Berbekal ilmu hukum ecek-ecek mengulik Om Setyo, aku melanglang buana review istri-istri teraniaya di internet. Deuh, bini-bini kurang belaian en nggak dapat hak-haknya, membagi kisah perceraian mereka. Lumayan jadi bahan persiapan diri masuk peradilan. Eh, apa pengadilan, eh mahkamah, eh apa sih namanya gedung yang ada meja hijaunya itu? Rapunzel kelamaan ngedon, nyisir rambut di menara, membeku gitchu otak eike.
Smartphone Paman Sam Kuriyah dering-dering. Terpaksa aktivitas netter kece Danau Agung dihentikan. Penasaran deh siapa yang kurang kerjaan jam segini.
Sundel bolong is calling….
Nggak bisa ya demit satu ini eksis habis magrib, biar cerita nenek-kakek zaman baheula beneran kejadian. Syetan keluarnya habis bedug magrib. Makanya habis magrib mesti tutup pintu, terus salat biar syetan ogah masuk rumah.
"Halo, dengan bini borokan kesayangan sundel Depok," kataku setelah menggeser ikon hijau.
"Bibo beibi darling lalala, apa kabar?"
"Baik. Mohon maaf saya bicara dengan siapa?"
"Borokan nggak dicolek lakik bisa bikin pikun, Tu?" Suara tawa si sundel yang menggelegar memekakkan kuping Incess. Ada nggak ya, operasi pita suara biar tawa sundel kesayanganku bisa unyu dikit. Pengecilan lubang hidung mungkin membantu tawanya. Kan, asupan udara menipis masuk paru-paru bikin tawa lebih halus. Baru teori loh, belum pasti bener.
"Nyakitin deh omongan Ayuk Mita," balasku genit.
"Geleuh, Bibo. Yang wajar aja deh. Nggak bisa dicolek lakik lo kan, masih banyak lakik lain berkeliaran di terminal Depok. Suit-suit dikit biar digoda balik. Plis, jangan goda gue yang masih demen lelaki." Siapa pun yang nggak suka saran najise sundel, silakan hujat makhluk astral ini. Gantikan aku yang dosanya sudah numpuk gegara ngatain dia dalam hati.
"Gue istri setia. Termasuk setia ditelantarin di sini." Pengen nangis meratapi nasib Rose, hiks!
"Lo pan ditelantarin, tapi tetap dapat santunan istri fakir."
"Fakir apose?"
"Fakir sentuhan cinta kasih lelaki dewasa. Adaan lo dipeyuk-peyuk Fatih doang. Nasib lo ngalahin jomlo." Dia ketawa najise. Jelas-jelas dia tahu hatiku meres-meres luka darah.
"Perhatiannya Ayuk Mita buat Dedek Tutu terharu. Mau peyuk."
"NAJISE!!"
Kuping tobat, kuping kuat, tetap sehat dengar polusi suara sundel. Speaker dangdut mana yang sundel telan, kelewatan banget atur volume. Aku menggosok kuping kananku yang pengeng tangkap teriakan maha dahsyat si setan ciwik. "Gue kayaknya makin mantap mau cerai. Gue udah kulik dikit soal cerai ke pengacara keluarga lakik gue."
Nggak ada tanggapan. Yasud, Sleeping Beauty lanjut cerita. "Gue udah tanya soal gugatan, lama prosesnya, hak asuh, gono-gini, gue perlu bahas keluarga besar ki-"
"Mending lo pikir ulang. Demi Fatih. Dia butuh bokapnya. Dia juga butuh lo. Dia butuh kalian berdua."
Berdua. Nggak ada kata itu dalam pernikahan ini. Kami bukan pasangan normal. Fatih masih kecil, dia belum paham orangtuanya. Dia cuma butuh makan, minum, tidur nyenyak, kartun, dan mainan.
