Pria asing itu merapikan pakaiannya. Dia telah gagal menyelamatkan wanita itu. Dia hanya bisa berharap wanita itu tidak kenapa-napa. Pria yang bersama wanita itu terlihat bukan orang baik. Buktinya pria itu bersikap kasar. Entah pria itu siapanya wanita tersebut.
Pria bernama Rehan itu beranjak ke motornya. Dia menaikinya lalu melenggang pergi. Tiba di rumah Rehan menyimpan belanjaannya di kulkas. Dia kemudian duduk di meja makan. Rumahnya sangat hening. Tidak ada siapapun selain dirinya di sini saat ini. Di rumah ini dia hanya tinggal bersama putrinya. Dia sudah cukup lama menduda. 6 tahun lalu dia bercerai dengan istrinya karena istrinya ketahuan berselingkuh. Jujur dia kesepian karena tidak memiliki seorang wanita di sisinya. Dia juga harus menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuk anaknya. Ibu dari putrinya tidak pernah datang untuk mengunjungi anak mereka. Mantan istrinya itu benar-benar lari dari tanggungjawab.
Rehan melihat jam tangannya yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah satu.
“Astagfirullah.”
Rehan segera bergegas. Dia pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Selesai mensucikan diri dia pergi ke tempat peribadahan yang ada di rumahnya. Di rumah dia punya tempat khusus sholat. Dia mengambil peci putihnya yang tergantung di tembok lalu dia menyegerakan sholat zhuhur.
Pria belasteran arab itu sholat dengan tenang dan khusyuk.
“Assalammualaikum warahmatullah.” Rehan menoleh ke kanan.
“Assalammualaikum warahmatullah.” Rehan menoleh ke kiri.
Rehan mengusap wajahnya sambil mengucapkan hamdallah karena dia bersyukur bisa melaksanakan sholat zhuhur hari ini. Rehan melanjutkan dengan membaca sholawat dan berzikir setelah itu dia berdoa kepada yang Maha Kuasa.
“Ya Allah, tadi aku bertemu seorang wanita. Dia dalam kesulitan dan aku gagal menyelamatknnya. Tolong maafkanlah aku. Jika Kau izinkan aku untuk bertemu dengannya kembali aku ingin mengucapkan maaf karena tidak bisa membantunya. Tolong lindungi wanita itu ya Allah, jagalah dia dari mahabahaya.”
“Ya Allah, aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih telah memberikan kesehatan pada putriku dan aku. Lindungilah selalu kami dan mudahkanlah langkah kami selalu dalam kebaikan. Jadikanlah putriku anak yang sholehah. Jadikanlah dia anak yang sukses dan jadikanlah dia sebagai amal ibadah untukku ya Allah. Aku mohon berikanlah selalu kebahagian kepada putriku.”
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu, datangkanlah sosok seorang wanita yang mau menemani hidupku dengan setia. Menyayangi putriku dan mencintaiku. Datangkan wanita yang terbaik menurut-Mu ya Rab, selama 6 tahun belum aku temukan wanita yang bisa menerima putriku. Aku ingin memberikan putriku seorang ibu yang bisa menyayanginya dan merawatnya dengan baik. Aku mohon ya Allah pertemukanlah aku dengan wanita tulus yang setia menemaniku. Wanita sholehah yang darinyalah aku bisa banyak belajar dan darinya pula aku bisa memiliki anak-anak yang sholeh dan sholehah. Aamiin…”
Rehan selesai berdoa. Dia berdiri dan melepaskan pecinya. Dia menyimpannya kembali ke tempat semula. Dia beranjak ke ruang tengah. Dia menyalakan TV. Dia berbaring di sofa sambil melihat langit-langit. Tidak tahu kenapa dia jadi teringat wajah wanita yang dia temui di jalan.
“Apa pria itu suaminya?” Dia jadi bertanya-tanya.
“Tapi kenapa jika pria itu suaminya kenapa bersikap kasar?”
“Ah, kenapa aku jadi memikirkan rumah tangga orang. Astagfirullah… rumah tanggaku saja berantakan.”
Rehan melarikan pandangannya pada layar TV. Dia fokus melihat ceramah ustadz Adi Hidayat yang membahas perihal jodoh. Ceramah yang sangat cocok dengan apa yang dia butuhkan. Dia pun antusias menontonnya.
***
Zahra selesai berbelanja. Dia banyak membeli kebutuhan rumah. Belanjaannya sangat banyak. Dia harus beberapa kali mengangkutnya ke mobil. El sama sekali tidak membantunya. Pria itu cuma duduk manis di mobil.
“Sudah selesai?” tanya El.
“Sedikit lagi, Mas.”
“Lama sekali. Saya sudah lapar nungguin kamu.”
“Sabar, Mas.”
“Sabar nggak akan membuat saya kenyang. Cepat masukan semua belanjaan kamu ke mobil!”
“Iya, Mas.”
Zahra buru-buru memasukkan semua belanjaannya. Dia akhirnya selesai menyimpan semua barang yang dia beli. Dia masuk kedalam mobil, El langsung menyalakan mobil dan pergi.
Mereka singgah di restoran karena El sudah sangat kelaparan. Di restoran Zahra tidak memesan apapun. Wanita itu hanya menemani suaminya makan.
El mengangkat pandangannya. Melihat Zahra dia jadi kasihan pada wanita itu karena melihat muka istrinya yang seperti orang susah.
“Mau?” tanya El.
“Ha?” tanya Zahra yang bengong.
“Hm, kamu mau makan nggak? Kalau mau pesan biar saya yang bayar.”
Zahra cepat menggeleng. Dia tidak mau merepotkan suaminya. Makanan di restoran ini sangat mahal, dia sempat tadi mengecek harganya di menu. Dia sampai kaget melihat harganya padahal makanannya biasa saja.
“Ya sudah.” El lanjut makan lagi.
Zahra yang memperhatikan El makan dia pun jadi tergiur dan menelan ludah. Sepertinya makanan suaminya sangat enak tetapi dia sungkan untuk bilang jika dia lapar juga dan ingin makan seperti makanan yang suaminya makan.
El memergoki Zahra yang memerhatikannya. “Kamu kalau lapar bilang. Jangan sok jual mahal.”
“Ah enggak, Mas. Aku cuma… cuma senang ngeliat kamu yang makannya lahap banget. Andai kamu memakan masakan aku seperti itu juga. Tapi… makanan aku nggak seenak makanan yang kamu makan, makanya kamu nggak pernah mau nyentuh masakan aku. Maaf ya Mas kalau masakan aku rasanya kampungan.” Zahra menunduk merasa bersalah.
El tidak menanggapi. Dia menghabiskan makanannya. Mereka segera pergi dari restoran setelah El membayar tagihan. Mereka masuk ke dalam mobil. Mobil menyala dan mereka menuju perjalanan pulang.
“Mas.”
“Ya.”
“Apa boleh berhenti sebentar di sana.” Zahra menujuk ke depan.
“Mau apa?”
“Aku mau sholat dulu.”
“Di rumah kan, bisa. Sebentar lagi juga sampai.”
“Kalau bisa dilaksanakan segera mungkin kenapa harus ditunda,” balas Zahra.
El menghentikan mobilnya ketika sudah sampai di masjid. “Jangan lama.”
Zahra senyum. “Baik, Mas.” Zahra keluar mobil.
“Terlalu fanatik,” ucap El sambil melihat punggung Zahra yang menjauh.
Beberapa menit berlalu. Zahra belum juga kembali, membuat El bosan menunggu. Dia keluar mobil berniat menyusul Zahra. Masuk ke masjid dia mendapati Zahra yang sedang berdoa.
“Panjang sekali doanya. Percuma Tuhan juga nggak akan membantu apa-apa,” gumam El. Dia sudah sangat kecewa pada Tuhan. Dia dulu juga rajin berdoa tapi tidak satupun doanya yang dikabulkan sampai dia lelah dan memilih untuk menjauh dari sang Maha Kuasa karena merasa Tuhan tidak pernah memihaknya. Padahal permintaannya sederhana tetapi Tuhan malah tidak memberikan apa yang dia pintakan.
Zahra selesai berdoa. Dia membuka mukenah dan menyimpannya kembali ke tempat dia mengambil mukenah itu. Dia berbalik badan ketika sudah menyimpan rapi mukenah yang dia gunakan. Dia melihat suaminya yang berdiri di depan pintu sambil melipat tangan di atas d**a. Wajah pria itu terlihat kesal. Mungkin marah karena lama menunggu.
Dia menghampiri suaminya.
“Mas, Maaf. Kamu menunggu lama ya.”
“Lain kali kalau mau berdoa yang panjang di rumah aja.”
El melenggang pergi. Zahra menyusul. Sampai di mobil El terus mengomel.
“Maaf Mas, lain kali aku nggak akan lama.”
El memundurkan mobilnya keluar dari area masjid. Dalam perjalanan mereka tidak mengobrol. El diam begitupun dengan Zahra. Zahra merasa hampa sekali. Dia ingin memiliki sosok suami yang mengerti dirinya, yang membimbingnya, dan menerimanya apa adanya. Kadang dia bertanya-tanya kenapa dia ditakdirkan untuk menjadi istri dari pria yang tidak mau menerimanya. Apakah pilihannya yang salah? Apakah dia salah mengambil keputusan sehingga dia terjebak di kehidupan pria yang tidak menginginkannya?
Sampai di rumah. Zahra mengangkut semua belanjaannya tanpa bantual El. Pria itu menyelonong masuk dan duduk main game di ruang tengah. Ketika melewati suaminya Zahra hanya menghela napas. Coba saja pria itu mau membantunya. Coba saja pria itu tahu betapa lelahnya dia. Coba saja dia punya suami yang pengertian.
Dia melanjutkan mengambil belanjaannya di mobil. Selesai itu dia masak untuk makan siang sekaligus untuk makan malam. Saat sedang mengiris bawang tiba-tiba dia tidak sengaja melukai jarinya.
“Aduh…” Dia merintih kesakitan. Jari telunjuknya banyak mengeluarkan darah. Lukanya lumayan besar sehingga sangat terasa perih.
Desahan kesakitan Zahra didengar oleh El. Sebenarnya dia tidak mau ambil peduli, tapi dia bimbang juga akhirnya dia datang menghampiri Zahra. Dia melihat wanita itu sedang mencuci tangan dengan raut wajah yang terlihat kesakitan.
“Jeritan kamu mengganggu saya. Kenapa kamu?” tanya El dengan sikap seperti biasanya, dingin.
Zahra menghadap El. “Maaf Mas udah ganggu kamu. Aku nggak sengaja melukai jari aku.”
El mendekati Zahra. Dia meraih tangan wanita itu. “Jari yang mana?”
Zahra menatap mata El. “Yang ini.” Dia menunjukkan jari telunjukknya.
El melirik jari itu. “Dasar lemah! Ini hanya luka kecil! Cepat obati!” Dia melenggang pergi meninggalkan Zahra.
“Apa dia mulai peduli padaku?” tanya Zahra dalam hati. Dia tersenyum senang. Ini pertama kalinya El peduli padanya. Mungkin jika mereka sering tinggal bersama dia bisa meluluhkan hati pria itu. El kadang-kadang memang baik meski kebaikannya diiringi dengan raut wajah angkuhnya.
El mamasukkan tangan kanannya kedalam saku celana. Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Zahra. “Jangan lupa diplester. Nanti kuman di luka kamu mengotori makanan.” Dia berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya.
“Dia perhatian ke aku atau takut makanan di rumah ini berkuman gara-gara terinfeksi dari lukaku?”
***
Istirahat kedua Qila menghampiri bangku Zidan. Temannya itu murung, dia akan menghiburnya. “Kamu kenapa?” tanya gadis kecil cantik itu.
“Aku gapapa,” jawab Zidan sambil menggelengkan kepala.
“Nilai matematika kamu jelek? Coba liat.” Qila mengambil lembaran di tangan teman kelasnya itu. “Ah, enggak. Nilai kamu dapat seratus. Wah selamat ya Zidan.” Qila tersenyum pada Zidan tapi Zidan tetap cemberut. “Kok kamu sedih sih? Aku aja dapat 98 aja. Kali ini kamu jadi pemenangnya. Besok aku akan beri kamu hadiah sesuai yang aku janjikan ke kamu.” Qila mengembalikan hasil ulangan Zidan. “Nih, simpan baik-baik.”
Zidan mengambilnya lalu menunduk sedih.
Qila memegang pundak temannya itu. “Bunda kamu pasti senang. Papa kamu juga akan senang. Nanti pulang sekolah kamu tunjukin ke mereka. Aku yakin Papa kamu bangga sama kamu.”
Zidan mengangkat pandangannya melihat hasil ulangannya. “Apa iya Papa akan bangga sama aku?” tanyanya dalam hati.
“Kita ke kantin yuk?” ajak Qila.
Zidan memandangi Qila. “Kamu aja. Aku udah dibekalin makanan sama bunda.”
Qila tersenyum. “Ya udah, aku pergi dulu. Dadah Zidan.”
“Dah.”
Qila melenggang pergi dengan berlari.
Zidan tersenyum melihat hasil ulangan matematikanya yang mendapatkan nilai seratus. Ini nilai terbaiknya. Dia sangat ingin menunjukkannya pada papanya. Dia menyimpannya ke dalam tas. “Semoga Papa belum pulang,” ucapnya.
***
Zahra menghampiri El. “Mas, makan siang sudah siap. Ayo makan bareng,” ajaknya.
El yang sedang duduk santai di sofa sambil memaikan ponselnya menoleh memandangi Zahra. “Kamu lupa saya sudah makan tadi?”
“Aku ingat, Mas.”
“Terus ngapain kamu ajak saya makan lagi?”
Zahra menghela napas. “Mungkin aja kamu mau menemani aku makan. Jadi…”
“Hanya buang waktu,” ketus El memotong omongan istrinya.
“Ya udah.”
Zahra beranjak pergi dengan perasaan kecewa.
Sampai di meja makan, Zahra makan sendiri. Dia melahap makanannya tanpa semangat. Nafsu makannya menghilang karena penolakan suaminya yang dia ajak makan bersama. Padahal jika pria itu kenyang apa salahnya menemani dia makan saja. Tetapi terlalu mustahil pria itu mau melakukannya.
Zahra hanya makan sedikit setelah itu dia langsung membersihkan piring kotornya. Ketika selesai bersih-bersih di dapur dia beranjak ke kamar untuk istirahat. Tidak lama lagi dia harus menjemput putranya, jadi sebelum pergi dia biasanya tidur siang dulu agar saat menyetir mobil tidak mengantuk.
Sampai di kamar dia mendapati suaminya sedang telfonan dengan seseorang yang pastinya dia tidak tahu seseorang itu siapa. Anehnya, suaminya langsung mengangakhiri telfon itu ketika dia datang.
“Habis nelfon siapa, Mas?” Rasa ingin tahu Zahra sangat besar sehingga dia tidak ragu untuk bertanya.
“Kenapa mau tau? Kamu nggak berhak membatasi siapapun yang ingin saya ajak bicara,” jawab El.
“Aku istri kamu wajar aku ingin tahu. Kamu mencurigakan, kenapa ketika aku di sini kamu langsung mengakhiri panggilan? Kamu habis bicara sama siapa memangnya?”
“Nggak perlu kamu tau!”
Zahra duduk di pinggir ranjang. “Aku cuma mau mengingatkan, orang tua kamu pernah bilang ke aku. Kalau kamu selingkuh mereka nggak akan memberikan sepeser pun harta waris ke kamu.” Dia kemudian berbaring. “Seburuk apapun sikap kamu ke aku, aku bisa terima asal bukan perselingkuhan,” tambahnya.
El mengepal tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam. “Siapa juga yang selingkuh,” ucapnya enteng.
“Aku nggak pernah berselingkuh, justru kamu orang ketiga dalam hubunganku,” ucap El tapi dalam hati.
Zahra memejamkan matanya. Baru saja terlelap tiba-tiba ada yang menggoncang pundaknya. Dia kembali membuka mata dan mendapati suaminya yang mengganggu tidur siangnya.
“Punggung saya pegal. Pijitkan saya sebentar,” pinta El.
“Aku capek Mas.”
“Kamu berani tidak menuruti keinginan saya?”
Zahra menghela napas sambil mendudukan dirinya.
El mendudukan dirinya di ranjang. Dia lalu membuka bajunya. “Bagian sini.” Dia menunjuk pundaknya.
Tangan Zahra mulai memijat pundak El dengan gerakan tangan yang telaten membuat El tidak merasa sakit malah ketagihan. Pijitan Zahra emang enak. Tidak seperti Ara yang tidak tahu memijatnya. Kalau dia pegal biasanya akan memanggil tukang urut tapi yang laki-laki karena Ara sangat cemburu. Maka dari itu keberadaan Zahra dia sembunyikan dari kekasihnya.
“Gimana, Mas?” tanya Zahra.
“Pijitan kamu enak.”
Zahra senyum senang mendapat pujian itu.
“Harusnya kamu menjadi tukang pijat bukan malah jadi istri saya,” lanjut El.
Wajah Zahra berubah masam. Suaminya tega sekali berkata demikian.
El berbalik badan menghadap Zahra. Satu hal yang perlu dia pertanyakan pada wanita itu. Selagi ingat dia harus segera mempertanyakannya. “Oo ya, kamu selalu minum obat yang saya kasih, kan?” tanya El.
“Iya,” jawab Zahra singkat.
“Baguslah. Saya nggak mau kamu sampai hamil.” El berbalik kembali membelakangi istrinya. Wanita itupun kembali memijatnya.
Sebenarnya Zahra tidak pernah meminum obat yang El berikan. Obat itu adalah obat pencegah kehamilan. Zahra tidak mau meminumnya. Lagian dia tidak akan bisa hamil menurutnya karena dia dan suaminya jarang bertemu. Pria itu sibuk, dan mereka berhubungan tidak setiap saat. Jadi kemungkinan dia hamil sangat kecil.
***