#Gemmy#
^
^
"Buat lo, Ge!"
Adikku, Arvel melempar kertas silver yang dilipat rapi. Aku hanya melirik sekilas, lalu balik menekuni deretan angka pada kolom excel. Tidak ada yang menarik pada kertas lipat itu. Hanya undangan bodoh yang mencantumkan nama penerima Gemmy & Istri. Membuatku ingin berdecih jijik. Jika bisa, aku lebih memilih mengajak sekretarisku yang buncit itu dari pada membawa eugh ... haruskah aku memanggilnya pendampingku? Jujur, aku bahkan tidak mengingatnya selama business trip-ku ke Bangkok minggu lalu. Ingatanku baru kembali padanya saat Fatih, puteraku menelepon. Memamerkan kata baru yang bisa diucapkannya, emon potongan kata Doraemon. Manis sekali. Fatih kecilku hampir tiga tahun tapi dia mengalami semacam speech delay, hanya sedikit kata yang bisa diucapkan fasih. Dua kata paling fasih, Papa dan huft … Mama.
"Ge, gue ketemu Bara kemarin sore."
Kepalaku terangkat dari lembaran berkas yang tengah aku periksa. Sungguh aku tidak menyadari Arvel masih di sini. Duduk santai di seberang mejaku. Memamerkan senyuman khasnya yang menyebalkan."Kata Bara, dia liat Kak Ratu datang ke kantor Om Setyo." Om Setyo? Aku bukan pribadi yang semangat menebak satu kondisi. Karena itu aku memilih diam menyimak omongan Arvel soal perempuan bernama Ratu, istriku.
"Lo kenal Om Setyo, kan?" Kepalaku terangguk sekali menimpali. Arvel menyandarkan kedua lengannya di atas meja. Tubuhnya condong ke depan. Posisi favoritnya tiap akan membagi kabar penting. For the heaven, he's my brother. I know him well.
"Bara nanya urusan Kak Ratu datang ke Om Setyo." Wajah Arvel serius namun, tidak mengusik ketenanganku. "Dia konsultasi soal cerai."
"Cerai?" Mulutku membeokan kata terakhir yang diucap Arvel. Kali ini aku tidak bisa mempertahankan wajah tenangku. Perempuan bodoh itu tidak bisa seenaknya gerilya di belakangku. Tidak boleh tanpa izinku.
"Kayaknya Aurora sudah bangun dari tidur panjangnya. Then she'll wreck you up," sindir Arvel sambil pamer senyum culas. Dasar bocah tengik, dia masih sekutu that nothing woman.
"Lo tahu soal ini?" Aku tidak bisa asal tuduh Arvel sebagai salah satu anggota separatis. Walau pasti dia bukan pendukungku.
"Gue nggak tahu. Beberapa bulan ini gue sibuk, nggak pernah dengar kabar Kak Ratu soal gugatan cerai begini," jawab Arvel yang aku nilai jujur. Dia memang anggota keluargaku yang terdekat dengan perempuan bodoh itu, selain Mami tentu saja.
"Lo tahu alasan dia punya rencana-" Aku bukan pribadi yang taat beribadah tapi, aku juga bukan seorang yang bodoh agama, Tuhanku. Jelas perceraian bukan hal yang disukai-Nya. Sekadar sebut saja aku merasa ngeri. Apalagi suami tidak bisa sembarang sebut kata itu, ada semacam hukum agama, ahh nanti aku akan cari tahu. Aku tidak ingat jelas dalilnya. Intinya ucapan saja sudah sama dengan jatuh talak.
"Masih perlu ditanya kenapa Kak Ratu mau pisah dari lo? Jangan play innocent deh, be honest saja lo happy bakal pisah dari dia."
Seharusnya ... ya. Aku bahagia berpisah dengannya. Masalahnya, keluargaku tidak akan semudah itu membiarkan kami berpisah. Aku juga punya pertimbangan tertentu yang menghambat euforia mendengar kabar gugatan ini, apa lagi selain anakku pastinya.
♣♣♣
"Om." Sepanjang sisa hari, aku habiskan memikirkan kabar yang dibawa Arvel. Berujung kedatanganku ke kantor Om Setyo, pengacara yang sudah bekerja bersama keluargaku sejak zaman Papi masih hidup.
"Tumben ke sini, Ge." Om Setyo bangkit dari duduknya, menjemputku yang masih berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Menjabat tanganku erat sambil menepuk bahuku. Mirip apa yang senang dilakukan mendiang Papi. Berteman sejak sekolah dasar membuat banyak kemiripan antara almarhum Papi dan Om Setyo.
"Kebetulan luang. Mampir sini sebentar. Semoga tidak ganggu," balasku. Aku bukan seorang yang pintar bohong. Namun, berbekal pengalaman sering ketahuan oleh keluarga, aku menghindari kontak mata dengan lawan bicara. Upaya yang payah, mau bagaimana lagi. Aku bukan aktor.
"Tidak sibuk. Jarang-jarang kamu mau singgah ke gubuk nestapa Om. Harus Om sambut meriah. Perlu kita pesan tumpeng?" canda Om Setyo.
"Bisa saja, Om. Tidak perlu." Aku ikut tertawa walau masih kalah membahana. Om Setyo punya vokal kuat, suaranya yang berat menggema seisi ruangan.
"Tidak masalah kalau berhubungan calon penerus Rakhmadi. Bisa diatur." Aku paling malas sikap menjilat Om Setyo. Aku paham pentingnya kerja sama dengan perusahaan yang didirikan kKakek, hanya saja menggelikan sekali semua ungkapan sok manis yang kudengar. Sebagai pria, rendah sekali sikapnya ini.
"Aku ke sini ada pertanyaan buat Om," potongku. Makan siangku rasanya mau meledak keluar jika membiarkan telingaku terkontaminasi lebih banyak celotehan lintah.
"Ya. Silakan saja. Apa itu?" Om Setyo sudah duduk di kursi kebesarannya. Aku membuntuti ke meja kerjanya, dan duduk di kursi di seberang. Lama aku tidak datang ke kantor ini, sudah banyak perubahan signifikan. Ah, lupakan isi dalam ruangan ini. Aku ke mari bukan hendak menilai selera interior orang atau membandingkan dengan kantorku. Aku datang murni karena ulah that hippo woman. I need more hint of her steps behind me. Yeah, she won't win it.
"Apa Ratu datang ke sini?" tanyaku langsung ke poin.
"Ya, beberapa hari yang lalu," jawab Om Setyo santai.
"Apa yang dia bicarakan dengan Om?" Sekian detik aku rasa jantungku bergerak di luar batas normal. Aku jelas khawatir jika benar dia melayangkan gugatan tanpa mendiskusikannya. Tidak tahu bagaimana aku akan menghadapi keluargaku. Meski aku menginginkan perpisahan, bukan berarti aku sudah siap secara mental. Pernikahan kami menyangkut dua keluarga. Banyak tetua yang pendapatnya wajib masuk dalam pertimbangan kami.
"Ratu, emm…." Om Setyo menggaruk dagunya. Raut wajahnya tampak berpikir, tapi aku jeli menangkap kedutan tipis di ujung kedua matanya. Tanda dia mencurigaiku.
"Ratu menanyakan soal perceraian," lanjut Om Setyo setelah kami beradu pandang cukup lama.
"Perceraian." Aku mengeja kata itu hati-hati. Memang ada sekelebat keinginan berpisah tapi, ketika topik ini diangkat keraguan besar melandaku. Ketidakyakinan bahwa, memang ini yang aku butuhkan sekarang.
"Ya. Dia bilang ada sahabatnya yang ingin bercerai, karena suaminya tidak jelas kabarnya. Dia meminta saran Om mengenai perceraian sahabatnya itu. Soal gugatan, harta gono-gini, hak asuh anak, semacam itu. Kelihatannya Ratu punya hubungan yang dekat dengan sahabatnya hingga rela datang ke sini. Dia mengaku ingin memberikan dukungan pada sahabatnya."
Sahabatnya? Kepalaku memutar daftar orang-orang dekat Ratu, hasil investigasi detektif yang pernah aku sewa. That hippo woman tidak punya sahabat yang sudah menikah. Hanya satu, seingatku belum menikah. Namanya Es, wait, something Es. I forget.
"Hanya itu, Om?"
"Ya." Om Setyo mengangguk mantap. Jari-jarinya mengetuk tepi meja dalam gerakan konstan yang membangun suasana berubah mencekam. "Ada apa?" Suara beratnya kembali melayangkan pertanyaan yang mengandung unsur kecurigaan.
"Eum, bukan hal penting," jawabku gugup.
"Yakin?" Satu alis Om Setyo terangkat. Kini dia terang-terangan mencurigaiku. "Om awalnya menduga Ratu ingin menggugat cerai kamu."
Apa saja yang dibicarakan that hippo woman bersama Om Setyo hingga dugaan begini bisa muncul? Pasti hippo bodoh itu gagal berbohong. Damn! Awas saja jika kabar ini menyebar di keluarga besar. Aku jamin hidupnya akan berakhir di tanganku detik itu juga.
"Kami tidak merencanakan perceraian. Kami baik-baik saja," sahutku. Tidak aku pedulikan lagi tanggapan Om Setyo. Pikiranku hanya terfokus pada satu tujuan begitu keluar dari sini. Aku harus segera menemui monyet Sunter itu. Mengedukasi otak biji kedelainya.