Ya, aku memang bukan perempuan berpendidikan tinggi. Tapi aku nggak buta-buta banget kok, kalau anak butuh orangtua. Perkaranya, kami nggak tinggal serumah. Wajar aku berpikir Fatih harus siap mental. Tahu bahwa orangtuanya pisah. Belum pisah status saja kami sudah pisah ranjang, pisah rumah, pisah hati barangkali. Dipisahkan jarak Danau Agung ke Thamrin. Gilak, kayak beda negara, Sist.
"Pergi ke Gemmy. Bawa Fatih. Tuntut hak Fatih tinggal bersama papanya. Kalo dia nggak kasih, gue ada di sisi lo. Gue yang bakal dukung lo pisah."
Pergi ke—biarkan Princess hela napas syedih—nggak sanggup, Sist sebut nama papanya Fatih. Kayak nggak nemu feel gitu. Kayak nggak ada bonding gitu. Kayak dia, aku, end.
"Gue—" Otak dan lidahku puyeng milih kata. Pernah kan ngerasain pengen ucap tapi nggak nemu kata.
"Lo takut ditolak," ceplosan sundel menohok. Aku masih perempuan, pakai hati di banyak waktu. Penolakan bukan sesuatu yang gampang diterima. Apalagi ditolak dia. Perempuan begitu, hatinya lebar mengalahkan stadion GBK. Melengos dikit udah dianggap penolakan keji buat kaum hawa. Apalagi aku yang dicuekin tahunan, pembunuhan kali levelnya.
"Gue cuma nggak mau Fatih ngerasain penolakan papanya," kilahku.
"Beneran?" Sundel itu selain pakai baju putih, rambut panjang, dan punggung bolong. Sundel punya antena tersembunyi di antara rambutnya. Percaya azah, Esmita tuh buktinya. Nggak tatap muka saja bisa tahu aku bo ... ong.
"Bener." Kepalaku naik-turun. Jelas-jelas sundel nggak bisa lihat tapi kepalaku tetap gerak gaje.
"Jangan khawatir. Ditolak Gemmy nggak bakal seburuk Fatih tahu, kalo emaknya minta pisah dari babenya. Pergi ke Gemmy, ajak Fatih. Kasih alasan Fatih kangen babenya kek. Jangan tulul deng. Hari gini anak tuh paling tokcer menyatukan pasangan."
"Baca novel mana lo?"
"Bibo beibe, percaya gue sesekali. Jangan bikin Fatih kecewa pas gede. Usaha dulu. Ngemis dikit nggak bikin lo tambah jelek. Standarnya orang jelek tuh, sekali jelek tetap jelek. Dibagusin juga kagak bisa bikin lo jadi Belle. Tetap lo itu Beast. Gue tunggu kabar berikutnya."
Dia nelpon buat ngomong itu? Dia masuk garis keras pendukung Fatih apa papanya Fatih? Aku nggak bikin partai buat baby-ku loh.
"Apa masih ada … emm harapan?" Mau nangis, mau nangis. Air mata tolong ya, sopan dikit. Aku belum mau kelihatan sebagai anggota desperate wives. Biar rumah tanggaku gersang, papanya Fatih nggak pernah telat kirim uang dan aktif teleponan sama baby-ku.
Boleh bilang, aku takut kalo menemui papanya Fatih membawa Fatih, bakal ada sedikit kemungkinan kita bisa, ya ya ya pikir masing-masing deh.
"Kalau lo ngaku orangtua, mestinya lo bakal ikut saran gue. Kalo lo masih mau maju ngebawa rencana cerai karena diri lo, asli lo tulul. Ada Fatih. Lo dan Gemmy punya Fatih. Kalo mau pisah mestinya sebelum anak kalian ada."
Aku tidak menanggapi perkataan Mita. Dia kayaknya paham, jadi dia mengalihkan pembicaraan kami ke hal lain. Kami berbicara banyak, apa aja asal bukan soal rumah tanggaku. Sambungan telepon sundel sudah kelar setengah jam lalu. Aku tinggalkan si Paman Sam Kuriyah di kamar. Mending bobok chantique sama my baby ucul Fatih yang siang ini memilih tidur di kamarnya. Baby-ku punya kamar sendiri, isinya penuh Emon aka Doraemon. Ish, jangan asal tebak anak eike penyuka Emon yang di catatan si Boy. Beda, Sist.
"Bu." Mbak Tantri, pembantu yang dipekerjakan ibu mertuaku nongol depan pintu. Aku yang sudah membaringkan badan jadi terpaksa duduk di kasur, kayak nggak sopan aja diajak ngomong tapi tidur-tiduran. Apalagi Mbak Tantri usianya di atas aku.
"Ya, Mbak. Kenapa?" Aku ini sosok nyonya majikan baik hati. Kembarannya ibu peri, bukan mimi peri yawh. t***k eike montok, cup B plus. Plus sumpalan busa hohoho.
"Mas Gemmy telepon. Katanya Ibu ditelepon nggak diangkat."
Lucu deh, aku itu lebih muda dari papanya Fatih, tapi aku yang dapat gelar 'Ibu', sementara dia dipanggil Mas. Mentang-mentang ganteng, diperlakukan beda. Mama Fatih keusyal!
"Oh, ya? Saya tinggal Pa—" Nyaris kelepasan sebut hape pake nickname kece. "Hape saya tinggal di kamar. Trus papanya Fatih bilang apa lagi?"
"Minta dimasakin sayur lodeh sama Bi Tini. Buat makan nanti malam."
"Papanya Fatih pulang?" Aku melonjak kaget. Pria satu itu nggak mungkin datang ke sini di week days. Weekend saja belum tentu datang. Lah ini? Wah, aku curiga.
"Iya, Bu. Kayaknya mau ngabarin Ibu tapi ditelepon nggak diangkat."
"Makasih, Mbak."
Mbak Tantri pamit ke dapur lagi. Pembantu yang bekerja di sini ada dua. Mbak Tantri dan Bi Tini. Mbak Tantri tugas bersih-bersih dan cuci-setrika baju. Bi Tini masak, belanja, dan beresin taman. Sopirku, Kang Didi itu sepupu Mbak Tantri dari pihak suami. Kebetulan tinggal indekost dekat sini bareng istrinya.
Mereka siap-sedia kerja atas ulah cermat Mami mertua yang tatut menantunya hidup syusyah. Jujur loh jujur, aku asalnya orang syusyah juga. Nyapu, ngepel, masak, setrika mah biasa.
"Mama," lenguh Fatih di sela 'hoam' gantengnya. Baby cakep, nguap ganteng apalagi habis mandi. Ganteng beuds.
"Udah bangun anak mama ganteng. Cuci muka terus makan kue yuk!" Aku menindih badan mungil Fatih. Menciumi sekujur mukanya. Dia jerit kegelian. Jerit manis, lucu bikin aku tertawa.
"Mama op, op, op!" Fatih menahan wajahku maju. Kedua tangan padat berisinya menangkup pipiku.
"Mama stop kalo Fatih bangun. Kita mau makan kue." Fatih dan kue itu soulmate. Pakai satu kata itu bisa selesaiin pertikaian di antara kita. Fatih bakal luluh apalagi kalau tawarannya kripik singkong.
"We, wu."
Nggak paham? Artinya, kue mau. Biasa mengasuh Fatih sendiri, aku bisa paham kata-katanya yang potongan nggak jelas. Koneksi ibu-anak, Sist. "Ayo makan kue. Nanti malam papa Fatih datang." Dua mata baby-ku membulat. Dia bahagia mendengar kabar itu. Bukan ikut bahagia, aku malah parno pria itu batal datang ke sini.
Tolong jangan biarkan Fatih-ku kecewa. Jangan pernah.