Bab 10. Tanpa Pemeran Utama

1055 Kata
Seorang wanita cantik dengan balutan dress berwarna merah muda berjalan anggun memasuki sebuah perusahaan, dia menganggukkan kepala seraya tersenyum manis saat banyak karyawan yang menunduk hormat ke arahnya. Langkahnya yang anggun dan tegas membuat banyak orang memandang kagum ke arahnya, wanita itu memasuki lift dia mengulas senyuman manis sebelum lift itu tertutup sempurna. Pintu lift terbuka, wanita itu tiba di lantai 25. Dia berjalan mendekati satu pintu yang ada di sana. Suara derap langkah kaki dan heels yang beradu dengan lantai berhasil menyita perhatian seorang perempuan yang sedari tadi begitu fokus menatap layar komputer. Perempuan itu lantas bangkit dari duduk dan menunduk hormat saat wanita itu telah berdiri di hadapannya. "Mas Raden ada di dalam, Ana?" tanya wanita itu dengan suara lembut. "Ada, Bu. Ibu bisa langsung masuk," sahut perempuan bernama Ana. Dia mengangguk dengan senyuman tipis. "Makasih ya, Na." "Iya, Bu. Ibu mau saya siapkan sesuatu?" Wanita itu terdiam sejenak, dia lantas menggelengkan kepala pelan. Wanita itu menepuk pundak Ana dengan pelan, dia tersenyum sangat manis ke arah sekretaris Raden itu. "Nggak usah, Na. Kamu nggak perlu repot-repot, saya ke sini mau bawa makan siang untuk suami saya kok. Kamu lanjut kerja aja, saya masuk dulu ya." "Iya, Bu Rere. Silakan." Rere, wanita itu menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dia memutar tubuhnya menghadap kanan lantas berjalan ke arah pintu lebih tepatnya satu-satunya pintu karena di lantai teratas ini hanya ada ruangan direktur utama. Rere melangkahkan kakinya dengan senyuman lebar yang tak pernah luntur, dia mengetuk pintu ruangan itu lantas memasuki ruangan sang direktur utama saat mendapatkan perintah dari dalam sana. Rere tersenyum manis, dia semakin melangkah mendekat. Terkekeh pelan, Rere menggelengkan kepala saat sang direktur utama tak menyadari kehadiran dirinya. Setiba di depan meja kebanggaan sang direktur utama, Rere berdeham pelan guna menarik atensi pria itu. Mata membulat pria yang ada di hadapannya membuat tawa merdu wanita itu mengalun, dia merentangkan tangan saat pria itu bangkit dari duduk dan menghampiri Rere. "Kenapa nggak ngabarin mau ke sini, hm?" tanya pria itu dengan suara rendah. "Aku 'kan mau kasih surprise ke kamu, Hubby. Kalau aku bilang bukan kejutan, dong," kekeh wanita itu semakin mengeratkan pelukan mereka. Pria itu melonggarkan pelukan mereka, dia membelai lembut wajah sang istri. Kedua sudut bibir Raden membentuk senyuman manis, dia mengecup gemas ujung hidung sang istri. Tangan Raden beralih mengelus rambut cokelat istrinya yang tergerai rapi, pada sentuhan terakhir Raden mengecup bibir sang istri. Dia menjauhkan wajahnya lantas menarik tangan Rere untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya. Mereka duduk berhadap-hadapan, Rere yang memandang Raden dengan senyuman manis dan Raden yang memandang Rere dengan tatapan teduh. Melihat sang suami yang menatap dirinya lekat membuat Rere terkekeh lantas mengusap lembut wajah sang suami. "Kenapa liatin aku gitu banget sih, By?" tanya Rere seraya menggelengkan kepala pelan. "Takut ilang," sahut Raden asal. Rere Anestri menggelengkan kepala mendengar jawaban sang suami. Dia memutar tubuh menghadap ke depan, wanita itu mulai menyiapkan menu makan siang yang memang sengaja dia bawa dari rumah. Raden hanya melihat sang istri tanpa membantu lebih tepatnya, pria itu tengah mengagumi wajah cantik Rere yang setiap hari membuat dirinya jatuh cinta berulang kali. "Aku bingung kenapa kamu makin hari makin cantik, hm?" celetuk Raden di tengah keheningan mereka. Rere menoleh sekilas lantas menggelengkan kepala pelan. "Inget umur, By. Kamu itu udah tua, tapi lagaknya kayak masih muda," ucap Rere dengan enteng. "Tua-tua gini aku bisa bikin kamu nggak bisa jalan ya, Sayang!" ketus Raden. "Omongan kamu itu lho. Udah sini, ayo makan!" *** Semenjak Sherly menikah kediaman Tari dan Leo memang menjadi sepi, sudah tak ada lagi Sherly yang suka berteriak saat kembali ke rumah. Tak ada lagi Sherly yang suka membuat Tari elus d**a dan tak ada lagi Sherly yang diam-diam keluar tengah malam. Semuanya terasa kosong dan hampa belum lagi Leo sudah jarang rasanya melerai perdebatan antara ibu dan anak itu, kediaman yang dulunya hidup seolah mati padahal masih ada banyak orang di dalamnya. Setiap harinya menjadi sunyi bahkan para asisten rumah tangga pun merasakan keheningan itu. Perginya Sherly benar-benar meninggalkan kekosongan, tawa dan tingkah wanita itu benar-benar menghantui isi pikiran mereka setiap harinya. Meskipun Sherly tergolong wanita yang sulit diatur, tetapi dia selalu bisa menghargai siapa pun asal orang itu layak untuk dia hargai. Leo berjalan memasuki rumah, pria itu memang selalu pulang saat makan siang alasannya sederhana agar Tari tak merasa kesepian. Pria itu menghela napas kasar saat merasakan keheningan di rumahnya biasanya akan ada Sherly dan Tari yang berdebat dan berebut ingin memeluk dirinya, tetapi sekarang Leo hanya mampu melihat kesunyian di dalam istana megah yang dia bangun. "Tuan, Nyonya sejak tadi tidak ingin keluar kamar," ucap Asti dengan kepala tertunduk. Leo mengangguk pelan. "Biar saya yang samperin Tari ya, Mbok. Makasih udah dikasih tau." Leo bergegas menaiki tangga dan memasuki kamar utama, dia membuka pintu kamar dengan perlahan. Pria itu menarik napas panjang saat melihat sang istri tengah melamun menatap keluar jendela. Leo meletakkan tas kerjanya di ranjang, dia berjalan mendekati sang istri lantas memeluk Tari dari belakang. Di tempatnya, Tari tetap diam tak berkutik bahkan di saat Leo meletakkan dagunya di bahu milik wanita itu. Tatapan Tari begitu kosong, wanita itu seolah kehilangan gairahnya untuk hidup. Menarik napas panjang, Leo semakin mengeratkan pelukannya pada perut rata milik wanita tercintanya. "Kenapa, hm? Apa yang usik pikiran kamu, Sayang?" tanya Leo. "Kamu kangen banget sama Sherly?" tanya Leo kembali saat tak mendapatkan respons. Kepala Tari mengangguk pelan, dia menarik napas dalam. d**a wanita itu rasanya begitu sesak, buru-buru Tari menghirup rakus pasokan udara. Leo yang melihat itu mengusap perut rata milik sang istri, dia juga mengecup bahu Tari sekilas. Sudut bibir Leo terangkat membentuk senyuman hangat. "Aku tau ini berat untuk kita, tapi baik sekarang atau nanti Sherly pasti akan ninggalin kita untuk membangun keluarganya sendiri. Siap nggak siap kita pasti harus ngelepas dia," ucap Leo dengan suara lembut. "Tapi, rasanya aku nggak sanggup, Mas. Kangen banget sama tingkah tengil anak kesayanganmu itu," sahut Tari dengan bibir mencebik. Leo terkekeh, dia mengecup pipi sang istri dengan lembut. "Dia emang anak kesayangan aku, tapi kamu itu segalanya. Lebih dari kata segalanya, tanpa kamu nggak akan pernah ada anak yang namanya Ananda Sherly Anatasya." Leo tersenyum jahil saat melihat sang istri menundukkan kepala malu. "Daripada kamu sedih mending kita cetak Adek buat Sherly." "Mas ...!" rengek Tari membuat tawa Leo pecah detik itu juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN