5

3294 Kata
Zach’s Point of View “Kalau Justin selalu ada di sekitar Axeline, bagaimana bisa aku membunuhnya?” Liam duduk seraya mengangkat kedua kakinya di atas meja. Di sebelah tangannya, sebuah miniatur bola kaca dimainkan di jari-jarinya. Aku tidak begitu peduli dengan semua omongannya, justru lebih tertarik membaca surat kabar harian. Dia bercerita bahwa Justin menggagalkan aksinya untuk menjatuhkan sebuah rak ke arah Axeline di perpustakaan siang tadi. Tampaknya di ruangan ini yang tertarik mendengar ucapan Liam hanyalah Henry dan Luke. Nathan sendiri lebih senang menghabiskan snack yang ada dalam dekapannya—suara berisik yang ditimbulkan Nathan ketika mengunyah makanan itu sama mengganggunya. Salah satu halaman surat kabar ini menampilkan berita mengenai anak tunggal Sir Alexander Robbespierre yang mulai diperkenalkan pada media. Kupandangi baik-baik gambar Axeline dalam surat kabar tersebut. Boleh kuakui kalau dia gadis yang menarik. Sangat polos dan cantik dengan warna kulitnya yang kepucatan. Well, kalau dipikir-pikir dia memang bukan tandingan banyak gadis cantik di SMU Robert F. Kennedy. Maksudku, masih banyak gadis yang lebih cantik dibandingkan dengan Axeline. Akan tetapi, dia lebih istimewa dari ribuan gadis cantik di dunia ini. Itulah yang membuatnya menarik. “Apa kau mendengarku, Zach?” suara Liam terdengar seperti geraman. Aku menaruh surat kabar yang k****a tadi di atas meja. “Hm?” Liam memicingkan matanya tajam. Bola kaca yang ada di tangannya digenggam dengan kuat, lantas dalam kecepatan sebuah lesatan panah, dihempaskan ke arahku. Untung saja aku menghindar cepat sehingga bola kaca itu terhempas menubruk dinding dan pecah berkeping-keping. Akibat kejadian itu, Nathan berhenti mengunyah dan menaruh makanannya. Lain halnya dengan Henry yang menahan tawa atau Luke yang memutar bola matanya. “Aku mendengarkan keluhanmu. Jangan khawatir,” ujarku santai seraya menaikkan sebelah kakiku di atas paha. Tidak mau memperkeruh suasana lagi, Luke berdehem satu kali. “Lantas, kau mau apa kalau Justin berada di sekeliling gadis itu? Bukankah Axeline memang masih belum memiliki banyak kemampuan yang dia serap? Memudahkan kita untuk membunuhnya, bukan?” Liam tidak membalas langsung. Hanya satu senyuman miring yang dia berikan pada kami. Dan, aku paling mengenal bentuk senyuman seperti itu. Tandanya dia memiliki rencana yang bisa dikatakan, well, gila.   ***   Justin’s Point of View Terbebas dari tugasku untuk mengajari Axeline memang menyenangkan. Aku tidak lagi mendengar suara berisiknya atau kelelahan menunggunya mengerjakan satu soal yang kuberikan. Aku ingin merasakan udara kebebasan bersama dua kawanku, terbebas dari tugas t***l yang diberikan Mrs. Torrents padaku. “Tadi siang Liam berani menyerang Axeline,” kataku sambil membagi pandangan antara Cody dan Austin. Mom sibuk mengurusi pekerjaannya. Yang ada di rumah ini tinggallah aku dan adik perempuanku, Jazmyn. “Woho…” Austin tertawa. “Seperti biasanya. Anak itu tidak tahu rasa takut sama sekali. Menyerang anak seorang pemimpin Mutant Wizards?” Austin tertawa lebih keras. Aku memutar bola mata melihat tingkahnya. “Yang menjadi masalah, Axeline tidak memiliki kemampuan berarti.” “Yang kudengar, dia hanya bisa melihat hal yang akan terjadi sekaligus membaca pikiran?” Cody menggigit buah apel dalam genggamannya. “Mana mungkin anak berdarah campuran seperti dia hanya memiliki kemampuan payah?” Aku menurunkan kakiku. Tidak, Axeline tidak akan sepayah itu. Orangtuanya sesama penyihir dalam kelompok berbeda. Ayahnya adalah pemimpin Mutant Wizards sedangkan ibunya adik dari pemimpin Exterminators. Tentu saja kemampuan yang dia miliki sangat hebat. Itulah sebabnya Exterminators berambisi untuk membunuh Axeline karena dianggap sebagai ancaman serius. “Setelah kupikir-pikir, dia memiliki bakat imitator,” kataku, sesuai dengan apa yang sudah kupikirkan selama ini. “Dia bisa menyerap kemampuan penyihir lainnya. Hanya saja untuk ukuran pemula yang tidak mengerti apa-apa seperti dia, butuh banyak latihan. Tapi, ada satu cara yang lebih mudah untuk menransfer kemampuan penyihir lain padanya.Yakni melalui kecupan dan ciuman.” Sekarang, Cody yang tertawa. Aku menghujaninya tatapan tidak main-main. Namun bukannya berhenti tertawa, Cody justru mengeraskan tawanya. Bahkan Austin ikut-ikutan tertawa di sebelahnya. Lagi-lagi aku mendengus. “Terdengar seperti Sleeping Beauty,” cemooh Cody di tengah tawanya. “Kenapa tidak tertarik untuk menransfer kemampuanmu padanya, Just?” sahut Austin. “Kurasa kemampuanmu juga bagus. Berguna untuk melindungi diri. Jadi, kalau para destroyers mencoba mencelakainya, kau tidak perlu terjun membantu. Cukup dia yang melindungi dirinya sendiri.” Cody dan Austin saling mengepalkan kepalan tangan mereka sebagai tanda high five. Aku mendesah mendengar ucapan mereka. “Kenapa tidak kalian saja?” balasku. “Kemampuan kalian sama-sama bagus.” Austin membalas pandanganku dengan kedua alis dinaikkan. “Tidak. Aku hanya tertarik menransfer kemampuanku pada Jazmyn andai saja dia memiliki kemampuan imitator.” Jazmyn muncul secara tiba-tiba memasuki ruangan ini. Bisa kupastikan dia mendengar perkataan Austin sehingga dia menghampiri Austin dan memukul kepalanya keras. Cody tergelak luar biasa melihat Austin memekik kesakitan. “Jaga ucapanmu. Meskipun jika kita berdua ditakdirkan bukan berasal dari sesama jenis penyihir, aku tidak akan sudi menerima ciuman darimu,” koar Jazmyn ketus. Peraturan memang konyol. Bagaimana mungkin para tetua Mutant Wizards membuat peraturan bahwa sesama Mutant Wizards dilarang memiliki hubungan serius kecuali persahabatan dan persaudaraan? Setidaknya pacarku nanti bukan bagian dari Mutant Wizards. Tapi mendadak aku memikirkan satu nama. Axeline adalah bagian dari Mutant Wizards. Hell, Justin cukup. Apa yang kupikirkan? Axeline jelas bukan tipe gadis idamanku. Dan, aku tak akan pernah tertarik pada gadis aneh seperti dia. Terutama bahwa dia adalah anak dari seorang pemimpin yang arogan, Lord Robbespierre.   ***   Axeline’s Point of View Sudah menjadi rutinitasku berdoa menjelang tidur. Aku ingin mendoakan Mom yang kini sudah tenang di sisi Tuhan. Terkadang aku sedih memikirkannya. Belum sempat aku melihat wajahnya secara langsung serta mengenalnya dekat, namun Tuhan sudah mengambilnya dariku. Satu-satunya hal yang dia tinggalkan padaku hanyalah sebuah liontin berbandul namaku, Axeline. Menurut Dad, liontin itu dibeli ibuku saat kehamilannya berusia lima bulan. Aku meraba ukiran namaku pada liontin itu sebelum akhirnya beranjak menuju ranjang untuk tidur. Mataku sudah terpejam dan siap memasuki dunia mimpi. Terkadang aku bermimpi aneh dan terkadang fase mimpiku begitu datar. Herannya, mengapa aku tak pernah dikunjungi Mom melalui mimpiku? Mungkin bertemu dengannya di dalam mimpi cukup bagiku. Terdengar bunyi gaduh dan langkah-langkah kaki di bawah sana hingga membuat tidurku terusik. Aku mencoba menghilangkan suara-suara yang mengganggu tidurku tanpa membuka mata. Sampai kudengar suara debuman keras melalui jendela kamarku. Seketika mataku terbuka dan aku terlonjak dari tempat tidurku melihat seseorang tengah membungkuk mengatur napasnya. Kamarku sangat gelap, hanya cahaya lampu taman yang masuk ke dalam kamar melalui celah jendela, sehingga aku tak dapat mengetahui secara pastinya siapa sosok itu. Mulutku terbuka hendak berteriak, tetapi secepat kilat sosok tersebut mendekat dan membekap mulutku. “Sssttt.” Mataku membeliak ngeri. Ternyata Justin yang masuk ke dalam kamarku melalui kaca jendela yang kini sudah tertutup lagi. Untuk apa dia kemari dan bagaimana bisa?! Justin melepas tangannya dari mulutku, kemudian menarik napas dalam-dalam tanpa memedulikan ekspresi tercengangku. Bisa kudengar suara-suara di bawah sana. Justin meloncat ke atas tempat tidurku, mungkin sedang bersembunyi dari kejaran penjaga rumah ini. “Apa yang kaulakukan?” bisikku. “Aku sedang bersembunyi,” balas Justin. “Jangan berisik, kau akan membuatku tertangkap.” “Kau kira menyelinap masuk dan bersembunyi di dalam kamarku adalah perbuatan yang sopan?!” Lagi-lagi Justin membekap mulutku sampai membuatku meronta. “Sudah kubilang jangan berisik!” Aku menjauhkan tangannya dan memberikan tatapan ketus. Terdengar suara langkah kaki di depan kamarku dan aku mengenali suara itu sebagai suara langkah kaki Dad. Begitu teratur, penuh ketukan lamban, dan nyaris tak terdengar. “Axeline, My dear. Kau baik-baik saja?” tanyanya dari luar. “Ada seorang penyelundup, Dad khawatir padamu.” Di sebelahku, Justin sudah mendelikkan matanya ke arahku sebagai tanda bahwa aku harus tutup mulut. “I’m okay, Dad,” sahutku lantang. “Dad tidak bisa secepat itu memastikan kau baik-baik saja, My dear. Biarkan Dad masuk. Boleh?” Aku hendak menjawab tidak, namun pintu itu sudah berbunyi hendak terbuka. Dengan cepat, Justin merebahkan tubuhnya di sebelahku, bersembunyi di balik selimut. Aku menelan ludah dengan susah payah ketika Dad membuka pintu dan memandangiku penuh dengan sikap defensif. Diedarkannya tatapan curiga ke seantero kamarku, sampai tatapannya terpusat padaku. “Are you okay, My dear?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk diiringi senyuman. Ekor mata Dad berhenti bergerak, memakukan pandangan berikutnya ke sampingku. Aku sudah berkeringat dingin. Bagaimana kalau dia tahu Justin bersembunyi di sini? Bisa-bisa aku yang tamat dikira melakukan hal-hal yang dilarangnya. “Baiklah. Tampaknya kau perlu istirahat. Ini sudah malam. Semoga mimpi indah.” Dad mengulaskan senyuman sebelum akhirnya menutup pintu kembali. Aku menghela napas lega terhindar dari eksekusinya. Justin muncul dari balik selimut, lantas duduk tegak di sebelahku. Dihelanya napas panjang. “Apa yang kaulakukan?” bisikku. Dia membalas tatapanku seraya menaikkan sebelah alisnya. “Aku berniat menyelundup ke dalam ruang kerja Lord Robbespierre.” Aku tertegun sejenak mendengar jawabannya. “Wait. What?!” “Aku hanya ingin merebut buku peninggalan keluargaku yang dirampas olehnya. Itu adalah milik keluargaku, Axeline.” Lensa mata Justin yang berwarna hazel mengintimidasiku seolah aku terlibat dan bersalah telah merampas benda miliknya. “Seperti apa bentuk buku itu? Mungkin aku bisa membantumu mengambilnya.” Bukannya senang, Justin tertawa pendek mencemooh. “Kau? Mengambilnya?” Aku mengernyit tidak suka. Kenapa sulit sekali membuat anak ini memandang kebaikan seseorang yang diberikan padanya? “Aku serius.” “Well, kalau kau mau membantuku…” Justin meraih tanganku tanpa memedulikan responku. Digenggamnya sebelah tanganku sehingga aku bisa melihat bayangan-bayangan yang tengah dipikirkannya. Justin sengaja membayangkan bagaimana bentuk fisik buku peninggalan keluarganya padaku. Sebuah buku tua bersampul kulit coklat kusam yang tebalnya sekitar sepuluh senti. Menurut perkiraannya, buku itu disimpan Dad di ruang kerjanya. “Aku sudah tahu bentuknya,” kataku seraya menarik tanganku dari genggaman Justin. “Baiklah, akan kucari buku itu dan memberikannya padamu.” “Bagus. Aku ingat janjimu.” Dia menunjukkan jari telunjuknya di depan wajahku. Tanpa basa-basi lagi, dia melompat dari atas tempat tidurku, lantas melompat keluar melalui jendela kamarku. Aku penasaran bagaimana caranya menyelundup, jadi aku beranjak dari tempat tidur menghampiri jendela. Dia mengendap-endap agar tidak kepergok penjaga, sampai akhirnya berjalan cepat bak angin, melesat sangat sangat cepat, melompati pagar tinggi, dan menghilang di balik pagar tembok tersebut. Melihat kegesitannya, aku hanya melongo beberapa detik.   Aku melihat Dad yang berbincang-bincang pada salah satu pelayan sebelum meninggalkan rumah untuk kerja. Dia tersenyum padaku, lantas mendekati aku yang tengah sarapan di meja makan sendirian. “Maaf, My dear. Ada panggilan mendadak sehingga Dad harus pergi ke kantor sepagi ini,” ujarnya. Kemudian dia mengecup puncak kepalaku. “Semoga harimu di sekolah menyenangkan.” Aku mengangguk memberikan balasan berupa senyum simpul. Dad melenggang pergi dikawal oleh dua ajudannya meninggalkan ruang makan. Ini saatnya menyelinap masuk ke kantor kerjanya. Setelah kuhabiskan sarapanku, segera kakiku melangkah meninggalkan meja makan menuju ruang kerja Dad. Ruang kerja itu memang dikunci, tapi berkat kunci cadangan yang kudapatkan di kotak penyimpanan, aku berhasil membuka pintunya dan segera masuk. Ruang kerja Dad begitu luas. Terdapat berbagai foto dengan figura besar di beberapa tempat. Fotonya sendiri, fotonya bersama Mom, dan lain sebagainya. Aku berhenti untuk mengagumi foto Mom di sebelah perapian. Wanita yang begitu cantik, memiliki mata sewarna samudra. Kedua orangtuaku begitu rupawan, namun aku seolah bukan putri mereka, karena menurutku aku tidak secantik ibuku. Setelah melihat foto Mom, aku menghampiri meja Dad yang terdapat tumpukan buku bersampul kulit. Kuperiksa satu per satu buku tersebut, namun tak mendapatkan buku yang dikehendaki Justin. Mataku menangkap satu buku yang diletakkan pada rak kecil di sebelah kursi beroda. Aku menghampiri rak tersebut, lantas berjinjit agar sampai pada buku itu. Akhirnya kudapatkan juga buku milik Justin. Beratnya sama seperti tiga kilogram beras hingga aku terhuyung ke belakang. Mudah-mudahan Dad tidak menyadari bahwa buku ini kuambil.   Aku melihat Justin yang duduk sendirian mengerjakan tugasnya di kelas bahasa Spanyol. Kuberikan buku tebal itu di atas meja sampai membuatnya mengalihkan perhatiannya. Dipandangnya aku, namun jauh dari tatapan terima kasih. “Ternyata kau bukan orang ingkar seperti ayahmu.” “Jangan bicara seperti itu di depanku,” sergahku. Bukannya minta maaf, Justin mencebikkan bibir dan menarik buku tersebut yang lantas dimasukkan ke dalam tas. Hanya itu? Dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih atas apa yang kulakukan. Aku jadi sedikit menyesal membantunya. Kuhentakkan kakiku meninggalkan mejanya. Namun baru beberapa langkah, suara Justin terdengar di belakang. “Muchas gracias.” Walaupun tidak diucapkan dalam bahasa Inggris, itu cukup bagiku. Aku mengerucutkan bibir tak membalas ucapan terima kasihnya. Hari ini Caleste menceritakan padaku mengenai reaksi kimia yang baru saja diciptakannya. Aku sudah bilang padanya kalau aku tidak mengerti sains, namun dia tetap berceloteh ria mengabaikan reaksiku. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasannya mengenai atom dan lainnya. “Jadi, kau mau hadir ke prom?” tanya Caleste, yang baru kusadari topik pembicaraan berganti dari atom ke prom. Aku mengedikkan bahu. “Aku tidak punya pacar.” “Tidak harus bersama pacar, kan?” Caleste melahap burger di tangannya. “Aku dan Logan tidak pacaran, tapi kami pergi bersama. Ya, kami bersahabat sejak SMP.” “Lucky,” desahku. Baru beberapa detik Caleste menyebut nama Logan, anak lelaki itu muncul seperti roket dan duduk di bangku kami seraya melingkarkan lengannya pada pundak Caleste. Merasa tidak suka diperlakukan seperti itu, Caleste mendelikkan mata seraya menjauhkan tangan Logan. “Well, andai saja aku tidak mengajak Caleste, pasti dengan senang hati aku mengajakmu,” ujar Logan padaku. Aku hanya tersenyum miring menanggapi godaannya. Tanpa memedulikan obrolan Logan dan Caleste di meja ini, pandanganku iseng merantau ke sekeliling kafetaria. Di bangku seperti biasa, aku melihat tiga serangkai yang bercandaan satu sama lain—tentunya Justin tidak tertawa sedikit pun menanggapi guyonan kawannya. Heran sekali, kenapa di antara ketiga cowok itu, Justin seperti tidak memiliki selera humor yang bagus? Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan ketika Justin menoleh ke arahku. Kini perhatianku tertuju pada meja lain di mana terdapat lima cowok yang ditakuti sebagian murid sekolah ini. Aku bergidik mengingat perbuatan jahat Liam yang hendak merobohkan rak buku perpustakaan ke arahku. Kalau mereka berlima destroyers, apakah artinya aku dikejar bahaya? Jika aku menunjukkan ketakutanku, mereka akan lebih senang dan dengan mudahnya membunuhku. Aku menelan ludah membayangkan hal itu. Salah satu di antara mereka membalas pandanganku. Aku mengingat namanya sebagai Zach, yang pernah menubrukku. Tidak seperti ke empat kawannya, Zach tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya dan segera mengalihkan perhatian sebelum Liam melihatku. Kututupi wajahku dengan buku, takut jika mereka berbuat ulah. Kurasa kejadian di perpustakaan waktu itu hanyalah sebuah permainan kecil. Mungkin, permainan sesungguhnya masih dipersiapkan hingga aku siap menjadi salah satu dari fighters itu.   ***   Justin’s Point of View Terjadi kesenyapan di meja makan ini. Aku belum memberi tahu Mom bahwa buku yang dicarinya sudah ada padaku. Takut-takut jika Lord Robbespierre menyadarinya dan dia menjatuhkan hukuman pada Mom. Selain itu aku juga mengkhawatirkan Axeline. Meskipun begitu, dia sudah berbaik hati mengambilkan buku ini. Tidakkah dia tahu hukuman seperti apa yang akan dijatuhkan oleh ayahnya jika dia berbuat lancang? “Mom dengar kau menyusup ke rumah Alexander, Justin,” ujar Mom sembari mengelap bibirnya dengan serbet. Dipandangnya aku tajam. “Untuk apa?” Bahkan Jazmyn ikut berhenti menyendokkan makanannya demi menatapku. Aku menghela napas panjang, kemudian menatap Mom yang masih menunggu jawabanku. “Untuk mendapatkan kitab keluarga Mallette yang dirampasnya,” jawabku. “Tidakkah kau tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Alexander?” Mom menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia bilang padaku bahwa dia merasakan keberadaanmu di kamar putrinya. Apa yang kaulakukan?” Nah, baru aku terpikirkan persoalan itu. Sudah kuduga Lord Robbespierre menyadari keberadaanku. Dia tahu segalanya karena dia adalah pemimpin, penyihir yang berkuasa. “Bersembunyi.” Aku mengambil serbet dan mengelap mulutku. “Hanya itu.” “Percuma saja kau bersembunyi. Toh Alexander dapat mengendus keberadaanmu. Jika aku tidak bernego dengannya, kau sudah dijatuhi hukuman berat telah menyelundup ke dalam rumahnya. Apalagi bersembunyi di kamar putrinya.” Aku tidak membalas langsung. Kukeluarkan buku yang diberikan Axeline di atas meja. Ada dua hal yang terjadi saat itu; Jazmyn membelalakkan matanya ngeri sedangkan Mom mengernyitkan dahi. “Kau yang mendapatkan buku itu?!” pekik Mom. “Bagaimana jika dia tahu, Justin?! Dia bisa membunuhmu!” “Bukan aku. Putrinya yang memberikan buku ini.” Aku mendesah pelan. “Mom, seharusnya kau senang kitab ini sudah kembali lagi pada kita.” “Tapi,” Jazmyn menyahut, “kau akan menjebloskan gadis itu ke dalam masalah, Justin. Bukan bermaksud baik, aku hanya memberitahu.” Mom masih memandangku tajam. Dia menekan dahinya seolah apa yang kuperbuat kali ini sangat berbahaya. Kupikirkan kembali konsekuensi dari perbuatanku ini. Tidak, aku lebih memikirkan Axeline. Bagaimana jika Lord Robbespierre menjatuhi hukuman pada Axeline atas perbuatanku ini? Mendadak aku mengkhawatirkannya.   ***   Axeline’s Point of View Suara Dad yang menggelegar berhasil membuatku menggigit bibir ketakutan. Dia benar-benar marah menyadari bahwa ruang kerjanya kemasukan orang. Bahkan seluruh pelayan, sopir, penjaga, seluruh orang yang bekerja padanya dipanggil untuk berhadapan dengannya. Termasuk aku. Sekarang aku hanya bisa duduk menghindari tatapan nanarnya lantaran takut atas kemurkaannya saat ini. “Aku kira pencuri buku itu adalah Justin, putra sulung Patricia Mallette,” serunya penuh amarah. Tatapannya terkunci tepat padaku. Tanganku sudah bergetar melihat kemarahannya. “Ternyata putriku sendiri yang menjadi pencuri di rumah ini!” Beberapa pelayan melirikku, termasuk Cecille yang memberikan lirikan penuh arti. Aku seperti tersangka yang dikelilingi oleh para algojo yang siap menebas leherku. Sampai saat ini aku tidak berani membalas tatapan Dad. “Axeline Springfield Robbespierre!” bentaknya hingga membuatku terkesiap. “Tidak sopan tak membalas pandangan orang yang mengajakmu bicara!” Aku menggigit bibirku yang bergetar, lantas menengadah melihat wajah murka Dad di depanku. “Maafkan aku.” “Maaf?” ulangnya. “Sayang sekali, kau sudah melanggar peraturan, jadi kau dijatuhi hukuman telah lancang memasuki ruangan dan mencuri salah satu koleksiku.” “Mencuri? Bukankah kau yang mencuri buku itu dari keluarga Mallette?” bantahku. “Seharusnya bukan aku yang dijatuhi hukuman.” “Lancang sekali kau mengatakan itu!” dia meninggikan suaranya. “Kitab itu bukan kucuri, melainkan kurampas karena isi dalam kitab itu melanggar kode etik Mutant Wizards!” Oke, kesalahan fatalku sudah membantah seperti itu. Sekarang yang kulakukan hanyalah menunduk ketakutan. “Alvero!” Aku melirik Alvero yang menghampiri Dad dengan tundukan hormat. Tampaknya hukuman ini tidak sembarang hukuman. Berbeda dengan hukuman yang dijatuhkan oleh manusia awam di mana orang tua anak normal lainnya hanya mengurangi jatah uang jajan atau menyita gadget mereka. Aku mencium bau-bau hukuman yang parah. “Bawa putriku ke tempat hukuman. Dia harus menjalani malam ini dengan tidur di penjara bawah tanah.” Aku menegakkan kepalaku. “Jangan, please,” rengekku. “Dad tahu kan kalau aku takut kegelapan? Please.” Dad tidak membalas rengekanku sementara air mata sudah bercucuran di kedua pipiku. Alvero mendekat, lantas menarikku untuk berdiri namun aku mencoba meronta, masih merengek minta ampun. “Maafkan aku! Jangan hukum aku seperti itu!” seruku. “Please, please!” Dad tidak menghiraukan seruanku, justru membelakangiku tanpa menoleh sedikit pun. Bahkan dua ajudan yang membantu Alvero untuk menyeretku seolah tak menarik perhatiannya. Aku berusaha kabur dari mereka. Namun, tenaga mereka jauh lebih besar dibandingkan aku yang bertubuh kecil. Penjara bawah tanah yang menjadi tempat tidurku begitu mengerikan. Terdengar bunyi lolongan serigala dan anjing sepanjang dua ajudan dan Alvero mengawalku menuju kamar bawah tanah itu. Aku sesenggukan membayangkan hal-hal mengerikan. Kenapa dia tega seperti itu padaku?! Alvero memasukkanku ke dalam kamar bawah tanah itu, lantas menguncinya. Diliihatnya aku melalui jendela kecil pada pintu sebelum pergi. “Maaf, Young Lady,” ujarnya. Setelah itu dia melangkah pergi meninggalkanku sendirian. Suara-suara mengerikan di sekitarku sanggup membuat tubuhku bergetar ketakutan. Belum pernah aku mengalami hal seperti ini. Yang kulakukan adalah duduk meringkuk memeluk lututku. Terdengar bunyi auman serigala, ringkikan kuda, lolongan di balik tembok. Yang kuketahui, ruang bawah tanah adalah tempat hewan-hewan seperti serigala, anjing, dan kuda liar dipenjarakan. Aku masih sesenggukan mencoba menghilangkan rasa takutku saat ini. Ya Tuhan, siapapun tolong keluarkan aku dari sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN