8

4674 Kata
Axeline’s POV Lagi-lagi salju turun membasahi tanah yang kupijak tiap langkah. Ketika aku menengadah, awan mendung menggantung di langit-langit cakrawala, menyembunyikan sinar matahari pagi, menjadikannya berwarna keperakan di balik awan kelabu. Udara musim dingin berhembus pelan menjatuhkan sebagian rambutku ke belakang. Aku mendesah pelan mengingat hari libur natal. “Hai,” terdengar sapaan dari arah selatan di mana bisa kulihat Zach berjalan dengan senyuman lebar menghampiriku. Kuberikan senyuman tak kalah lebar sebagai tanda sapaanku. “Wow, hari ini mendung sekali.” Dia menengadah. “Ya, aku jadi kelihatan seperti zombie di bawah mendung seperti ini.” Kuamati kulit tanganku. Ugh, mengapa aku semakin terlihat seperti zombie? Kutarik beanieku hingga menutupi telinga lantaran telingaku terasa dingin; mungkin saat ini mulai memerah. “Jangan merendah seperti itu. Aku paling tidak suka melihat seorang gadis merendahkan diri.” Zach mencibir masam. Ekor mataku mendarat ke sebuah arah. Terdapat empat anak laki-laki tengah berdiri di sebelah pohon besar dekat pintu keluar tempat parkir. Aku menundukkan kepala mendapat tatapan tajam dari keempatnya. “Aku harus memasuki kelas. Maaf, Zach.” Kuulaskan senyuman simpul, lantas melenggang pergi. Bisa-bisa mereka berempat kembali mencelakakanku di sini.   Ah, senang rasanya mendapatkan nilai baik di ujian Aljabar! Ya walaupun nilainya tidak sebagus Caleste, setidaknya aku bisa mengerjakan ujian itu dengan baik. Ini semua berkat Justin yang berhasil mengajariku selama ini, meskipun banyak kejadian-kejadian menyebalkan selama kami belajar. Mrs. Torrents memberikan kertas ulangan yang memampangkan nilai B. Ditiliknya aku melalui kacamata yang dipicingkan. “Well, kurasa Mr. Beirne berhasil membantumu,” katanya. Aku mengulum senyum sebagai tanda terima kasihku. Sebelumnya, tidak pernah olehku mendapatkan nilai B di ujian Matematika. Paling bagus saja C. Seraya memandangi kertas ujianku, aku berjalan mendekati bangkuku. Belum-belum Caleste sudah berdehem pelan sambil menyembunyikan senyum lebarnya. “Tidak sia-sia juga, ya?” Aku mendelikkan mata menanggapi ucapannya. Kualihkan perhatianku ke arah bangku Justin. Ada hal aneh yang mendadak berubah darinya. Dia bahkan tidak membalas pandanganku barang sedetik saja. Semenjak kulihat dia berdiri melihat kedekatanku dengan Zach, dia berubah aneh, seperti menjaga jarak denganku. Hari ini adalah hari terakhir sekolah sebelum liburan natal. Sebagian anak sudah menyambut hari libur mereka dengan rencana-rencana menyenangkan seperti pergi berlibur ke luar negeri, mengadakan pesta kecil, dan lainnya. Mendengar rencana teman-temanku, aku hanya bisa termenung. Sepertinya natal kali ini lebih sepi daripada tahun lalu. Meskipun di rumah terdapat banyak pelayan yang membuatnya ramai, aku bisa menjamin bahwa kesenangan natal tidak setinggi euforia ketika aku tinggal di rumah Bibi Dorothy. Caleste memiliki acara di liburan natalnya. Katanya, aku bisa saja datang ke rumahnya, ikut merayakan hari besar itu bersama keluarganya. Bisa kubayangkan keasikan natal keluarga Kierkegaard dari cerita-cerita Caleste yang kudengar. Tiap natal, ibunya akan membuat kue jahe. Adik-adiknya juga saling bertukar hadiah. Ah, aku jadi iri dengannya. Ingin rasanya aku bisa merasakan kesenangan seperti itu. Sebuah keluarga yang lengkap, kehangatan natal di musim dingin seperti ini. Ayahku sangat sibuk. Aku yakin dia tidak bisa merayakannya bersamaku. “Jadi, kau memiliki rencana untuk berlibur bersama Zach?” sebuah suara mengagetkanku di sebelah tatkala kulangkahkan kaki menjauhi bangunan sekolah. Justin berjalan di sebelahku tanpa memberikan pandangan. Lebih tepatnya, dia malas memandangku. Nada yang diberikannya terdengar seperti nada cemburu. Nah, kini aku bisa menebak apa alasan Justin berubah seperti itu. Tapi mana mungkin dia cemburu dengan Zach? Tidak mungkin. “Kenapa kau berkata seperti itu?” balasku muram. “Zach hanya sebatas temanku. Dan dia menjaga jarak denganku karena statusnya sebagai destroyers. Yang tetunya, dia tidak mau membuat kekacauan di antara perkumpulannya.” Terdengar tawa sarkastis di sebelahku. Pada akhirnya, Justin memberikan pandangan untukku, meskipun bisa kucerna bahwa pandangan itu begitu memuakkan. Dia seolah muak mendengar ucapanku baru saja. “Sadarkah kau kalau kau sudah bermain api dengan musuhmu?” desisnya. “Kenapa kau peduli? Biarkan saja. Bukan kau yang menjalaninya. Ini kehidupanku.” Aku mendengus pelan. Entah kenapa, aku jadi kesal sendiri melihat dia sok perhatian. Apakah tidak cukup membuatku percaya diri seperti itu? Aku tidakingin terlanjur jatuh cinta padanya dan dia dengan seenaknya mencampakkanku seperti kebanyakan gadis di luar sana. “Biarkan saja kalau aku harus mati di tangan mereka.” “t***l. Dasar tolol.” Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalau kau mati, otomatis rakyatmu ikut musnah, Bodoh.” Perkataan Justin membuatku berhenti. Ternyata dia juga ikut berhenti dan menatapku lekat. “Apa urusannya denganku?” “Ternyata kau hanyalah gadis yang egois.” Senyum mengejek terlihat di bibirnya. “Like father, like daughter. Sama-sama egois. Pantas saja mereka, kaum pemberontak Mutant Wizards, berusaha keras menggulingkan tahta ayahmu yang egois itu. Tak hanya dia, putrinya juga sama-sama egois.” Aku tertegun mendengarnya. Apa yang kupikirkan, ya Tuhan. Aku begitu egois mengatakan hal seperti tadi. Benar apa katanya, jika aku mati di tangan destroyers, semua peperangan itu akan dimenangkan oleh Exterminators. Semua anggota kelompok Mutant Wizards akan mati. Eksistensi kami tidak ada lagi di dunia ini. Percuma ibuku berkorban demi menyelamatkanku dan ayahku yang meninggalkanku dalam asuhan Bibi Dorothy. “Maaf,” desahku pelan sambil mengalihkan tatapan menuju ke bawah di mana tumpukan salju yang tebal mulai mengotori sepatuku. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku mantel tebal merasakan lagi dinginnya salju yang mulai turun. “Tidak keberatan kalau kau pulang telat?” Justin menaikkan sebelah alisnya menunggu. Kubalas pandangan memohonnya itu. “Memangnya kenapa?” “Ingin mengajakmu ke sebuah tempat. Sebagai perayaan kecil atas keberhasilanmu mendapatkan nilai B di ujian Aljabar.” Oh, ternyata dia masih memedulikanku. Dia juga tahu kalau aku mendapat nilai B. Aku rasa dengan perayaan kecil itu tidak ada masalahnya. Lagipula, ini hanya perayaan kecil. Aku penasaran seperti apa perayaan yang dimaksudkan oleh Justin. Sampai akhirnya kuberikan anggukan kepala. “Baiklah.” Tanpa memberikan balasan lagi, Justin menarik tanganku menjauhi tempat itu menuju ke tempat parkir. Salju kali ini tidak turun selebat biasanya. Hanya potongan-potongan kecil yang menempel di seluruh tempat yang dijamahnya. Lamborghini Aventador Justin melaju meninggalkan tempat parkir. Pohon-pohon pinus yang tinggi di sepanjang jalanan diselimuti salju tebal dan putih bersih tampak berdiri kokoh seperti hiasan marmer. Sinar matahari menabrak dahan-dahan serta dedaunannya hingga menciptakan semacam kilauan seperti kristal. Pemandangan seperti itu lebih indah, maka aku putuskan untuk melihatnya sepanjang jalan. Sebagian anak kecil terlihat senang bermain-main dengan kawan mereka, membuat boneka salju yang tinggi dan diberi syal, bermain papan seluncur menuruni bukit rendah, serta saling melempar bola salju diiringi tawa cekikikan menggemaskan. “Kau mau membawaku kemana?” Aku baru sadar ingin menanyakan pertanyaan itu pada Justin yang konsentrasi menyetir. Justin mengelus hidungnya tanpa memandangku. “Ngg… kau akan tahu tempat seperti apa yang kutuju.” Dia menoleh ke arahku. “Simpan terima kasihmu nanti dulu.” Aku memutar bola mata. Kualihkan lagi perhatianku pada pemandangan di luar kaca jendela. Burung-burung kecil berterbangan seperti arak-arakan parade kecil, sebelum akhirnya menghinggap di dahan paling tinggi. Menurut Bibi Dorothy dulu, di atas sana terdapat sarang-sarang burung yang dibangun induknya untuk bertelur. Aku ingin melihat seperti apa sarang burung dan telur yang akan ditetaskannya itu. Kami berhenti di sebuah tempat. Belum pernah aku datang ke tempat ini; sebuah tempat yang padat oleh rumah-rumah pohon yang bertengger di setiap dahan pohon besar sekelilingku. Mataku mengerjap untuk mendapatkan penglihatan yang benar ketika melihat cahaya kecil tampak di rumah-rumah itu. “Apa itu?” tanyaku menuding ke salah satu rumah yang berpendaran. “Kau belum pernah bertemu dengan peri?” Aku melongo sedetik. Peri? “Maksudmu, makhluk kecil bersayap seperti Tinker Bell?” “Jadi, kau belum tahu bahwa ada peri sungguhan di dunia ini?” Oke, ini gila. Mana mungkin peri itu nyata. Selama aku tinggal di rumah Bibi Dorothy memang sering membaca buku mengenai keberadaan peri. Namun, itu kan di alam khayal. Tanpa menunggu respon lain dariku, Justin bersiul panjang. Aku berdiri mengedarkan pandangan ke seantero tempat. Sambil berputar-putar melihat cahaya warna-warni mulai berpendaran di semua rumah pohon itu. Kedua bola mataku nyaris keluar dari rongganya melihat kedatangan beberapa sosok makhluk kecil bersayap dengan cahaya warna-warni berpendar pada tubuh mereka. Aku mematung di tempatku. Salah satu dari mereka bertengger di telapak tangan Justin yang terulur. Apakah ini nyata? Hell, ini bahkan bukan fairytopia atau Neverland. Yang kulakukan adalah tetap tak bergeming, melihat satu sosok makhluk kecil yang diidentifikasikan sebagai peri. Dia berdiri, berlenggak-lenggok di atas telapak tangan Justin, kemudian menunduk hormat ke arahku. “Itu-itu-peri?” tanyaku tergagap. Justin mencebikkan bibir seperti mencemooh. “Heran, bagaimana mungkin seorang putri pemimpin salah satu klan penyihir tidak tahu menahu soal eksistensi peri. ”Justin melepas sosok peri yang mengenakan dress hijau itu, sungguh mirip Tinker Bell. “Untuk saat ini keberadaan peri sangatlah langkah. Di sini tempat persembunyian mereka dari kemusnahan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu,” lanjut Justin seraya mengedarkan pandangan. Peri-peri kecil itu beterbangan di sekeliling kami, meninggalkan serbuk-serbuk peri keemasan di beberapa tempat, sambil berdengung aneh. “Mereka tahu kau adalah putri tunggal Lord Robbespierre, jadi mereka menghormatimu, memberikan sambutan yang ramah dengan bernyanyi.” Aku mengulurkan tanganku ke depan yang kemudian disambut oleh sesosok peri dengan dress berwarna putih. Dia duduk di atas telapak tanganku, lantas mengayun-ayunkan tungkai. “Ya ampun, kukira mereka hanya ada di dalam dongeng. Bagaimana bisa?” “Peri adalah salah satu penjaga penyihir dari zaman Frederick Cavren, sampai keberadaan mereka mulai berkurang. Sejak tahu bahwa darah peri juga bisa membantu memberikan keabadian pada Exterminators, seluruh peri berpencar mencari tempat aman, meninggalkan tuan mereka untuk bertahan hidup.” “Kejam sekali mereka.” Untunglah ibuku tidak sekejam Exterminators pada umumnya. Peri yang bertengger di telapak tanganku kembali terbang bersama kawannya yang lain. Aku menengadah merasakan butiran salju yang turun secara perlahan, jatuh memberikan sensasi dingin pada kulit wajahku, sekaligus melihat beberapa peri yang terbang mengelilingi kami. Sungguh indah sekali mereka. Sinar warna-warni yang mereka miliki, serta dengungan sebagai tanda nyanyian penyambutanku. Aku terkesan mendapatkan sambutan seperti itu, walaupun aku tidak mengerti nyanyian itu. “Nyanyian peri akan terdengar lebih indah di malam hari.” Justin menghela napas pendek seolah menyadari pikiranku. “Sinar bulanlah yang membuat mereka bisa berbicara. Itulah sebabnya mengapa mereka disebut sebagai makhluk malam. Mereka sangat cantik.” “Seperti kunang-kunang?” Aku menoleh untuk memandangnya. Justin membalas pandanganku melalui dua manik matanya yang indah itu. Ah, sungguh tidak adil. Aku benar-benar merasakan perasaan itu lagi ketika kedua mata kami saling berpautan. “Lebih cantik daripada kunang-kunang.” Dan ini pertama kalinya dia memberikan senyuman tulus untukku. Belum pernah kulihat senyum seperti itu sebelumnya jika dia berada di radius dekat denganku. “Tapi tidak lebih cantik daripadamu.” Aku terhenyak mendengar kalimat terakhir itu. Tapi tidak lebih cantik daripadamu. Belum-belum kedua pipiku bersemburat malu mengingat kalimat itu. Oh, tidak. Kenapa dia masih saja melakukan itu padaku? Apakah tidak cukup? “Bukankah kau bilang aku bukanlah tipemu?” Masih teringat juga ucapan itu. Kalimat yang diberikan Justin saat kami belajar bersama di sebuah kafe. Dia bilang aku bukanlah tipe gadis idamannya. Ah, menyakitkan juga mengingat-ingatnya. Justin menundukkan kepalanya seperti menimbang. “Terkadang aku bisa sangat bodoh dalam mengucapkan setiap hal,” gumamnya tidak jelas. Sekarang dia bersedia menatapku lagi. “Setelah lama aku berperang batin dengan diriku sendiri, baru kusadari bahwa aku memang salah satu pembohong besar. Bagaimana bisa aku membohongi diriku sendiri?” Dia mencebikkan bibirnya. “Bahkan orang seperti Jazmyn yang tidak pernah mengerti apa itu perasaan cinta sesungguhnya, bisa menyadari keberadaan cinta itu.” Aku tertegun mendengar kalimat terakhir itu. Bukan, bukan karena menyadari Jazmyn tidak tahu bagaimana arti cinta itu, melainkan yang paling akhir. Aku mengulum bibirku karena tidak tahu harus membalas apa. Ucapannya memang mudah dipahami, tapi rumit untuk dibalas. Lagi-lagi aku lebih memilih memandang tumpukan salju yang menempel di ujung sepatuku. “Aku tahu kau pasti marah padaku,” lanjutnya mengalihkan pandangan. “Marah?” Kini aku kembali menatapnya. “Apa alasanku untuk marah?” “Kau hanya bisa mendengar setiap celaah yang kupikirkan, rasa kekesalan, kebencian…” Ekormatanya bergerak menjauhiku, sebelum akhirnya kembali lagi terpaut pada kedua mataku. “Semua hal yang tidak kau suka. Dan sekarang, akan kuberitahu tentang rahasia kecil. Rahasia kecil yang kusembunyikan dari pikiranku sehingga kau tidak menyadari keberadaannya.” Yang kulakukan hanya terdiam memandangnya. Bisa kulihat pergerakan kakinya yang samar, maju lebih dekat denganku sehingga hanya beberapa senti jarak yang memisahkan kami. Perasaan itu menghinggapi lagi, datang untuk ke sekian kalinya setiap dia mendekatiku seperti sekarang ini. Diraihnya telapak tanganku, sampai aku bisa mendengar dengan baik segala hal yang ada di pikirannya, serta setiap hal yang dibayangkannya. Dan tangannya kini beralih menyentuh kedua pipiku, dengan bayangan-bayangan serta pikirannya yang menyatu dengan pikiranku. Aku justru seperti dikerubungi oleh berbagai bayangan yang ada dalam kepalaku. Tapi itu tidak mengganggu karena aku justru senang, sangat senang melihat bayangan-bayangan itu, yang menunjukkan perasaan positif darinya. Hidungnya bersentuhan dengan hidungku, sedangkan bisa kurasakan hembusan napasnya yang begitu hangat menyentuh permukaan kulitku, menampar wajahku, dan aromanya yang tetap sama seperti sebelum-sebelumnya. “Sorry, I take too long for this,” bisiknya, lantas menautkan bibirnya pada bibirku. Sehingga gambaran-gambaran yang dibayangkannya kembali terputar dalam kepalaku. Saat pertamakali dia melihatku berjalan di sekolah hari pertama, perasaan benci tak bisa dilepaskannya dariku. Saat kujatuhkan ponselnya ke dalam kolam, dia memang sengaja melakukannya agar memiliki alasan untuk menjahiliku, kebencian terasa jelas di setiap pikiran itu. Belum lagi saat-saat meluangkan waktu semalam suntuk demi mengajariku Matematika, di hari pertama dia tak menyangka bahwa putri seorang pemimpin sebuah klan penyihir justru sangat bodoh. Sampai pada saat dia mulai memikirkan beberapa hal, berperang batin dengan dirinya sendiri karena tak ingin mengambi resiko dengan menentang peraturan yang ada. Dia mulai menyebut namaku di tiap pikirannya. Axeline. Axeline. Axeline. Hingga pada malam itu, ketika dia memberikan sebagian kemampuannya padaku melalui ciuman pertama itu. Sebagian hatinya menyangkal bahwa dia mulai tertarik padaku. Dia masih berperang batin, mengingat lagi kemungkinan yang bisa dijatuhkan pada ibunya, atau hukuman yang mungkin dijatuhkan pula untukku. Pikirannya kembali lagi terlihat dalam kepalaku, meskipun dengan mata tertutup seperti ini. Rasa cemburunya ketika melihatku berdekatan dengan Zach di bawah pohon ek. Dan membuatnya menghindariku, hanya untuk memikirkan lagi apa yang tengah terjadi dengannya. Segalanya bisa kurasakan, bayangan yang dipikirkannya pun terekam dalam kepalaku. Kemudian semua bayangan itu tertarik begitu saja, menghilang menjadi kehampaan ketika tak kurasakan bibirnya yang hangat menelusuri tiap lekuk bibirku. Aku terhenyak menyadari bahwa ini nyata, bukan salah satu fantasiku. Mataku terbuka, dan belum-belum kedua lensa mata itu tengah memakukan tatapannya padaku. Dinginnya salju membasahi sebagian rambut, baju, maupun kulitku tidak mengalihkan perhatianku. Bumi yang kupijak seolah tak berputar pada porosnya mendapatkan tatapan teduh seperti itu. “Bukankah ini terlarang?” tanyaku perlahan, mengingat lagi peraturan bodoh yang menyebutkan bahwa sesama Mutant Wizards dilarang keras memiliki hubungan serius, terkecuali persaudaraan atau persahabatan. “Seperti aku peduli saja,” balas Justin dalam nada malasnya. “Aku bisa menentang peraturan itu.” “Kau? Bisa?” Aku tertawa pendek. “Asalkan kau tetap ada bersamaku.” Dia menggenggam tanganku, meremasnya lembut sehingga tak kurasakan lagi dinginnya udara saat ini. Aku melayangkan senyuman tulus untuknya.   ***   Zach’s POV “Lord Goldsher masih berambisi penuh mendapatkan Axeline dan membunuhnya.” Liam bergumam sambil mondar-mandir di depan kami. Dia menghentikan langkah serta memakukan pandangannya padaku. “Tertarik untuk membawanya, Zach? Bukankah kau berhasil mendekatinya?” Senyum samar terulas dari bibirku. Awalnya memang Liam merencanakan kedekatanku dengan Axeline, itulah sebabnya dia dan yang lainnya tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi aku tidak sependapat dengan rencananya. Aku mendekati Axeline bukan untuk membunuhnya, justru berniat ikut melindunginya seperti yang kurencanakan bersama ibuku. “Maaf, kau bisa mencari orang lain untuk tugas itu, Liam.” Aku memainkan koin dalam apitan jari-jariku. Liam memandangku berang. Diraihnya sebuah patung berukuran sedang di dekatnya, kemudian melemparnya ke arahku. Secara gesit, aku menangkap patung itu dengan tangan kananku tanpa mengubah ekspresi flegmatisku. Dugaanku, dia semakin berang melihat kelancanganku. “Jangan katakan kau jatuh cinta, Zach?” tanyanya berang. “Bukankah kau sudah disumpah untuk tetap setia pada kami dan menuruti semua perintahku?” Aku menurunkan kakiku dari atas meja. Di sampingku, Nathan dan Henry tak berani ikut campur. Bahkan tidak seperti biasanya, kali ini Nathan menahan diri tidak menyambar makanannya. Henry mengubah posisi duduknya, seperti membuat dirinya senyaman mungkin. “Bukan berarti kau mencampuri urusan prbadiku, kan?” balasku. “Kau tentu pasti ingat soal tidak mencampuri urusan pribadi antar penyihir dalam buku besar peraturan Exterminators. Soal itu, aku rasa kau tidak perlu ikut campur.” Liam memandangku tajam tanpa memberikan komentar. Setiap pikiran kami tersambung satu sama lain, itu kelebihan yang kami dapatkan sebagai destroyers. Tanpa membalas dengan kecapan, aku sanggup membaca apa yang tengah dipikirkan Liam saat ini. Marah, tentunya. Dia merasa kalau aku bisa saja menikungnya dan berkhianat. Untunglah sebagian pikiranku terblokir, pikiran mengenai amanat ibuku untuk melindungi Axeline, sehingga Liam maupun yang lain tidak bisa menangkap pikiran itu. “Jadi, kau memilih untuk berkhianat?” tanya Luke seperti yang telah dipikirkan Liam sebelum ini. Kepala Luke bergerak menoleh ke arahku. “Aku tidak berniat untuk berkhianat. Hanya menolak perintah Liam mendekati Axeline dan membunuhnya. Apakah itu disebut berkhianat? Lakukan saja dengan orang lain, jangan aku.” “Baiklah.” Aku melihat senyuman miring dari bibir Liam. Dan secara tidak langsung kusadari keberadaan senyum miring itu sebagai bentuk rencana lain yang telah disusunnya. “Kalau Zach tidak mau, biar aku saja yang membunuhnya. Jika Zach tidak bisa membunuhnya secara perlahan, maka di tanganku, Axeline akan tercabik-cabik.” Ketiga destroyers lainnya menyunggingkan senyuman lebar, berbanding denganku. Aku membuang muka untuk menyembunyikan raut wajah panikku. Apa yang baru saja kulakukan? Seharusnya kuterima saja perintah Zach, berpura-pura mendekati Axeline untuk membunuhnya, dengan begitu Liam tak akan berani menyentuh gadis itu. Tapi percuma, percikan api rencana jahat itu telah tersulut dan akan berkobar. Yang harus kulakukan adalah melindungi Axeline dalam bentuk nyata, seperti meninggalkan statusku sebagai destroyers. Itu artinya, aku harus berkhianat.   ***   Justin’s POV “Lagi-lagi kau melanggar peraturan?” suara sopran Jazmyn terdengar dari balik sofa di depan perapian. Dia berdiri, lantas berbalik badan menghadapku. Pandangan matanya yang tak seperti biasa dilempar untukku. Kedua mata itu seperti mengisyaratkan kekecewaan, kecemburuan, kebencian, segala perasaan negatif yang tak pernah kuketahui. Meskipun Jazmyn begitu dingin, dia tidak pernah melemparkan tatapan keji seperti itu. “Detektor,” dengusku pelan. “Apa yang kau mau sebenarnya? Apakah aku mengganggumu?” Dengan sekali hentakan gusar, Jazmyn menghampiriku. Sudut bibirnya bergetar sedikit. “Kenapa kau sangat keras kepala, Justin? Bukankah aku sudah memperingatkan untuk tidak membuat kekacauan lagi? Tidak puaskah kau membuat kekacauan lagi?” “Jadi, sekarang kau termasuk bagian anggota Dewan Keamanan Penyihir?” Aku mencibir. Seakan tak menyukai ucapanku, Jazmyn mengerutkan kening. “Aku hanya tidak mau kau menjebloskan Mom ke dalam masalah lagi. Setiap kali kau berbuat kesalahan, Mom yang bernegosiasi dan menjalankan hukumanmu. Apakah tidak cukup bagimu setelah pelaporan kasus perkelahianmu waktu itu? Kalau kau tidak cukup mengerti, akan kulakukan sekali lagi.” Aku tersentak mendengar ucapannya. Kutatap Jazmyn sangat marah. “Jadi kau yang melaporkanku ke Dewan Murid?!” Bukannya merasa bersalah, dia justru tertawa bangga. “Ya. Kalau tidak begitu, kau tak akan pernah tahu bagaimana menyakitkannya mendapat hukuman. Mungkin hukuman dari pihak sekolah adalah hukuman yang wajar; membersihkan kamar mandi, mengambil sampah, diskorsing. Bisa kau bandingkan dengan hukuman yang diterima Mom, Brotha?! Hampir saja kepalanya dipenggal karena ulahmu!” “Apa?” Aku tidak mengerti apa maksud Jazmyn dengan perkataannya yang terakhir. Selama ini Mom hanya mengatakan kalau dia bernegosiasi untuk membebaskanku dari hukuman—dia menggunakan hak fighters untuk membebaskanku. “Aha, kau bahkan tidak tahu.” Jazmyn berdecak muak seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. “Dia hanya tidak mau memberitahumu. Semua kesalahan yang kau perbuat tak dapat dihitung hingga menyebabkan Dewan Keamanan Penyihir menghapus hak fighters keluarga Mallette. Kalau saja bukan karena kemurahan hati Lord Aragorn, kepala Mom pasti sudah terpenggal!” Bahu Jazmyn bergetar menahan amarahnya sedangkan aku hanya bisa terdiam mendengar pengakuan itu. “Kau masih ingin melanggar peraturan untuk tidak mencintai sesama Mutant Wizards, Justin?” “Aku tidak akan melanggar peraturan itu.” Aku menutup mata sededetik. “Aku akan menghapus peraturan t***l itu.” “Siapa yang mencintai sesama Mutant Wizards dan siapa yang menghapus peraturan?” Baik aku maupun Jazmyn, kami mendaratkan pandangan ke arah ambang pintu masuk ruang santai. Aku tak dapat bernapas sejenak melihat kedua mata Mom yang tajam ditumbukkan padaku. Tampaknya ini tak semudah yang kukira.   -oOo-   Malam seperti biasa di gedung tinggi pencakar langit yang bergaya perpaduan Eropa klasik dengan singgasana Zeus di istana Olympus, Lord Robbespierre menulis sesuatu dengan tinta penanya. Kali ini dia tidak sedang berkutat dengan pekerjaannya,melainkan menulis sebuah surat pada ketua Dewan Keamanan Penyihir untuk mengajukan aplikasi hukuman atas nama Justin Drew Beirne. Dihelanya napas panjang saat pena ditorehkan di atas perkamen kecoklatan itu, membubuhkan tanda tangan sebagai bukti kesungguhannya. Yang ada dalam benaknya kini hanyalah membuat jera anak laki-laki itu. Meskipun dia sebenarnya tahu segala hal yang menyangkut putrinya—terutama kebersamaan di antara putrinya dengan Justin—namun dia tidak ingin membahas persoalan itu, agar suatu saat jika dia menjatuhkan hukuman berat, putrinya tak akan tahu dan merajuknya. Terdengar suara derakan pintu dilanjutkan oleh kedatangan secara tiba-tiba Patricia Mallette ke dalam ruang kerja Lord Robbespierre. Tangan Lord Robbespierre berhenti menggenggam pena tersebut, menaruhnya sangat rapi di sebelah perkamen yang ditulisnya. “Apa kau tidak bisa mengetuk pintu?” tanya Lord Robbespierre datar. “Sayang sekali tanganku terlalu suci untuk mengetuk pintumu.” Patricia berjalan penuh ketukan yang diperhitungkan mendekati Lord Robbespierre. Matanya menelisik kearah perkamen yang baru dibubuhi tanda tangan itu. Tampaknya wanita itu tahu apa yang tengah ditulis pria di depannya saat ini. “Kau menjatuhkan hukuman pada putraku, tapi membebaskan hukuman Axeline?” “Bukan salah Axeline dalam hal ini.” Rahang Lord Robbespierre mengeras. “Bukan salahnya?” Beberapa langkah lebih dekat, Patricia tertawa mencemooh. “Anak-anak kita sedang jatuh cinta, Alex. Tidakkah kau melihat kesalahannya?” “Jatuh cinta?” tanya Lord Robbespierre sambil lalu. Dahinya berkerut seakan memikirkan kalimat itu. Dia berdiri dari kursinya, lantas memandang Patricia lekat. Dalam hatinya, tak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya dia tahu soal yang satu itu. Bukankah dia sangat peka? “Kembali mengenang masa lalu ya?” “Jangan mengungkit masalah itu lagi.” Jari telunjuk Patricia teracung ke depan bersamaan dengan langkah kaki Lord Robbespierre menghampirinya. Kini mereka berdua bertukar pandang, saling berhadap-hadapan. “Aku tahu peraturan tetaplah peraturan. Seperti halnya dirimu, aku tak akan membiarkan Axeline melanggarnya.” “Tahta mengubahmu menjadi angkuh, Alex.” “Dan kecemburuan juga telah membutakan mata hatimu, My dear.” Bibir Patricia bergetar mendengarnya. Kembali terputar beberapa hal yang sempat melewati kenangannya, menjadikan sebagian rasa amarah itu muncul lagi. Hatinya tertohok mengingat-ingat kenangan itu. “Kenapa harus mereka?” bisik Patricia nyaris tak terdengar. “Dan kenapa peraturan itu tetap ada?!” Amarah mulai bergejolak di hatinya sampai menyebabkan kedua pelupuk matanya tergenangi butiran air bening. Bayangan wajah Audrey terpampang jelas di kedua matanya yang bersinar kebencian. “Kau sendiri yang tidak mau mengungkit lagi masalah itu, sekarang kenapa justru kau gali lagi?” Lord Robbespierre merendahkan suaranya. Karena terlanjur muak mendengar ucapan pria di depannya itu, Patricia kehilangan kendali sehingga menghempaskan tubuh Lord Robbespierre dengan kekuatan penuh, sampai membuatnya terhantam tembok. Pria itu terjatuh diiringi bunyi gaduh; benda-benda yang ditubruknya berjatuhan di atas lantai karpet. Kepala Lord Robbespierre terangkat, memandang wanita itu dalam seolah dia merasakan adanya perubahan drastis yang terjadi pada keduanya. Sambil menumbukkan tatapannya pada Lord Robbespierre, Patricia melangkah perlahan mendekati pria itu. Tampak di depan matanya, darah mengalir dari sudut bibir Lord Robbespierre. Hantaman itu sangat kuat sampai-sampai penyihir hebat seperti Lord Robbespierre seakan kalah telak di bawah kaki Patricia. “Patricia yang kuhadapi saat ini bukanlah Patricia yang sama seperti dulu,” desah Lord Robbespierre seraya berdiri tertatih. “Apa yang membuatmu menjadi seperti ini, Pattie?” Dagu Patricia terangkat angkuh. “Seharusnya kau tanyakan dulu pada dirimu juga. Dua puluh lima tahun yang lalu, Alexander Robbespierre bukanlah seorang pria yang angkuh, dingin, arogan, dan gelap akan kekuasaan. Seorang pria yang memedulikan orang lain, sangat diandalkan, cekatan, dan bisa menundukkan kepalanya sangat rendah. Sampai-sampai sanggup menarik perhatian seorang perempuan jelita dari bagian musuh, meninggalkan perempuan yang dicintainya.” Patricia membuang muka. Dia lebih memilih menumbukkan pandangannya pada patung yang terletak tak jauh darinya daripada menatap kedua mata pria yang pernah dicintainya itu. Senyuman miring terlukis dari bibir Lord Robbespierre. “Bahkan hingga hari ini, kau masih memendam rasa benci dan cemburumu?” “Juga cinta.” Kepalanya berpaling memandang Lord Robbespierre. “Juga cinta.” Lord Robbespierre tertawa pelan. Diusap pelan darah pada sudut bibirnya. “Sampai saat ini? Setelah semua yang terjadi?” “Selalu.” Ujung bibir Patricia terangkat tidak suka. “Dan tak akan kubiarkan cinta sejati itu ada. Kupastikan putrimu merasakan hal yang sama seperti aku dulu, Alexander Robbespierre.” Patricia melenggang gusar meninggalkan ruangan itu, tanpa memedulikan ekspresi fluktuatif yang tergambar di raut wajah Lord Robbespierre. Sebelah tangan Lord Robbespierre menggenggam kelambu di dekatnya, lantas memandang sosok istrinya melalui foto berbingkai besar di depannya. Teringat jelas dalam benaknya masa-masa di mana dia masih menjadi seorang penyihir biasa, salah satu turunan fighters.Setiap detik yang dihabiskannya sebelum ini hanyalah memikirkan pekerjaan dan tanggung jawabnya, sampai dia tak ada waktu mengingat masa-masa itu. Kini seolah ada yang memberinya kesempatan memutar ulang rekaman itu lagi. Dia hanya bisa menghela napas panjang. “Kau bahkan tak sempat mendengarnya, Pattie. Bahwa hanya namamu yang ada di barisan pertama.”   -oOo-   25 yearsago…   Baru beberapa jam yang lalu Alexander mendapat teguran keras dari Lord Plechanov, pemimpin Mutant Wizards. Jika dia tak bisa meninggalkan Patricia Mallette dan mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan itu, tali gantung akan membayangi langkahnya. Bukan hanya dirinya, gadis itu juga akan mendapatkan hukuman setimpal. Karena kekesalannya itu, Alex meluapkan emosinya dengan melempar batu sungai jauh. Sampai-sampai terdengar pekik kesakitan yang cukup keras tak jauh darinya. Dia tersentak melihat seorang gadis berambut coklat gelap berdiri dari balik bebatuan besar. Gadis itu berjalan perlahan meniti arus sungai, menyebrang agar bisa sampai di tempat Alex. “Hai,hati-hati kalau melempar batu,” ujar gadis itu seraya menunjukkan luka yang tampak di dahinya. “Lihat, kau baru saja membuatku terluka.” Alex menegakkan dagunya mendengar celotehan gadis tersebut. “Maaf,” balasnya pendek. Tanpa dipersilakan terlebih dahulu, gadis berambut panjang dengan manik mata sewarna lautan itu duduk di sebelahnya. Dia mengamati baik-baik ekspresi anak laki-laki di sebelahnya itu. Jika dilihat dari raut wajah muram seperti itu, tampaknya gadis tersebut telah mendapatkan jawabannya. “Aku Audrey Goldsher,” ujar gadis itu mengabaikan keapatisan Alex. Seolah mendengar sebuah kutukan terlarang, Alex terperanjat. Pada akhirnya, dia menoleh untuk memandang Audrey. Seakan terpikat dengan kecantikan gadis itu,Alex mendadak salah tingkah. “Kau anak salah seorang destroyer, bukan? Kakakmu juga menjadi penerus ayahmu. Aku kenal marga Goldsher. Dan aku seorangturunan fighters,” tukasnya sambil mengerutkan dahi. Bibir Audrey mencebik muram. Dia menunduk memandang aliran sungai yang menimbulkan bunyi seirama berbenturan dengan bebatuan kecil di sekitarnya. Tampaklah bayangan wajahnya yang berparas elok di atas genangan air itu. “Anggap saja aku bukan bagian dari musuhmu.” Audrey mengubah ekspresinya, lantas menyunggingkan senyuman manis madu. “Kau bahkan belum memperkenalkan namamu.” Kini Alex mengenyahkan jauh-jauh persepsi negatifnya terhadap gadis di sebelahnya. Meskipun dia tahu bahwa terlarang bagi siapapun yang berdekatan dengan musuh.Terkadang dalam benaknya, Alex merutuk jenuh. Dalam peraturan Mutant Wizards dijelaskan bahwa sesama penyihir mutan dilarang terlibat hubungan serius; hal itu menjadikan Alex mau tak mau meninggalkan Patricia Mallette. Sekarang saat dia bertemu dengan gadis lain yang menarik perhatiannya, dia teringat lagi status gadis itu, seorang musuh. “Alexander Robbespierre.” Disunggingkannya senyuman tulus untuk Audrey. Dia sadar akan sesuatu. Kening Audrey menampakkan guratan luka yang lumayan panjang dan titik-titik darah muncul dari luka itu. “Astaga, maaf sudah membuat dahimu terluka.” Lantas dirobeknya sedikit kain bajunya. Dia menenggelamkan robekan kain itu pada air sungai yang mengalir jernih. Selanjutnya, dibasuhnya luka di dahi Audrey. Senyuman lebar terkembang dari bibir kedua anak itu. Tak jauh dari tempat itu, Patricia mengamati gerak-gerik Alex dan Audrey di balik pohon ek besar yang rindang. Sudut matanya yang tajam tak dilepas sedetik pun pada kedua pasangan itu. Dan dalam sekejap saja, kecemburuan membutakan mata hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN