Rumit Part 5

2419 Kata
Zahra keluar kamar setelah lama berdiam diri menenangkan perasaan dan pikirannya. Dia beranjak ke dapur untuk masak makan siang. Ketika membuka kulkas, bahan makanan ternyata sudah habis. "Ya Allah, kenapa aku bisa lupa sih pergi belanja," keluhnya. Dia menutup kulkas kembali lalu pergi ke kamar. Niatnya mau ambil uang untuk beli bahan makanan. Rupanya tidak hanya bahan makanan yang sudah tidak ada, tapi isi dompetnya pun telah sirna. Bagaimana ini? Apa dia harus meminta uang pada suaminya? Dalam bulan ini El memang belum memberinya uang sepeser pun. Namun, dia takut untuk memintanya. Lantas gimana caranya dia mendapatkan uang? Dia tidak bekerja. "Aduh, uangku udah gak ada. Gimana ini, mas El juga belum ngasih. Apa aku minta aja, tapi aku takut." Zahra duduk di pinggir ranjang. Dia sedang berpikir. Lama memikirkannya akhirnya dia memantapkan hatinya untuk berani meminta uang pada suaminya. Dia pergi turun ke lantai bawah. Dia ke ruang televisi, syukurnya El masih ada di sana. Dia melangkah perlahan menghampiri pria itu. Walau takut dan masih terbayang kejadian dia ditampar oleh pria itu, tapi tidak membuatnya mengurungi niatnya. Jika dia tidak meminta uang dan menunggu diberi takutnya tidak akan dikasih. Mungkin pria itu lupa memberinya uang untuk kebutuhan rumah. Semoga saja apa yang dia duga benar, jangan sampai suaminya itu memang sengaja tidak menafkahinya. "Mas," panggil Zahra dengan pelan. El melarikan pandangannya pada wanita yang berdiri di dekat ujung kakinya. "Mas, aku ..." El mendudukkan diri. "Apa?" tanyanya dengan ketus. Zahra menunduk. "Bahan makanan di rumah udah habis," jawabnya. "Terus?" Zahra mengigit bibirnya. Sangat terasa canggung ketika dia harus meminta uang pada pria itu. "Dalam bulan ini kamu belum kasih aku uang. Uang perbulan sekolah Zidan juga belum dibayar dan bahan makanan di rumah juga udah gak ada." El baru ingat jika dia belum memberi Zahra uang bulanan. Dia biasanya memang selalu memberikan uang setiap awal bulan. Namun, bulan ini dia benar-benar lupa. "Kenapa baru bilang sekarang?" tanya El. Sekarang sudah tanggal 15. Harusnya wanita itu memberitahu sejak awal. Dia memang tidak menyukai wanita itu tetapi dia tidak pernah lari dari tanggungjawabnya sebagai suami. "Aku takut bilangnya, Mas." "Dompet saya ada di kamar. Ambil sana." "Baik, Mas." Zahra beranjak pergi ke kamar. Setelah menemukan dompet suaminya dia kembali lagi dan memberikan dompet itu ke El. El membuka dompetnya, ternyata dia tidak memiliki uang tunai. "Saya nggak ada uang," ucapnya pada Zahra. "Pakai ini aja." Dia memberikan ATM-nya pada istrinya. Zahra mengambil benda pipih tipis itu. "Kamu yakin memberikan aku ini?" "Saya nggak memberi kamu itu, saya hanya meminjamkan! Paham?" Zahra mengangguk. "Tapi aku nggak tau paswordnya." "090993," ucap El memberitahu. "Angka yang cantik. Itu tanggal lahir siapa, Mas?" El melototi Zahra. "Banyak tanya kamu ini ya! Gunakan saja!" Zahra meneguk salivanya lalu mengangguk. "Terima kasih ,Mas," pamitnya segera pergi. Dalam hati dia senang karena suaminya mau memberinya uang. Dia sempat takut pria itu tidak mau lagi menafkahinya, maka bagaimana dengan sekolah putranya. Zahra ke kamar untuk siap-siap pergi. Setelah berpakaian rapi dia pergi menemui suaminya untuk pamitan. Dia mengulurkan tangannya pada pria tampan itu. "Mas, aku izin pamit." El tidak menanggapi wanita itu. Zahra pun meraih tangan El dan mencium punggung tangan suaminya. "Assalamualaikum." Ketika Zahra beranjak, El melihat kepergian wanita itu. Wanita itu keluar dengan pakaian syar'i. Sudah seperti ustadzah saja. Terlihat sangat tidak menarik di matanya. Namun, El tidak memungkiri Zahra memiliki tubuh yang bagus. Putih mulus dan seksi, tinggi lagi. Mungkin jika wanita itu tidak memakai pakaian yang tertutup maka banyak laki-laki yang menyukainya termasuk dia yang mungkin saja akan tertarik. Akan tetapi tertarik karena kecantikannya saja bukan karena mencintainya. Saat ini hatinya begitu setia mencintai seorang wanita bernama Ara. Sayangnya saat ini dia sedang bertengkar dengan wanita itu. Entah bagaimana akhir dari hubungannya dengan Ara. Apa bisa dia menikahi wanita itu dan berpisah dengan Zahra? El meraih ponselnya yang di meja. Dia membuka galeri melihat fotonya bersama kekasihnya. Dia merasa rindu pada wanita cantik itu. Dia selalu memikirkannya. Walau sering bertengkar tetapi dia selalu merindukan wanita itu. "Dia sedang apa ya?" "Sayang, aku sangat mencintai kamu. Aku tidak ingin hubungan kita berakhir. Andai aku bisa menikahi kamu. Andai kita bisa hidup seperti pasangan bahagia lainnya." El menghela napas. "Aku merindukan kamu," ucapnya sambil mengelus foto kekasihnya. El mencoba menghubungi kekasihnya. Panggilan pertama tidak diangkat. Dia coba lagi panggilan kedua tapi tidak diangkat lagi. "Sampai kapan kamu akan marah sama aku? Aku bosan di sini. Ayolah sayang angkat telfonnya." Akhirnya Ara mengangkat telfonnya. Senyum El mengembang. Cepat dia menempelkan ponselnya di telinga. "Halo." Ara tidak menanggapi. "Kamu masih marah sama aku?" tanya El. "Mau sampai kapan kamu mendiamkan aku?" "Kita sudah putus!" Ketus Ara dibalik telfon. "Kamu yakin ingin kita berpisah?" "Iya aku sangat yakin! Buat apa sama laki-laki yang nggak bisa ngasih kepastian!" Sindir Ara. "Ohh kamu udah berani ngomong kaya gitu sama aku. Bagus ya..." "Kalau kamu memang sayang sama aku nikahi aku!" tekan Ara. "Kalau nggak, kita lebih baik gak berhubungan LAGI!" "Sayang ..." "Aku kecewa sama kamu!" Ara mengakhir panggilan. Tut tut tut ... "Sayang! Sayang! Arhhhrr!" El menyimpan ponselnya. Dia mengusap wajahnya frustasi. Sekarang dia harus bagaimana? Baru kali ini Ara berani ngomong seperti itu. Biasanya cewek itu cuma ngambek sebentar sekarang sudah berani mengancamnya. "Semua gara-gara mama dan papa!" "Gara-gara mereka menjodohkan aku dengan Zahra aku nggak bisa menikahi wanita yang aku cintai!" *** Zahra masuk kedalam mobilnya. Dia menyalakan mesin mobil tapi tidak mau menyala. Dia terus mencoba beberapa kali tapi tetap tidak mau menyala juga. "Ya Allah, ini kenapa?" "Apa karena bensinnya habis?" Dia periksa tapi ternyata bensinya masih penuh. Jika penunjuk jarumnya yg salah tapi seingatnya dia selalu mengisi bensin setiap kali berpergian. Dia coba lagi menghidupnya mobilnya tapi tetap tidak mau menyala. Sudah beberapa kali mencoba akhirnya dia menyerah. Zahra keluar mobil. "Ada aja cobaannya. Astagfirullah." Zahra mengelus d**a. Saat ini yang bisa dilakukan cuma sabar yang banyak. Cobaan memang suka datang tiba-tiba begini. Dia melihat mobil suaminya yang terparkir di garasi. Apa dia diperbolehkan memakai mobil mahal itu? Kayanya tidak. Kalau begitu apa ada kemungkinan El mau mengantarnya jika dia meminta tolong lelaki itu untuk mengantarnya berbelanja? Dia akan mencobanya. Kalau belum dicoba mana tahu hasilnya apa. Diterima atau ditolak urusan belakangan yang penting dicoba dulu. Zahra pergi menemui El. Tetapi pria itu sudah tidak ada lagi di ruang tengah. Dia pergi ke lantai atas. Sepertinya pria itu berada di kamar. Sampai di kamar ternyata benar pria itu ada dan sedang membaca buku sambil sanderan di kepala ranjang. "Mas." Zahra menghampiri El. El tidak bicara cuma menatap wanita itu. "Mobil aku nggak tau kenapa. Mesinnya nggak mau nyala. Udah aku coba beberapa kali tapi tetap nggak bisa. Apa boleh aku minta anterin kamu?" Selesai bicara Zahra langsung menunduk karena sungkan pada suaminya. "Saya sibuk," jawab El cepat tanpa berbasa-basi dahulu. Zahra memilan bajunya. "Kamu cuma baca buku. Apa nggak bisa sempatin sebentar aja ngaterin aku belanja?" tanyanya dengan wajah yang tertunduk. "Maksa kamu ya! Naik taksi kan, bisa!" El sudah tidak mood membaca. Dia menaruh bukunya di atas meja. Dia menatap Zahra sekarang dengan tatapan kesal. "Ya udah, Mas." Zahra berbalik badan dengan perasaan sedih. Dia beranjak pergi. Hasilnya ditolak dan respon suaminya sungguh membuanya nyesek banget. "Dasar," gumam El. "Diberi mobil bukannya dijaga dengan baik, sekarang rusak 'kan. Dia kira mobil murah apa!" gerutu El. Sepeninggalan Zahra, El jadi merasa bersalah. Perasaannya jadi tidak nyaman. Dia pergi keluar untuk melihat istrinya. Dia mengintip di jendela melihat istrinya yang menunggu taksi. Cukup lama waktu berlalu tapi taksi tidak datang. El akhirnya keluar karena iba melihat wanita malang itu. "Kamu!" panggil El. Zahra menoleh mendengar suara suaminya. El mendekati Zahra. "Mana kunci mobil?" "Kunci mobil aku?" "Iya, lah!" Zahra mengambil kunci mobilnya di dalam tas. "Ini, Mas." Dia memberikannya pada El. El beranjak ke mobil istrinya. Dia masuk kedalam mencoba menyalakan mobil. Dicoba beberapa kali tetap tidak mau menyala. Dia bergumam kesal. Dia keluar lalu menendang ban mobil. Sialnya dia malah menendang bagian besinya sehingga kakinya jadi sangat sakit. "Sialll!" keluh pria itu. Zahra cepat menghampiri suaminya itu. "Mas, kamu gapapa?" "Gapapa gimana! Mobil sialan kamu ini membuat kaki saya sakit!" jawab El kesal. "Kan, salah kamu sendiri Mas," gumam Zahra. "Berani kamu ngomong begitu!" El mendengar gumaman istrinya. Membuatnya jadi kesal dengan wanita itu. "Gak Mas, a-a-aku ..." "Gak usah ngeles!" El menendang mobil Zahra kembali dengan kaki kirinya. Kali ini kakinya tepat mendarat di ban mobil jadi tidak menimbulkan rasa sakit. "Besok-besok mobil itu sering-sering diservis!" "Maaf Mas, aku kurang begitu ngerti soal mesin. Tapi aku usah servis setiap bulan kok." "Dasar bodoh! Kamu pasti diakali! Jika sering diservis dengan benar nggak mungkin mesinnya tidak mau menyala! Seperti mobil butut saja!" "Maaf Mas ..." "Saya bosan di rumah, saya akan keluar. Kamu boleh ikut saya." Senyum Zahra mengembang, matanya pun berbinar-binar memandangi suaminya. Dia senang mendengar perkataan pria itu. Ternyata suaminya baik juga. "Tatapan kamu ke saya biasa aja dong! Kamu pikir saya ngomong tadi pakai hati? Saya lakukan tidak lebih hanya karena mengasihani kamu!" jelas El. "Maaf, Mas..." Senang Zahra hanya hitungan detik kini dia kembali sakit hati dengan perkataan suaminya yang emosian itu. "Saya siap-siap dulu." Zahra mengangguk. El melenggang pergi. Zahra kembali tersenyum. Meski suaminya seperti itu sikapnya, tapi dia cukup senang karena ini akan jadi momen pertamanya, dia akan berbelanja dengan suaminya. Uh, alhamdulillah banget. Ada kemajuan walaupun hanya sedikit. El ke lantai atas. Dia ke kamar mengganti pakaian. Selesai bersiap dia beranjak. Sampai di depan El melemparkan kunci mobilnya ke Zahra. "Kamu yang menyetir." Zahra kurang setuju tapi dia tetap menuruti kemauan suaminya. Jika menolak dia takut suaminya tidak jadi mengantarnya. Mereka masuk kedalam mobil. El memilih duduk di kursi belakang. Dia bersantai sedangkan Zahra yang menyetir. Di perjalanan Zahra sangat tegang membawa mobil suaminya karena dia takut mobil yang dia bawa ini menabrak atau ditabrak orang. Dia tidak akan sanggup menggantinya dan dia pasti akan dimarahi habis-habisan. "Kamu bisa bawa mobil nggak sih?" tanya El karena dia merasa Zahra tidak menyetir dengan baik. Dia jadi pusing dan mual karena cara Zahra menyetir ugal-ugalan. Ngerem dadakan dan suka keluar jalur. "Saya mual gara-gara kamu!" "Maaf Mas, aku takut bawa mobil kamu. Aku takut mobil kamu kenapa-napa." "Dasar norak! Cepat minggir, biar saya aja yang bawa. Kalau nggak bisa itu bilang jangan diam aja!" Omel El. Zahra menepi dan berhenti. El yang keliatan marah keluar mobil. Dia membuka pintu depan dan menyuruh Zahra keluar. Zahra ingin duduk di depan bersama suaminya tapi El malah mengusirnya. "Jangan duduk di sini!" cegah El dengan raut wajah kelihatan sangat garang. "Baiklah," balas Zahra pelan. Zahra menutup pintu kembali dan berpindah ke kursi belakang. Perjalanan pun dilanjutkan. El yang menyetir dengan kecepatan tinggi membuat Zahra ketakutan sampai berteriak. Suara wanita itu membuat El bising, akhirnya dia mengurai kecepatannya barulah wanita itu diam. "Mas, tolong bawa mobilnya pelan-pelan aja. Aku takut," keluh Zahra. "Dasar wanita kampung!" Zahra diam dikata wanita kampung oleh suaminya. Jangan tanya rasa sakitnya seperti apa sudah pasti sakit sekali karena diejek oleh suami sendiri. Dia memang orang kampung tapi tidak seharusnya suaminya mengejaknya seperti itu. Rasanya menyakitkan sekali. Kini suasana jadi hening dan canggung. Zahra sampai merasa seperti naik taksi. Si supir begitu asing sama seperti suaminya. "Mas," panggil Zahra. Akan tetapi tidak ada respon dari suaminya. "Kamu nggak ada niat untuk menetap di rumah kita, Mas?" tanyanya. Besar harapannya bisa tinggal bersama sang suami. Walaupun hatinya akan terluka setiap saat tapi dia tidak apa-apa, asal putranya senang karena bisa serumah dengan papanya. Maklum selama ini dalam sebulan El sangat jarang pulang. Bahkan kadang 2 bulan sekali saja. Sekedar ngasih uang dan bermalam semalam di rumah lalu pergi lagi ke Jakarta. "Bukannya sudah kita bahas. Saya punya kerjaan di Jakarta." "Kalau gitu apa boleh aku dan Zidan ikut kamu." "Nggak!" tolak El cepat. "Kenapa enggak?" "Jangan ngelunjak kamu! Syukur sudah saya berikan rumah yang bagus di sini. Saya juga selalu memenuhi kebutuhan kamu. Kurang apa lagi?" "Aku butuh kamu, Mas. Kita suami istri tapi kenapa harus pisah rumah. Aku tau aku bukan wanita yang kamu mau. Tapi kita sudah lama menikah, apa nggak ada sedikitpun rasa suka kamu ke aku? Aku belajar untuk menerima kamu tapi kamu nggak melakukan hal yang sama. Jika berat, setidaknya lakukan dengan alasan anak kita. Zidan sangat butuh papanya." "Jangan menuntut saya!" "Kalau kamu nggak bisa nerima aku. Aku mohon terima Zidan." "Diam!" Zahra meneteskan air matanya. "Lama-lama kamu berani mengatur saya. Kamu pikir kamu itu siapa. Jangan mentang-mentang kamu itu istri saya kamu bisa menuntut saya. Sudah saya bilang berapa kali saya tidak pernah menginginkan anak itu. Urus dia sendiri! Jangan bawa-bawa saya!" Perkataan El sangat menusuk hati Zahra. Benar-benar pria itu melukai perasaannya. Hati ibu mana yang tidak sakit jika anaknya tidak dianggap oleh ayah kandungannya sendiri. "Saya tidak akan iba dengan tangisan kamu! Kamu dan anak nakal itu sama saja cengengnya! Bisanya cuma nangis aja!" "Kamu benar-benar jahat, Mas ..." lirih Zahra. "Apa susahnya kamu menganggap Zidan sebagai anak kamu. Dia itu darah daging kamu ... hiks ..." "Dia ada bukan kemauanku! Siapa suruh kamu hamil!" "Mas!" "Harusnya kamu itu mandul! Agar aku tidak memiliki anak nakal itu!" "Hentikan Mas! Perkataan kamu sangat keterlaluan!" El menghentikan mobilnya. Dia membanting setir. "Harusnya kamu tidak menerima kesepakatan pernikahan kita! Kamu yang membuat diri kamu menderita! Bukan salah aku jika aku nggak bisa menerima kamu dan anak itu!" pekiknya. Zahra sangat sakit hati. Dia keluar mobil meninggalkan El. El mengacak rambutnya frustasi. Dia keluar mobil mengejar Zahra. Dia menarik tangan wanita itu dan memaksanya masuk kedalam mobil kembali tetapi Zahra menolak. "Lepas Mas!" teriak Zahra sembari menangis. Mereka jadi pusat perhatian. Orang-orang jadi mengira El penjahat yang ingin menyakiti Zahra. Sikap El yang kasar membuat orang-orang jadi salah paham. Sehingga ada seorang pria yang tidak tahan melihat wanita berhijab disakiti seorang pria yang berengsek. Pria itupun mencoba menolong Zahra. "Lepaskan dia!" Ucap pria berkumis itu. Pria gagah yang sama tingginya dengan El. Postur tubuhnya kurang lebih seperti El. Cuma warna kulitnya tidak seputih El. "Jangan ikut campur!" Ujar El sambil menatap pria itu. Pria itu menarik Zahra sehingga Zahra terlepas dari El. El pun marah dan menarik Zahra kembali ke sisinya. "Jangan ikut campur urusan orang lain!" tekan El. Pria itu menarik kerah baju El. "Jangan jadi pria pecundang yang berani nyakitin perempuan!" El kesal. Dia mendorong pria lancang itu lalu melayangkan tinjunya tapi Zahra manahan tangannya. "Mas, hentikan!" pinta Zahra. "Aku akan ikut kamu." El tidak jadi memukul pria asing itu karena Zahra menarik tangannya. "Kau selamat kali ini," ucap El lalu pergi bersama Zahra. Mereka masuk ke mobil dan melenggang pergi dari sana. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN