Pintu kamar terbuka. Anak kecil 7 tahun memencet tombol lampu kamarnya. Ruangan yang tadinya gelap kini bercahaya menampakan isi kamar yang luasnya tidak seberapa. Cukuplah dengan badan mungilnya.
Anak itu melangkah masuk dan menutup pintu kembali. Dia melangkah dan melihat beberapa foto yang terpanjang di dinding kamar. Matanya terfokus pada satu foto yang dimana foto itu adalah gambar papanya yang tersenyum menggunakan pakaian jas. Terlihat seperti orang-orang hebat. Di sampaing foto itu ada gambar bundanya dan dirinya. Juga ada foto masa kecilnya serta foto kebersamaannya bersama wanita yang sudah melahirkannya di setiap momen yang mereka abadikan.
Hatinya menjadi sedih ketika menyadari tidak ada satupun foto kebersamaannya dengan sang papa. Dia baru sadar selama ini dia begitu jauh dengan papanya. Tidak satupun momen yang bisa mereka abadikan karena memang mereka tidak pernah pergi bersama. Pria itu juga jarang pulang sehingga mereka jarang bertemu.
Dia menghela napas sambil duduk di kursi belajarnya dan meletakkan tasnya di atas meja. Dia menekuk wajahnya. Sedih sekali perasaannya saat ini. Dia kembali mengingat ketika papanya bersikap biasa saja ketika dia menunjukkan hasil ulangannya. Padahal dia mendapatkan nilai seratus, tetapi dia tidak mendapatkan pujian apa-apa.
Dia membuka corong meja belajarnya dan menyimpan hasil ulangannya. Dia simpan dengan rapi di balik buku.
Dia bangkit dari kursi. Dia membuka seragam sekolahnya. Sudah diajarkan untuk mandiri, dia pun pergi mandi membersihkan tubuhnya sendiri. Selesai mandi dia berpakaian dan menyisir rambutnya. Dia tersenyum melihat bayangannya di cermin. Dia cukup tampan dan wajahnya mirip papanya.
Dia keluar kamar. Dia menuruni tangga dan pergi menemui bundanya yang berada di teras belakang rumah. Bundanya sedang duduk santai sambil melihat pemandangan taman belakang.
"Bunda!" Panggil anak itu.
Zahra yang duduk di kursi menoleh mendengar suara putranya.
Anak itu melempar senyum. Dia menghampiri Zahra. "Bunda sedang apa?" tanyanya.
Zahra mengangkat tubuh mungil putranya. Dia dudukan di pangkuannya. Dia mencium gemas kedua pipi putranya itu. "Hemm wanginya anak bundaaa."
"Geli bundaaa."
Zahra memeluk gemas putranya itu. "Anak Bunda makin hari makin pintar aja. Udah pintar mandi sendiri, ganti baju sendiri, nyisir rambut sendiri. Masyaallah banget."
"Bunda-Bunda."
"Iya Sayang, kenapa?"
Zidan turun dari pangkuan bundanya. Dia menghadap wanita itu sambil memegangi kedua tangan Zahra. "Bunda belum jawab pertanyaan aku tadi. Bunda lagi apa di sini? Kenapa sore-sore duduk di sini sendirian?"
Zahra tersenyum menyembunyikan kesedihannya dari sang anak. "Bunda di sini karena lagi ngeliat pemandangan aja. Liat, langitnya baguskan?"
Zidan berbalik melihat pemandangan juga. "Enggak bagus Bun, langit gelap. Itu tandanya mau hujan ya?"
"Kayanya sih iya."
"Horeee! Kalau hujan boleh nggak aku main ujan-ujanan?"
"Nggak boleh," cegah Zahra yang tidak ingin putranya berakhir minum obat.
"Kenapa nggak boleh?"
"Kalau hujannya pagi atau siang bunda bolehin. Tapi kalau sore begini nggak boleh, nanti kamu sakit. Lain kali aja."
"Yah bundaaa."
Zahra mengelus kepala putra kesayangannya itu. "Nanti kalau ada hujan pagi baru boleh."
"Sekarang aja boleh nggak?" Pujuk Zidan.
Zahra menggeleng-gelengkan kepalanya.
Zidan menghela napas panjang. Padahal dia sangat ingin main hujan. Sudah lama dia tidak pernah bermain dengan hujan. Dia kangen berlari-lari ketika hujan turun.
"Jangan sedih, air di langit gak akan habis. Besok atau lusa pasti hujan lagi."
Zidan berbisik di telinga Zahra. "Bunda, kalau pinjam sesuatu ke Bunda boleh gak?"
"Mau pinjam apa, hm?" tanya Zahra sambil mencubit pipi putranya.
"Aku boleh pinjam ponsel Bunda sebentar? Sebentar aja, janji."
"Mau buat apa?"
"Hem, rahasia. Boleh nggak?"
"Tapi bukan buat game, kan?"
Anak itu menggeleng. "Tenang Bunda, aku nggak suka game. Aku sukanya baca buku dan menggambar. Satu lagi, main ujan-ujanan."
"Ya udah boleh. Ponsel bunda di kamar."
"Makasih ya Bunda. Aku sayang bunda, muachh."
"Sama-sama, Sayang. Bunda juga sayang kamu. Love you."
Anak itu beranjak ke kamar. Dia membuka pintu perlahan takut ada papanya di dalam. Dia mengintip dan papanya tidak ada di kamar. Dia lega. Dia pun masuk mencari ponsel bundanya. Ketika sudah menemukan barang yang dia inginkan, dia segera keluar dari kamar. Dia mencari keberadaan papanya dan menemukan pria itu di ruang tengah.
Dia melangkah mendekat tapi dia ragu-ragu. Sudah melangkah maju, dia mundur kembali. Sampai akhirnya dia cuma bisa diam berdiri memandangi papanya. Padahal sebenarnya dia ingin mengajak pria itu foto bersama. Namun, dia takut melakukannya.
Pria itu tidak sengaja menoleh dan tepandang putranya. "Ngapain kamu berdiri di situ?" tanya El.
Anak itu menggelengkan kepala. Tidak berani untuk bilang tujuannya kemari.
El beranjak dari sofa. Sebelum pergi dia memadamkan televisi dahulu. Ketika melewati putranya anak itu memanggilnya.
"Papah..."
El menoleh.
Anak itu menundukkan mukanya sambil menggenggam erat ponsel di tangannya. Dia sulit untuk berkata-kata.
Karena anak itu tidak bicara apa-apa, El melanjutkan langkahnya.
Anak itu menghela napas panjang. Dia tidak punya keberanian untuk mengajak papahnya berfoto bersama. Meski dia sangat ingin sekali. Agar dia punya kenang-kenangan dengan papahnya. Dan ketika rindu dia bisa memeluk foto itu.
"Zidan, sholat magrib dulu yuk Nak!" panggil Zahra.
Zidan memutar badannya. "Memangnya sudah mau magrib, Bun?"
"Iya, bentar lagi. Ayo siap-siap dulu."
"Oke, Bunda."
Anak itu berlari pergi ke lantai atas, ke kamar bundanya. Dia mau mengembalikan ponsel bundanya. Setibanya di kamar ada papanya di sana. Dia simpan ponsel bundanya di atas meja lalu mendekati papanya yang duduk senderan di ranjang.
"Papah, sholat magrib bareng yuk," ajaknya.
"Saya nggak sholat," ucap El yang sedang baca buku.
"Kenapa Papah nggak sholat?"
"Sholat aja kamu."
"Sholat itu wajib, Pah. Nggak boleh nggak sholat."
El kesal diceramahi anak kecil itu. Dia meletakkan bukunya. "Kamu ini masih kecil berani ya ceramahin saya!"
"Aku cuma mau Papah masuk surga."
"Kamu doain saya cepat mati?!"
"Enggak Pah... enggak..."
"Pergi sana!" usir El. "Dasar anak nakal!"
Cepat anak itu pergi. Ketika di luar kamar anak itu memegang dadanya karena jantungan berdebar kencang akibat dimarahi papanya. Dia takut sekali.
"Tenyata kamu di sini," ujar Zahra yang mendapati putranya di depan pintu kamarnya.
"Udah ambil wudhu belum?" tanya Zahra.
Anak itu menggeleng.
"Ambil wudhu dulu sana."
"Tapi sholatnya di kamar aku ya, Bun," pinta Zidan.
"Di kamar bunda aja. Biasanya kan, sholat di kamar bunda."
Anak itu menggeleng.
"Ya udah di kamar kamu aja."
Zidan tersenyum lalu pergi mengambil wudhu.
Zahra masuk ke kamarnya. Dia dapati suaminya sedang baca buku. Zahra mengambil mukenah dan sajadah.
"Mas, mau sholat bareng?" tanya Zahra. Dia sempatkan mengajak suaminya itu. Barang kali suaminya mau.
El tidak memberikan jawaban. Tapi dari mata sinis pria itu Zahra mengerti suaminya menolak. Zahra pun beranjak pergi.
"Anak nakal itu sama saja dengan ibunya, dia kira dia ahli ibadah sampai berani memaksa orang menyembah Tuhan, Tuhan bahkan tidak mendengarkan doa mereka," gumam El sepeninggalan Zahra.
Zahra dan Zidan sholat berjamaah. Selesai sholat Zahra menyempatkan mengajar Zidan mengaji. Walau baru 7 tahun tapi putranya sudah pintar baca qur'an. Sudah Al-Qur'an besar bukan Iqro lagi. Zahra memang telaten mengajar Zidan sejak kecil sehingga putranya itu sudah juz 15. Tidak lama lagi akan hatam qur'an. Dia bersyukur banget punya anak yang cepat paham dan penurut.
Zidan selesai mengaji. Dia bertanya pada bundanya. "Bunda, kenapa papah nggak mau sholat? Apa papah bukan orang muslim?" tanyanya dengan polos.
"Kita nggak bisa memaksa seseorang untuk beribadah, Sayang. Papah muslim kok cuma sekarang papah lagi jauh sama Allah. Tapi kita harus selalu doakan papah semoga papah dekat kembali sama Allah," jawab Zahra.
"Kenapa papah jauh sama Allah?"
Zahra bingung mau menjawab apa.
"Apa Papah nggak percaya sama Allah, Bun? Padahal Allah kan Maha segala-galanya tapi kenapa Papah lalai dengan perintah Allah?" Zidan bertanya lagi.
Zahra hanya menunduk diam.
Zidan meraih tangannya bundanya. "Bundaaa, ayo jawab aku?"
Zahra menghembuskan napas. "Kalau kamu ingin tau kamu tanya langsung ke papah. Bunda gak tau jawabannya, Sayang."
"Aku nggak berani. Papah galak."
Zahra tertawa kecil.
"Apa papah marah sama Allah, Bunda?" Zidan bertanya lagi.
Zahra senyum dan mencubit pipi putranya. "Bunda nyiapin makan malam dulu ya." Dia mengemasi mukena dan sajadah. Lebih baik dia menghindari pertanyaan putranya.
Zidan mengangguk.
Zahra keluar kamar menyiapkan makan malam.
Zidan duduk di kursi belajarnya. Dia mengambil buku cerita. Dia suka membaca sejak bisa baca tulis. Sambil menunggu makan malam dia pun membaca buku kesukaannya yang bercerita tentang kisah para Nabi.
"Mari berpetualang," serunya.
***