Bab 8

1042 Kata
"Hoaaamm." Aku bangun dari tidurku. Pagi ini aku merasa lebih baik. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu dihantui bayangan ketakutan. Bahkan bayangan Bapak pun kerap datang ke mimpiku. Beliau hanya melihatku dengan tatapan kosong.   "Jam delapan," gumamku melihat jam dinding. Kemarin setelah makan siang, Alexa menawariku untuk tinggal di apartemennya, jelas aku tolak. Tidak enak dilihat jika wanita dan lelaki berada dalam satu ruangan. Walaupun Alexa memaksa, aku menolaknya dengan halus. Lalu dia memberiku beberapa lembar uang kertas merah dan sebuah hp. Agar dia mudah menghubungiku.   Selain cantik, Alexa juga sangat baik. Tidak heran Angga teman kantorku di Jakarta langsung menyukainya. Kini aku tinggal di sebuah kontrakan kecil di Bandung untuk sementara waktu sampai aku menemukan sang pelaku.   Sesuai rencana, hari ini kami akan kembali ke panti. Bukan mencari Bunda, tapi mencari wanita muda yang berteriak dan menuduhku di malam tragedi itu. Mudah-mudahan aku dapat bukti baru.   Hendak aku menelpon Alexa tapi ternyata dia menghubungi ku duluan.   "Halo Rama, maaf hari ini aku tidak bisa menemanimu. Ada meeting mendadak yang tidak bisa aku tinggalkan." ucap wanita itu di seberang telepon.   "Oh, ga papa Lex. Aku mengerti." Memang seharusnya aku tidak terlalu memaksa nya untuk selalu menemaniku. Aku sadar diri, Alexa wanita karier, dia pasti selalu sibuk. Apalagi sekarang ini semua pekerjaan ku dia yang menghandle semuanya. Maaf Alexa, aku selalu merepotkanmu.  "Sorry ya Rama, bukannya aku tidak mau. Tapi meeting ini sangat penting," jelas Alexa.   "Gak papa Lex, aku bisa sendiri kok. Its ok. Aku yang harusnya minta maaf sudah sering meminta bantuanmu," ucap ku merasa tidak enak. "Santai aja Rama, aku melakukannya karena kemauanku sendiri kok. Ya sudah, aku harap kamu mendapatkan info atau bukti baru hari ini. Dan hubungi aku jika ada kabar baru." Ya, aku bisa melakukannya tanpa Alexa.   "Fighting!" Alexa memberi ku semangat sebelum menutup teleponnya. Aku tersenyum mendengarnya dan benar itu seperti kekuatan untukku. Terima kasih Alexa, gumamku.   Aku segera bersiap-siap, memilih menaiki angkot dari pada taxi. Untuk menghemat uang yang diberi oleh Alexa. Perjalanan yang lumayan lama karena kemacetan lalu lintas. Orang-orang yang berangkat sekolah, kuliah, bahkan pekerja kantoran. Mereka sibuk dengan tugasnya hari ini masing-masing, sedangkan aku? Aku hanyalah seorang pengangguran.   Sampailah aku berhenti di depan gerbang, kumasuki panti berjalan lurus ke depan tanpa memperhatikan sekitar yang terus melihatku seperti mengawasi dan lihat tatapan yang mereka berikan. Seperti membenciku dan ingin menelanku hidup-hidup. Tapi aku tidak memperdulikannya. Kulirik sebentar diantara mereka, ku edarkan pandanganku. Bunda tidak disana.   Aku masuk ke panti terus melangkah mencari wanita yang berteriak dimalam tragedi itu. Sampai ku di ujung lorong, itu adalah dapur. Benar, dia ada di dapur sedang berkutat dengan pekerjaannya mencuci piring.   Melihat situasi merasa tidak ada orang yang memperhatikanku. Aku langsung mendekatinya dan membekap mulutnya. Dia terkaget dengan mata melotot dan tubuhnya meronta. Cepat ku dekatkan telunjuk menyentuh bibirku mengisyaratkan wanita itu untuk diam ataupun berteriak lagi.   "Kalau kamu tidak berteriak, aku akan melepaskan tanganku dari mulutmu." bisiku pelan yang hanya didengar oleh nya. Wanita itu mengangguk.   Kulepaskan tanganku, dengan segera dia menjauhkan tubuhnya.   "Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu." Kini aku duduk di kursi meja makan dengan santainya.   "Apa yang kamu inginkan?" Wanita itu bertanya dengan setengah takut.   "Aku hanya ingin meminta penjelasan darimu."  "Apa?" potong wanita itu.   "Dengarkanlah dulu. Dimalam itu kau berteriak menuduhku membunuh bapak. Apa kamu benar-benar melihat aku melakukannya?" tanyaku pada nya yang sepertinya sedang berfikir.   "Tapi aku melihatmu ada di ruangan bapak." wanita itu kini menatapku.   "Berada di ruangan bapak bukan berarti aku pelaku nya." Aku sedikit berteriak padanya.   "Aku tahu, kamu tidak benar-benar menuduhku melakukannya kan? Katakan padaku apa saja yang kamu ketahui? Apa dimalam itu ada orang lain sebelum aku datang?"   "Aku--"  "Kumohon kerjasama lah denganku. Aku ingin menangkap pelaku yang sesungguhnya," pinta ku  meyakinkannya.  "Aku tidak melihat ada orang lain lagi selain kamu. Tapi--" dia menggntungkan kalimatnya. "Tapi aku melihat ada seorang pria yang masuk, aku tidak melihat siapa itu. Yang kulihat hanya punggungnya saja. Aku kira itu kamu, tapi setelah aku melihatmu dari belakang ternyat bentuk punggungnya beda. Bentuk punggung pria itu sedikit besar dan lebar. Dan pria itu memakai baju hitam. Sedangkan kamu memakai baju kantor kan?"   Satu bukti baru sudah di dapat.   "Kamu yakin?" tanyaku. Dia mengangguk. "Baiklah, siapa nama mu?"   "Novi," ucap wanita itu.   "Baiklah Novi, kalau ada kabar baru tentang kasus ini beritahu aku." Kuberikan nomor teleponku padanya. Dia menuliskannya pada secarik kertas yang berada di dapur. "Dan bilang sama Bunda, kalau aku kesini. Ceritakan semua tentang obrolan kita pada Bunda," ucapku.   Aku yang hendak akan keluar dari dapur tiba-tiba melihat bunda dan beberapa polisi masuk ke ruangan bapak.   "Bunda sama polisi?" gumamku.  Berusaha tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku mendekat ingin tahu. Ku dekatkan telinga ku menempel di pintu, walaupun terdengar sedikit pelan namun percakapan nya terdengar jelas. Lama ku mendengar percakapannya tiba-tiba--  Tuut... Tuut...  "Pak Rama, ponselmu berdering," ucap pelayan kafe itu.  "Sebentar," Aku mengeluarkan ponselku di saku depan jas kantor. Kulihat nama yang tertera pada layar kantor. Lalu ku angkat.  "Halo!"   "Jadwal meeting dengan perusahaan dari Jepang ingin di majukan besok," ucap seseorang di balik telepon.  "Batalkan!" ucapku tegas.   "Tapi pak ini sangat penting."  "Kalau gitu batalkan juga kontraknya. Aku tidak suka orang yang tidak mematuhi aturan. Aku bisa mencari nya lagi."  "Besok bos ada rencana apa?"  "Besok aku ingin libur dulu." ku tutup telepon tanpa menunggu jawab di sebrang telepon. Pandanganku beralih pada gadis itu yang masih diam. Aku melihat pelayan lain yang lewat dan melambaikan tangannya menyuruh mendekat.  "Tolong pesankan minuman untuknya." aku menunjul gadis itu.  "Tidak pak terima kasih."  "Apa kamu tidak haus?" tanyaku, dia mengangguk. "Ya sudah aku pesankan ya. Lagian cerita ku masih lama. Apa kamu mau mendengarkan dengan tenggorokanmu yang kering?" dia menggeleng membuat ku terkekeh melihatnya. Lucu.   Tidak lama pesanan datang. Aku menyuruh untuk meminumnya. Dia menurut, menghabiskan hampir setengahnya. Dia memang haus.  "Oh, sampai dimana tadi aku bercerita?" sial! Gara-gara ponsel bunyi, cerita ku jadi terganggu. Ku mode pesawatkan ponselku agar tidak ada yang mengganggu lagi.  "Bapak cerita ketika sedang mendengar percakapan polisi dan Bunda dibalik pintu," ucap Ayu si gadis pelayan kafe.  "Ingatanmu bagus juga." Aku terkekeh geli melihat diriku yang pelupa. "Maaf ,karena sibuk dengan pekerjaan, akhir-akhir ini aku sering lupaan." ucapku asal.  "Baiklah kita lanjutkan!"  ------------------------------- Percakapan terakhir membuatku membulatkan mata tidak percaya apa yang aku dengar ini.   "Kami sudah melakukan autopsi pada jenazah pak Ganda, dan kami menemukan sidik jari."  Sidik jari? Siapa? Apa pria yang dibilang Novi?  "Sidik jari itu milik seorang perempuan." 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN