Adel duduk di meja belajar. Matanya menatap buku pelajaran matematika SMP di atas meja. Buku itu bukan miliknya. Adel membuka halaman kedua buku itu dan melihat nama Adira Prasaja yang tertulis di sana. Ingatannya pun melayang kembali pada masa-masa itu. Semasa dia masih SMP.
Ketika itu Adel sedang duduk di taman sembari mengamati buku cetak matematikanya yang sudah tidak berbentuk. Buku itu basah karena dilemparkan ke dalam kolam oleh salah seorang teman sekelasnya. Air mata Adel merebak, namun sekuat tenaga dia berusaha menahannya. Dia tidak boleh sedih dan menangis hanya karena kejadian sepele seperti ini.
“Adel.” Sebuah suara memanggil namanya. Adel mendapati Dira menghampirinya. Cowok itu tampak terkejut saat melihat kondisi buku cetak matematika milik Adel. “Astaga bukumu kenapa?” tanya Dira.
“Tidak sengaja jatuh ke kolam,” dusta Adel sembari tertawa kecil.
“Gawat sekali. Pak Dodik pasti marah besar kalau kamu nggak bawa buku cetak,” kata Dira prihatin. Guru matematika mereka memang terkenal galak. Beliau tak akan memberi toleransi pada anak yang lupa membawa buku cetak.
Dira mengeluarkan buku dari dalam tasnya lalu menyerahkannya pada Adel. “Ini bawa saja dulu bukuku. Nanti pelajaran matematikaku masih jam terakhir,” kata Dira.
Senyum mengembang di bibir Adel. Dia menerima buku itu dengan senang hati. “Terima kasih. Maaf merepotkan.”
“Ah, nggak masalah. Nanti kembalikan ke kelasku saat istirahat ya.”
Dira lalu melangkah pergi. Hati Adel berdetak dua kali lebih keras melihat punggung Dira itu. Adel bangkit kemudian memanggil cowok itu. “Dira!”
Dira menoleh dan menunggu Adel melanjutkan kalimatnya. Seketika jantung Adel berdetak lebih cepat lagi. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
“Ada apa?” tanya Dira.
Adel meremas roknya lalu berbicara dengan gugup. “A-aku.... aku menyukaimu.”
Mata Dira melebar. Dia menatap Adel dengan terpana, tak menyangka akan mendapatkan pernyataan cinta yang mendadak seperti itu.”Aku─”
“Jangan dijawab!” potong Adel sebelum Dira menyelesaikan kalimatnya.”Aku hanya ingin kamu tahu saja. Kamu nggak perlu menjawabnya. Su-sudah ya. Sampai nanti.”
Adel berlari tunggang langgang menuju kelasnya dengan raut merah padam. Akhirnya dia telah mengatakannya. Dia mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada Dira.
Saat istirahat siang, Adel hendak mengembalikan buku Dira ke kelas cowok itu. Rasa malu dan gugup seketika menyelimutinya. Adel bingung harus bersikap bagaimana di depan Dira nanti. Dengan gelisah, Adel berdiri di depan kelas Dira. Dia mengintip ke dalam kelas. Dira tengah duduk di bangkunya. Beberapa anak laki-laki mengerumuninya dan mengajaknya mengobrol.
“Dir, katanya si gendut itu nembak kamu ya tadi pagi?” tanya salah seorang cowok teman sekelas Dira.
“Yang benar? Nggak tahu diri banget dia nembak Dira segala,” komentar teman sekelas Dira yang lain.
“Gara-gara kamu terlalu baik, dia jadi salah paham tuh!” celoteh teman lainnya. Mereka kemudian tertawa. Dira tak berkomentar. Dia sibuk memerhatikan ponselnya.
“Dir, kamu kok diem aja sih?”
Dira meletakkan ponselnya lalu menatap tajam teman-temannya. “Kalian berisik! Aku nggak peduli sama dia!”
Dira memasukan ponselnya ke dalam satu lalu memanggul tasnya. Setengah berlari dia keluar dari kelas. Di depan pintu, mata Dira bertumbuk dengan mata Adel. Dira tak menyangka gadis itu berdiri di sana dan mendengarkan semua percakapannya. Namun, Dira tak menghentikan langkahnya. Dia malah mempercepat larinya seolah tak pernah terjadi apa-apa.
***
Dira membaringkan diri atas sleeping bag. Dia lelah sekali. Energinya terkuras habis setelah membantu anak-anak SMA Nusantara tawuran dengan anak SMA Persada. Dua kubu itu memang tak pernah akur sejak dua puluh lima tahun silam. Permusuhan di antara mereka telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Hari ini hasilnya tak mengecewakan. Dira tersenyum puas setelah berhasil merontokan satu gigi Yogi, Jenderal SMA Persada. Punggawa SMA tetangga itu pun segera membawa anak buahnya kabur.
“Lo benar-benar hebat, Di,” puji Dio. Sahabat Dira itu turut berbaring di tikar di samping Dira. “Seandainya lo masuk Nusantara pangkat lo langsung letnan.” Dio melebih-lebihkan.
“Ngacoh aja lo. Gue kan masih kelas satu.” Dira merendah.
SMA Nusantara memiliki organisasi tawuran yang cukup terstruktur. Mereka menyebut diri mereka sebagai “Pelindung Sekolah.” Mereka memiliki urutan pangkat berdasarkan tingkat kekuatan yang diadopsi dari struktur TNI, dari prajurit dua sampai jendral. Tingkatannya pun sama, tamtama untuk anak kelas X, Bintara untuk anak kelas XI dan Perwira untuk anak kelas XII. Dio sendiri sekarang berpangkat pembantu letnan satu.
“Serius deh. Gue yakin anak kelas dua juga nggak ada yang bisa ngalahin lo!” terang Dio.
Dira tertawa kering. Sebenarnya dirinya tidaklah sekuat itu. Ada satu orang yang tak pernah bisa dikalahkannya sejak kecil. Namun, Dira merasa tak perlu menceritakan orang tersebut pada Dio.
Sorot cahaya lampu sebuah mobil yang tiba-tiba muncul membuat mata Dira silau. Dira bangkit lalu mengintip ke balik jendela. Sebuah mobil mewah berhenti di depan markasnya. Dira mengenali mobil itu sebagai mobil ayahnya.
Dira mendesis. “Ngapain dia datang lagi?”
Dira hendak membaringkan dirinya kembali ke sleeping bag, tetapi Dio mencekal pundaknya. Cowok itu menatap Dira dengan nanar. “Temui dulu,” kata Dio sambil melirik jendela.
Dira mendengus. Terpaksa dia bangkit lalu keluar dari menghampiri mobil itu. Ayahnya berdiri di sana dengan senyuman manis yang memuakkan. Jika Dira tidak dapat menahan emosinya, bisa jadi dia sudah memperlakukan pria munafik itu seperti Yogi tadi siang.
“Mau apa ke sini?” tanya Dira.
Pak Aris menatap Dira dengan sendu. Dira bahkan tak berkomentar mengenai rambutnya yang kini sewarna dengan rambut Dira. “Aku ingin melihat keadaan putraku,” kata Pak Aris sembari tersenyum.
Dira mencibir. Dia muak dengan segala ucapan manis pria ini. Kali ini dia tak akan tertipu lagi. Jangan harap!
“Dira... sampai kapan kamu mau tinggal di sini?” tanya Pak Aris.
“Mau bagaimana lagi. Aku sudah tidak punya rumah,” jawab Dira sambil membuat muka. Dia enggan menyaksikan senyuman palsu pria itu.
Pak Aris merogoh sakunya lalu menunjukkan sebuah kunci serta kartu kredit pada Dira. “Kalau kamu tak mau pulang setidaknya pindahlah ke tempat yang lebih nyaman.”
Dira tetap membuang muka. Dengan tak acuh dia mengawasi aliran air di Sungai Ciliwung yang berada tepat di samping markasnya.
“Dira... Ayah tahu Ayah ini orang yang tak berguna. Karena itulah, kamu harus membuktikan bahwa kamu bisa menjadi orang yang lebih baik dari Ayah.”
Dira tertawa sinis dalam hati. Ayahnya benar-benar aktor nomer satu! Dia sangat pandai berakting menjadi korban sehingga semua orang akan berbalik mengasihaninya. Dira selalu tampak sebagai pihak yang salah jika berhadapan dengan ayahnya.
Dira masih bergeming sehingga Pak Aris kembali berkata, “Ayah tahu kamu marah, tapi kamu harus ijinkan Ayah memenuhi kewajiban Ayah. Terimalah.”
Dira mengambil kartu dan kunci tersebut dari tangan ayahnya. Dia mematahkan kartu tersebut hingga menjadi dua bagian lalu melemparkannya bersama kunci pemberian ayahnya ke Sungai Ciliwung. Tanpa berkata apa-apa lagi Dira membalikkan badan lalu melangkah pergi.
Hati Pak Aris serasa diiris sembilu. Pria itu hanya menunduk sambil bergumam, “Ayah akan datang lagi.” Pria itu lalu memasuki mobil yang membawaya pergi.
Dira terduduk di pintu masuk gedung. Dia enggan menemui Dio dalam keadaan memalukan seperti ini. Kemunculan ayahnya membuat luka yang basah itu serasa ditaburi garam. Dira tergugu dalam kegelapan.
***