Rumit Part 7

1209 Kata
“Mas, papa dan mama kapan pulang dari Austali?” tanya Zahra yang masih setia memijat pundak suaminya. “Kenapa? Kamu mau melaporkan sikap saya yang jahat ke kamu?” “Enggak Mas, aku… aku kangen mereka aja.” “Awas aja kalau kamu berani bilang ke mereka. Aku pastikan hidup kamu akan lebih menderita!” ancam El. “Kamu tenang aja Mas, aku nggak akan melakukannya.” El berbalik menghadap Zahra lagi. “Aku punya ide bagus. Gimana kalau kita berpisah aja dan aku akan memberi kamu uang untuk melunasi hutang orang tua kamu? Kamu akan hidup bebas.” Deg Zahra terdiam. Dia bertahan menjadi istri El bukan hanya karena hutang orang tuanya, tapi dia juga sudah menaruh perasaan pada pria itu. Dia juga sudah memiliki anak dari pria itu. Maka yang jadi penguatnya untuk terus menjadi istri El adalah rasa cintanya pada pria itu dan rasa sayangnya pada putranya. Sehingga dia tidak ingin sang anak tidak memiliki sosok ayah. Namun, mendengar perkataan suaminya barusan saja sangat membuatnya kecewa. Pria itu malah ingin berpisah darinya. “Gimana, mudahkan? Kamu nggak perlu repot jadi istri saya. Saya sudah lama ingin melakukan ini. Jadi jika orang tua saya nanya darimana kamu mendapatkan uang untuk membayar hutang orang tua kamu, bilang saja itu uang tabungan kamu yang kamu kumpulkan beberapa tahun. Alasan itu sangat masuk akal. Aku yakin mereka akan percaya,” tambah El. Zahra meneteskan air matanya. Setidak diinginkannya dia bagi pria itu. Rasanya sakit sekali mendengar perkataan suaminya yang tega sekali berucap begitu tanpa memikirkan perasaannya. Serendah itukah dia sampai pria itu ingin cepat mereka berpisah. Sebegitu tidak pantasanya kah mereka bersama? “Ngapain kamu nangis?” tanya El sembari menaikan satu alisnya. Zahra mengusap air matanya. “Mas, apa nggak ada cara lain?” tanyanya. “Ya mau pakai cara apa lagi?” “Apa kamu memiliki wanita lain, Mas?” “Loh, apa urusannya dengan kamu? Lagian saya memang tidak punya wanita manapun. Saya mau fokus bekerja, dan lepas dari beban!” “Apa aku beban bagi kamu, Mas?” “Jelas! Adanya kamu sangat mengganggu saya! Karena kamu hidup saya tidak menyenangkan seperti dulu!” “Bagaimana dengan Zidan?” “Kamu menyayangi dia, kan? Ya udah kamu saja yang mengurusnya. Saya akan tetap membiayai hidup dia jadi kamu gak usah khawatir.” Air mata Zahra kembali meleleh jatuh membasahi wajahnya. “Kamu cukup ke pengadilan. Gugat cerai saya maka hubungan kita selesai dan permasalahan kamu akan berakhir.” “Tapi aku mencintai kamu, Mas,” ucap Zahra setelah lama diam. “Cinta? Kamu bilang kamu cinta ke saya?” El menertawakan Zahra. “Kamu benar-benar bodoh! Saya tidak memperlakukan kamu dengan baik dan bisa-bisanya kamu mencintai saya. Saya tidak percaya ini. Ada wanita begitu bodoh sampai bisa mencintai pria yang sudah jelas tidak menyukai dia tapi malah dicintai.” Dia tertawa lagi. “Salah jika seorang istri mencintai suaminya?” tanya Zahra. “Terserah kamu sih. Kamu memang berhak mencintai siapapun. Tapi kamu bodoh!” “Aku nggak merasa bodoh. Yang bodoh itu orang yang menyia-nyiakan pasangannya yang jelas-jelas mencintainya dengan tulus,” balas Zahra lalu melenggang pergi. El tidak mengejar wanita itu. Buat apa juga pikirnya. Ucapan wanita itu menyindirnya. Dia tidak peduli sama sekali. Zahra turun ke lantai bawah. Dia menangis di meja makan. Dia menangis sambil menutupi wajahnya. El memakai pakaiannya. Dia merasa haus. Dia keluar kamar dan pergi ke dapur. Di dapur dia mendapati Zahra yang menangis di meja makan. Dia duduk di hadapan istrinya itu. “Kalau tidak mau menderita seperti ini maka akhiri hubungan kita,” ucapnya. Zahra membuka wajahnya. Dia berdiri. “Justru dengan mengakhiri hubungan kita membuat aku semakin menderita! Aku mencintai kamu, Mas!” pekiknya. Baru pertama kali dia meneriaki suaminya seperti ini. “Mana ada orang yang mau berpisah dengan orang yang mereka cintai…” lirihnya. El melipat tangannya di atas d**a. “Siapa suruh kamu mencintai saya. Kamu nggak bisa menyalahkan saya dong, kamu yang menaruh perasaan ke saya. Makanya jangan mudah cinta ke orang,” ucapnya dengan enteng. “Kamu sangat egois, Mas!” Zahra melenggang pergi menghindari pria itu. El duduk di kursi meja makan. “Dasar wanita bandel!” gumamnya. “ *** “Kok Bunda belum datang ya?” Zidan melihat jam tangannya yang sudah menujukkan pukul setengah 4 sore. Dia sudah menunggu selama satu jam. Teman-temannya sudah pada dijemput. Bundanya tidak pernah selama ini. Sekarang dia tinggal sendirian. Sekolah sudah sepi dan terlihat menakutkan. “Belum dijemput juga?” tanya security yang menghampiri Zidan. Zidan menggeleng. “Bapak sebentar lagi udah mau pulang. Kamu ditinggal sendirian gapapa?” tanya security itu. Zidan menunduk. “Ya udah, Bapak tungguin.” Zidan mengangkat wajahnya. Dia tersenyum pada security itu. “Makasih ya, Pak.” “Iya, sama-sama.” “Apa Bunda kena macet ya di jalan? Apa jangan-jangan mobil bunda mogok? Ya Allah tolong permudah bunda. Aamiin.” Tidak beberapa menit kemudian taksi berhenti di depan Zidan. Zahra pun keluar dari taksi itu. Zahra langsung memeluk putranya itu. Dia sangat khawatir untungnya Zidan tetap menunggunya. “Sayang, maafin bunda ya telat jemput kamu.” “Gapapa Bunda.” “Kamu pasti nunggunya lama.” “Gapapa. Bunda kenapa pakai taksi? Mobil Bunda mana?” “Mobil Bunda rusak jadi ada dibengkel.” “Emm gitu. Ya udah Bunda ayo kita pulang.” Zahra mengangguk. Mereka masuk kedalam taksi. Di perjalanan Zidan memerhatikan wajah Bundanya. Dia heran karena melihat wajah bundanya yang seperti orang habis menangis. Dia meraih tangan wanita itu. Zahra menoleh, dia pun senyum ke bundanya. “Bunda.” “Iya, Sayang.” “Papa masih di rumah?” “Masih.” Senyum Zidan mengembang. “Kamu kangen Papa ya?” Zidan mengangguk. *** Zahra dan Zidan sampai di rumah. Zidan keluar taksi langsung berlari masuk ke rumahnya. “Sayang! Jangan lari-lari!” Zahra memperingatkan. Takutnya anak itu jatuh. Zidan mencari keberadaan papanya. Dia menyelusuri ke semua tempat sambil memanggil papanya. Namun dia tidak mendapati papanya di lantai bawah. Dia pergi ke lantai atas. Dia ke kamar bundanya karena mikir mungkin papanya ada di sana. Namun tetap tidak ada. Dia mencari di luar lagi dan menemukan pria itu berdiri di balkon. “Papa,” panggilnya. Dia menghampirinya. El tidak mengatakan sepatah katapun bertemu putranya. Dia malah malas melihat anak itu. Zidan meraih tangan El mencium punggung tangan pria itu. Kemudian dia memeluknya. “Aku senang Papa masih di sini.” El melepaskan pelukan anak itu. “Jangan dekat-dekat.” Senyum Zidan memudar. Akan tetapi dia senyum kembali. “Aku punya kejutan.” Dia membuka ranselnya mengambil hasil ulangan matematikanya. Dia menunjukkannya ke papanya. “Aku dapat nilai seratus Pah,” ucapnya dengan bangga. El mengambil kertas itu. Dia melihatnya. “Itu nilai terbaik aku. Aku udah membanggakan papa, kan?” tanya Zidan. "Kita pergi berlibur ya Pah, aku ingin ke Pantai. Bolehkan? Sebagai hadiah buat aku karena udah dapat nilai bagus," pintanya. El menatap anak itu lalu menjatuhkan hasil ulangan putranya ke lantai. “Papah…” Zidan melihat hasil ulangannya yang dibuang papanya ke lantai. “Apanya yang bisa dibanggakan,” ucap El lalu pergi meninggalkan putranya. Zidan mengambil kertas hasil ulangannya. Dia kemudian memandangi punggung papanya yang menjauh. Dia lalu menunduk sedih. Air matanya menetes dan dia cepat mengusapnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN