK!
Kevin terdiam dengan ekspresi Kevin yang kian berubah semakin keruh, ia akan memecat James si tukang ikut campur itu. Mentang-mentang ia sahabat istrinya, jadi ia berhak begitu untuk bebas memberi informasi pada Sharon?
"Sebenarnya kau pergi ke mana?" tanya perempuan tiga puluh tahun itu berhati-hati, takutnya Kevin tersulut emosi jika terasa didesak olehnya.
Ke rumah kekasihku! Sebenarnya hal itu yang ingin ia teriakkan, tapi ia urung. Itu akan membuat hal ini semakin rumit. "Bukan urusanmu."
"T-tapi aku istrimu, Kevin," cicit wanita itu.
Ia hanya ingin menegaskan eksistensinya dalam kehidupan Kevin, namun agaknya ia takut akan membuat pria yang dua tahun lebih tua itu marah dan berakhir mendiaminya—walaupun Kevin memang kerap kali diam padanya.p>
"Bisakah kau tidak mencampuri urusanku?" tanya Kevin dengan matanya yang tajam pun mulutnya yang tak kalah tajam, "Kau istriku di dunia bisnis maupun di mata hukum, tapi kau bukan istri di mataku. Kau harus tahu bahwa kau tak berhak melewati batas-batas yang sudah kubangun, Sharon McCartney."
Dan lagi, diri Sharon ditinggalkan sendiri di dalam kamar mereka yang luas.
Meninggalkan Sharon yang mengepalkan kedua tangan di sisian tubuhnya. Mencoba menahan tangis, meratapi rumah tangganya yang tragis.
-
"Kenapa kau menghubungiku, Sharon?" tanya lelaki yang sedang duduk di hadapan Sharon bersama dengan anak kecil di sampingnya.
"Aku ... hanya ingin bercerita, sebab aku bingung ingin bercerita dengan siapa. Teman-temanku pasti sudah ribet memikirkan rumah tangganya sendiri, orang tuaku pun kalau aku bercerita takutnya menghakimi suamiku. Jadi, tak apa 'kan kalau aku bercerita padamu, Eren? Ini mungkin terlalu cepat, tapi kurasa kau orang yang bisa dipercaya."
Pria satu anak itu tersenyum tipis. Sesungguhnya sejak lima hari yang lalu bertemu, mereka memang bertukar kontak. Agaknya mereka saling nyaman sebagai teman berbagi—sebenarnya hanya Sharon yang berpikir demikian, tapi apa daya rasa iba Eren lebih kuat daripada rasa risihnya—apalagi Sharon si perempuan kesepian.
Sudah masa mudanya direnggut, dipaksa menikah, mencintai orang yang tak mencintainya. Nyatanya wajah cantik dan kekayaan berlimpah tak mesti membuat orang itu bahagia.
Eren mengangguk, "Ceritalah."
Dan cerita itu mengalir dengan sangat detail dari mulut istri kekasihnya, pun dengan air mata yang kian menderas.
Eren lagi-lagi merasa bersalah. Perempuan sebaik Sharon mengapa tak bisa mendapatkan kebahagiaan dengan mudahnya?
Juga, jika seandainya Sharon tahu siapa lelaki beranak satu di hadapannya ini ... apa perempuan ini akan bersikap sama?
"Papa, tante itu mengapa menangis?" bisik Emer sambil menarik ujung mantel hijau papanya.
"Tante Sharon sedang sedih, Sayang."
Dengan polos Emer menyeberangi meja kecil yang memisahkan keduanya—sangat tak sopan, jangan ditiru—menghampiri Sharon yang sedang menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan yang berada di atas meja.
Lelaki kecil itu mengelus bahu Sharon pelan dan memeluknya, membuat tubuh bergetar itu langsung menegang. "E-Emer?"
"Daddy sering memeluk papa seperti ini kalau papa sedih atau sedang banyak pikiran," ujar Emer polos. "Tante Sharon jangan sedih ya, nanti papa ikut sedih. Kalau papa sedih nanti susah, daddy-ku soalnya sedang tak bisa mampir ke rumah kami sementara untuk memeluk papa."
Sharon tertawa dalam tangisnya. Bocah ini benar-benar polos dan menghiburnya. Maka dari itu Sharon langsung memeluk tubuh anak tujuh tahun itu dengan erat, hingga membuat Emerald sedikit memekik tak nyaman karena susah bernapas.
Di lain sisi, Eren yang melihat hal manis itu hanya tersenyum sedih. Lagi-lagi berpikir, Eren memiliki Emer ditambah Kevin jikalau ia sedang sedih. Sedangkan wanita ini bahkan bingung untuk bercerita dengan siapa, apalagi teman untuk menghiburnya?
Lagi-lagi hati ini merasa terketuk. Ingin mengalah sedikit tak sanggup, tapi jika terus melanjutkan dengan Kevin, bukannya sama saja ia adalah orang jahat yang mengambil sumber kebahagiaan orang lain?