Check-Up

1689 Kata
“BAGAIMANA?” tanya Fathan pada Karin. Dia memandang Meysha yang sekarang berbaring di bangsal dengan mata yang terpejam. “Meysha kooperatif. Aku menggunakan hipnoterapi, karena itulah dia masih tertidur.” Karin menoleh pada Fathan yang sekarang mengusap pipi Meysha. “Fathan, kondisi Meysha tidak begitu baik. Dia mengalami kecemasan yang buruk. Dia dalam kesakitan, tapi dia masih berusaha menutupinya dari kamu. Dia tidak ingin kamu khawatir. Oleh karena itu hanya kepada kamu saja dia sedikit leluasa bicara. Kehilangan orang tuanya benar-benar memberikan pukulan yang sangat keras baginya. Dia sangat membutuhkan kamu Fathan. Kamu harus lebih banyak meluangkan waktu untuknya, jangan sampai dia tertekan. Dengan adanya kamu di sampingnya, aku yakin dia dapat melewati semua ini dan bisa sehat seperti dulu.” Fathan mengangguk perlahan. Tangan istrinya dicium, “Esha, Abang akan selalu ada untuk sayang. Jangan khawatir, Abang akan temani sayang.” Karin merasa sangat tersentuh melihat suami-istri ini. Namun, dalam waktu bersamaan hatinya juga teriris cemburu. Karin sebenarnya diam-diam sudah mencintai Fathan sejak masa SMP, tetapi dia tidak mampu menyatakan perasaannya. Ketika masa kuliah, dia ingin mengungkapkan perasaannya. Namun, saat itu juga Fathan bercerita padanya bahwa dia sedang mengejar Meysha. Bertepuk sebelah tangan lah cinta Karin. Meski begitu, sampai sekarang Karin masih belum mampu melupakan Fathan walau sahabatnya itu telah menikah. “Esha sangat beruntung mendapatkan suami seperti Fathan.” Gumam Karin. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, karena matanya sudah berkaca-kaca. *** “FATHAN kamu tidak ke kantor?” Ami menatap putranya dengan heran. Biasanya pagi-pagi sudah rapi dengan setelan jas. Tapi sekarang hanya mengenakan celana santai dan baju kaos. “Tidak, Ma. Fathan mau di rumah nemanin Esha.” Fathan menyendok nasi goreng ke dalam piring dan dia berikan pada Meysha, “Makan yang banyak, sayang.” Ucapnya lembut. Meysha tersenyum sambil mengangguk. Ami semakin tidak senang melihat pemandangan ini. Putranya tidak masuk kantor karena perempuan yang dibencinya ini? No! dia tidak akan tinggal diam. “Apa maksudnya menjaga Esha, Fathan? Mama ada nemanin dia di rumah, kamu tidak perlu tidak masuk kantor karena ini. Kerjaan pasti banyak, kamu pergi saja. Mama yang akan jaga Esha.” “Ini bukan apa-apa Ma, tidak masalah sama sekali. Kerjaan kantor bisa Fathan kerjakan di rumah saja.” jelas Fathan. “Aa’ sayang, buka mulutnya abang suapin.” Tangan Ami menggenggam kuat melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Cih! “Memangnya Karin bilang apa sampai kamu sendiri yang harus jagain Esha dan tidak pergi ke kantor?” tanya Ami lagi. Dia tidak ingin terlihat egois di depan putranya. “Kemaun Fathan sendiri ini, Ma. Lagian Fathan juga capek, sebulan kemarin sibuk dengan proyek baru.” Bohong Fathan. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, karena bisa saja nanti Meysha yang malah merasa bersalah padanya. “Okey, Mama paham. Istirahatlah.” Ami mencoba akur, meski pada hakikatnya dia tidak terima. Dia yakin alasan sebenarnya adalah Meysha. Baiklah. Kali ini kamu menang, Meysha. Tapi lain kali tidak akan! Tekad Ami dalam hatinya. *** FATHAN dan Meysha keluar dari rumah sakit. Mereka tampak sweet, selalu berpegangan tangan. Ketika masuk ke dalam mobil genggaman tangan mereka baru dilepas. Fathan tersenyum ketika melihat Meysha yang sudah menyandarkan kepala ke belakang sandaran kursi. Meysha juga memejamkan matanya. “Capek, sayang?” kepala Meysha di usap. “Ha'ah. Sedikit. Esha juga sedikit mengantuk. Esha tidur ya, Abang.” Fathan tergelak kecil. Dia merasa lucu saja melihat Meysha. “Iya. Tidur saja.” sabuk pengaman di pasangkan untuk Meysha. “Terima kasih, abang.” Ucap Meysha. Fathan tersenyum tipis melihat Meysha yang enggan membuka mata. Mobil Pun dijalankan dengan senyum yang merekah. Dia sangat senang hari ini, pada check up kedua, kali ini Meysha tampak nyaman dengan Karin. Semoga saja ini jalan bagi Meysha untuk bisa sembuh dari rasa kecemasan dan ketakutan yang menyiksa dalam beberapa bulan ini. “Abang,” Meysha kembali membuka suara di tengah keheningan. “Umm? katanya Esha mau tidur. Tidur saja sayang.” Fathan masih tekun memandu setir. Meysha sudah memanyun-manyunkan bibir. Matanya dibuka, “Entah kenapa mata Esha malah tidak mau tidur.” suaranya sangat kesal. Fathan tertawa mendengarnya. “Sayang mau nemanin abang mungkin. Ya sudah, sini abang putar musik, biar enak.” “Tidak perlu, abang.” “Ha, ya sudah. Jadi sayang maunya apa? abang yang nyanyi, umm?” Fathan menaikkan alisnya memandang Meysha. “Tidak. Abang fokus saja menyetir. Esha mau tanya sesuatu.” “Ha, mau tanya apa?” Fathan kembali tekun mengemudi. “Abang serius mau nemanin Esha ke rumah sakit dan tidak masuk kantor?” “Iya, sayang.” Meysha mengeluh panjang. Tuh kan Esha, kamu merepotkan suami mu saja. “Kenapa sayang? Sayang tidak suka abang yang nemanin?” tanya Fathan dengan lembut. Dia tahu akan perubahan riak wajah Meysha yang tiba-tiba senyap, “Izinkan abang nemanin, sayang. Jangan salahkan diri Esha karena abang tidak masuk kantor. Soal kerjaan abang kerjakan di rumah, masalah rapat dan pertemuan sudah abang percayakan pada Viko. Sayang jangan merasa bersalah karena ini. Abang tidak masalah sedikitpun. Lagian urusan-urusan penting sudah abang selesaikan semuanya. Tinggal yang kecil-kecil saja sekarang, Viko bisa handle.” Jelas Fathan panjang lebar. Dia tidak ingin Meysha malah menyalahkan diri sendiri. “Tapi sampai kapan? dokter Karin saja belum bisa memastikan kapan Esha bisa sembuh. Jadi sampai kapan abang mau temani Esha terus?” “Eh, sayang kenapa begini?” Fathan mulai khawatir mendengar suara Meysha yang terdengar mau menangis. Perlahan Fathan memberhentikan mobil ke tepi jalan. “Sayang,” Panggil Fathan. Tapi, Meysha tidak menjawab. Fathan memandang Meysha yang sekarang hanya menundukkan kepala. Emosional istrinya harus selalu dijaga. Hal lain bisa terjadi jika istrinya merasa tertekan kembali. “Sayang, sini lihat abang.” tangan Meysha di pegang dengan lembut. Meysha masih enggan menoleh pada Fathan. “Sayang, please look at me.” Ulang Fathan. Mau tidak mau perlahan Meysha menoleh padanya. Tampak bulir bening mulai mengalir di sudut matanya. “Lihatlah, sayang ini kan...” air mata istrinya di usap, “Sudah jangan menangis lagi. Kalau sayang mau abang masuk kantor lagi, okey. Abang masuk kantor. Tapi beri abang waktu seminggu untuk nemanin Esha check up. Umm, bagaimana? Deal?” Meysha mengembang senyum, kepalanya juga dianggukkan, “Okey, abang.” “Ya sudah. Sekarang sayang tidur.” Kening istrinya di kecup. Kemudian dia kembali melajukan mobil. Meskipun sebenarnya dia sedikit kecewa. Tapi, harus bagaimana lagi. Yang terpenting sekarang baginya adalah kesembuhan Meysha. Meysha juga sudah menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, matanya juga sudah dipejamkan. Namun, wajahnya sekarang di alihkan ke arah jendela. Jika boleh jujur, sebenarnya Meysha sangat ingin Fathan selalu di sisinya. Karena hanya Fathan seorang yang membuat dia merasa seperti manusia normal. Tapi, dia tidak mau egois. Apalagi mendengar perkataan Mama mertuanya tadi pagi, dia sangat paham dan sadar akan keberatanan Mama mertuanya, apabila Fathan tidak masuk ke kantor karena dirinya. Esha.. kamu harus kuat. Kamu harus berusaha lebih keras untuk keluar dari penyakit ini, agar tidak lagi menyusahkan, abang Fathan. *** “HELEH, heleh.. kesambet setan mana kamu Tania? Sedari tadi aku perhatiin senyum-senyum sendiri.” Kiki menepuk bahu Tania. Dia mengambil tempat duduk di depan gadis itu. “Eh, kamu Kiki. Datang-datang ngagetin aja, buyar sudah khayalan aku tahu tidak.” Tania memasang muka masam. Sedang enak-enaknya membayangkan wajah pria saat insiden kemarin, eh Kiki malah membuyarkan. Sudahlah tidak sempat kenalan kemarin, menghayal pun tidak dapat. “Eh eh.. pasang muka masam lagi. Memangnya kamu menghayal apaan, sampai-sampai segitu kesalnya aku kagetin?” tanya Kiki penasaran. Dia merasa aneh dan merasa ada yang tidak beres dengan teman baiknya ini. Seperti sedang kasmaran juga ada. “Bukan apa-apa. Sudahlah, cepat kamu panggil pelayan. Aku sudah lapar, capek aku nungguin kamu, lama tahu tidak.” oceh Tania. “Eee., malah nyalahin aku lagi.” “Ya kamu lah yang salah. Udah ngajak ketemuan di kafe sini, tapi kamu malah ketemuan juga di kafe sono.” Panjang bibir Tania dengan ungkapan kekesalannya. “Okey okey, aku salah. Sebagai gantinya aku traktir deh. So, tolong berhenti mengoceh.” Tania sudah tertawa karena sahabat baiknya itu. Enaklah, di traktir. Pelayan dipanggil oleh Kiki. Mereka memesan beberapa menu untuk di santap siang ini. “Gimana, sudah siap untuk masuk kantor baru besok?” tanya Kiki. “Sudah. Kamu sendiri gimana?” “Juga sudah. Tapi aku mau belanja lagi rencananya.” “What? Shopping again?” terbelalak mata Tania. Baru kemarin Kiki mengajaknya belanja. Tapi dia tolak, karena dia harus pergi ke tukang urut untuk memulihkan pergelangan tangannya yang sakit karena insiden siang kemarin. “Iya. Sekarang kan ada kamu. Jadi aku bisa tanya-tanya pendapat kamu, mana pakaian yang cocok aku kenakan. Kemarin aku shopping, tapi tidak puas.” “Umm.. okey. Kamu banyak duit kan.” Tania tersengih, “ Eh, tapi kenapa kamu begitu semangat masuk kerja kali ini? biasanya aku perhatikan tidak seantusias ini?” tanya Tania lebih jauh. “Eh, kamu belum tahu ya? Boss di kantor baru kita itu… aku dengar tampan bukan main. Ada mix gitu kabarnya.” Bersemangat Kiki menjelaskan. “Mix? It’s so.. kamu mau menggaet boss?” “Ha'ah. Memangnya kenapa? kamu tidak tertarik memangnya? Bukankah selama ini kamu paling doyan yang ada mix-mix nya?” tanya Kiki pelik. Heran saja. Biasanya Tania tidak kalah heboh kalau soal pria yang ada campuran. Apalagi pria yang di maksudnya adalah Boss di tempat kerja barunya nanti. “Tidak! Aku sudah punya pria idaman.” Tania tersenyum sendiri dengan jawabannya. Wajah Pria yang belum sempat dia tau nama itu terbayang olehnya. Mix kamu bilang Kiki? Aku juga sudah ketemu sama pria idaman aku. Aku tebak dia itu Mix Indonesia-Turki. Tampan gila, wajah dan auranya juga sangat teduh. Kiki sedikit mengecilkan mata menatap Tania. Baru saja ingin bertanya untuk memuaskan rasa penasarannya. Tapi, tiba-tiba pesanan mereka datang. Kiki terus memperhatikan riak wajah Tania. Terlebih sekarang ini Tania senyum-senyum sendiri. Sedang kasmaran ya? Hufftt.. Okey, besok Tania juga pasti akan cerita. “Buruan makan, Tania. Nanti kita Shopping lho. Siapkan energi.” ujar Kiki. Pikirannya tadi sengaja di halau, cukup tunggu waktunya saja, Tania pasti bercerita juga padanya. “Ha, sudah sampai pesanan kita?” tanya Tania heran. Heleh.. makanan datang sedari tadi tidak sadar. Kiki geleng kepala. Tania sungguh sedang kasmaran?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN