RESIKO WANITA BAYARAN
Kamar hotel dengan ranjang yang berhiaskan taburan kelopak bunga mawar telah menanti seorang wanita yang akan bertempur di sana.
Bukan sekedar peraduan dua tubuh yang bertukaran lendir kenikmatan, melainkan mereka tengah bersiap memainkan sebuah skenario yang menegangkan.
Seorang pria yang tengah berdiri dengan tubuh hanya berbalut handuk putih di bagian bawah, memberi aba-aba pada seorang wanita yang tengah duduk di tepi ranjang, menyilangkan satu kaki dan ekspresi wajah yang dingin menatap pria itu. Tampilan yang setengah terbuka itu menandakan babak baru akan segera dimulai.
“Ya.” Jawab wanita itu singkat, seraya beranjak dari duduknya, merubah posisi tubuh dengan naik ke atas ranjang, merebahkan dirinya yang sudah mengenakan pakaian malam, tidak begitu seksi namun bahannya memang sedikit tipis, walaupun tidak menerawangkan lekuk tubuhnya.
Pria itu segera menyudahi percakapan via ponsel yang sedari tadi melekat di indera pendengarannya. Ia menatap si wanita yang sudah mempersiapkan diri, kini tinggal gilirannya untuk melengkapi permainan mereka yang sesaat lagi akan menuju klimaks. Raut wajah mereka sama-sama terlihat tegang, tidak ada yang bisa menarik seulas senyuman sekalipun itu sekedar untuk melonggarkan tekanan batin.
“Aku harap kamu bisa membantuku menyelesaikan masalah ini. Akan aku berikan bonus jika misi ini berhasil. Lakukan yang terbaik yang kamu bisa.” Pinta pria itu seraya menatap tak tega pada wanita di hadapannya.
Wanita bernama Jennie itu hanya menyeringai, menyunggingkan senyuman yang kurang sedap dipandang. Nilai kecantikannya berkurang jika ia terlihat dengan ekspresi wajah seperti itu.
"Pegang ucapanmu, Pak." tegas Jennie dengan senyum smirknya. Ia tidak menampakkan wajah polos, namun peringainya seperti jalang yang memang terbiasa melayani nafsu pria b***t yang membayarnya.
Suara bel yang dipencet dari luar terdengar memecah keheningan dalam kamar remang-remang ini. Kamar hotel yang sedari tadi menjadi tempat transaksi bagi Jennie dan pria paruh baya langganannya. Jennie menarik napas dalam, sedangkan si pria menoleh ke arah pintu, sudah bisa menebak siapa tamu mereka yang tak sabaran disambut.
“Aku buka pintunya, bersiaplah!” Ujar pria itu dengan tatapan iba, seperti tengah mengasihani Jennie.
“Baiklah.” Jawab Jennie lantang, tidak perlu ditakutkan jika memang tak terhindarkan. Ia hanya bisa menghadapi dengan segenap keberanian yang terkumpul.
Pintu terbuka lalu didorong dengan tenaga kuat dari luar. Tenaga dari seorang wanita yang bersiap mengamuk, membabak belurkan orang yang ada di dalam kamar itu. Sepasang mata wanita muda yang cantik dan modis itu kian nanar saat mendapati suaminya tengah bertelanjang d**a, dengan tubuh bagian bawah yang terbelit handuk.
“Oh, jadi benar selama ini kamu selingkuh!? Mana... Mana wanita itu!?” Geram istri pria itu seraya berjalan cepat dengan tatapan yang langsung tertuju pada ranjang. Tatapannya kian tajam saat melihat Jennie duduk tenang sembari menyilangkan kaki. Pose yang sungguh menantang apalagi dalam balutan busana malam yang semakin meyakinkan bahwa mereka baru saja bercinta.
Tangan wanita itu langsung terjulur dan tanpa ampun mendaratkan sebuah tamparan pada wajah mulus Jennie. Cukup keras sehingga kepala Jennie bergerak mengikuti arah tamparan itu. “Dasar tidak tahu malu, apa ini yang kamu bisa? Merayu suamiku, pasti karena uang kan? Kamu dibayar berapa hah!?” Pekik wanita itu geram, menyusul tindakan frontal selanjutnya yang begitu ringan tangan memberinya pelampiasan.
Apa yang dilakukan pria itu? Diam saja, mencari posisi aman agar tidak menjadi korban kebrutalan istrinya. Dan Jennie hanya diam membiarkan wanita itu menyalurkan amarah kepadanya. Dalam kondisi yang menegangkan itu, Jennie masih bisa menyunggingkan senyuman. Ya... Hanya dengan cara itulah ia menghibur dirinya, menahan diri agar bisa bertahan hingga babak akhir.
Sebentar lagi.... Gumam Jennie, meringis dalam hatinya.
***
Kamar itu kembali hening, menyisakan bukti kekacauan yang sekaligus menyadarkan Jennie bahwa kejadian beberapa saat lalu memang sebuah kenyataan. Ia masih duduk mematung di atas ranjang, menyandarkan punggungnya yang rindu akan nikmatnya rebahan. Tentu saja belum bisa ia turuti kehendak tubuhnya itu, bukan tempat seperti ini yang cocok baginya untuk terlelap. Ia punya satu tempat ternyaman untuk beristirahat setelah pekerjaan keras ini selesai, rumah.
Dreet... dreet.... Getaran ponsel yang disetel senyap itu mengalihkan perhatian Jennie. Semangatnya kembali menyala saat mendengar ada notifikasi masuk ke dalam alat komunikasinya. Mungkin bunyi itu merupakan pertanda baik bahwa jerih payahnya sudah membuahkan hasil, upah dari menahan kesakitan akibat amukan sesama kaumnya. Senyum Jennie mengembang lebar, menambah poin kecantikannya karena kali ini bibirnya mengukir lekuk yang begitu natural, tanpa seringai.
“Pembayaran sudah saya selesaikan, terima kasih atas servisnya.”
Jennie tersenyum tipis membaca pesan singkat itu, tanpa perlu pemberitahuan formalitas seperti inipun, ia bisa mengetahui bahwa upahnya telah dibayarkan. Sisa dari pembayaran yang menutupi DP serta bonus yang dijanjikan. Pria itu sungguh royal dan menepati janjinya, sangat worth it dengan hasil yang dia keluarkan.
Notifikasi lain yang terbaca dari layar ponselnya pun membuat senyum Jennie makin sumingrah. Begitulah ia mencari penghasilan, kaya dalam satu malam kemudian perlu beberapa minggu untuk pemulihan diri. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan tak mengenakkan dari para wanita yang menyerangnya, toh seberapa kuat tenaga wanita tak akan mengalahkan baku hantam dari pria. Ia masih sanggup menerimanya.
Jennie beranjak dari ranjang, ia perlu segera membereskan dirinya dan pergi dari sini. Malam kian larut berganti subuh, namun pasti masih melenakan sebagian orang untuk terlelap dalam keheningan. Waktu yang teramat pas untuk memulihkan diri dari segala letih sepanjang hari. Jennie berjalan pelan menyusuri koridor hotel menuju lift, perasaannya semakin terasa plong karena tidak berpapasan dengan siapapun. Tamu yang lainnya tentu tengah sibuk menikmati tidur atau kegiatan lain tanpa sudi diganggu. Jangankan menampakkan diri, mungkin saja ada yang enggan keluar begitu sudah ‘ngamar’.
Ponsel Jennie bergetar membuatnya mengernyit, siapa yang terlampau perhatian padanya sehingga menghubungi di malam buta begini? Ia meronggoh keluar benda pipih itu setelah memencet tombol lift dan menunggunya terbuka. Senyum Jennie mengembang saat membaca nama si penelpon yang tertera di layar ponsel. Tanpa ragu, Jennie menerima panggilan itu lalu menempelkan benda pipih itu pada daun telinganya.
“Kamu sudah pulang kerja?” Tanya Jennie langsung menodong lawan bicaranya. Kakinya melangkah masuk ketika pintu lift terbuka. Hanya ia sendiri penghuni lift, membuatnya makin leluasa bicara.
Suara pria di seberang terdengar menyahut dengan cepat dan cemas, menanyakan di mana keberadaan Jennie saat ini.
“Aku? Hmm... Aku di rumah kok.” Bohong Jennie dengan entengnya. Sedetik kemudian wajah tenangnya berubah tegang saat pria itu mematahkan kebohongannya.
“Apa? Kamu di depan rumahku? Wait! Aku bakal sampai dalam waktu lima belas menit. Awas ya, jangan kabur!” Jawab Jennie penuh antusias lalu mengakhiri pembicaraan sepihak padahal pria itu masih bicara. Ia tak perlu mendengarkan jawaban lagi, yang ia perlukan sekarang adalah bertemu dengan pria itu secepatnya.
***