Gadis bermata biru tersebut bernyanyi riang sembari berjalan perlahan di hamparan batu sungai yang berukuran sedang. Audrey Goldsher, begitulah setiap orang memanggilnya. Semua jenis penyihir tahu bahwa dialah dara cantik sebagai aset penting para Exterminators. Tak hanya pintar dalam taktik berperang, pahatan yang ditorehkan oleh Tuhan di tiap jengkal tubuhnya begitu sempurna. Lelaki mana yang tar terpaut memandang paras cantiknya. Dari sekian banyak pria yang dikenal, hanya satu yang menarik hatinya, salah seorang fighter baru yang berasal dari kelompok musuhnya, Alexander. Baginya, melanggar peraturan adalah suatu kesenangan, meskipun dia dibesarkan di lingkungan orang-orang terpandang dan penuh ketaatan. Dia begitu diminati banyak peminang, namun apa daya, yang menarik perhatiannya hanyalah pria di belakangnya kini.
“Jika suatu saat nanti terjadi peperangan antara kelompokku dengan kelompokmu, bolehkah aku bergabung dengan kelompokmu?” tanya Audrey seraya berhenti dan membalikkan badannya. Kedua mata sejoli itu saling berpautan.
“Kenapa kau memilih kelompokku?” Alex balas bertanya. “Bukankah itu semacam pengkhianatan?”
Sebelah alis Audrey terangkat tidak suka. Dalam benaknya saat itu hanyalah cara agar dia tidak memiliki perbedaan lagi yang justru menyulitkannya untuk hidup bersama orang tercintanya.
“Kalau begitu bawa saja aku. Aku tak akan takut apapun jika kau terus ada di sebelahku.” Audrey menyunggingkan senyuman lebar seraya meremas telapak tangan Alex.
Mungkin bagi Alex, permintaan Audrey terlalu ekstrem. Dia tahu semua konsekuensi jika berhubungan dengan musuh, terkecuali kalau musuh itu rela meninggalkan kelompoknya. Tentunya, Alex tak akan mau Audrey dikecam bahaya karena keegoisannya. Faktor lain adalah karena Alex juga masih menyimpan rasa untuk Patricia. Dilema mulai menggantung di dasar hatinya yang lunak.
“Audrey, kau tidak perlu melakukan semua itu,” ujar Alex seraya meraih dan membalas genggaman tangan Audrey. Dilayangkan tatapan teduh untuk gadis di depannya saat ini.
“Aku tidak peduli.” Tatapan Audrey berubah menjadi sendu. “Aku jenuh dengan semua ini. Yang ingin kulakukan hanyalah hidup bersamamu, tinggal di sebuah rumah sederhana, melahirkan anakmu, melihatnya tumbuh dewasa, dan hidup sampai tua.”
Suara air sungai mengalir memberikan jeda pendek di antara keduanya, sebelum akhirnya Alex menarik Audrey ke dalam pelukannya. Mana mungkin dia membiarkan Audrey berkhianat hanya demi hidup bersamanya. Akan tetapi, pilihan lain tidak bisa didapatkannya. Jika dia telah kehilangan salah seorang gadis yang dicintainya, kali ini dia harus mendapatkan gadis itu, meskipun nyawa taruhannya.
Sudah menjadi rutinitas keseharian Patricia mengikuti Alex dan Audrey hingga ke sungai yang terletak tak jauh dari rumah keluarga Mallette. Sudut matanya berkedut melihat kedua sejoli itu. Yang kini dirasakannya hanya kecemburuan, kekecewaan, serta kebencian. Belum lama dia berdiri di sebelah cemara, seorang ajudan datang menghampirinya.
“Maaf, Nona. Anda sudah ditunggu keluarga Beirne di rumah.”
Walaupun menahan pahit dan pedih, Patricia tak bisa menentang keputusan orangtuanya yang seenaknya menjodohkan dia dengan laki-laki asing. Mau bagaimana lagi? Orang yang dicintainya pun lambat laun akan menikahi gadis dari kelompok musuh itu. Dia tidak mungkin hanya menunggu hal yang tak pasti. Maka alternatif lain untuk mengobati rasa sakit hatinya hanyalah menerima lamaran dari seorang keluarga bangsawan, seorang manusia biasa namun mengetahui eksistensi penyihir karena status keluarga mereka sebagai penyokong perekonomian bagi bangsa penyihir. Meskipun hati kecilnya masih berusaha keras memberontak, Patricia harus bisa menerima setiap keputusan yang ditawarkan padanya.
Axeline’s POV
Sudah kuduga kalau ini adalah natal terburukku. Para pelayan di rumah ini berusaha keras meramaikan rumah dengan cerita dan tawa mereka, mengabaikanku. Di sudut ruangan, aku duduk termangu memandang langit hitam yang dibubuhi salju. Sisi baiknya dengan ketidakhadiran ayahku di sini, dia tidak akan tahu andai kata sewaktu-waktu Justin datang kemari menemaniku. Hadiah-hadiah natal sudah menumpuk di dekat pohon cemara yang berkilauan akibat barisan lampu serta pernak-perniknya. Tak ada yang menarik perhatianku sedikit pun. Meskipun hadiah itu dikategorikan mewah, berukuran besar, dan datang dari berbagai bangsawan, aku tidak menjamahnya.
Entah apakah ini salah satu kegilaanku, namun aku benar-benar melihat Justin di luar sana dengan cengiran lebar. Di sebelah tangannya terdapat lonceng kecil. Dia menggoyangkan lonceng itu, memamerkannya di depanku seolah mengajakku untuk terjun keluar. Bagaimana mungkin seorang anak laki-laki yang memendam bencinya karena statusku sebagai putri penyihir angkuh, membanting setir, mengilangkan segala perspektif negatifnya. Segala hal yang kulihat di pikirannya saat itu menggambarkan dengan jelas, kegamangan hatinya, peperangan batin antara membenci atau justru mencintaiku. Dan selama itu dia menutupinya dengan bersikap dingin, sedingin es kutub utara.
Tanpa banyak pikir lagi, aku melenggang keluar, mengabaikan tatapan atau seruan dari para pelayan itu. Kupijakkan kakiku di atas tumpukan salju yang mulai menggunung sambil merapatkan mantelku. Sejak kapan dia berdiri di sana dengan cengiran lebar seperti itu? Kulenggangkan kakiku menghampirinya. Belum-belum rambutku sudah dipenuhi oleh potongan kecil salju.
“Bagaimana kau bisa masuk kemari?” tanyaku.
Dipamerkannya lonceng yang tadi dibawanya. Tampak senyuman simpul terulas begitu saja, mengabaikan pertanyaanku. “Ini untukmu. Coba taruh di pohon natalmu.”
Aku meraih lonceng kecil itu sambil menggoyangkannya. Terdengar dera pelan tiap kugoyangkan badan lonceng tersebut. Suara dentangan yang begitu lembut, indah, serta mendamaikan.
“Kau menyusup?” aku bertanya lagi.
Justin menaikkan sebelah alisnya masa bodoh. “Seperti yang kautebak.”
Bagaimana bisa dia selicin itu menyusup kemari. Tentu saja dia harus melewati para penjaga, dan itu tidak mudah. Entahlah, aku tak begitu memikirkan bagaimana caranya masuk. Yang terpenting dia datang, meramaikan hari ini.
“Mau kuajak pergi?” tawar Justin.
“Kemana?”
“Nanti juga tahu.”
Tanpa menunggu balasanku, Justin menarik lembut tanganku. Berdua kami melenggang secara hati-hati agar penjaga yang mondar-mandir seperti penggosok baju tidak menangkap basah kami. Sekarang aku tahu bagaimana caranya Justin bisa selicin itu menyusup. Hampir aku terpeleset jika tidak hati-hati saat naik ke atas tembok beton yang memagari rumahku. Dia mengulurkan tangannya bersiap menangkap tubuhku. Kujatuhkan tubuhku ke bawah sambil terkikik pelan dalam dekapannya.
“Siapa di sana?!”
Sontak kubungkam mulutku mendengar suara bengar salah satu penjaga rumah ini. Secepatnya Justin menggandeng tanganku sambil berlari meninggalkan tempat itu. Seruan-seruan sebagai alarm terdengar di belakang sana, menyebut namaku berkali-kali, bahkan tak hanya satu penjaga, yang lain pun ikut berseru. Tidak kuhiraukan seruan mereka, justru aku semakin menambah kecepatan lariku.
Sebuah festival kecil terlihat di depan mataku. Gemerlap cahaya lampu neon warna-warni berpendar di setiap wahana yang tampak di sekitarku saat ini. Aku mengedarkan pandangan ke seantero tempat, mengagumi hingar bingar suara lautan manusia yang merayakan natalnya di tempat ini.
Seorang pemain sirkus dengan kaki panjangnya berjalan melewati kami. Namun mendadak dia berhenti, lantas mengulurkan gula-gula padaku.
“Gratis untuk gadis yang cantik ini,” ujarnya.
Aku menyunggingkan senyuman sebagai tanda terima kasih dan pria berkaki panjang itu melenggang pergi. Justin mengernyit melihat gula-gula di tanganku seolah makanan itu mengandung berbagai jenis racun.
“Jangan sembarang makan makanan dari orang asing,” tegurnya seraya menyambar gula-gula yang kupegang. Aku mendengus sambil berusaha merebut kembali gula-gula itu. Namun dia justru memakannya. “Biar kucoba dulu.”
“Sinikan!”
Justin tidak mengindahkan perintahku, malah menjauhkan gula-gula yang dipegangnya sambil mencomotinya sampai habis. Aku mengerang kesal melihat gula-gula yang tadinya menjadi milikku justru habis dimakan olehnya.
“Tidak beracun ternyata,” tukasnya tanpa ada rasa bersalah.
Lagi-lagi aku mendengus kesal sedangkan terdengar gelak tawa darinya. Kulipat tanganku di depan d**a, mengerucutkan bibir kesal atas tindakannya tadi.
“Aku hanya tidak mau kau makan makanan dari orang asing. Belum tentu makanan itu aman.”
“Alibimu saja.”
Cengiran lebar tampak di bibirnya. Pandangan matanya tertuju pada sebuah arah, pesta kembang api yang akan digelar sebentar lagi. Belum-belum dia menarik tanganku mendekati tempat itu tanpa mendengar celotehanku.
“Aku ingin melihat kembang api itu bersamamu. Apalagi di bawah tanaman mistletoe,” tukasnya pelan sesampainya kami di lapangan luas, tempat peluncuran kembang api itu.
Aku menengadah tak melihat adanya tanaman mistletoe—hanya adala tanaman rambat di atas kami, itu pun bentuknya jauh beda seperti mistletoe. Dasar, sepertinya ada yang salah dengan kepala Justin malam ini.
Lagu-lagu natal didengungkan di sekitar kami. Terdapat seorang santa Claus yang menari-nari bersama anak-anak kecil dalam balutan kostum kurcaci. Aku tertawa melihat tingkah lucu mereka, sama halnya dengan Justin. Belum pernah kulhat dia tertawa lepas seperti itu. Ada bagian darinya yang seakan berubah. Dia tidak sekaku dan sedingin biasanya.
Nah, ini dia saat yang ditunggu-tunggu. Sebuah kembang api diluncurkan ke atas, meledak dengan bunyi debuman sangat keras, dan menciptakan corak merah-kuning-hijau di atas awan mendung. Salju turun secara lembut menambah euforia di sekitarku. Suara tepukan riuh rendah, seruan senang, dan ledakan kembang api bercampur menjadi satu. Sudah banyak pasangan di sekitarku yang memanfaatkan momen ini dengan berbagi kasih, saling beradu pandang atau mencium satu sama lain. Belum-belum kurasakan keberadaan tangan hangat yang kokoh menyentuh kedua pipiku, sengaja membawa kedua mataku agar bersanding dengan dua lensa matanya yang indah.
Justin menengadah sebentar, diikuti oleh ekor mataku. Tanaman rambat itu secara perlahan berubah menjadi mistletoe yang menggantung indah. Ah, aku suka sekali bunga-bunga itu. Mistletoe dilambangkan sebagai tanda cinta. Selain itu dipercaya mampu menetralisir racun mematikan. Sepertinya keberadaan mistletoe itu berasal dari Justin. Apa lagi kalau bukan efek kemampuannya sebagai pengendali pikiran.
Kedua mata kami kembali berpautan satu sama lain, masih dengan kedua tangannya yang menyentuh pipiku seolah ingin berbagi kehangatan. Suara-suara kembang api masih terdengar, dibarengi tepukan dan sorakan keras. Sampai aku mencoba memejamkan mata mendengarkan suara-suara di sekelilingku, merasakan udara dingin yang bersinergi dengan kehangatan tangan Justin, melalui panca inderaku.
Bibir kami saling bertautan. Pikiran serta bayangan di benak Justin terdengar lantang dan jelas di pikiranku. Aku menyukai setiap hal yang ada di pikirannya. Karena menurutku apapun yang dipikirkannya begitu indah. Dia memang lebih senang menyatakan rasa cintanya melalui bayangan-bayangan dan pikiran itu daripada ucapan di bibir. Menurutnya, sebuah ucapan bisa saja dianggap sebagai bualan. Maka dari itu, dia tak pernah mau mengungkapkan rasa cinta itu melalui ucapan, melainkan bayangan yang sering berkelebatan di kepalanya.
Rasanya seolah ada medan magnet yang kuat di antara kami sehingga waktu tak dapat meninggalkan jeda sedikit pun. Seperti dua kutub magnet yang berbeda, saling menarik kuat. Dan satu-satunya yang memisahkan kami hanyalah satu suara ledakan keras bertubi-tubi. Kepalaku tersentak kaget melihat kembang api yang tadinya mencelos dengan indahnya mendadak berubah mengerikan. Suara pekik ketakutan menguar di sekelilingku. Justin bisa merasakan adanya ketidakberesan yang terjadi saat itu sehingga menarikku untuk menjauh dari sana.
Baru beberapa langkah, sebuah ledakan bola api yang dilempar terhantam keras menuju ke arah pohon maple yang kami lewati. Pegangan tangan kami terlepas begitu bola api selanjutnya dilempar ke arah kami. Aku bergulung-gulung demi menghindari ledakan itu, melihat Justin yang merunduk tak melepaskan tatapan tajamnya pada sebuah arah.
Liam. Aku melihat Liam yang bermain-main dengan api di tangannya melalui koneksi kembang api di dekatnya. Exterminators adalah penyihir yang memanfaatkan energi lain untuk kekuatan mereka. Dan saat ini dia memanfaatkan energi yang terkandung di dalam kembang api yang meledak tadi.
Tiga kawannya yang lain membumi hanguskan lapangan ini sampai tak bersisa. Orang-orang berlarian tunggang langgang mencari pertolongan. Sudut mataku bergerak melihat ke sebuah arah. Sesosok gadis kecil tampak berdiri sambil menangis mencari keberadaan ibunya di dekat kobaran api buatan para destroyers itu. Aku berlari kencang untuk menyelamatkan gadis kecil itu.
“Axeline jangan!” teriak Justin.
Kuabaikan teguran itu, makin mempercepat langkahku sambil sesekali merunduk menghindari ledakan. Sial, aku saja belum pernah menguji kemampuan sihirku. Bagaimana bisa aku menangani serangan ini?! Aku memang payah.
Pandangan Liam tertumbuk padaku. Sudut bibirnya terangkat ke atas seperti seringai mengejek. Diraihnya kobaran api terdekatnya untuk membuat bola api yang lebih besar. Kusambar tubuh gadis kecil itu sambil menggelindingkan tubuh jauh, mendengar suara ledakan lebih keras dan hantaman pada tubuhku. Aku mengerang pelan menyadari bahwa aku berhasil lolos dari bola api itu, namun tubuhku terhantam batu besar.
Dari tempat ini kulihat Justin menghadapi empat anak laki-laki itu seorang diri. Aku berseru memanggil namanya agar tidak bertindak gegabah. Akan tetapi, teguran macam apapun tak didengarkan olehnya. Kobaran api di dekatnya bergerak seperti mengikuti perintahnya. Salah satu di antara mereka, yang berambut keriting menatapku sinis. Dia berjalan mendekatiku, meninggalkan tiga destroyers lain yang berseteru dengan Justin.
“Lari!” seruku pada gadis kecil yang kuselamatkan tadi. Mengindahkan perintahku, gadis itu berlari ketakutan menuju hutan kecil yang menghubungkannya dengan jalan raya.
