Sherly mencak-mencak di dalam kamar. Sungguh, wanita Itu ingin sekali membakar dan mencakar tubuh Senia. Wanita tua itu berhasil membuat kesabaran Sherly habis, dia tak habis pikir dengan Senia dirinya seolah-olah mempunyai kesalahan yang membuat Senia sekesal itu dengan dirinya. Alarm peringatan dalam diri Sherly meminta wanita itu untuk hati-hati dengan sosok Senia. Menarik napas panjang, Sherly berusaha menetralkan emosi dirinya.
Deby yang saat itu berada di dalam kamar mengerutkan kening melihat Sherly mencak-mencak tak jelas. Kening perempuan itu berkerut. Mengedikkan bahu, Deby berusaha untuk mengabaikan Sherly dan tak ikut campur urusan majikannya. Perempuan itu kembali menata perlengkapan Sherly di meja rias dengan sesekali melirik ke arah Sherly yang saat itu sedang menunduk menatap ponsel.
Sherly melirik Deby yang nampak fokus dengan kegiatannya. Wanita itu berdeham pelan dan menatap Deby dengan lekat. Sadar tengah diperhatikan oleh Sherly, Deby segera menoleh dan menunduk sopan. Tentu saja hal itu membuat Sherly tersenyum senang, Deby cukup peka dalam membaca situasi.
"Kamu boleh keluar dulu, saya ada urusan. Silakan kamu kembali ke kamar kamu!" suruh Sherly dengan dingin.
"Tapi Nona Muda, saya belu—"
"Nanti saya yang beresin. Silakan tolong kamu keluar!" potong Sherly dengan cepat.
Deby menganggukkan kepala, dia tak ingin membantah apa yang Sherly ucapkan. "Baik, Nona Muda. Jika Anda membutuhkan sesuatu Anda bisa katakan pada saya."
Deby berjalan keluar kamar Sherly dan Dimas, perempuan itu berjalan dengan kepala tertunduk. Melihat pintu yang sudah tertutup rapat membuat Sherly mendesah panjang. Dia menjatuhkan dirinya ke atas ranjang, wanita itu mendudukkan diri di sana dengan kepala menunduk menatap benda pipih. Tak lama dari itu ponsel Sherly berpindah menempel di telinga, bola mata wanita itu menatap ke atas menanti sambungan telepon diangkat oleh orang di seberang sana.
Pada dering ketiga barulah panggilan telepon itu diangkat, Sherly memekik tertahan mendengar suara seseorang di seberang sana. Dia menggigit kuku-kuku di tangannya untuk menahan pekikan, senyuman perempuan itu terbit begitu lebar di wajah wanita itu.
"Bunda ...!" teriak Sherly dengan manja.
"Kamu tuh kenapa? Kayak bayi belum dikasih asi," sahut Tari di seberang sana.
Sherly mencebik kesal, dia menarik satu bantal dan meletakkan di atas paha. "Aku sebel banget sama satu orang di sini, Bun! Sumpah pengen aku bejek-bejek rasanya dia!"
Di seberang sana, Tari mengerutkan kening. Dia dibuat penasaran dengan orang yang dimaksudkan oleh Sherly. Tari tahu betul tabiat sang anak jika Sherly sudah mengatakan dia kesal dengan satu orang maka bisa dipastikan orang itu begitu mengganggu kedamaian sang putri.
"Sampai siapa, Sher? Biasanya juga kamu roasting sampe mampus."
"Sama Nyonya Besar di sini, Bun! Baru jadi Nyonya Besar aja sok berkuasa gimana jadi pewaris nanti?! Aku rasa dia muka dua ...?" Sherly mengadu seraya merebahkan diri di ranjang.
"Mending kamu racun aja, Sher. Orang-orang begitu mana layak hidup. Dia itu cuman jadi beban negara dan beban bumi aja sama beban semesta yang harus mikirin azab dia."
Jawaban enteng Tari bak angin segar bagi Sherly. Mata wanita itu melotot dengan binar bahagia bahkan Sherly tersenyum senang mendengar ide yang Tari lontarkan. Dia dengan cepat mengubah posisi menjadi duduk tanpa melunturkan sedikit pun senyumannya.
"ide bagus, Bun! Tapi enaknya sebelum diracunin diapain ya, Bun?"
"Coba kamu kasih dia makanan manis dulu, Sher. Biasanya manusia modelan dia hidupnya pahit makanya suka ngurusin hidup orang, biarin dia rasain manisnya hidup sebelum mati nanti."
"Hua ...! Bunda aku emang yang paling pinter!" seru Sherly seraya mengusap sudut mata seolah-olah menangis.
"Tapi jangan lupa tanggung dosa kamu, ya."
"Bun ...!
"Tinggal serumah sama keluarga suami emang gitu, Sayang. Kamu harus bisa nerima itu dan beradaptasi."
***
"Kamu udah izin dengan istrimu?"
Mendengar itu, sendok yang berada di tangan Dimas melayang di udara. Dia berdecak kasar, malas rasanya jika harus membahas Sherly. Pria itu menatap orang yang bertanya dengan tatapan sinis mendapati tatapan sinis Dimas tentu saja membuat orang itu langsung mengerti bahwa Dimas tak mengatakan apa pun pada sang istri.
Menghela napas panjang. "Jangan begitulah, Bro! Dia itu istrimu, kamu harus bisa menghargai dia meskipun kamu belum cinta," ucapnya santai.
Salah satu dari mereka menepuk bahu Dimas pelan. Sepuh kita bener, Dim."
Dimas berdecak kasar, dia menaruh sendok dan garpu di tangannya dengan kasar hingga suara dentingan mengundang perhatian orang yang ada di sebelah meja mereka. Keputusan Dimas untuk makan malam bersama dua sahabatnya seolah keputusan yang salah dan itu berhasil merusak suasana hati Dimas sedikitnya.
Melihat kekesalan Dimas tentu saja membuat dua sahabat pria itu saling pandang dan menghela napas panjang. Raden menatap Dimas dengan tatapan serius, dia satu-satunya orang yang sudah menikah lebih dulu tentu saja tahu pernikahan tanpa cinta bukanlah hal yang baik. Namun, jika Dimas dan istrinya mau berjuang untuk menumbuhkan cinta tentu akan menjadi baik.
"Saya tahu itu sulit, Dim. Tapi kamu harus tetep menghargai istri kamu," ucap Raden tanpa takut membuat suasana hati Dimas semakin buruk.
Devian memilih meminum jus durian miliknya seraya menatap Raden dan Dimas bergantian, dia berada di tengah tentu saja membuat dia harus berjaga-jaga jika nantinya Dimas kelepasan. Di antara mereka hanya Devian yang menyandang gelar belum menikah ataupun masih sendiri, di usianya Devian masih suka bermain wanita untuk memenuhi kebutuhan dan jiwa nakal yang ada dalam dirinya.
Menyugar rambut, Devian menarik napas dalam-dalam. "Ya ampun! Tegang banget lu berdua, sungguh!" celetuk Devian.
Dimas hanya melirik Devian, sedangkan Raden terkekeh. Raden cukup sadar jika Devian berusaha mencairkan suasana, pria itu pun lantas memilih menghabiskan spaghetti yang dia pesan daripada harus kembali berbicara dan membuat acara kumpul mereka menjadi kacau.
"Saya terlalu banyak dosa sampe harus menikah dengan wanita sinting seperti dia!" kesal Dimas.
Devian mengulum senyum, dia melirik Raden yang juga melirik dirinya. Mereka menahan sudut bibir mereka yang berkedut menahan senyuman. Berdeham pelan, Devian menatap Dimas dengan tatapan menggoda.
"Sinting-sinting gitu, kamu nikmat banget sampe beronde-ronde, Dim," ejek Devian dengan wajah tengil.
"Sialan!" dengus Dimas membuat Devian dan Raden terkekeh geli.
"Jangan terlalu benci, Dim. Takutnya kamu yang jadi paling bucin nanti," sela Raden setelah menelan makanannya.
Dimas memutar malas bola mata seraya berdecih, dia memandang remeh Raden. "Saya bucin sama wanita gila itu? Di mimpi pun saya ogah!" sahut Dimas dengan nada mengejek.
Devian yang mendengar itu menggelengkan kepala pelan, baru kali ini dia melihat seorang suami yang menjelekkan sang istri. Dia menyeruput kuah ramen miliknya sebelum meraih tisu untuk membersihkan mulut. Devian bersendawa pelan lantas menatap Dimas dengan serius.
"Dim, kamu tahu apa pun makanannya minuman yang paling enak itu apa?" tanya Devian seraya menaik turunkan kedua alis.
"Air putih?" sahut Dimas dengan kening berkerut.
Devian menggeleng lantas menelan air liurnya. "Ludah sendiri bwahahaha ...!"
"Aih! Devian sialan!"