Satu; Suamiku Delta
"Saya ingin meminang Kashi."
Entah apa yang kupikirkan waktu itu sampai aku berakhir jadi istrinya Mas Delta, mantan tunangan kakakku sendiri. Jelas tak mungkin dia bisa melupakan Kak Kania secepat itu, kenapa aku masih bodoh dan menerima, sih?
Lihat, sudah jam 10 dan tak ada tanda-tanda Mas Delta akan pulang. Pasti dia sedang sibuk dengan kegiatan favoritnya, menguntit Kak Kania atau mengamatinya dari jauh. Iya, aku tahu itu salah dan seharusnya aku melapor ke kakakku, tapi siapa yang akan percaya?
Kakak pasti akan bilang, ‘Ah, lo cuma nethink aja. Delta emang banyak simpen foto gue dulu.’ Tapi itu bukan foto dulu. Dari ciri-cirinya saja sudah jelas kalau perut Kak Kania mulai membuncit.
Puas menunggu suamiku, aku menyelinap ke dalam selimut dan istirahat untuk besok kuliah. Ada kelas pagi, maka aku harus bangun awal-awal. Mas Delta tak akan mau repot membangunkan aku walau sudah aku minta, apalagi mengantar kalau telat. Eh, mengantar sih, cuma ya cara mengemudinya pelan banget.
Tak berapa lama memejamkan mata, terdengar deru mesin mobil disusul suara gemerincing pagar terbuka. Akhirnya suamiku pulang, tapi aku tak menggerakkan tubuh sedikit pun untuk menyambutnya. Toh menyambut saja selalu diabaikan, lebih baik diam karena tak pernah berbeda responsnya.
Lalu derit pintu mengingatkan aku untuk berakting tidur, memejamkan mata senatural mungkin dan melemaskan otot wajah. Mas Delta sering tahu aku cuma pura-pura, katanya otot wajahku masih tegang semua.
Seperti malam-malam sebelumnya, dia menaruh tas kerjanya di meja, melonggarkan dasi berikut pakaian atasnya sambil memilih piyama mana yang akan dipakai tidur, lantas gemercik air menyapu badannya di kamar mandi.
Bagaimana aku tidak hafal kalau tiap malam masih bangun dan mendengar semuanya? Entah itu karena tugas kuliah, tak bisa tidur, atau sekadar ingin menunggunya meski tak bertatap muka. Setidaknya aku merasa jadi istri sungguhan.
Beberapa menit kemudian, Mas Delta sudah keluar dari kamar mandi, melakukan aktivitas ringannya dan langsung masuk ke selimut yang sama denganku. Yang tentu saja jarak kami sangat jauh untuk ukuran suami-istri.
Sampai kapan kami yang suami-istri ini akan terus bersikap saling acuh? Entahlah, hanya Mas Delta yang menentukannya.
***
Saat aku bangun, Mas Delta masih terlelap dalam wajah tampannya. Aku menopang dagu di sampingnya. Setiap kali punya kesempatan seperti ini, aku sering curi-curi waktu memandangi wajahnya. Hidung mancung, kulit tanpa bermasalah, bulu mata yang lentik, dan bibirnya. Bak model dan aktor kenamaan.
Beruntungnya Kak Kania banyak disukai pria tampan. Lah aku? Hanya sekali pacaran, itu pun kandas tak sampai tiga bulan.
“Ganteng banget sih,” gumamku mengagumi ketampanannya. Tuhan sepertinya sedang menunjukkan salah satu manusia terbaiknya dalam sosok tanpa celah seperti Mas Delta, multi talenta. Satu saja celahnya: dingin dan tak berperasaan padaku, juga tak bisa melupakan Kak Kania. “Suami aku sih, tapi cintanya milik Kak Kania.”
Tak mau berlama-lama terlena, aku pergi untuk mandi saat jam memberi aku waktu 40 menit untuk siap. Jakarta sering macet pagi-pagi, maka aku harus mengalahkan pagi itu. Butuh waktu 20 menit untuk mandi.
Karena Mas Delta belum bangun, aku tak membawa bajuku ke dalam kamar mandi, menaruhnya di walk in closet. Sebuah blouse dengan celana jogger, akan sangat nyaman untukku di bulan Agustus yang panas. Kalau di bawa ke kamar mandi, ribet. Kadang malah ikut basah celananya.
Mengendap-endap aku keluar dari kamar mandi, mengintip untuk memastikan Mas Delta masih terlelap. Badannya masih memunggungiku sehingga aku berani untuk keluar pelan-pelan. Sedikit lagi sampai, tubuhku membeku dan refleks mengeratkan cengkraman pada handukku.
Mas Delta berbalik. Dia sudah terbangun dengan mata terbuka lebar menatapku. Jangan bayangkan yang tidak-tidak, tatapannya sedingin es.
“Emm Mas? Udah bangun?” Retoris. Iyalah dia sudah bangun. Sejak kapan Mas Delta bisa tidur dengan mata terbuka lebar?
Mas Delta tak mengalihkan tatapannya membuat aku grogi. Bukan, aku hanya takut kena damprat dan dituduh yang tidak-tidak. Mas Delta bisa diam sediam-diamnya kalau diajak ngobrol, bisa bawel sebawel-bawelnya kalau sedang marah.
“Kenapa gak pakai baju di dalam?” tanyanya setelah sekian lama terdiam.
“Anu, bajunya aku simpen di dalem situ,” balasku menunjuk walk in closet.
Dia terduduk, meraih gelasnya dan meneguk air putih itu hingga habis. Aku masih menunggunya barang kali dia masih mau bicara. Belajar dari masa lalu, Mas Delta pernah mendiamkanku berhari-hari hanya karena aku pergi saat dia belum selesai ngomong. Kadang, dia kekanakan dan membesar-besarkan masalah kecil.
“Ngapain masih di situ? Mau menggoda saya?”
Tuh ‘kan, salah lagi. “Enggak, Mas. Kirain belum selesai ngomongnya,” kataku. “Ya udah, aku ke dalem dulu ya.”
Cepat-cepat aku ngibrit sebelum menimbulkan masalah lagi. Jangan sampai aku disuruh tidur di kamar tamu yang sengaja tak pernah dibersihkan itu. Katanya, khusus untukku kalau berbuat salah. Hiihh, suamiku seramnya melebihi mendengar tawa Limbad.
Selesai berpakaian Mas Delta sudah tak ada di kamar, sepertinya ada di kamar mandi. Kenapa sepertinya? Karena kamar mandi di kamar kami kedap suara. Enggak tahu kenapa, Mas Delta menolak kasih tahu. Biarlah, paling kalau enggak sedang memelototi laptopnya.
“Bi Lastri! Sarapan apa nih?”
Belum ada makanan apa pun di meja makan. Begitu aku turun dari lantai dua, Bibi langsung menyajikan beberapa piring dengan lauk berbeda. Ada yang digoreng, kuah, buah, sama sambal. “Nih, Non. Semuanya lengkap buat Non Kashi.”
“Aduh, ada sambel nih enak banget kayaknya. Aku mau ah.”
“Tidak boleh!”
Suara nge-bass itu menghentikan tanganku yang sedikit lagi menyentuh sambal buatan Bi Lastri. Harus merelakan suamiku mengambilnya dan menyuruh Bi Lastri buang. Aish! Padahal pasti enak banget ayam goreng pakai sambal.
“Kenapa, Mas? Aku ‘kan kepengen banget makan pake sambel,” kataku memelas. Sekali aja Mas, kasihani istri pajanganmu ini. Enggak perlu macam-macam, kasih sambal saja senang kok. “Janji gak bakal banyak-banyak.”
Bukannya mengacuhkanku, Mas Delta malah bicara ke Bi Lastri. “Bi, saya pernah bilang ‘kan kalau saya gak suka ada makanan pedas di rumah ini?”
“Anu, Den, Bibi ....”
“Mas, jangan marahin Bi Lastri. Bi Lastri bikin karena aku suka makanan pedas. Kamu gak usah marahin Bi Lastri, lagian aku gak akan sakit perut kok.”
Mas Delta mengejek, “Percaya diri sekali.” Membuatku mingkem. “Sejak dulu saya tak suka makanan pedas, entah itu cabai atau bubuknya. Saya tidak peduli mau kamu makan seberapa banyak sampai diare, yang penting tidak di rumah saya. Menyajikan makanan yang tidak saya sukai sama dengan menghina,” jelasnya panjang lebar, lalu mengambil roti tawar.
Aku mendengus. Mas Delta tak akan membiarkan aku makan di rumah kalau harus dia antar. “Bi, tolong bikinin aku bekal ya?” pintaku berbisik.
“Siap, Non.” Bi Lastri masuk ke dapur untuk mengambil nasi dan lauk pauk yang tersisa. Soalnya kalau membawa dari yang ada di meja, Mas Delta masih di sini. Dia tak akan diam saja sementara yang tuan rumah hanya makan roti dan aku si tamu sarapan nasi. Masa bodo, salahnya sendiri menyia-nyiakan makanan lezat.
“Kenapa diam? Tak makan?” tanya Mas Delta. Belum saja kujawab, dia melanjutkan, “Terserah. Yang penting jangan sampai saya harus menunggu kamu selesai makan.” Rotinya tinggal dua gigit lagi saat Bi Lastri diam-diam memasukkan bekalku ke tas.
“Nanti aja di kampus, Mas. Aku ada kuliah pagi.”
Mas Delta mengedikkan bahu. “Saya tidak bertanya.”
Huh?! Palu mana palu?! Sumpah ya, kalau ada suami yang durhaka, ingin aku kutuk Mas Delta jadi patung emas supaya bisa dijual. Stok nyebelinnya kok enggak habis-habis sih? Bisa mati muda aku lama-lama makan hati terus. Ke Kak Kania aja baik banget. Lah aku?? Kayak anak tiri.
Sabaarrr. Orang sabar jodohnya Shawn Mendez. Lah, jadi Mas Delta jodohku apa bukan? Tauu ahh, semua gara-gara suami gantengku.
“Ya udah, Mas, aku tunggu di mobil ya?”
“Saya gak bisa antar kamu, naik taksi aja.”
Aku berbalik, memastikan Mas Delta menjahiliku atau tidak. Sayangnya, kalau menyangkut kesusahan seorang Kashi, Mas Delta tak pernah bercanda. “Serius, Mas?”
“Tidak lihat berapa banyak dokumen yang saya bawa?” Mas Delta memamerkan puluhan map dalam tasnya. “Saya sedang sibuk. Mengantar kamu hanya buang-buang waktu.”
“Tapi kata Mama Mas harus nganterin aku setiap hari.”
“Lalu? Uangnya saya yang kasih, sama saja. Lagi pula taksi sama-sama mobil, jangan manja. Kuat seperti Kania, dia tak pernah merepotkan orang lain.”
Tak tahu saja dia betapa aku menjadi babu selama menyandang status adiknya Kania Larasati. Oh ya, Mas Delta ‘kan selalu siaga jadi tanpa diminta Kak Kania, dia sudah memenuhinya jadi tak perlu minta. Hm, pintar sekali. Dan aku ingin sekali mengutuk kepintaran itu, dasar suami tak tahu istri!
Kalau tahu begini, tak perlu pakai bekal segala. Habisin aja sekalian semuanya, biar aku gendut dan Mas Delta menceraikanku. Tak perlu makan hati setiap hari.
“Bi, aku berangkat dulu ya.” Aku berpamitan pada Bi Lastri, lalu berbisik, “Makanannya nanti panasin lagi buat siang. Buatin sambel juga. Oke?”
Tak memedulikan Mas Delta, aku langsung keluar. Males banget harus diceramahi dan dibanding-bandingkan lagi. Enak aja, Bunda juga jarang pilih kasih. Seenaknya banget tuh cowok.
***
“Kash, gimana tadi kerjaan lo? Aman?” Lana bertanya soal jawabanku tentang ujian dadakan dosen tadi. Hanya 5 soal, tapi jawabannya sangat tidak mudah.
“Amanlah, Lan. Lagian Pak Dasuki kayaknya gak meriksa detail, lo taulahh.”
Di kampus, temanku ada tiga: Lana, Ingkan, dan David. Ingkan dan David berada di jurusan yang berbeda dengan kami, tapi kami dekat sejak masa perpeloncoan. Jadilah walau kami jarang bertemu, setiap ada kesempatan kami selalu menyempatkan untuk berkumpul.
Hanya mereka yang tahu aku sudah menikah. Tidak dirahasiakan sih, kalau ada yang tahu juga bukan masalah. Toh itu bukan sesuatu yang harus ditutupi.
“Jawaban gue ngasal banget. Lo tau, kayak pertanyaan dua tambah tiga tapi gue jawabnya tiga bagi dua.”
“s***p! Udah salah, gak ngira-ngira lagi. b**o emang gratis, tapi jangan diborong juga, Lan.”
Beginilah aku di lingkungan kampus, bisa jadi barbar bersama teman-temanku. Omong-omong, Lana itu lelaki makanya ngomongnya agak sompral. Ya aku tipe orang yang mengikuti lawan bicara, jadi bisa sama-sama gila kalau yang bicara Lana.
“Biarin, daripada lo. Hati emang cuma-cuma, tapi jangan sembarangan dikasih kalau tau bakal diancurin. Mati-mati lo makan hati mulu.”
“Heh, mulut! Mau dijait, hah?!” tegurku, padahal aku sendiri yang sering memikirkannya. “Lagian gue gak ada ya suka sama dia. Amit-amit! Kayak gak ada cowok lain yang lebih ganteng aja.”
“Laki lo emang ganteng kali, tapi gue juga ganteng. Lo gak sadar?”
Aku pura-pura mau muntah. Kalau bisa sih inginnya muntah beneran. Lana memang lumayan, tapi ya kali aku naksir temen sendiri? Idih, enggak banget deh. Sama seperti David, tak mungkin aku berakhir menyukainya setelah tahu belang masing-masing.
“Heh! Itu, bukannya mobil laki lo?”
Lana menunjuk ke pinggir jalan di mana sebuah mobil parkir di sana. Mataku menyipit. Iya benar, itu mirip dengan mobil Mas Delta, tapi jam segini? Jam makan siang aja belum tiba, mustahil banget dia meninggalkan pekerjaan untuk menjemputku.
“Keknya iya. Lan, gue pergi dulu ya. Bilangin ke yang lain.”
“Sip!”
Langkahku ragu semakin mendekat, takut kalau mobilnya cuma mirip dan aku cuma kegeeran. Ayolah, mobil mewah Mas Delta memang tak sering kujumpai, tapi produksinya ada ribuan. Tak menutup kemungkinan, ‘kan?
“Dek, woy! Buruan masuk!”
Kak Kania menyembul dari pintu penumpang di samping kemudi, jendelanya terbuka sampai aku bisa melihat Mas Delta yang menyetir. Oh, tentu saja harus dengan kakakku. Dengannya hal yang mustahil dilakukan Mas Delta mungkin terjadi.
“Hemm,” balasku malas, masuk ke kursi belakang dan agak membanting pintu. Biar saja kalau rusak, harta suamiku ada banyak. “Tumben jemput,” kataku pada Kak Kania, syukur kalau Mas Delta merasa.
“Baby gue pengen ketemu aunty sama uncle-nya.”
“Masih jabang bayi, Kak. Geli banget, baru juga lima bulan.”
“Heh, udah kebentuk ya, oneng. Lo sih gak niat bikinnya, jadi gak tau rasanya jadi calon ibu,” katanya sambil mengelus si perut buncit.
Aku langsung bungkam, omongannya terasa menghantam dadaku. Bagaimana bisa aku hamil kalau suamiku sendiri tak pernah menyentuhku? Parahnya lagi, itu terjadi karena kakakku sendiri. Karena Mas Delta tak bisa melupakan mantan tunangannya.
Aku membuang tatapan ke jendela, mendadak malas dan berada dalam mode senggol bacok. Tuhan, apa tak ada satu orang pun yang mencintaiku seperti suamiku mencintai istri orang?