Bab 9. Tahu Sedikit

1033 Kata
Sherly berjalan sendirian di sekitar taman yang berada di kediaman Pradipta. Wanita itu mengembuskan napas panjang, dia mendudukkan diri di salah satu kursi taman. Pikiran Sherly melayang pada kejadian di mana dia harus mengetahui fakta bahwa sang suami merupakan mantan narapidana. Iya, hal itu masih menghantui Sherly bahkan sampai detik ini, Sherly selalu berusaha memecahkan teka-teki yang ada di pikirannya. Menarik napas dalam-dalam, Sherly lantas mengembuskan secara perlahan. Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, dia memandang ke depan dengan pandangan yang sulit diartikan. Sebentar lagi makan malam, tetapi nafsu makan Sherly harus hilang karena isi pikiran wanita itu yang begitu berisik. Sherly harus mengakui bahwa dia membenci dirinya yang terlalu banyak berpikir seperti saat ini. "Sebenarnya dia masuk penjara kenapa? Masa gue harus nanya Opa?" lirih Sherly, dia mendesah panjang saat ide untuk bertanya pada Derix muncul. Menggelengkan kepala keras, Sherly takut saat harus mendapatkan respons tak mengenakkan dari Derix. Di satu sisi dia merutuki dirinya yang kehilangan keberanian, tetapi di sisi lain Sherly juga tak banyak bertindak. Wanita itu cukup sadar akan batasannya, Sherly cukup ingat bahwa dia anggota baru di keluarga ini. Sherly ingin terlihat lebih anggun dan tenang sebelum taring wanita itu nantinya keluar. Suara langkah kaki membuat Sherly menoleh, dia mengerutkan kening saat melihat sosok wanita paruh baya datang ke arahnya dengan sebuah nampan yang berada di tangan. Sherly tetap duduk dengan tenang bahkan sampai wanita itu berdiri di hadapan Sherly, tetapi Sherly sama sekali tak beranjak. Dia hanya duduk dengan kepala mengadah menatap wanita di hadapannya yang kini jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri. "Nona Muda, ini untuk Anda. Deby mengatakan Nona sedang tak ingin diganggu, jadi saya diminta Tuan Derix membawakan ini untuk Anda," jelas pelayan itu sembari menundukkan kepala, dia lantas menata makan malam di atas meja kecil yang ada di hadapan Sherly. "Deby? Apa dia sengaja karena gue bilang lagi nggak mau diganggu?" batin Sherly keheranan. Garis-garis kebingungan itu terlihat jelas di kening Sherly, wanita itu memandang heran wanita yang dia ketahui bernama Dian melalui kartu tanda pengenal yang ada di pakaian pelayan milik Dian. Sherly mengernyit, cukup heran dengan seragam kepala pelayan itu. Informasi mengenai nama dan pekerjaan Dian bahkan terlihat jelas di pakaian wanita itu, seingat Sherly di pakaian Deby hanya ada keterangan nama saja. "Sudah, Nona. Anda bisa makan malam sekarang," suruh Dian yang membuat Sherly terkejut. Wanita itu menggeleng pelan. "Terima kasih. Dian, boleh saya bertanya?" ucap Sherly sedikit ragu. "Boleh, ada apa, Nona?" Dian membalas dengan wajah bingung. Sherly menyelipkan anak rambut ke belakang telinga sebelum bertanya,"Oh ya, Bi. Om Dimas yatim piatu?" Dian yang mendengar itu terdiam, dia menghela napas panjang sebelum menjawab setelahnya Dian menganggukkan kepala pelan. "Iya, Nona. Orang tua Tuan Dimas meninggal karena kecelakaan saat Tuan berusia 5 tahun." "Kecelakaan?" "Iya." Dian mengangguk yakin. "Saya ingat betul saat itu Tuan Dimas dan kedua orang tuanya berniat untuk melakukan liburan ke Ancol karena nilai Tuan Dimas yang cukup tinggi. Saat di pertengahan jalan sebuah truk kehilangan rem, supir pribadi Tuan Utama saat itu sudah mencoba menghindari. Namun, Tuhan berkehendak lain, mobil menabrak pembatas jalan. Saat itu kedua orang tua Tuan Dimas kritis, sedangkan Tuan Dimas mengalami koma. Namun, selang tiga bulan kabar duka menyambut hari ulang tahun Tuan Dimas." Sherly terdiam, dia sama sekali tak mengeluarkan suara. Wanita itu memandang pohon mangga di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Menghela napas panjang, dia tak tahu jika hidup suaminya serumit itu. Sherly sangat yakin jika kejadian itu menimbulkan trauma. "Sejak saat itu pribadi Tuan Muda berubah menjadi dingin dan kasar, suka mencari masalah, dan suka bermain perempuan," sambung Dian dengan suara pelan takut menyinggung nona mudanya. "Main perempuan?" ulang Sherly seraya menaikkan alis. "Iya, saat masa kuliah. Hanya saja setahu saya sejak bertunangan sudah tidak pernah lagi karena Tuan Dimas cinta mati dengan tunangannya," sahut Dian. Sherly yang mendengar itu menganggukkan kepala pelan tanpa mau membuka suara. "Oh, cinta mati ya?" gumam Sherly di dalam hati. "Kalau begitu saya permisi, Nona," pamit Dian sembari membungkukkan badan. Sherly mengangguk tanpa niat membalas, pikiran wanita itu kembali ramai rasanya. "Berarti dia ada tunangan? Gue nikahin tunangan orang ...?" *** Dua orang sahabat nampak begitu menikmati waktu mereka, berawal dari ketidaksengajaan bertemu di cofee shop berujung mereka menghabiskan waktu bersama kembali. Namun, tak ada obrolan di antara keduanya. Mereka begitu fokus dengan kegiatan masing-masing. Elesya mengerutkan kening seraya memandang benda pipih yang ada di tangannya, sedangkan Adelia begitu menikmati secangkir Americano yang dia pesan. Saat meletakkan cangkir di atas meja, mata Adelia tak sengaja menangkap raut wajah Elesya. Adelia memandang bingung Elesya, perempuan itu lantas meletakkan kedua tangan di atas meja. "Lu liatin apa sampe ekspresi muka lu gitu banget?" tanya Adelia. Elesya mendongak, dia lantas menunjukkan ponselnya pada Adelia. "Sahabat lu tuh, bikin snap berasa paling beban hidupnya," sahutnya. Adelia membaca dengan cermat unggahan Sherly, dia menyemburkan tawa untuk sesaat. Perempuan itu menggelengkan kepala pelan, sudah tak heran lagi dengan kelakuan sang sahabat. "Ternyata hidup itu berat ya? Huh ...! Capek diri ini," ucap Adelia mengulang apa yang Sherly unggah. "Padahal itu anak kerjaan makan tidur bae, berasa hidupnya kerja kena tipes," lanjut Adelia. Elesya meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas. Perempuan itu mengaduk-mengaduk capuccino pesanannya. Dia menyeruput perlahan kopi miliknya, perempuan itu lantas memandang Adelia dengan wajah serius. "Itu Sherly bakalan susah keluar rumah setelah ini?" tanya Elesya penasaran. "Setau gue sih kagak ya, El. Cuman batas perempuan keluar rumah di sana sampe jam 6 sore atau 5 gitu, lupa gue," balas Adelia. Elesya lantas terkekeh tak lama dari itu dia menganggukkan kepala. "Oh pantes, hidupnya nggak bebas lagi. Biasa keluar pagi pulang subuh." Adelia ikut terkekeh mendengar itu. Mereka tentu tahu tabiat Sherly yang sangat menyukai kebebasan itu lantas sekarang dia telah menyandang gelar istri, gerakan Sherly semakin terbatas karena menyandang nama Pradipta di belakang namanya sekarang. Adelia membayangkan ekspresi tertekan milik sang sahabat membuat perempuan itu tertawa samar. "Gue yakin manusia modelan Sherly pada tau keluarga Pradipta orang terhedon di negeri ini," ucap Elesya. Adelia mengangguk setuju, dia tahu betul Sherly tak peduli dengan sekitarnya. Wanita itu hanya akan memikirkan drama Korea sepanjang waktu, Sherly akan memikirkan segala jenis makanan setiap harinya. Wanita itu seakan tak ada waktu untuk mengenal dunia. "Kasian juga, semoga nggak gila."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN