Axeline’s POV
Ingin rasanya aku mencari tahu apa alasan Justin dan Jazmyn tidak menyukaiku. Kalau hanya sekedar keangkuhan atau kearoganan Dad, kurasa hal itu bukanlah alasan yang tepat. Mungkin, mencuri informasi melalui pikiran Justin bisa membantuku sedikit. Tapi, itu kan lancang. Maksudku, membuka-buka memori orang melalui pikirannya hanya demi keingintahuanku. Rasanya tidak adil menjadi satu-satunya orang yang bebal di sini. Barangkali karena efek ketidaktahuanku selama delapan belas tahun.
Pikiran-pikiran itu masih melayang di benakku seraya melangkah perlahan menuju kelas pertamaku. Mendadak perhatianku beralih ke sebuah arah. Aku berhenti sebentar mengamati dua orang tengah berduaan di sebelah ruang kelas Tata Negara. Itu Justin dan Wendy. Dari sini tampak Justin sama sekali tak tertarik dengan rayuan Wendy—wajahnya mengisyaratkan kemuakan. Sementara gadis pirang itu terus-menerus menempel layaknya ulat bulu.
Pandangan Justin beralih ke arahku. Otomatis aku melengos memasuki ruang kelas tanpa membalas pandangan itu. Entah mengapa melihat kedekatan keduanya seolah menjadi suatu kesalahan yang kuhadapi pagi ini. Oh, tidak. Jangan katakan kalau aku mulai menaruh perhatian padanya.
“Hai, Axel.”
Deg!
Dia menarik lenganku hingga membuatku berhenti. Tanpa mengubah ekspresiku yang flegmatis, Justin menyunggingkan senyuman, tak seperti biasanya tiap dia bertemu denganku. Atau jangan-jangan…
“Ya?” Aku mencoba tidak ingin menebak-nebak.
“Hari ini aku tidak bisa mengajarimu. Aku ada janji dengan Wendy.”
Deg!
Aku menggigit bibir mendengar perkataan itu. Ya ampun, apa yang kuharapkan? Pikiran sinting itu mampir begitu saja di dalam rongga kepalaku. Mana mungkin setelah kejadian malam itu, Justin mengubah persepsinya padaku. Lagi-lagi aku mendesah dalam hati. Dia hanya berniat baik ingin memberikan kemampuannya, duh. Tidak lebih.
“Baiklah. Have fun,” kataku sambil memaksakan senyuman tulus, lantas menarik tanganku darinya dan melimbai masuk ke dalam kelas. Aku menghembuskan napas panjang sekedar menenangkan perasaanku sendiri.
Mengapa mendengar kalimat seperti tadi justru membuatku murung dan sedih? Lagipula apa yang kuharapkan? Justin berbalik menyukaiku? Hell, sejak kapan juga aku mulai berpikiran tentang hal itu.
Di bangkunya, Caleste dan Logan tertawa bersama saling melempar candaan. Beruntung sekali Caleste mengenal seseorang seperti Logan, sahabatnya yang entah bagaimana bisa aku menyimpulkan bahwa keduanya cocok jika disandingkan. Logan memang tampan, Caleste juga cantik. Pasangan yang serasi, bukan? Aku tidak pernah merasa seiri ini melihat keduanya seperti itu. Selama aku hidup, belum pernah kudapatkan hal-hal seperti kebanyakan gadis remaja. Yang kulakukan hanyalah duduk termenung memandangi keasikan suasana luar dari balik kaca jendela. Ya, karena aku tidak memiliki teman. Mereka menganggapku aneh, mungkin karena warna kulitku yang begitu pucat seperti mayat hidup. Sudah kubilang kan, aku merasa bahwa ayahku salah orang. Orangtuaku rupawan, aku tidak. Itu membuktikan bahwa aku bukanlah anak mereka.
“Selamat pagi!” seru Logan. “Belakangan ini kulihat kau suka terlambat hadir. Tidak biasanya loh.”
“Hm, aku mudah kelelahan akhir-akhir ini.” Kusunggingkan senyuman kecut.
“Apakah kau sudah memikirkan mengajak siapa saat prom nanti?” Sebelah alis Logan terangkat naik.
“Kurasa dia akan mengajak Justin,” bisik Caleste.
Mengajak Justin? Kayak kurang kerjaan saja. Mana mau dia diajak oleh gadis yang dianggapnya aneh. Setiap aku membaca pikirannya, tak ada satu pun kebaikan atau pujian yang dipikirkannya untukku. Lagipula, untuk apa aku mengharapkan pujian? Toh, sudah kuduga bahwa dia membenci, mungkin sebal padaku. Barangkali karena aku adalah anak Sir Alexander Robbespierre, entahlah.
“Aku tidak akan hadir,” kataku lesu sambil duduk di bangkuku, lantas menselonjorkan daguku di atas meja.
Baik Caleste maupun Logan, mereka sama-sama melemparkan pandangan tanya.
“Yakin? Sebentar lagi liburan Natal, sedangkan prom akan digelar pertengahan Januari. Kau tidak menyesal melewatkan kesempatan itu? Aku bisa mencalonkanmu menjadi Ratu Prom.”
Aku tertawa pelan mendengar celotehan Caleste. Hell, Ratu Prom? Punya pasangan saja tidak, untuk apa aku ikut dicalonkan sebagai Ratu Prom? Bisa-bisa memalukan nama keluarga Robbespierre saja.
Sebagai balasan, kuberikan cibiran masam. “We’llsee.”
***
Justin’s POV
Aku setengah mati kebosanan duduk di sebelah Wendy dengan lengannya yang selalu mengait di lenganku. Gadis ini benar-benar jalang. Baru kurayu sedikit saja tingkahnya sudah seperti p*****r. Coba lihat saja setelan bajunya. Dia kira aku sama seperti kebanyakan cowok di luar sana yang tergiur dengan tubuh seksinya yang diperlihatkan seperti itu? Aku justru lebih suka melihat gadis yang tidak sembarangan memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Kalau saja tujuanku bukanlah untuk mencari tahu siapa yang melaporkan perkelahianku waktu itu ke Dewan Murid, aku malas menemaninya sekarang.
“Jadi, sampai kapan kau bertingkah seperti cacing kepanasan, Wen?” tanyaku malas. “Mana janjimu?”
Wendy merangsek di sebelahku seraya menyandarkan kepalanya di atas pundakku. Ya ampun, coba saja waktu itu tidak kupilih gadis ini sebagai targetku.
“Apa yang akan kauberikan padaku kalau aku memberitahumu?” Dia balik bertanya seraya menengadah memandangku.
Aku mendesah pelan. “Bukankah aku sudah banyak memberimu, huh? Kau berjanji akan memberitahuku siapa yang melaporkan perkelahian itu. Sekarang, berikan janjimu.”
Kalau tahu akhirnya seperti ini, aku pasti malas menerima ajakannya. Lebih baik aku menemani Axeline belajar sampai semalam suntuk daripada pergi bersama jalang sekolah ini.
“Satu lagi, boleh kan?” rajuknya.
“Satu lagi apanya?” Aku sudah benar-benar muak. Kalau dia masih saja merajuk dan tidak mau memberitahuku, kutinggalkan saja dia di sini.
“Satu lagi permintaanku.” Wendy bergerak menjauh, lalu mengambil segelas jus di depannya. Bahkan cara mengaduknya saja sudah seperti cacing kepanasan. Aku menyesal bermain api dengan jalang sekolah ini.
“Baiklah, cepat katakan saja.”
Dia melebarkan matanya berbinar-binar, kemudian menaruh gelas itu dan kembali meraih lenganku. “Nikahi aku.”
Kontan, kepalaku tersentak menoleh ke arahnya. Senyuman lebar dan sikap manjanya tidak hilang meskipun aku berusaha menarik diri darinya. Sudah kuduga akan berakhir seperti ini. Coba saja kubawa adik Cody, Alli, pasti sudah kubuat Wendy kehilangan sebagian memorinya dan tidak lagi mengingat-ingat semua hal yang kujanjikan padanya.
“Kau gila?” desahku frustrasi. “Aku tidak bisa.”
“Kenapa?” nada Wendy naik tiga oktaf. “Kalau begitu aku tidak mau memberitahumu siapa orang yang mengadukanmu pada Dewan Murid.”
Sungguh, gadis ini membuatku gemas saja. Ternyata masih ada yang lebih menyebalkan daripada Axeline. Mendadak perutku seperti melilit mengingat nama itu. Axeline. Aku mengorbankan waktuku bersamanya demi jalang murahan ini. Tidak seharusnya aku bertindak seegois itu.
“Karena…” Kalau aku terus-menerus terjebak di sini, mati sudah. Wendy tidak bisa diandalkan lagi. Lebih baik aku mencari target lain untuk memberitahuku siapa pelapor itu. Jangan-jangan jalang ini tidak tahu siapa yang sudah melaporkanku pada Dewan Murid. b******k. Aku akan meminta Alli untuk menghapus sebagian ingatannya tentang hal ini agar dia tidak menggangguku. Nah, sekarang tinggal memikirkan alasan menolak ajakannya. “Karena aku mencintai gadis lain.”
“Kau? Mencintai gadis lain?” suara Wendy sekarang berubah menjadi sopran. “Siapa gadis b******k itu?!”
“Tidak usah merepotkan diri. Kita sudahi semua ini, aku tidak peduli lagi denganmu.” Kutarik tanganku menjauh darinya. “Dan, gadis itu adalah Axeline Robbespierre. Kuperingatkan untuk tidak bertindak macam-macam padanya atau kubuat kau menyesali kelahiranmu di dunia ini.”
Wendy mengangakan mulutnya mendengar kalimatku. Aku tidak peduli bagaimana responnya mengenai hal itu. Mungkin kesalahan besar sudah menarik nama Axeline. Wendy tipe jalang kelas kakap. Dia bisa melakukan apapun demi mendapatkan keinginannya.
Tanpa menghiraukan ekspresi terkejut Wendy dan umpatan bertubi-tubinya, aku menghambur pergi meninggalkan restoran itu. Malas juga, kenapa harus kutemani orang sakit jiwa seperti itu. Waktuku yang berharga terbuang sudah. Tahu begini aku tidak akan membatalkan jadwal belajar bersama itu.
Sesampainya di mobil, aku memikirkan lagi ucapan Jazmyn tempo hari. Sial, kenapa urusannya jadi serumit ini? Aku tidak boleh mempertaruhkan Mom dengan melanggar peraturan lagi. Cukup sudah. Tapi di lain sisi, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Tiap mengingat gadis itu, ada perasaan aneh yang menggantung di dasar hatiku. Benarkah ucapan Jazmyn? Aku mulai jatuh cinta pada putri Lord Robbespierre yang seharusnya kubenci? Tanpa mengindahkan seruan-seruang dalam kepalaku mengingat beberapa bagian tentang kebersamaan singkatku dengan Axeline, kutekan pedal gas dan melajukan mobilku sangat kencang meninggalkan restoran.
***
Axeline’s POV
Karena hari ini Justin tidak mengajariku, aku belajar sendiri di rumah. Besok mulai ada ujian Aljabar. Jika aku gagal di ujian pertamaku di sekolah itu, aku pasti memalukan nama keluarga ini. Aku berjalan pelan seraya berkutat dengan buku di tanganku untuk besok. Di kananku sudah ada segelas jus jeruk yang melayang mengikuti gerak langkahku. Sementara di kiriku sudah ada sepiring pancake yang juga melayang mengikuti gerak tubuhku. Kemampuan Justin memang praktis.
“How did you do that, My dear?”
Aku terpekik kaget mendengar suara itu sampai-sampai kehilangan konsentrasi pada tiga hal yang menyebabkan gelas serta piring di sebelahku jatuh dan pecah. Kutelan ludah dengan susah payah melihat pandangan tajam Dad di depanku saat ini. Mati sudah.
“Uhm… aku… aku…” Aku gelagapan menjawabnya.
“Aku mengenal kemampuan itu. Milik Justin, bukan?” Kedua mata Dad memicing tajam bak belati. Aku menundukkan kepala menghindari tatapan itu. Demi Tuhan, aku ketakutan setengah mati. Jangan sampai dia menghukumku lagi. “Tatap aku, My dear. Berapa kali kubilang kalau kau harus menatap orang yang mengajakmu bicara?” Tangan Dad menarik daguku hingga membuatku menengadah menatapnya. Dia masih menunggu jawaban dariku.
“Y-ya,” balasku parau.
“Kau tidak mungkin mengambil kemampuannya dengan tanganmu sendiri.” Rahang Dad tampak mengeras seolah menahan sesuatu. Seperti amarah. “Lancang sekali dia sudah berani mencium putriku.”
“Bukankah Dad sendiri yang memintaku untuk mengambil beberapa kemampuan penyihir lain?” Aku merendahkan suaraku.
Mendadak ekspresi Dad berubah. Senyuman lebar tampak dari bibirnya sambil dihelanya napas panjang. “Ah ya, benar sekali. Maaf sudah membuatmu ketakutan seperti itu. Tapi…” Kini ekspresi itu berubah menjadi lebih garang. “Apakah tidak cukup dengan satu kecupan saja, My dear?”
“A-aku…”
“I can sense everything, My dear. Including your feelings for him. It’s gonna be a forbidden thing. Don’t you understand… My dear?”
Dia memang tahu segala hal, termasuk rahasia kecil hatiku, yang bahkan aku sendiri tidak pernah menyadari keberadaannya. Sekali lagi, kutelan ludah dengan susah payah. Jangan sampai dia menghukumku, apalagi menghukum Justin, karena masalah ini.
Aku mengangguk lamban. Sebelah tangannya mengusap kepalaku sambil diulaskannya senyuman lebih lebar. Dia bertepuk tangan tiga kali hingga muncullah seorang pelayan menghampiri kami.
“Tolong bersihkan pecahan beling itu. Aku tidak mau beling itu melukai siapapun, termasuk putri kesayanganku.” Dad mengucapkan kalimat itu seperti menyisipkan maksud lain untukku, seperti sebuah pesan atau peringatan. “Karena aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada putriku. Mengerti?”
Pelayan itu mengangguk hormat. Tanpa menambahkan lagi kalimatnya, Dad melenggang acuh meninggalkanku. Dari tempatku berdiri, hanya bisa kupandang dia sampai menghilang ke lantai atas.
Kafetaria banjir suara memekakkan telinga. Pasalnya, ada kedai baru yang membuat murid SMU Robert F. Kennedy mengantre membeli makanan Perancis yang baru datang itu. Sama sepertiku, Caleste tampak tak tertarik sedikit pun dengan kedai baru itu. Di atas bakinya masih terdapat menu yang sama.
“Destroyers membuat ulah lagi,” ujar Caleste sambil menunjuk surat kabar yang kini tengah dibacanya. Aku memajukan tubuhku untuk melihat berita itu. “Korbannya anak perempuan berusia dua belas tahun. Namanya Katrina.”
“Kau mengenalnya?”
“Ya, hampir seluruh Mutant Wizards kukenal. Ibuku juga memegang kendali di Dewan Pertahanan Penyihir. Jadi, hampir semua korban ini kukenal baik.” Caleste menaruh surat kabar itu, lantas menghempaskan tubuhnya pada kursi sembari menghembuskan napas berat. “Katrina tidak memiliki kemampuan lebih untuk melindungi dirinya. Dia hanya bisa mendeteksi kebohongan, tidak lebih.”
Terkadang aku kasihan terhadap penyihi-penyihir yang dikembangkan Frederick Cavren. Bagaimana tidak? Ini tidak adil bagi penyihir yang hanya dianugrahi kemampuan standar. Yang tidak bisa membuat mereka menjaga diri.
“Apa tidak ada tindakan lain dari fighters lainnya?” bisikku.
Caleste menggeleng lemah. “Mereka lebih menyibukkan pergeseran kedudukan Lord Robbespierre. Tidakkah kau tahu apa yang tengah terjadi di lingkungan Mutant Wizards? Terjadi aksi pemberontakan untuk menggulingkan tahta ayahmu, Axel. Mereka berusaha memilih penyihir lain. Tapi selama Lord Robbespierre berkuasa, tidak ada yang bisa berkutik.” Pandangan Caleste berubah menjadi flegmatis. “Dengan adanya kekacauan seperti ini, Exterminators menggunakan kesempatan itu untuk membunuh anggota Mutant Wizards yang tidak bisa melindungi diri, mengambil roh mereka, demi keabadian Lord Goldsher untuk menjadikan Exterminators sebagai jenis penyihir paling hebat di dunia.”
Aku mengatupkan bibir rapat. Tidak pernah olehku mendengar kabar itu. Bahkan Dad tidak bercerita sama sekali tentang kerusuhan yang terjadi di lingkungan Mutant Wizards.
“Sama sekali tidak kuketahui,” balasku seraya meneguk diet coke.
“Oh,” gumam Caleste tampak merasa bersalah. “Tapi kau harus tahu itu, cepat atau lambat.”
Sekarang pun aku sudah tahu. Mengapa mereka semua seolah membenci ayahku sebagai pemimpin? Apakah dia tidak baik? Aku tahu bahwa dia sangat keras. Tapi, aku yakin bahwa dia adalah pria yang sangat baik.
“Axeline Robbespierre.”
Seseorang memanggil namaku dengan penekanan jijik dari belakang. Aku melihat Wendy sudah berdiri di belakang kursiku tanpa ditemani antek-anteknya seperti biasa. Dia melipat kedua tangannya di depan d**a dengan sebelah alis terangkat muak.
“Mau apa kau?” sergah Caleste.
Wendy berdecak pelan tanpa memedulikan nada kasar Caleste yang diberikan padanya. “Aku sungguh heran, makhluk sepertimu mengapa lebih menarik perhatian Justin daripada aku yang lebih cantik, seksi, dan memiliki warna kulit yang bagus, hm?”
Aku mengangakan mulut mendengar cemoohannya. Kurang ajar sekali dia menghinaku seperti itu.
“Apa maksudmu mengatakan itu?” Aku berdiri dengan sikap menantang, merasa tidak terima.
“Kau tahu, Albino? Justin mencampakkanku dan itu semua demi kau! What the f**k?”
“Berani sekali kau menyebutku albino. Aku normal!”
Akibat seruanku itu, kontan seluruh orang di kafetaria melemparkan perhatian mereka di meja ini. Aku tidak peduli kalau sudah menarik perhatian seperti itu. Lebih menyakitkan kalau mendengar ejekan gadis jalang ini.
“Ya terserahlah kau mau bilang apa.” Wendy menarik ujung bibirnya.
“Lagipula, kalau Justin mencampakkanmu, kenapa kau mengadu padaku?” Di meja sebelah konter paling ujung sana, gerombolan Justin mulai mengalihkan perhatian mendengar seruanku menyebut nama Justin. Aku tidak peduli pandangan tanya Justin. Ucapan Wendy sudah menarik batas kesabaranku.
“Kau pasti menggunakan mantra atau pelet, kan? Mana mungkin gadis albino sepertimu mampu menarik perhatian seorang Justin Beirne.” Dia tertawa sarkastis. “Kau mau mengadukanku pada Sir Alexander yang terhormat? Adukan saja. Keluargaku tidak mengais uang padanya.”
Tanganku mengepal keras. Sudah cukup gadis pirang ini menghinaku. Mungkin darah sudah mendidih di sekujur tubuhku karena bisa kurasakan getarannya. Caleste mengambil alih dengan berdiri di sebelahku, melayangkan tatapan mematikannya.
“Jaga ucapanmu. Setidaknya Axeline bukan perempuan murahan yang dengan mudahnya membuka kancing baju untuk setiap siswa di sini.” Caleste melipat tangan di depan d**a dibarengi tawa sarkastis.
Wendy menggeram kesal mendengar ucapan Caleste. Saat dia bergerak hendak melayangkan tamparan, mendadak dia berhenti dengan mata mengerjap. “Apa ini?”
Ternyata ulah Caleste. Dia membuat rambut Wendy yang disisir rapi mendadak membeku seolah dimasukkan ke dalam frezer selama seharian penuh. Bisa kulihat senyuman miring samar diulaskan Caleste.
“Kenapa rambutku? Kenapa bisa begini?! Kenapa bisa membeku?!” teriak Wendy yang lebih menarik perhatian seluruh orang di kafetaria sampai terdengar gelak tawa. Dengan tatapan ketus dan penuh kebencian yang dilayangkan pada kami, Wendy menghentakkan kakinya meninggalkan meja kami. Caleste tergelak luar biasa di sebelahku, seperti kebanyakan anak di kafetaria ini—termasuk Cody dan Austin, yang sedari tadi melihat kejadian tadi. Seperti biasa, Justin hanya diam seolah pemandangan seperti itu tidak menarik perhatiannya. Kini giliran aku yang menahan air mataku mengingat cemoohan Wendy. Aku menahan agar air mata itu tidak tumpah, lantas berlari menjauh mengabaikan seruan Caleste, maupun pandangan Justin. Baru pertama kali aku dipermalukan di depan umum. Bahkan tidak ada yang menyebutku albino sebelum ini!
Memalukan, putri seorang penyihir hebat justru menangis sesenggukan di bawah pohon ek rindang sebelah gedung sekolah. Aku hanya ingin menenangkan diri dan melupakan ejekan Wendy tadi. Tapi tetap tidak bisa. Hal itu terdengar menyakitkan, apalagi dia membawa-bawa nama Justin. Mengapa Justin menyangkutpautkan namaku hingga membuat Wendy mempermalukan aku seperti tadi?
“Tidak kusangka kau ternyata cengeng?”
Aku menengadah melihat seseorang berdiri di depanku. Nadanya yang halus menghilangkan sejenak persepsiku tentangnya. Salah satu dari kelima anak cowok yang ditakuti murid SMU Robert. F Kennedy. Tentu aku masih mengingat namanya, Zach.
“Maaf kau harus melihatku menangis di sini,” kataku pelan. Saat dia duduk di sebelahku, aku sedikit bergeser dengan sikap defensif.
“Apa alasanmu terlihat takut berdekatan denganku?” tanyanya santai. “Karena notabeneku sebagai salah seorang siswa yang ditakuti di sini, atau statusku sebagai destroyer?”
Untuk pertama kalinya, aku berani membalas pandangan Zach. Sebenarnya tidak ada tanda-tanda bahwa dia jahat. Dia nyaris seperti orang biasa, tanpa wajah yang jahat.
“Tidak dua-duanya,” balasku. “Sebenarnya, bukankah terlarang bagi kita untuk berdekatan? Well, menurut mereka, kita musuh kan?”
Seakan ada yang lucu dari kalimatku, Zach tertawa pelan. Sikap santainya mampu membantuku rileks sedikit. Aku tak perlu tegang berhadapan dengannya saat ini.
“Aku tidak ingin mencari musuh saat ini.” Zach melemparkan pandangan menerawang. “Awalnya aku memang senang menjalani tugas itu, tapi lama-kelamaan menjadi bosan.”
Aku terdiam. Tidak, Axel. Kau harus menjaga jarak. Siapa tahu ini hanya jebakan. Ingat, bukan? Exterminators sangat berambisi untuk membunuhku. Jadi kurasa Zach mendekatiku hanya karena sesuatu.
“Aku bisa menebak segala pikiran negatif yang kaupikirkan. Siapa juga yang tidak takut pada seorang destroyer?” Kini pandangan Zach beralih ke arahku. “Ibumu adalah bagian Exterminators. Jujur, aku tidak berani menyakitimu.”
Mataku mengerjap tidak mengerti. “Maksudmu?”
“Menurut ibuku, ibumu adalah sahabatnya yang sangat baik. Meskipun ayahku adalah seorang destroyer, dia juga akrab dengan ibumu, walau orangtuaku tahu bahwa ibumu sedang jatuh cinta pada kaum musuh kami. Sebenarnya ibuku tidak ingin mereka membunuhmu. Jika ibuku bertemu denganmu, dia pasti seperti melihat cerminan ibumu. Ibuku pernah melihatmu di koran. Dia bilang kau mirip ibumu.”
Mirip ibuku? Omong kosong. Ibuku sangat cantik sedangkan aku tidak. “Mana mungkin.”
“Terserah kau mau menanggapi pujianku seperti apa.” Zach mencibir. “Boleh kutahu kenapa kau menangis di sini?”
Aku menunduk beberapa detik sebelum memandang Zach lagi. “Kau laki-laki tulen, kan?”
Zach mengernyitkan dahi mendengar pertanyaanku. Oh ya ampun, itu pertanyaan yang tidak sopan.
“Tentu saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Menurutmu, aku tidak cantik?”
Zach tertegun sebentar. Setelah cukup lama tertegun, dia tertawa. “Kau sangat cantik, percayalah.”
Aku mengamati telapak tanganku yang kupangku, mengingat lagi ejekan Wendy. “Ada yang menyebutku albino.”
“Tega sekali. Siapa yang menyebutmu albino?” Kedua alis Zach tertaut heran. Aku tak membalas pertanyaannya, hanya mengerucutkan bibir kesal. “Hei, lihatlah aku.” Dia menarik daguku sampai membuatku memandangnya. “Bukankah setiap orang cantik dengan caranya masing-masing? Kurasa kau lebih dari cantik, Axel.”
“Tapi—”
“Orang buta saja yang dengan tololnya menyebutmu albino. Manusia memiliki kadar pigmen yang berbeda-beda. Putih kepucatan, coklat, gelap, dan lain-lain. Menurutku, kau normal.”
Ah, Zach berhasil membuatku tersenyum lagi. Jika memang ini hanya taktiknya untuk memasukkanku ke dalam jebakannya, entahlah. Kedua matanya tidak menandakan adanya rencana licik yang tengah disusunnya. Dia tampak baik. Bahkan saat dia tersenyum tulus seperti itu.
“Hapus air matamu yang berharga itu, dan tetap tersenyum. Sepakat?” Zach mengusap air mataku yang terlanjur turun di kedua pipiku. Aku melebarkan senyumku sebagai balasannya. “Nah, kalau kau tersenyum seperti ini, kau tampak lebih cantik.”
Kurasa menuduhnya menjadi seseorang yang jahat tidaklah baik. Ya, walaupun aku tahu bahwa dia salah satu penghancur eksistensi Mutant Wizards. Tapi tidak tahu kenapa, aku merasa bahwa Zach tulus dengan sikap baiknya ini. Tidakkah dia memikirkan apa dampak yang akan terjadi jika empat kawannya tahu bahwa dia bersikap manis padaku? Ucapannya kupegang, mengingat bahwa orangtuanya adalah sahabat baik ibuku.
Perhatianku terpaku pada satu sosok yang berdiri bersandar di sebelah tiang lorong bangunan. Senyumku lenyap seketika melihat tatapan Justin seperti itu. Dia mengalihkan pandangan, lantas melimbai pergi dengan langkah gontai. Memangnya, apa yang kulakukan padanya?
-oOo-
Jari-jari Lord Robbespierre diketukkan di atas mejanya. Ditatapnya wanita di depannya itu lekat-lekat. Dia menghela napas berat mengingat apa yang ingin disampaikannya pada wanita itu, Patricia Mallette.
“Lagi-lagi anakmu membuat ulah,” tuturnya dingin.
Patricia mengalihkan tatapannya, memilih untuk mendaratkan tatapan itu pada sebuah foto berbingkai besar di depannya saat ini, foto Audrey Robbespierre.
“Kalau kau mau, kali ini hukum saja aku,” balas Patricia tak kalah dinginnya. “Aku bertanggung jawab penuh atas setiap tindakannya. Yang menurutmu juga, tidak sopan dengan seenaknya mencium putrimu.” Ujung bibir Patricia terangkat naik. “Seharusnya kau berterima kasih karena putraku mau memberikan kemampuannya pada putrimu yang payah itu.”
Bibir Lord Robbespierre membentuk senyuman aneh. Ekor matanya tertumbuk pada sosok Patricia. “Kenapa sikapmu masih tidak berubah sejak dari dulu, My dear? Oh, aku tahu sekarang dari mana sikap anak-anakmu diturunkan. Selain mantan suamimu yang tidak tahu sopan santun, kau juga mengajarkan anak-anakmu untuk bertindak tidak sopan dan liar? Begitu?”
“Cukup menyangkut pautkan anak-anakku,” desis Patricia mulai kehilangan kesabaran. Tatapanya mencengkeram kuat pandangan Lord Robbespierre. “Kalau yang kauinginkan adalah Justin menjauhi Axeline, akan kulakukan. Mana sudi aku mendekatkan anakku dengan anak Audrey.”
“Anak Audrey adalah anakku juga.” Rahang Lord Robbespierre mengeras. Tampaknya dia mulai tidak suka dengan arah pembicaraan itu, yang bisa berujung kembali menggali masa lalu keduanya.
“Intinya, kau tidak mau Justin berdekatan dengan Axeline, kan?” Senyuman miring terpampang jelas dari bibir Patricia. “Baiklah. Aku juga tipe orang yang taat peraturan. Tak akan kubiarkan putraku jatuh cinta pada putri kesayanganmu. Puas?”
Tanpa menunggu balasan Lord Robbespierre, Patricia membalikkan badan melangkah pergi. Kedua tangannya membuka dua daun pintu di depannya. Sebelum benar-benar pergi, dia berhenti tanpa menoleh sedikit pun.
“Dan kupastikan, Axeline juga merasakan seperti apa rasa sakit hatiku dulu.” Patricia menampilkan senyuman miring.
“Jangan macam-macam.”
Sambil melenyapkan senyum miring tadi, Patricia melangkah pergi meninggalkan ruangan Lord Robbespierre sambil menutup kedua daun pintu tersebut menggunakan kekuatan pikirannya. Yang dilakukan Lord Robbespierre hanyalah memandang kepergian Patricia dengan pikiran-pikiran yang melayang kembali memutar kenanga masa lalunya.
“Sudah kuduga kau masih menyimpan dendam, Pattie,” bisiknya pelan.