Sunter masih sepadat biasanya. Jam setengah empat berangkat dari kantor yang berlokasi di Thamrin, nyaris magrib aku belum juga tiba di kediaman puteraku. Malaikat kecil bermata bulat besar. Menyetir sendirian membuatku ingin mengumpat. Kembali aku ingat puteraku, little deer-ku. Tidak pantas seorang ayah mencetuskan kata makian. Aku wajib membiasakan diri pada hal-hal baik, agar kelak puteraku menjadi pribadi yang lebih baik. Ya, semua orangtua mengharap anaknya tumbuh berkali lipat lebih baik. Panggilan untuk mama Fatih bukan masuk makian, itu hanya kata ganti nama. Menggantikan kata ‘dia’. Tahu-tahu bibirku kedutan ingin senyum.
Dering ponsel mengalihkan konsentrasiku pada jalan. Lurus sedikit lagi di depan ada sekolah TK persis di hook. Aku belok di gang itu lalu ambil jalan perumahan. Bagus, jalanan perumahan lengang. Akhirnya dering handphone berhenti. Nanti aku akan menghubungi setelah sampai destinasi. Rumah hadiah pernikahan dari Mami. Diatasnamakan perempuan itu. Aneh sekali alasan Mami membeli rumah ini atas nama perempuan itu. Menurutnya, seorang perempuan akan lebih bisa menjaga harta benda keluarga. Hah, yang mana yang menjaga. Dia hanya si pemalas yang seharian sibuk mondar-mandir di dalam rumah. Baiknya aku pekerjakan seorang satpam. Seorang sekuriti membukakan gerbang, saat mobilku membunyikan klakson. Aku lupa siapa nama sekuriti itu, yang pasti dia bekerja sejak rumah ini kami tempati. Mobil Alphard putih terparkir di carport. Bagus, perempuan itu ada di rumah.
"Sudah datang, Mas." Seorang pembantu pertengahan tiga puluhan membukakan pintu. Tangannya sudah terulur mengambil tasku.
"Tidak usah. Saya masih bisa sendiri." Aku berjalan masuk tanpa mempedulikan tatapan kecewanya. For the heaven, aku masih punya tenaga sekadar menenteng tas isi laptop. Bisa malu jika orang melihat barang-barangku dibawakan perempuan, sekalipun dia pembantuku.
"PAPA!"
Seruan itu. Mataku memutari ruang tamu, mencari si pemilik suara lucu. Tidak ada sosok yang aku kenali sebagai pemilik seruan khas itu.
"Di mana Fatih?" Aku bertanya pada pembantu tadi.
"Di kamar. Sama Ibu." Aku berjalan dalam langkah lebar. Tidak ingin mengulur waktu bertemu my baby deer. Anak tangga aku tapaki dua sekaligus. Naik ke lantai dua, aku bergegas menyambar gagang pintu kamar paling ujung.
Ha?
Tubuhku menegang. Fatihku di sana, melompat-lompat di atas kasur hanya berbalut popok. Di dekatnya seorang perempuan berusaha menangkapnya. Damn. That hippo woman only wears underpant and bra. Di mana otaknya?
Kepala Fatih memutar padaku. Sepersekian detik bingung, lalu berganti wajah ceria. Sambutan termanis di seluruh dunia. "PAPA!"
Rusa kecilku meloncat dari kasur, lalu berlari menerjang kakiku. Mestinya aku tangkap namun, refleksku sedang minus total. Aku malah terjungkal ke belakang. Pantatku menghantam lantai keras. Ditambah tindihan pada perut oleh Fatih. Berhasil bangkit berdiri, aku menemukan sosok perempuan itu sudah mengenakan baju tanpa lengan sepanjang lutut. Itu yang disebut daster ya?
"Papa, yang," celoteh Fatih di dalam gendonganku.
"Iya. Fatih senang bertemu Papa?" tanyaku. Sebenarnya aku yang senang bertemu malaikat kecil ini.
"Angang." Kepalanya naik-turun menggemaskan. Aku duduk di atas kasur, bersama Fatih masih di pangkuanku. Jika bisa, aku ingin memangkunya terus sepanjang waktu. Tidak membiarkannya tumbuh besar. Menyimpannya dalam ukuran segini.
"Papa." Fatih punya pelafalan kata yang unik. Menyebut papa seperti 'poapah'. Sekilas terdengar British sekali.
"Ya, Nak." Tanganku mengelus rambutnya yang masih basah.
Mata besarnya berbinar padaku. Kebahagiaanku berubah sederhana semenjak kelahiran Fatih. Senyumnya saja, tawanya saja, bahkan sekadar kedipan matanya sudah melebihi kata banjir bahagia.
"Papa, an an an." Fatih bicara, apa aku tidak paham. Kasur di sisiku bergenjot. The hippo duduk di sebelahku. Aku hanya melihat lewat ekor mataku saja. Dia sama terpesonanya ketika dekat little deer.
"Fatih bilang, Papa makan," kata err ... baiklah aku akan sebut namanya. Ratu. Aku hanya suami berengsek. Selebihnya aku sosok baik. Ayah yang baik, dan bos yang baik.
"Fatih sudah makan?" tanyaku pada Fatih. Rusa kecilku menggeleng sambil menggembungkan pipinya. Lucu sekali.
"Mau makan sama Papa?" ajakku.
Kali ini dia berteriak, "Ya!" Bersemangat sekali. Puteraku memang suka berteriak. Dia punya teriakan khas yang melengking. Tertuduh utama malaikat mungilku tahu cara berteriak adalah, mamanya. Siapa lagi yang seharian ini mengurus Fatih kecuali si hippo bodoh.
"Papa mandi dulu ya. Fatih tunggu Papa di luar sama Mama ya," kata si hippo.
"No, no, no." Telunjuk Fatih bergoyang-goyang. Kelakuan satu ini jelas tersangkanya Arvel. Aku pernah melihatnya berkata no sambil menggoyangkan telunjuk. Menyebalkan sekali intervensi luar pada pendidikan usia dini Fatih.
"Papa belum mandi, Nak. Bau." Aku menjepit hidungku menggunakan telunjuk dan ibu jari, menunjukkan wajah jijik. Bukannya menghindar, Fatih malah menirukan. Dia sangat cerdas dan ekspresif. Jika bisa, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya.
Nyatanya, aku tidak mungkin bisa pergi ke mana pun tanpa perempuan itu. Fatih tidak dibesarkan di bawah pengasuhan orang lain. Sepenuhnya oleh perempuan err ... mamanya, maksudku. Dia hanya bisa bertahan paling lama dua jam bersamaku. Setelahnya, dia akan merengek memanggil mamanya. Mainan apa pun yang aku berikan tidak bisa menggantikan perempuan itu. Alasan utamaku belum bisa berpisah dari that hippo juga. Aku masih membutuhkannya, agar bisa dekat dengan anakku.
"Papa u-u!" Fatih mengibas tangannya.
"Iya, Papa bau. Fatih di luar ya, sama Mama," bujukku.
"No no no." Kembali telunjuknya bergoyang-goyang. Arvel, didikan bodohmu membuat puteraku suka membantah.
"Keluar dulu ya,” bujukku lagi dan Fatih masih berkeras ingin di dalam kamar. Aku mengalah membiarkan Fatih menunggu di dalam kamar.
Berikutnya aku lupa, selain Fatih yang menunggu di kamar. Jelas perempuan itu mesti ikut juga. Dan aku keluar kamar mandi hanya berbekal handuk yang melilit pinggang. Fatih mengejutkan dengan sergapannya pada paha belakangku. Kemudian terjadilah, handukku melorot. Tubuh polosku ter-expose di depan muka si hippo. Damn!