Warisan Tak Terlihat
Bab 1: Warisan Tak Terlihat
Jakarta, 2025.
Langit sore berwarna jingga keemasan saat Alif Rahmat duduk di tepi balkon apartemennya yang menghadap Bundaran HI. Di tangannya, sebuah surat tua dengan cap notaris yang sudah mulai pudar. Surat itu datang tanpa pemberitahuan, diselipkan ke dalam buku tua yang diwariskan almarhum kakeknya—seorang pria yang dulu dikenal hanya sebagai pedagang kecil di Pasar Baru.
Namun isinya menggemparkan.
Bukan soal harta, melainkan petunjuk. Tentang sistem. Tentang kekuasaan. Tentang “harta yang tak tampak namun mengendalikan semua.”
“Jika kau membaca ini, berarti waktunya telah tiba,” begitu bunyi kalimat pembuka dalam surat itu. “Apa yang kau ketahui tentang kekayaan hanyalah permukaan. Di bawahnya, ada sistem. Dan sistem itu harus dibuka oleh orang dalam darah kita.”
Alif terdiam. Ia bukan ekonom. Ia hanya jurnalis muda yang berkali-kali menolak bekerja di media besar karena tak ingin “dibeli” oleh para taipan. Tapi kini, ia didorong oleh warisan tak biasa—sebuah peta tua, surat-surat perusahaan dari era kolonial, dan nama-nama yang telah menguasai negeri ini selama puluhan tahun.
Di kejauhan, lampu-lampu gedung pencakar langit mulai menyala, dan di balik itu, Alif mulai menyadari: kekayaan bukan soal berapa banyak uang yang kau punya. Tapi siapa yang mengatur alirannya.
Dan malam itu, pencariannya pun dimulai.