Tiga; Sangat Menyebalkan

3275 Kata
Sejak dulu aku selalu geli dengan yang namanya drama baik dibuat-buat atau memang orangnya terlalu mendramatisasi. Sangat alai dan lebai di saat masalah yang biasa saja sudah menyusahkan sekali, malah ditambah-tambah. Bisa dibilang di SMA aku tidak memiliki banyak teman karena kebanyakan mereka akan membicarakan di belakang saat yang lain tak ada dan banyak memainkan skenario drama. Dih, kalau ada penghargaan orang-orang paling dramatis, aku akan mencalonkan teman-temanku dulu. Itu sebabnya sampai sekarang aku tidak punya banyak teman, bisa dihitung dengan jari yang tergolong sahabat. Makanya bertemu dengan Lana, Ingkan, dan David itu sangat membuatku bersyukur. Mereka sefrekuensi dan anti drama. Sayangnya, aku tidak sadar kalau aku sendiri yang buat drama tadi di mal. Haduh, baru sadar sekarang lagi. Percuma, yang bisa kulakukan hanya menyesalinya. Bagian paling buruknya setelah sadar betapa memalukannya diriku, Mas Delta tak kunjung pulang ke rumah. Entah dia akhirnya menuruti Kak Kania menonton atau membujuknya dengan hal lain, seharusnya aku tidak peduli. Suamiku sudah mencampakkanku demi kakak iparnya sendiri. Betapa menyedihkan. [Kalau lo punya pacar, Ci, lo gak bakal galau begini.] Aku memeluk semakin erat bantal kursi, merasakan dinginnya balkon. “Punya pacar gak jadi beda jauh kali. Di luar iya gue bisa aja jadi lupa, ya kalau balik ke rumah gue tetap aja depresot.” [Paling enggak lo bisa manas-manasin Mas Delta-lo dengan romantis-romantisan sama cowok lain.] “Menurut lo itu bakal berhasil? Lirik gue aja jarang, sekalinya lirik paling melototin gue.” [Besti, lo lupa siapa gue? Gue ini cewek paling cantik di seluruh Fakultas Ekonomi.] “Iyain aja deh, gue males harus muntah.” [Bibirmu ya shayy pengen ditampol. Lo percaya aja sama gue, Beb. Paling enggak cari doi ‘kan bisa bikin lo gak stres lagi.] Dari atas sini, mobil Mas Delta baru masuk garasi dibantu Mang Maman, satpam rumah. Ini sudah lebih dari jam tidurku dan besok ada kelas pagi, tapi aku tak peduli. Aku masih ingin mengobrol bersama Ingkan, paling tidak menunjukkan pada Mas Delta kalau aku baik-baik saja, bahkan setelah kejadian di mal tadi. Suara sepatunya sampai di puncak tangga. Aku membuang muka ke luar balkon, tidak menoleh sedikit pun saat suamiku masuk ke kamar kami. Ya, aku juga yakin kalau Mas Delta melakukan hal yang sama. Langsung masuk dan melakukan ritual sebelum tidurnya. Cih, suami yang menyebalkan, tetapi juga membuatku sendu. Kenapa kehidupan rumah tanggaku begini menyedihkan, sih? Hadir orang ketiga, mana kakakku sendiri lagi. “Kan, gue ngarep banget ya kalau Mas Delta minta maaf ke gue? Malu gila, gue udah kayak cewek paling menyedihkan di seluruh Indonesia.” [Ngarepnya sih gak salah menurut gue, harusnya emang gitu. Cuma kalau ngeliat gimana laki lo, ya salah emang. Makan hati namanya, ngarep sampe kapan tau.] Ingkan ada benarnya. Semua kemungkinan umum yang bisa terjadi langsung lenyap kalau dihadapkan pada fakta kedua, orangnya Mas Delta. Oh, dan fakta ketiga, melakukannya bukan pada Kak Kania. Jika semuanya digabung akan menjadi kemustahilan yang sempurna. “Kakak gue juga. Kok mau-maunya sama mantannya? Suami gue, Kan. Maksudnya gue bukan cemburu, ya mikir kek. Itu udah jadi suami gue, dia juga punya suami, lagi hamil. Ya masa gue harus ‘Oh iya Kak lo sama suami gue aja gak apa-apa ikhlas lahir batin’ sambil senyum pepsodent. Gila yang ada.” [Lo bilang dong ke kakak lo. Bukan sebagai adik ke kakak, tapi sebagai istri suami lo ke mantan tunangannya.] “Dia gak bakal denger. Gue udah pernah bilang, lo tau apa jawabannya? ‘Overthingking, lebay, pesimis’ semuanya yang bikin emosi gue naik sampe ubun-ubun. Gue makin gak suka sama dia.” [Yah, mungkin emang takdir lo, Ci, ada di antara suami sama kakak lo sendiri. Oh, atau kenapa lo gak bilang sama kakak ipar lo?] Tanpa sadar aku mengiyakan Ingkan dalam hati. Hei, dia pintar juga ya. Selain menyadarkanku dengan kata-kata pedasnya, dia juga mengungkit hal-hal yang sebelumnya tidak sempat kupikirkan. Melibatkan Bang Dion contohnya. Ayolah, posisi Bang Dion sama sepertiku. Yaa tidak sepenuhnya sama sih, tetapi ya setidaknya kami memiliki kesamaan. Kami menyelinap di antara dua pasangan yang gagal nikah. “Bang Dion? Dia bakal dengerin gue gak ya?” “Untuk apa kamu ketemu Dion?” Anjir! Nyaris saja teleponku lepas dan meluncur bebas ke bawah sana. Duh, detak jantungku menyakitkan sekali gara-gara terkejut. Mana kami sedang melakukan percakapan rahasia lagi, mati aku. “Eh, Mas.” Aku tersenyum keki, mematikan panggilan Ingkan. “Bukan apa-apa.” “Mau mengadukan yang tidak-tidak tentang Kania?” “Mas sejak kapan ada di sana?” “Jawab saya.” “Jawab aku dulu.” “Lupakan. Jangan pernah berani bertemu Dion.” Mas Delta bergerak, hendak masuk kembali ke dalam kamarnya. Oh, tidak akan kubiarkan dia menang untuk ke sekian kalinya. Akan kubuktikan kalau Kashi juga bisa memberontak jika kelakuan orang itu sudah tidak bisa ditoleransi. Dan kelakuan Mas Delta semakin keluar batas. “Kalau aku gak mau nurut? Mas juga bisa seenaknya nyuruh aku, malu-maluin aku di depan temen-temen, di depan orang-orang tadi. Aku gak marah. Terus kenapa Mas harus marah dan kenapa aku harus nurut?” Suamiku tidak jadi masuk kamar, kembali menghadapku. Lagi-lagi tatapan itu, jengah dan malas, kebalikan dari tatapannya pada Kak Kania. Semua tatapan buruknya hanya tertuju padaku. “Pertama, saya tidak mempermalukan kamu. Kamu yang mempermalukan diri kamu sendiri. Kedua, jika kamu tidak marah, kamu pikir apa yang sedang kamu lakukan sekarang? Ketiga, kamu harus nurut sama saya karena saya suami kamu.” “Kayaknya Mas ngaku sebagai suami aku kalau Mas lagi maksa aku ngelakuin sesuatu yang gak aku pengen. Kalau gak gitu ya aku bukan istri Mas.” Aku menahan senyum menang saat rahang Mas Delta mengeras dan tubuhnya terlihat kaku. Kena kau, Mas. Begini-begini aku sudah terlatih adu mulut dengan Mama atau Kak Kania. “Masuk kamar dan lupakan niat kamu bertemu Dion,” ujar Mas Delta final, menyentuh kenop pintu. Sialan. Mau melupakannya begitu saja? Mendadak rasa kesal mendidih sampai ke ubun-ubun, inginnya aku lemparkan bantal ini ke kepalanya. Kashi, harusnya kamu jangan ingat-ingat kalau dia itu suami kamu. “Emangnya ada apa sama Bang Dion? Mas masih marah karena Bang Dion, Mas gak jadi nikah sama Kak Kania?” “Kashi, jangan buat saya marah.” “Aku diem pun Mas selalu marah. Terus kenapa aku harus mau ditindas terus? Jujur aja, Mas ngelakuin ini karena pengen semua orang sama kacaunya sama Mas, orang yang ditinggal nikah sama tunangannya yang hamil sama cowok lain.” “Kashi.” “Apa? Aku tau aku cukup bodoh sempet mikir kalau Mas bener-bener ada rasa sama aku. Aku tau aku cukup bodoh sampai detik ini berharap Mas bakal ngelupain kakak aku. Tapi aku gak bakal diem aja kalau Mas gak berhenti nyiksa aku kayak gini.” Mas Delta menoleh, membungkamku yang terus saja mengatakan hal-hal buruk tentangnya dan kakakku sendiri. Aku tidak bisa mengontrol lidahku membeberkan semua hal yang tertahan di ujung lidah selama ini. Aku sangat butuh kesempatan dan inilah saatnya. Bahkan aku tidak memikirkan dengan konsekuensi yang mungkin akan kuterima. Yang menjadi fokusku hanyalah Mas Delta tahu seberapa kesal aku selama ini dengan tingkah gilanya yang tidak bisa move on. “Apa kamu sadar apa yang kamu katakan tentang kakak kamu?” geram suamiku. Tidak, aku tidak sadar. Akan tetapi, mengakuinya hanya akan membuat Mas Delta merasa dirinya benar. “Ya, aku sadar. Seratus persen sadar.” Dia mengangguk-angguk dengan raut wajah yang tak ingin kutebak apa artinya itu. Jika itu berarti sesuatu maka yang seharusnya ada di sana hanyalah sesuatu yang tak kuinginkan. “Kalau begitu, saya telah salah menilai kamu. Kamu tidak sama sedikit pun dengan Kania.” Aku terkekeh sinis. “Jadi Mas nyesel udah nikahin aku sekarang? Sama, aku juga nyesel. Terus kenapa Mas gak temuin papa dan bilang kalau Mas pengen ngembaliin aku? Kenapa Mas gak mohon-mohon ke Kak Kania buat jadi suami keduanya? Atau kenapa waktu itu Mas gak dateng dan ngebiarin Bang Dion beneran ngaku kalau itu anaknya?!” “Kashi!” Rasanya bola mataku akan melompat keluar saking tidak berkedipnya aku selama berbicara dan seberapa tajam tatapan kami bertemu. Kami memang sering berargumen, tetapi kali ini yang paling parah. Kali pertama aku terus menyulut emosi Mas Delta dan dia gagal mengendalikan diri. Ingin menghilang saja. Aku sudah membentak suamiku sendiri. Akan tetapi, belum lama rasa penyesalan itu menyeruak, aku dikejutkan dengan Mas Delta menarik tanganku dan mencengkeram kuat. Menyakitkan sekali. Aku hanya pernah merasakan cengkeraman seperti ini saat dulu ditarik Papa dan tak kuduga aku akan merasakannya lagi melalui tangan suamiku. Perasaanku mulai tak karuan saat Mas Delta menarik ke lantai bawah. Tidak, hanya ada ruangan-ruangan menyeramkan di lantai bawah. Walau aku tahu akan sulit lepas, tetapi bagaimana pun caranya aku berusaha memberontak. “Lepasin! Lepasin, aku gak mau ke sana!” “Hukuman ada untuk perempuan nakal seperti kamu.” “Mas, gak mau! Di sana banyak kecoa!” Dengan mudahnya Mas Delta membuka pintu gudang yang terkunci sedangkan yang lain masih menahanku kuat sekali. Pintu sialan, harusnya ‘kan menyulitkan Mas Delta dulu sebelum akhirnya menunjukkan ruangan kotor nan gelap itu. Katakanlah aku kekanakan, tetapi ruangan gelap masih menjadi ketakutan terbesarku karena setiap aku bersalah, orang tuaku akan mengurungku di sana sampai aku berjanji macam-macam. Ketakutan yang tak akan pernah hilang. “Kalau begitu, lain kali saya akan tambah kecoanya.” Tidak bisa kutahan, tubuhku terjatuh ke dalam ruangan yang paling kubenci saat Mas Delta menghempaskanku begitu saja. Aku kalah cepat, pintu sudah tertutup dan terdengar suara kuncian di luar sana. Tubuhku mulai bergidik, refleks membayangkan hal-hal menakutkan di balik kegelapan dari barang-barang tak terpakai itu. Semua jumpscare dari film hantu yang pernah kutonton bermunculan mulai dari Sadako, Valak, hingga hantu-hantu anak kecil yang merayap di langit-langit. Ya ampun, ya ampun, Kashi, berhenti memikirkannya. “Mas! Mas, buka!” teriakku tidak sabaran memukul pintu, berharap pintu itu cukup lemah sampai langsung rusak. “Jangan gelap! Mas! Bukain!” “Akan saya buka kalau kamu mau meminta maaf pada Kania.” “Iya iya! Aku bakal minta maaf! Cepet buka!” Aku tidak peduli setelahnya wajahku langsung menubruk lantai karena Mas Delta membukanya tanpa aba-aba, langsung beringsut menjauh dari ruang terkutuk itu. Tatapan tajamku tertuju padanya, semoga dia bisa melihat bagaimana aku membencinya dan mengajaknya berkelahi. Mas Delta memang tidak punya belas kasihan, setidaknya padaku. Tentu saja aku mengharapkan respons lebih dari sekadar memasukkan tangannya ke dalam saku. “Saya pegang janji kamu.” Orang gila. Suami gila. Tidak dengar apa betapa kuatnya napasku berkat ulahnya? Suamiku benar-benar kehilangan hatinya untuk Kak Kania. “Karena kamu tidak jadi dihukum, tidur di kamar tamu.” Sudah malas mengajaknya berdebat, aku langsung masuk ke kamar tidur yang paling kubenci, tetapi tidak sebesar kebencianku pada gudang atau suamiku. Mungkin memang itu yang terbaik, menjauh untuk sementara waktu dan membiarkan lelaki itu berbuat sesukanya. Aku tidak akan peduli lagi. Aku bukan lagi Kashi yang lembek. *** “Ci, lo jadi anak Bekasi apa gimana nih? Panas gini gemeteran.” Lirikan mataku tajam pada Lana. Mengganggu saja. “Apaan sih lo? Gak nyambung banget,” gerutuku semakin menurunkan kupluk hingga menutupi lebih dari setengah wajahku. Jam istirahat kedua hampir berakhir, tetapi aku tidak berniat memesan apa pun, apalagi karena Lana malah memesan bakso. Bakso membawa kenangan buruk soal Kak Kania. Astaga, bahkan itu baru terjadi kemarin, tetapi rasanya sudah berjuta-juta tahun yang lalu. “Yaa kirain gue ‘kan lo udah terbiasa sama panas yang nyengat. Jadinya dikasih panas segini malah dingin.” “Sumpah, gaje banget lo, Lan.” Ributnya orang-orang di kantin malah terdengar hambar di telingaku. Seolah keramaian yang mendengung, tidak jelas sama sekali. Euh, sebentar lagi dan mereka masih saja berisik tak jelas, aku akan berteriak dan berkoar-koar kalau aku istri yang dicampakkan suaminya sendiri. Ya, aku akan melakukannya. Nanti, jika aku sudah benar-benar gila. “Helo-helo sayang-sayang cinta-cintakuuu.” Ini dia teman-temanku yang lain datang. David dan Ingkan. Aku tidak pernah mensyukuri kegilaan mereka, tetapi kali ini aku sangat berharap tertular menjadi segila itu. Paling tidak, aku gila dalam kesenangan. “Gila. Pemborosan kata tau gak namanya?” “Ya ilah, sensi amat neng. Lagi dapet ya?” Ingkan mengalungkan tangannya di leherku dan duduk di sebelah, mengusir Lana ke seberang bersama David. “Eh, lo semalem diapain si mas?” Mataku berotasi malas. “Gue males bahasnya.” Lana mengangguk-angguk. “Fiks, ini lo bad mood gara-gara mas lo.” “Jangan-jangan di ....” Aku melemparkan botol kecap ke wajah David. Gila saja dengan gelagatnya yang menebak kami melakukan ‘itu’. “Jangan ngada-ngada deh. Dia udah gila kalau sampe ngelakuin itu.” “Lo juga sama gilanya mau-mau aja nikah tapi buat jadi pajangan doang. Gue jadi parnoan nih kalau jalan-jalan sama lo, ntar tau-tau ada yang ngikut. Hii ngeri.” “Eh, kalian pada mau ikut kamping nanti?” tanya David melenceng jauh dari topik yang sebelumnya. “Kamping apaan?” “Beb, ini udah bulan-bulannya deket ujian, pastilah ada salah satu fakultas yang ngikut. Siapa pun itu, kita harus ikutan berempat.” Ah, iya, aku baru ingat. Entah siapa yang memulai, tetapi setiap semester selalu saja ada yang berinisiatif mengadakan rekreasi sebelum UAS, supaya pikiran jernih katanya. Setiap fakultas dan program studi mengadakan kegiatan yang berbeda-beda dan siapa saja boleh datang. Aku tidak pernah kebagian mengikutinya karena selalu saja ada proyek untuk tambahan nilai. Yaa kuakui nilaiku memang sering bermasalah hingga langganan mencari nilai tambahan. Dari banyaknya kegiatan, kamping selalu menjadi yang paling seru dan dinanti-nanti. Terkadang di dalam kota atau bumi perkemahan, tak jarang juga sambil mendaki gunung. Intinya yang melibatkan kegiatan di malam hari akan berkali-kali lipat lebih seru. Mendadak aku bersemangat ingin ikut. “Boleh juga. Kira-kira siapa yang ngadain sekarang?” “Gue belum denger info sih, tapi udah pasti ada. Tiap semester ‘kan gitu.” “Eh, emangnya yakin mas lo bakal ngebolehin? Nonton sama kita-kita aja udah ngerinya kayak malaikat maut.” “Kalo ini gak ada hubungannya sama kakak gue, dia gak bakal ikut campur.” “Iya? Tau dari mana?” “Gue males kalo jatohnya jadi sombong, tapi gue mulai ngerti suami sama kakak gue. Ibaratnya mereka itu pengen tetap tumbuh tapi di pot baru. Nah, potnya itu gue. Jadi mereka cuma numpang doang gitu.” Ingkan menyipitkan matanya. “Lo yakin dua-duanya? Kakak lo ‘kan udah punya suami sendiri.” “Oh iya, gue lupa tentang Bang Dion.” Aku menepuk jidatku keras. Bisa-bisanya melupakan hal yang sangat penting, malah mengobrol tentang kegiatan sebelum UAS. Karena memang tidak ada barang yang dikeluarkan dari tas, aku langsung berdiri dan pergi. “Wey, lo mau ke mana? Kita masih ada kelas!” Persetan dengan kelas. Ini masalah masa depan rumah tanggaku. *** Secara spesifik aku tidak tahu Bang Dion kerja apa, tetapi aku selalu bisa menemukannya di tempat main biliar yang sekaligus kafe. Kalau dilihat-lihat malah seperti klub yang ada di film-film dengan walpaper yang serba gelap, terkesan manly. Bang Dion benar ada di sana sebagaimana janjinya tadi pagi. Masa bodo dengan larangan Mas Delta, memangnya hanya dia yang bisa memutuskan seenaknya? Aku juga bisa. Aku akan melakukan apa pun yang kuanggap benar. “Hai, Bang.” Bang Dion yang sedang main dengan beberapa lelaki menoleh. “Eh, Ci? Kirain mau dateng nanti sorean abis kelas. Emangnya udah beres kuliah?” “Bolos sih, Bang, satu matkul. Gak apa-apalah, ini penting soalnya.” “Penting ya?” Dia masih melanjutkan main biliar satu pukulan, lalu mengajakku duduk di salah satu meja. “Ada apaan nih?” Bagaimana ya caraku menjelaskan tanpa kesannya mengadu domba atau mengadu? Aku benci jika Mas Delta mengatakannya demikian. Dia seolah sedang mengejek aku perempuan yang lemah dan jahat pada kakaknya sendiri. Walau dulu Mas Delta tunangannya Kak Kania, tetapi aku cukup akrab dengan Bang Dion karena dia juga sering main ke rumah dengan teman-teman yang lain. Mungkin karena hal itu juga Kak Kania sampe kebobolan sama Bang Dion. Ya sejak keluargaku tahu, tak ada lagi teman-teman kakakku yang datang ke rumah. Jadi, bisa dibilang aku lebih nyaman bersama Bang Dion sebagai abang dibanding Mas Delta sebagai suami. “Bang Dion tau kalau Kak Kania sering pergi sama Mas Delta?” tanyaku nyaris mencicit, tak ingin orang-orang itu mendengarnya juga. Bang Dion terdiam sekejap. “Tau sih. Abang juga gak keberatan kalau si Delta mau jalan sama Kania. Mereka ‘kan sekarang cuma mantan.” Hah? Serius? Ya ampun, orang-orang ini sama-sama toxic. Dan aku merasa sebagai korban tunggal di sini. “Emangnya Abang yakin kalau mantan gak ngaruh apa-apa ke mereka?” “Kamu cemburu, Ci?” Bang Dion malah terkekeh bak aduanku, eh, ucapanku tidak ada artinya baginya. Aku mengusap kasar wajah, tak habis pikir. “Bukan cemburu, tapi apa Abang gak mikir kalau itu gak pantes? Status mereka cuma ipar dan mereka pernah tunangan, orang-orang bakal nanya kenapa mereka masih berbarengan padahal udah punya pasangan masing-masing.” “Pertama, Delta itu temen abang, Ci. Dia gak bakal macem-macem walau dulu emang ngebucinin si Kania. Kedua, anggeplah abang lagi tebus dosa soalnya dulu nikung dia dengan cara yang ... ya, bisa dibilang gak sengaja. Ketiga, lo tau sendiri si Delta orangnya kayak gimana. Dia gak bakal dengerin orang lain.” “Abang kok gini sih? Aci kira Abang bakal gak terima juga.” “Abang ngerti kalau kamu gak terima sebagai istri Delta, tapi kasih mereka waktu sebentar aja. Semuanya serba tiba-tiba, ‘kan? Kania ketahuan hamil terus nikah sama abang, gak lama Delta nikahin kamu. Mereka mungkin belum move on aja.” “Apa Abang gak kasian ke Aci? Aci gak tau apa-apa di sini terus diseret-seret gini.” “Terus kenapa kamu nerima lamaran Delta waktu itu?” Ck, pertanyaan itu lagi. “Mungkin Aci masih labil, makanya asal iyain.” Bang Dion menepuk-nepuk bahuku, terkesan simpati. “Terima aja, Ci. Sabar sebentar lagi, Delta pasti bakal move on dan jadi suami kamu sepenuhnya.” Bola matanya bergeser ke belakang tubuhku dan menambahkan, “Tuh, orangnya dateng.” Gawat. Tanpa menoleh, aku tahu siapa yang Bang Dion maksud. Haduh haduh haduh, dari auranya sih Mas Delta pasti semakin dekat. “Abang bilang Aci mau ke sini?” “Dia yang minta abang buat bilang kalau kamu mau ketemu.” Akhirnya, sepasang kaki panjang itu berhenti tepat di sebelah meja kami. Aku tidak mau mendongak, hanya akan mendapati betapa tajamnya Mas Delta memelototiku. Makasih, tetapi aku sudah hafal bagaimana pelototannya itu tak akan berubah. “Bisa tinggalin kita?” Dasar Bang Dion tidak peka, malah pergi begitu saja tanpa berusaha untuk menenangkan Mas Delta yang sebentar lagi menjadikan kesalahanku sebagai mosi dari argumennya. “Jadi, kamu berani melanggar perintah saya? Mau dikurung lagi?” Oh, kalau hanya melawan Mas Delta aku berani. Lelaki itu tidak akan sadar jika aku terus pasrah ditindas oleh ‘cintanya’ yang terlarang. “Mas kira aku anak kecil yang bisa seenaknya dikurung cuma gara-gara hal sepele begini? Mama sama papa juga gak pernah hukum aku sama kayak Mas, tapi beraninya Mas gini sama anak orang lain.” “Anak orang itu sudah menjadi istri saya, tanggungan saya. Keluarga kamu sudah menyerahkan kamu pada saya, jadi saya sepenuhnya memiliki hak untuk menghukum kamu.” “Cuma gara-gara aku ngaduin Kak Kania?” “Karena kamu tidak mematuhi perintah saya sebagai istri yang patuh.” Aku berdecih. “Ya, sayangnya aku bukan Kak Kania yang sangat sempurna itu.” Jika dengan Mas Delta, aku tak tahan untuk langsung pergi dan merasakan kepuasan jadi orang yang pertama kali pergi. Mas Delta bisa menang argumen, dia bisa menang kekuatan, tetapi aku tidak akan membiarkannya pergi sebagai pemenang. Enak saja. “Mau ke mana?” “Mana aja, bukan urusan Mas.” Aku berbalik dan berseru karena tahu Mas Delta masih mengekor, “Jangan ikutin aku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN