Di depannya kini, Lord Robbespierre tengah memandangi foto istrinya dalam bingkai besar. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Baginya, memandang wajah istrinya meskipun tidak secara langsung sanggup meredam emosinya. Kedua lensa mata istrinya yang sewarna dengan putrinya, meluluhkan hatinya. Dia merasa bersalah sudah menjatuhi hukuman pada putri kesayangannya. Akan tetapi sebagai orang yang patuh pada hukum dan peraturan, Lord Robbespierre tidak dapat bertindak apa-apa.
“Mungkin kau akan marah padaku atas tindakanku, Audrey. Maafkan aku sekali lagi. Aku tidak bermaksud menyakitinya,” tegasnya. “Jika dia tidak berani menghadapi ketakutannya sendiri, bagaimana dia bisa diciptakan menjadi seorang panglima perang melawan Exterminators? Bukankah dari awal tujuan kita adalah menjadikan dia sekuat baja, secerdik tupai, dan selicin belut? Aku merasa gagal mendidiknya menjadi apa yang kita harapkan. Memang kesalahan ini berawal pada diriku yang meninggalkannya dalam asuhan orang lain sehingga tidak memiliki waktu mengasah kemampuannya.”
Terbayang wajah istrinya dalam benak Lord Robbespierre. Di lain sisi, dia sangat kasihan pada putrinya. Rasa marahnya memang meluap akibat kelancangan Axeline yang mengambil buku milik keluarga Mallette dari ruang kerjanya. Seharusnya dia memberi wejangan sehingga gadis itu tidak melakukan tindakan bodoh. Dia merasa sudah salah membimbing putrinya. Kini yang dilakukannya hanyalah berdiri dalam diam memandangi foto mendiang istrinya, sambil menghela napas panjang berulang kali. Bagaimana juga, Axeline harus melawan rasa takut itu untuk persiapannya.
Axeline’s POV
Hampir aku menjerit mendengar suara gonggongan dan geraman anjing di sebelah kamar ini. Aku membenamkan wajahku ke atas paha merasakan ketegangan mengalir dalam darahku. Dalam ketakutan seperti ini, aku masih memikirkan sesuatu. Bagaimana bisa aku menjadi seorang petarung jika menghadapi ketakutan kecil seperti ini saja tidak bisa? Aku menggigit bibir mengangkat kepalaku. Tempat ini sungguh gelap; hanya ada penerangan temaram melalui bolam kecil di luar yang cahayanya menembus melewati lubang jendela berjeruji di pintu ini. Satu-satunya temanku di sini hanyalah kegelapan disertai suara-suara mengerikan. Oh ayolah, Axeline. Berhenti menjadi penakut. Suatu saat nanti yang kuhadapi tidak semudah ini. Akan ada banyak bahaya yang mengancam keselamatanku, pertarungan besar, dan aku yang diandalkan karena kemampuan ini. Mengapa aku harus takut pada sesuatu yang sebenarnya bagi para penyihir tidak ada artinya? Musuh besarku nanti lebih mengerikan dan berbahaya. Anjing, serigala, serta kegelapan tidak termasuk dalam hitungan.
Sekarang aku bisa mengontrol diri. Ketakutan itu tidak boleh menguasaiku. Malam ini aku harus tidur dalam ketenangan. Ya. Ketenangan, hanya itu! Aku meringkuk tidur sambil mencoba memejamkan mata. Sial, mengapa udara musim dingin bisa menembus ke dalam penjara bawah tanah ini? Oh, tentu saja, ubin dan temboknya sangat dingin serta lembab. Kuatur napasku, bersiap tidur mengabaikan suara lolongan serigala di sebelah kamar ini.
Justin’s POV
Ini yang kesekian kalinya aku mengecek jam digitalku. Tidak biasanya Axeline telat masuk kelas. Ketidakhadirannya mampu membuatku mendadak kalut. Mana mungkin gadis itu terlambat. Bahkan dia menjadi murid terajin di sekolah ini. Datang pagi buta, hadir di dalam kelas urutan pertama, dan tidak pernah meninggalkan ruang kelas sebelum murid lainnya pergi.
“Mencari seseorang, dude?” Cody menyikut lenganku hingga membuatku terpekik kaget.
“Kau tidak melihat Axeline sama sekali?” tanyaku mendekati khawatir.
“Mimpi apa kau semalam menanyakan kabar gadis itu, huh?” Austin menyahut di sebelah Cody.
Sudah kuduga keduanya mencemoohku. Aku tidak membalas pertanyaan mereka, namun pandanganku terjun ke arah Caleste yang sibuk mengerjakan tugasnya. Sambil sedikit clingukan memerhatikan keadaan sekelilingku, aku menatap lurus bangku Caleste. Lantas melalui pikiranku, kugerakkan rambutnya ke belakang, seperti jambakan, sampai terdengar pekik kesakitan darinya.
“f**k,” umpatnya seraya menoleh ke belakang. Dia menaikkan ujung bibirnya melihatku. Bibirnya bergerak-gerak membentuk sebuah pertanyaan. “Apa?”
Untung saja Mr. Declay belum masuk. Semua temanku sibuk membuat keramaian dengan gelak tawa, seruan, lemparan kertas, dan lainnya.
“Di mana Axeline?” gumamku.
“Mana kutahu. Dia tidak menghubungiku sama sekali.” Caleste mendengus pelan. “Lagipula, untuk apa kau bertanya? Bukankah kau semacam… dendam padanya?”
Aku menggerakkan penghapus di depannya dan benda kecil lunak itu menghantam wajahnya. Caleste mengumpat lagi.
“Aku tidak pernah dendam pada anak itu.” Memendam kekesalan pada Lord Robbespierre bukan berarti memendam kesal pada Axeline juga. Aku tidak sepicik itu. Ya, walaupun Axeline itu gadis yang menyebalkan, banyak tanya, dan suara cemperengnya bisa merusak gendang telingaku.
“Mungkin sebentar lagi dia datang.” Caleste merapatkan bibirnya membentuk satu garis lurus.
Baru kusadari, kenapa aku jadi mengkhawatirkan anak itu? Terbayang olehku hukuman yang bisa saja dijatuhkan Lord Robbespierre pada Axeline. Baru aku memikirkannya, dari arah pintu dia datang bagaikan hantu gentayangan. Rambutnya acak-acakan. Di tempatku pun bisa kulihat kedua matanya terlihat kelelahan. Dia duduk di sebelah bangku Caleste dengan tatapan tanya yang ditujukan oleh Caleste. Setelah mendengarkan sesuatu dari Caleste, Axeline menoleh ke belakang. Lebih tepatnya menoleh ke arahku dengan pandangan flegmatis. Aku melengos seketika.
Axeline’s POV
Sebenarnya tidak ada hak memarahi Justin. Yang pertama, semua itu karena keputusanku untuk membantunya. Yang kedua, dia hanya ingin mengambil hak keluarganya. Namun mendengar penjelasan Dad bahwa kitab keluarga Malette yang berisi tentang pertentangan mereka terhadap setiap peraturan Mutant Wizards mengubah persepsiku. Seharusnya aku tidak membantu Justin dari awal kalau kitab yang dicarinya menentang kode etik Mutant Wizards. Berdasarkan yang dikatakan Dad, kitab itu memuat ajaran-ajaran untuk menentang setiap peraturan yang telah ditetapkan oleh Frederick Cavren.
Aku masih kesal karena kebodohanku, Dad menghukumku semalaman. Tadi pagi dia sudah meminta maaf padaku atas hukuman itu, sama halnya dengan aku yang minta maaf telah lancang memasuki ruang kerja serta mencuri koleksinya. Dad tidak membahas soal belajar bersama Justin—mungkin dia belum tahu. Juga, aku tidak mau mengungkit-ungkit Justin di depannya. Sepertinya dia tidak menyukai Justin, entah mengapa.
Jam makan siang, aku dan Caleste berjalan berdua menuju kafetaria. Dari kejauhan, terlihat olehku seorang gadis tengah kesusahan membawa buku-buku dalam dekapannya. Beberapa bukunya terjatuh. Melihat hal itu, aku berlari pelan menghampirinya. Kubantu dia mengambil buku yang jatuh itu.
Ekor matanya bergerak memandangku. Kuulaskan senyuman ramah padanya, sampai dia mendesis pelan dan menepis tanganku.
“Enyahlah,” desisnya merebut buku yang kuambil tadi. Aku tidak mengerti mengapa dia terlihat benci padaku.
Di belakangku, Caleste menepuk bahuku pelan sambil menatap gadis berambut brunette panjang itu ketus.
“Itukah sikap sopan yang kauberikan pada seniormu?” sergah Caleste.
Gadis itu melengos tanpa membalas tatapan Caleste. “Bersikap sopan pada putri tunggal Sir Alexander Robbespierre? Mana sudi.” Setelah itu dilenggangkan kakinya menjauhi kami.
Aku masih mematung layaknya orang t***l mendapat perlakuan tidak menyenangkan seperti itu. Tampaknya aku mengenal garis wajahnya yang memiliki kesamaan pada seseorang. Entahlah, mungkin hanya persepsiku.
“Astaga, kakak-adik sama saja,” desah Caleste.
“Kau mengenalnya?” tanyaku.
Caleste menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Dipandangnya gadis tadi sampai menghilang di kelokan. “Jazmyn Beirne, adik Justin. Dia duduk di bangku junior. Berbeda dengan kakaknya yang dipuja banyak murid di sini, Jazmyn justru menutup diri dari orang lain. Bisa dibilang dia kuper.”
Pantas saja. Like brother, like sister. Sikap dingin dan tidak sopannya seperti itu sama seperti Justin. Apakah orangtua mereka tidak mendidik anak-anak mereka dengan baik? Tampaknya keluarga Beirne memang sangat membenci keluargaku. Diawali dengan Justin. Lalu sekarang, adiknya.
“Mungkin karena alasan pribadi sampai membuatnya berlaku kasar padaku,” ujarku.
Caleste menggeleng pelan. “Seharusnya mereka patuh dan hormat pada anak pemimpin mereka. Bukan malah bertindak tidak sopan. Bagaimana juga, Lord Robbespierre adalah pemimpin Mutant Wizards yang harus disegani.”
Aku membuka mulut mendengar ucapan terakhir Caleste. “Bagaimana kau tahu bahwa ayahku adalah seorang pemimpin sebuah klan penyihir?”
Seolah sudah salah dalam berkata-kata, kedua bola mata Caleste melebar. Dia menegang di tempat seraya menatapku aneh. Senyuman aneh tampak dari bibirnya, dan dia tertawa garing.
Bagus. Sekarang Caleste baru mau membuka kartunya bahwa dia termasuk fighters keturunan ibunya, mewakili marga Luesby. Dia masih memiliki satu adik laki-laki, akan tetapi karena dia yang lebih tua, tugas itu dilimpahkan padanya.
“Jadi, itukah sebabnya kau berusaha menjauhkanku dari kelima cowok yang ditakuti di sekolah ini di awal aku masuk?” tanyaku mengingat Caleste yang menarik lenganku mejauhi lima cowok pembuat onar itu.
“Karena aku tidak mau kau yang masih belum tahu apa-apa justru dicelakai oleh mereka, jadi kusembunyikan sementara waktu saja.” Caleste menghembuskan napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi kafetaria. “Destroyers mungkin senang mengetahui kau bersekolah di sini sehingga memudahkan tugas mereka membunuhmu.”
Aku mengernyitkan dahi. Astaga, mengapa mereka sejahat itu padaku? Jika boleh memilih, mungkin aku lebih memilih untuk menjadi manusia biasa yang tidak membahayakan eksistensi Exterminators. Tapi kalau dipikir-pikir, tanpa adanya aku, Mutant Wizards kalah dalam pertarungan. Lama-lama aku kesal sendiri menghadapi semua ini. Mengapa harus aku? Hell, masih banyak penyihir berbakat di luar sana. Mungkin banyak pula yang memiliki kehebatan melebihiku.
“Apa kemampuan yang kaumiliki?” Baru terpikirkan olehku pertanyaan seperti itu.
“Tidak menarik.” Caleste menggeleng-gelengkan kepala seraya meraih kaleng soda di depannya. “Aku bisa membekukan segala hal. Seperti es.”
“Itu keren,” pujiku. “Bisa bermain ice skating meskipun di luar musim dingin, kan?”
Raut wajah Caleste tampak tidak sependapat denganku. Nah, sekarang aku sudah tahu kelima petarung itu. Justin, Cody, Austin, Caleste, dan aku. Tidak ada tanda-tanda penyerangan, kah? Bukannya sok, tapi aku penasaran bagaimana kelanjutan pertarungan antar penyihir itu. Mungkin jika aku bisa, akan kubalaskan kematian ibuku. Terdengar sok jagoan, tapi biarlah. Percaya diri memang diperlukan untuk maju di medan pertempuran.
Seharusnya aku malas belajar sampai malam begini. Apalagi karena kejadian itu, mendadak aku kesal pada Justin. Dari tadi dia tidak mengucapkan apapun padaku seolah apa yang sudah kulakukan waktu itu tidak menarik perhatiannya. Tidakkah dia tahu bahwa aku menerima hukuman dengan tidur di penjara bawah tanah demi membantunya?
“Tidak seharusnya aku membantumu waktu itu,” kataku secara tiba-tiba sampai membuat Justin mengalihkan perhatian dari buku menuju ke arahku.
“Excuse me?”
Aku mendengus tertahan. “Gara-gara membantumu, aku dikurung semalaman di ruang bawah tanah oleh ayahku! Dasar tolol.”
Justin menaruh buku di tangannya. Raut wajahnya menampakkan ketidaksukaannya terhadap ucapanku baru saja. Damn, seharusnya aku yang memberikan tatapan seperti itu. Dia sudah berhutang padaku telah menjebloskanku ke dalam hukuman, secara tidak langsung.
“Bukankah kau sendiri yang menawarkan bantuan?” Bibir Justin tercebik mencemooh. Lamat-lamat dia mendekat ke mejaku dan menilikku dengan pandangan menilai. “Jangan salahkan aku.”
“Menurut ayahku, buku itu berisi tentang sesuatu yang menyalahi aturan.” Aku menegakkan dagu dengan sikap menantang. “Itulah alasan mengapa Dad merampasnya. Tak sepatutnya kau mengambil sesuatu yang memang layak dirampas olehnya.”
Senyuman aneh dilempar Justin untukku. Ujung bibirku terangkat naik melihat balasannya seperti itu.
“Kau akan melakukan apa yang kulakukan jika posisimu sekarang dibalik. Aku hanya ingin menjaga amanat keluarga besar Mallette.” Justin tertawa mengejek. “Lagipula, kau itu penakut sekali. Kalau tidak diawali dengan sesuatu yang kecil, kau tidak bisa maju di medan tempur.”
“Ejek saja aku sesuka hatimu. Aku memang penakut.” Tidak bisa dipungkiri juga, memalukan memiliki sifat penakut. Seorang putri dari penyihir yang paling disegani, justru takut terhadap hal-hal sepele. “Aku juga payah. Di antara kalian, mungkin aku penyihir paling payah yang pernah ada.”
Seolah ucapanku termasuk dalam kategori bualan besar, Justin mencibir. Kedua mata hazelnya mengunciku di bangku ini. Boleh kuakui kalau dia memiliki sepasang mata yang indah. Dan tatapan itu, yang justru membuatku terjebak dalam situasi aneh, menyadari ada yang salah dengan diriku. Aku seperti dihipnotis.
“Aku sedang berbaik hati ingin membagi kemampuanku padamu. Bersedia?”
Mataku mengerjap beberapa kali mendengar perkataannya. “Apa maksudmu?”
Tidak peduli dengan pertanyaanku, Justin bergerak mendekatiku. Coba kucerna baik-baik ucapannya. Bukankah menurut Dad, cara paling mudah memberikan kemampuan penyihir lain padaku adalah dengan kecupan dan ciuman? Sekarang aku baru paham saat Justin lebih mendekat. Lagi-lagi terpikirkan olehku ucapan Wendy tempo lalu.
“Kenapa kau tegang begitu?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Jarak tubuh kami hanya sekitar beberapa senti. Dan dia membungkuk hingga bisa kucium parfumnya yang begitu memikat. Aduh, sial. Kalau begini aku bisa bertekuk lutut di hadapannya. “Seharusnya kau senang mendapatkan kemampuan baru.”
Aku merendahkan nada suaraku sebagai balasannya. “Kau mencemoohku?”
“Bersikap baik, itu disebut mencemooh?”
Tatapan itu, tidak adil kedua matanya menatapku seperti itu, sangat ampuh untuk meluluhkanku. Sial, mengapa dia melakukan ini padaku? Apakah memang salah satu kemampuan terpendamnya adalah memikat banyak gadis? Tidak salah kalau gadis-gadis t***l itu mau saja dibodohinya. Jujur saja, dia sangat berkarisma. Oh, s**t.
“Memangnya kau tahu bagaimana cara melakukannya?” Kupasang wajah meremehkan untuknya.
Lagi-lagi dia meluluhkanku dengan senyum miringnya. Sial, sungguh sial. Kini aku benar-benar tidak dapat menghindari terkamannya. Melalui pandangan dan senyuman itu, justru membuatku seperti dipaku di atas kursi ini. Tidak adil. Aku seperti dihabisi saat ini.
“Tutup saja matamu.”
Aku menunggu beberapa detik, sebelum akhirnya menuruti perintahnya untuk menutup mataku. Apa yang akan dilakukannya padaku? Baru setengah detik pertanyaan itu terlontar di pikiranku, bisa kurasakan sesuatu pada bibirku. Begitu lembut, hangat, dan basah. Mendadak aliran darahku seolah mengalir deras ketika jantungku terpompa sangat cepat. Astaga, dia menciumku! Seharusnya aku marah dan mendorongnya, tapi justru hal itu tidak kulakukan, bodohnya. Aku seperti diperdayai olehnya, sehingga membuatku membuka mulut untuk membalas ciumannya. Seluruh organ tubuhku seperti dipaksa bekerja lebih cepat. Seperti pacuan jantungku hingga berdebaran, paru-paruku yang seolah terhimpit hingga membuatku kesulitan bernapas, dan aliran darah yang semakin deras.
Tak hanya itu, kemampuanku seolah bekerja hingga bisa kulihat segala hal yang dipikirkan oleh Justin. Segala sesuatunya. Mulai dari hal sepele hingga hal-hal pribadi. Aku seolah tak ingat di mana aku berada, siapa dia, dan beberapa hal yang seharusnya kuperhatikan.
Justin menjauhkan dirinya dariku seiring kedua mataku yang terbuka. Terjadi kesenyapan di antara kami berdua. Aku segera mengalihkan pandangan karena tidak mau terlihat seperti orang t***l di depannya. Jika ucapan Wendy saat itu benar, aku tak akan segan-segan memukulnya, walaupun seumur hidup aku belum pernah memukul orang.
“Well.” Justin melirik jam digitalnya. “Sudah malam. Ayo, kuantar kau pulang.”
Tanpa membalas perkataannya, kuberesken semua barang-barangku di atas meja ini dan memasukkannya ke dalam ransel. Ya ampun, bahkan aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa dia memang pandai memikat gadis. Kupastikan dia tidak melihat ekspresiku seperti ini.
Semoga saja Dad belum pulang atau tidak pulang. Jika dia melihat Justin mengantarku, dia bisa kena masalah. Namun, Dad paling peka dan tahu apapun yang terjadi padaku jika dia ingin mengetahuinya. Aku harus pandai-pandai menyembunyikan setiap hal yang terjadi padaku jika tidak ingin dia tahu bahwa selama ini Justin yang mengajariku Matematika.
“Anggap saja ciuman itu tanda minta maafku telah membuatmu mendapat hukuman kalau ternyata kemampuanku tidak berhasil kaudapatkan,” ujar Justin enteng saat aku turun dari mobilnya.
Otomatis sudut bibirku terangkat mendengar ucapan seperti itu. “Kau memang brengsek.”
Dia tidak menanggapi balasanku serius. Tanpa banyak bicara lagi, dinaikkan kaca jendela mobilnya, lantas melajukan Lamborghini Aventador yang dikemudikannya meninggalkan jalanan aspal depan rumahku. Cara mengemudikannya seperti kesetanan. Tidak heran kalau dia hampir membunuhku jika tidak mengambil tindakan saat truk di depannya bersiap menabrak.
Aku menarik napas lega tatkala salah seorang pelayan mengatakan bahwa Dad belum pulang. Ada dinas yang harus dijalankannya di luar negeri. Rumah ini semakin terlihat suram saja setiap harinya. Kurasa jika Mom masih hidup, dia akan merawat baik rumah ini dan menjadikannya nyaman ditempati.
Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang sambil menanggalkan pandangan ke langit-langit kamar. Teringat olehku kejadian beberapa menit yang lalu. Ya ampun, mengapa aku justru mengingat-ingatnya? Tidak, ingatan itu muncul begitu saja. Bahkan saat aku mengatupkan bibir rapat membentuk satu garis lurus, aku seolah masih merasakan bibir Justin. Sial.
Jika memang kemampuannya tidak bekerja, akan kuhabisi dia besok paginya. Ingin mencoba apakah usaha Justin berhasil, aku beranjak dari ranjangku, berdiri berhadapan dengan meja rias. Bagaimana caranya mengaplikasikan kemampuan pengendali pikiran itu? Kupusatkan konsentrasiku pada sebuah alat di atas meja rias. Ini tidak semudah membaca pikiran dan melihat kejadian yang akan datang. Ya, mungkin karena cara kerjanya begitu rumit. Aku harus pandai-pandai menguasai pikiranku untuk melakukan ini. Kuulurkan tanganku lambat-lambat dan membayangkan sisir itu bergerak ke arahku. Butuh konsentrasi yang tinggi, baru kusadari itu, karena sisir itu mulai bergerak sesuai jalan pikiranku.
Dan yah! Aku berhasil membuatnya bergerak ke atas sesuai perintah pikiranku. Mmm… mungkin menghajar Justin keesokan paginya akan kubatalkan. Sepertinya dia berhasil memberikan kemampuannya padaku. Senyuman lebar tersungging dari bibirku dan aku berteriak kesenangan sampai satu hantaman keras bisa kurasakan di wajah. Aku mengerang sejadi-jadinya, mengutuk diriku sendiri yang dengan bodohnya tidak mengontrol kekuatan itu sampai-sampai sisir yang kugerakkan terhempas tepat kena wajahku. Sekarang aku hanya bisa mengaduh kesakitan, sekaligus tertawa senang. Ah, menyenangkan juga kalau bisa mengendalikan segala hal dengan pikiran.
Justin’s POV
Jazmyn terlihat tidak memedulikan kedatanganku; di tangannya terdapat sebuah buku yang sedang dibacanya. Kakinya diselonjorkan di atas sofa sedangkan kepalanya disandarkan di lengan sofa. Aku menanggalkan jaket di tiang gantungan seraya menarik napas dalam-dalam. Lantas kuhempaskan pantatku di atas sofa berlengan pendek bersebelahan dengan Jazmyn. Dia tampak lebih asyik membaca daripada menyambut kedatanganku.
“I sense you,” kata Jazmyn mengejutkanku. Meskipun begitu, dia tidak memandangku.
“Sense what?” Aku menaikkan sebelah alis sebagai tanda tanya.
“Bukankah kautahu bahwa aku bisa merasakan setiap perasaan makhluk hidup, Dear brotha?” Nada Jazmyn berdesingan seperti peluru di telingaku. Pada akhirnya, dia menaruh buku di tangannya dan duduk tegak memakukan pandangan ke arahku. “Guess what? You’re falling in love?”
Kalimat terakhirnya membuatku tertawa pelan. Kemampuan Jazmyn memang bisa dikatakan tidak berarti. Dia hanya bisa merasakan perasaan makhluk hidup di sekitarnya. Terkadang dia mengutuk hidupnya hanya dianugrahi kemampuan seperti itu. Dia tidak pernah bersyukur. Seharusnya dia berterima kasih Mom masih mau melahirkannya.
“Jadi, sekarang kau bertindak sebagai detektorku?” Aku mengibaskan tangan di udara.
“Walaupun hanya aku yang memiliki kemampuan payah di antara seluruh keluarga Mallette, keakuratannya tidak bisa diremehkan.” Kedua lensa mata Jazmyn tertuju padaku seolah siap menghakimi. “Jangan bilang kau mulai menyukai, oh tidak. Lebih tepatnya, mencintai gadis itu, Justin?” Jazmyn mengerutkan hidungnya jijik. “Patut kauingat saja. Jangan mencari masalah lagi. Sudah cukup kekacauan yang kaubuat. Tidakkah kau berhenti berbuat kekacauan dan mentaati semua aturan?”
Aku mengernyitkan dahi, merasa tidak suka dengan ucapannya. Setahuku, Jazmyn tidak pernah tertarik untuk ikut campur urusan orang lain. Mengapa kali ini dia seakan ingin mengaduk-aduk urusanku? Terutama, kusadari bahwa ucapannya baru saja soal ‘cinta’ itu justru mengecoh pikiranku.
“Jazzy, sejak kapan kau mencampuri urusan orang lain?” tanyaku dingin.
“Sejak Mom terancam hukuman akibat ulahmu.” Ekor mata Jazmyn bergerak menjauhiku, melintang ke atas seolah lebih tertarik dengan pemandangan di langit-langit rumah. “Akibat ulahmu yang begitu liar, Mom sering dikecam oleh Dewan Keamanan Penyihir. Dia dianggap tidak mampu mendidikmu.” Sekarang Jazmyn bersedia memandangku lagi, masih dengan ekspresi dinginnya. “Asal kautahu saja, jika Mom tidak memohon pada mereka, kau sudah menjalani hukumanmu karena banyak menyalahi aturan. Sekarang, jangan bertindak t***l lagi, Justin. Sudah cukup pengorbanan Mom. Jika kau melanggar aturan lagi—terutama pantangan Mutant Wizards untuk tidak mencintai sesama jenis penyihir—aku pastikan bahwa aku sendiri yang menghajarmu.”
“Menghajarku? Dengan apa?” Nadaku berubah mengejek. Belum pernah aku memberikan nada seperti itu. Tapi perkataan Jazmyn sudah kelewatan.
Jazmyn tertawa pendek, mendekati tawa sarkastis yang pendek. “Dengan sebilah pedang.” Lantas, melenggang begitu saja meninggalkanku di ruang santai seorang diri.
Selama ini Jazmyn tak pernah bersikap seperti itu padaku. Mengapa mendadak dia berubah? Apakah memang aku yang keterlaluan sering melanggar aturan? Kupikirkan lagi kata-katanya. Mulai dari awal. Duduk persoalan yang mengangkat Mom ke dalam topik tadi. Benarkah ucapan Jazmyn baru saja, bahwa aku sudah mulai jatuh cinta pada putri tunggal Lord Robbespierre?
***
Lagi-lagi lima anak laki-laki itu berbuat ulah. Kali ini tidak pandang bulu, seorang anak berusia sekitar dua belas tahun yang menjadi incaran mereka. Awalnya, Zach sudah menolak karena tidak tega melihat gadis kecil itu harus menjadi korban selanjutnya.
“Sejak kapan kau memiliki perasaan selunak itu, Zach?” ejek Henry. Padahal setahunya pula, selain Liam, Zach juga senang menjalankan tugasnya sebagai destroyers.
“Dia masih terlihat kecil, tidakkah kalian kasihan?” Kedua bola mata Zach terpaku pada gadis yang mulai bercucuran air mata itu.
Luke memitingnya lebih erat sampai membuat gadis itu semakin merengek. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi jika Liam bilang ya untuk anak itu. Zach hanya menggelengkan kepalanya seraya bergerak menjauh, tidak ingin melihat kekejaman kawan-kawannya.
Tangan kanan Liam mulai terulur ke arah percikan api yang membakar dedaunan kering di dekatnya. Sebuah energi panas yang menciptakan bola api berukuran kecil muncul di tangan kirinya. Dipandangnya gadis di depannya saat itu dengan sebelah alis terangkat. Zach memalingkan pandangan bebarengan dengan bunyi teriakan melengking memecah keheningan malam itu.