Aku melompat menghindari satu bola api yang menyala dari telapak tangan anak laki-laki itu. Kalau ingatanku tidak salah, dia yang bernama Henry. Gesekan daun-daun berjatuhan serta debuman dahan pohon jatuh menghambat langkahku. Aku terjebak oleh sebatang pohon tumbang. Di belakangku sudah berdiri Henry dengan matanya yang berkilatan seperti lidah api, menyunggingkan senyum miring.
Kini tidak hanya bola api sebagai senjata andalannya. Disulutnya api berkobaran pada tanah berumput di depanku, melelehkan tumpukan salju tipis seperti wilayah lainnya.
Aku tak pernah mencoba-coba menggunakan kemampuanku. Tapi kali ini tak ada salahnya mencoba. Aku menggerakkan dedaunan kering serta patahan ranting pohon dan mengumpulkannya menjadi satu pusaran, berputar-putar seperti tornado kecil, kemudian menghempaskannya pada Henry sampai kudengar suara mengaduh darinya.
Perhatianku teralihkan ketika mendengar suara erangan tertahan jauh di tempat Justin dan destroyers lainnya berduel. Dia menunduk, seperti menahan sakit. Baru beberapa detik aku melangkah, aku merasakan ada hawa panas yang menyergap tubuhku. Seketika itu pula aku berhenti untuk melihat apa yang terjadi padaku. Henry berhasil membakar mantelku. Tawa mengejek keluar dari mulutnya melihat kobaran api itu.
Secara impulsif, kulepas mantel itu, membuangnya jauh sebelum membakar pakaianku yang lain. Ingin rasanya aku menghampiri Justin dan membantunya berdiri, namun mendadak leherku dicengkeram kuat oleh Henry. Dia mencekikku, menaikkan tubuhku sampai ke atas, sedangkan aku berusaha keras mengatur napas. Terdengar suara debuman kasar bersamaan dengan desah lega dariku. Henry terjungkal menabrak pohon, membuatnya mengerang kesakitan. Di sampingku, Zach berlari pelan menghampiri. Kuedarkan pandangan tepat ke arah Justin lagi. Mataku membeliak melihat kedatangan Caleste, Cody, serta Austin. Justin berdiri tertatih sambil sesekali menggelengkan kepala seolah berusaha mendapatkan kesadarannya.
Di depanku saat ini terjadi duel maut antara destroyers dan fighters. Bodohnya, aku tak bisa membantu apa-apa selain berdiri dan mengatupkan bibirku menggunakan telapak tangan.
“Jangan dipaksa,” kata Zach di sebelahku. Herannya aku baru sadar, dia tidak bergabung bersama kawannya, justru membantuku.
Di tempat Henry menabrak pohon tadi, kulihat dia beringsut berdiri, lantas menghilang di balik api yang menutupi tubuhnya. Sama seperti yang dilakukan oleh ke tiga destroyers lainnya. Mereka menghilang terbungkus oleh sulutan api, seakan tubuh mereka ditelan oleh kobaran api itu sebelum akhirnya menghilang tak bersisa.
Aku berlari menghampiri Justin dan yang lain. Dalam benakku berbagai pertanyaan berhamburan. Seperti, bagaimana bisa Zach datang membantu? Atau dari mana yang lain tahu ada kekacauan di sini?
“Kau tidak apa?” tanya Justin melebihi rasa panikku sambil menyentuh pipiku. Ditiliknya seluruh tubuhku, mencari-cari luka.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kau baru saja jatuh tersungkur,” pekikku.
“Tenanglah, aku baik-baik saja.”
Pandangan mata Justin tampak tak bersahabat ketika melihat Zach berdiri di sisi kananku. Ditariknya aku ke dalam dekapannya, seolah tak mau berbagi jarak dengan Zach.
“Berterima kasihlah padanya,” ujar Cody seraya menunjuk Zach dengan dagunya. “Dia yang memberitahu kami kalau Liam berniat menyerang kalian di sini.”
“Bagaimana bisa Liam tahu aku mengajak Axel kemari?” suara Justin meninggi, tiga oktaf. “Terkecuali ada yang membocorkannya, dan itu pasti kau!” Jari telunjuknya teracung di depan muka Zach.
Caleste menggeleng-gelengkan kepala seolah tak sependapat dengan tuduhan Justin yang dilempar baru saja. Sepertinya aku juga tidak setuju dengan tuduhan itu.
“Mana mungkin aku melakukan itu,” balas Zach datar. “Jika aku berniat memberitahu rencanamu pergi bersama Axel kemari, secara teknis aku tidak akan memberitahu Caleste, Cody, serta Austin bahwa Liam datang kemari. Bodoh.”
Alis Justin tertatut tidak suka. Hampir saja dia menerjang Zach andai aku tak menghambur dan berdiri menengahi.
“Stop,” tegurku. “Kendalikan emosimu, Justin. Kita dengarkan saja penjelasan Zach.”
Bahu Justin merileks usai kuraih telapak tangannya. Masih dengan tampang semula, Zach berdehem pelan bersiap menjelaskan.
“Aku tidak tahu siapa yang memberitahu Liam kau mengajak Axel kemari. Saat itu dia datang, memerintahkan kami untuk pergi ke festival ini. Dia pikir waktunya sangat tepat. Ada kembang api yang besar dan banyak, otomatis energi yang akan diserap oleh kekuatan mereka pasti besar.” Zach mengambil napas sejenak. “Sudah lama aku memutuskan untuk pergi, jadi kuberitahu Cody mengenai hal ini. Dan dia mengabarkannya pada yang lain.”
Aku mengernyitkan dahi menyadari satu hal. “Kau berkhianat?”
Bukannya menampilkan ekspresi bersalah, Zach mencebikkan bibir seraya menaikkan kedua alisnya. “Sepertinya.”
Kami saling berdiaman satu sama lain. Justin menggenggam telapak tanganku erat, dan pikirannya terbaca jelas di kepalaku. Dalam benaknya kini dia bertanya-tanya siapakah yang melaporkan pada Liam rencana perginya bersamaku malam ini. Dan seperti sebuah lotre yang menampilkan hasilnya, satu nama terdengar jelas dari pikirannya.
Dia menyebut nama Jazmyn dengan nada berang.
Justin’s POV
Siapa lagi kalau bukan Jazmyn yang memberitahu Liam. Dari tadi yang ada di rumah hanyalah dia. Bahkan sempat dia bertanya padaku ke mana aku akan pergi. Aku akan memberinya hukuman telah bertindak nekad seperti itu. Bersekutu dengan musuh, membahayakan aku dan Axeline, sungguh biadab.
Sebelum kuberi dia sedikit peringatan, aku harus menghadapi kemarahan Lord Robbespierre dulu. Bukan hanya aku, fighters lainnya berdiri bersebelahan memandang punggung pria angkuh itu. Tentu saja Zach tidak terlibat di sini. Bisa-bisa dia dibunuh oleh Lord Robbespierre detik itu juga.
“Kelancanganmu sudah tak dapat ditolerir lagi, Justin,” tukas pria angkuh itu dengan nada arogansi.
Sudut mataku memicing menatapnya. Apalagi saat dia membalikkan badan menghadapku. Axeline sedikit melirik diimbangi ekspresi khawatirnya.
“Aku bisa saja menghukummu berat. Tapi mengingat kerja bagusmu melawan destroyers itu, kucabut hukumanmu,” lanjut Lord Robbespierre penuh penekanan. “Dan satu hal lagi, jauhi putriku. Tidak ada ikatan apapun kecuali persahabatan.”
“Tidak bisa begitu,” celetuk Axeline tiba-tiba, membuat Lord Robbespierre mengalihkan perhatiannya. Dia berjalan pelan menghampiri putri kesayangannya itu. Bodoh sekali, bagaimana kalau Axeline ikut mendapat hukuman.
Jari-jariku bergerak menyentuh jari-jari Axeline, memberitahunya untuk tidak bertindak bodoh. Namun dia justru menjauhkan tangannya dari sentuhanku seolah memutus kontak.
“Apa yang kaukatakan, My dear?” tanya Lord Robbespierre pelan.
“Dad tak bisa melakukan itu.” Bisa kulihat gerakan samar seperti tubuh yang gemetar. Tampaknya dia menahan rasa takutnya menentang ayahnya sendiri. “Dad tidak bisa menjauhkan dua orang yang tengah jatuh cinta.”
Bukan hanya aku ternyata. Caleste, Cody, dan Austin menampilkan tatapan memperingatkan. Namun Axeline tetap keras kepala tidak ingin menanggapi peringatan yang diberikan padanya.
Rahang Lord Robbespierre mengeras. Tatapan setajam belati dilayangkan hanya untuk Axeline seorang. Tanpa mengalihkan tatapan itu, dia memberi kode pada kami. “Kalian kupersilakan pergi. Kalau tidak mau mendapat hukuman.”
Tidak. Tidak bisa begitu saja. Mana mungkin kutinggalkan Axeline dengan tatapan tajam yang tidak dilepas Lord Robbespierre. Austin sudah menarik tanganku untuk pergi, tapi aku mengangkat tanganku jauh-jauh darinya, masih tidak bergeming di tempatku. Caleste dan Cody mendahului, sambil sesekali menoleh ke arahku.
“Pergilah, Justin.” Bahkan saat mengusirku, dia masih belum menghilangkan tatapan tajamnya untuk Axeline. “Pergi atau aku akan melakukan sesuatu yang buruk.”
Lagi-lagi Austin menarik tanganku menjauh. Dengan langkah berat, aku menghindar dari hadapan Lord Robbespierre. Pandanganku masih tertumbuk pada Axeline, memastikan gadis itu baik-baik saja. Dia sempat memandangku, penuh kepedihan, serta ketakutan. Sampai akhirnya dua daun pintu besar yang kulewati menutup kencang. Sontak sosok Axeline di depanku menghilang di balik daun pintu ini. Aku sudah merasakan alarm bahaya, hukuman yang bisa saja dijatuhkan Lord Robbespierre untuknya.
Di depan perapian, Jazmyn menatap lurus ke depan. Secangkir teh hangat berada di genggamannya. Meskipun aku tahu dia menyadari keberadaanku, tapi dia tidak memedulikan keberadaanku. Teringat kembali emosi yang tersulut dalam diriku. Hingga amarah itu menguasaiku, membuatku sangat lepas kontrol. Kuhentakkan kakiku mendekatinya, lantas menarik lengannya kasar sampai membuat cangkir dalam genggamannya jatuh dan pecah, menumpahkan cairan kecoklatan membasahi lantai marmer.
“Apa yang kaulakukan?” pekiknya berontak dari genggamanku.
Aku menyeretnya lebih dekat hingga bisa kulihat dua manik matanya terpaku padaku. Sungguh, aku tidak sanggup bersikap kasar pada adikku ini, tapi dia sangat keterlaluan.
“Kau jauh lebih biadab daripada Lord Goldsher dan Lord Robbespierre jadi satu,” aku mengutuknya penuh emosi.
“Setan apa yang merasukimu, Justin?”
“Kenapa kau memberitahu Liam kalau aku pergi ke festival bersama Axeline, huh?” Nadaku naik tiga oktaf. “Kau hampir membunuh kami!”
“Semua hal yang berkaitan dengan perempuan setan itu tidak ada urusannya denganku!” Jazmyn balas berteriak, semakin membuatku berang. “Gara-gara dia, kau kehilangan akal sehatmu!”
Plak!
Satu tamparan panas melayang begitu saja dari tanganku sampai membuat Jazmyn terjatuh di atas sofa. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajahnya. Bahuku bergetar, antara menahan emosi sekaligus merasa bersalah. Dia menengadah memandangku penuh kemuakan. Baru kusadari sudut bibirnya mengeluarkan darah segar akibat tamparan itu. Astaga, apa yang baru saja kulakukan padanya?!
“Kau bahkan tega menamparku?” desahnya. Matanya berkaca-kaca, sedang bibirnya bergetar hebat. Ada percampuran emosi dalam dirinya, seperti amarah, kekecewaan, dan kesedihan. Aku berniat untuk meminta maaf, tapi bayangan penyerangan Liam dan cerita Zach menamparku. Maka, aku hanya berdiri tak bergeming. Sampai akhirnya Jazmyn beranjak dari sofa dengan isak tangisnya, berlari menghambur meninggalkanku.