Nino berjongkok di depan ibunya di ruang tengah. Mereka tengah bermain dokter-dokteran. Ibu Nino berbaring di atas sofa sementara Nino berlutut di sampingnya. Nino mengawasi perut ibunya sudah membuncit. Hanya tinggal menghitung hari menuju persalinan.
Nino mengambil sebotol gel lalu mengoleskannya pada perut sang ibu. Dia lalu meletakkan doppler[1] pada perut ibunya. Dia sering mengantarkan ibunya kontrol. Karena itu, dia cukup ahli meniru aksi dokter kandungan dalam memeriksa calon adiknya.
Bunyi denyut jantung bayi amat keras menggema dari dalam doppler. Bu Irma tersenyum mendengarkan irama kehidupan buah hatinya. Dia memandangi putranya yang tampak serius memantau layar doppler. “Denyutnya 140 kali permenit. Normal,” seru Nino.
Bu Irma tertawa kecil. “Tahu dari mana kamu?”
“Aku baca buku Tante Lia. Denyut jantung normal itu antara 120 sampai 160 kali permenit.” Nino tertegun saat tanpa sadar mengucap nama Tante Lia. Dia memandangi ibunya. Mata wanita itu tampak berkaca-kaca. Nino seketika merasa bersalah. “Ibu...”
Bu Irma mengubah posisinya menjadi duduk lalu mematikan doppler. Perempuan itu menghela napas. Bu Irma tersenyum, namun beberapa tetes air yang tak dapat dibendungnya lolos dan membasahi pipinya. “Ibu merasa tak pantas hidup di sini. Kita telah merenggut kebahagiaan Dira dan Bu Lia dari rumah ini.”
“Jangan pikirkan yang macam-macam, Bu. Psikologi Ibu juga berpengaruh bagi perkembangan janin,” tutur Nino cemas. Dia lalu mengelus-elus perut ibunya. “Aku ingin adikku lahir dengan sehat kali ini.” Nino mengingat bahwa tahun lalu ibunya berakhir dengan keguguran, dia tak ingin hal itu terulang kembali.
Bu Irma menatap Nino lekat-lekat. “Kamu harus membawa Dira kembali ke rumah ini, Nino. Harus!”
Nino terdiam. Dia tak tahu bagaimana cara membuat Dira mau kembali. Segala cara telah dilakukannya, tapi belum ada yang membuahkan hasil. Dira begitu keras hatinya. Nino justru teringat pada kalimat yang diucapkan Dira tadi padanya.
“Kamu sebenarnya senang, kan? Kamu senang, kan melihat semua ini!” bentak Dira dengan tatapan tajam bak pedang yang menghunus tepat di jantung Nino. “Dia ayahmu sekarang! Ambil saja dia!”
“Nino.” Panggilan ibunya membuat Nino tersadar. Dia menatap ibunya yang memandanginya dengan bingung. “Kok kamu malah melamun?” tegur Bu Irma.
“Maaf,” ujar Nino. “Ibu tenang saja. Aku pasti membawa Dira pulang.”
***
Nino berbaring di atas tempat tidurnya sejenak lalu mengubah posisinya menjadi duduk. Nino menggosok-gosok kepalanya yang terasa pusing. Dia lalu melangkah menghampiri tasnya dan mengeluarkan sebungkus rokok dari sana. Nino mengambil sebatang lalu menyalakannya.
Kepulan asap yang masuk ke dalam rongga parunya seketika membuatnya menjadi lebih tenang. Sebenarnya Nino enggan merokok di dalam rumah. Jika ibunya tahu, wanita itu pasti marah besar. Tapi hari ini pengecualian. Nino hanya hari ini dia ingin mencari sedikit ketenangan.
Dia melirik selembar foto usang di atas meja yang dibingkainya di samping fotonya bersama ibunya. Dalam foto itu ada dirinya dan Dira yang masih berseragam SD bersama Pak Aris. Mereka tersenyum manis pada kamera. Ingatan Nino melayang kembali pada hari itu.
Nino kecil duduk di bangku depan kelasnya. Hari ini adalah hari pengambilan rapot. Ibunya tidak bisa datang karena banyak pekerjaan. Nino menunduk memandangi celana merahnya yang kusut, mesipun pikirannya tidak berada pada seragam sekolahnya itu.
Nino sedih, seharusnya hari ini dia bangga di depan teman-temannya karena mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Tapi kenyataannya dia bahkan tak bisa mengabil rapornya karena ibunya berhalangan hadir. Seandainya saja Nino punya satu orang tua lagi. Seandainya saja Nino punya ayah.
Kenyataannya, bagi Nino ayahnya hanya selembar foto usang. Nino tak pernah mengenal ayahnya. Pria itu telah meninggal beberapa bulan sebelum Nino dilahirkan.
Nino memandang ke depan. Dia melihat Dira yang berjalan bergandengan tangan dengan ayahnya sambil bercanda. “Nilaimu bagus!” puji Pak Aris bangga sembari memandangi rapor putranya.
“Tapi aku hanya juara dua,” keluh Dira, “aku tidak bisa mengalahkan Nino.”
Pak Aris tersenyum lalu mengelus rambut Dira. “Kamu sudah berusaha, Dira. Asal kamu berusaha keras itu sudah cukup, meski hasilnya tidak sesuai harapan. Ayah bangga padamu.”
Dira tersenyum menunjukkan beberapa gigi susunya yang tanggal. d**a Nino seketika sesak melihat pemandangan itu. Entah mengapa tiba-tiba rasanya dia jadi ingin menangis. Dia iri. Meskipun dia sudah mendapatkan ranking pertama di kelas, tak ada yang memujinya seperti itu.
“Nino!” Nino terperanjat ketika namanya dipanggil. Dira dan ayahnya menghampiri Nino. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanya Dira.
Nino tersentak, tanpa disadarinya air matanya menetes. Dira dan Pak Aris sama-sama tercengang melihatnya. “Kenapa kamu menangis? Padahal kamu juara satu,” tegur Dira polos.
“Ibuku tidak bisa datang. Raporku belum diambil,” keluh Nino sembari menggosok-gosok matanya yang berair.
“Oh begitu. Tunggu sebentar ya, biar Paman ambilkan,” hibur Pak Aris.
Nino tertegun mendengar perkataan pria itu. “Ta-tapi...”
“Paman akan bertanggung jawab. Maaf ya Paman memberikan banyak pekerjaan untuk ibumu. Dia sampai tidak bisa mengambil rapormu,” kata Pak Aris sambil tersenyum. Nino ikut tersenyum seketika ketika hatinya berubah cerah.
“Kalian tunggu di sini ya.”
Pak Aris lalu memasuki ruang guru. Dia tampak mengobrol dengan Wali kelas Nino dan Dira. Wali kelas itu tampak mengerti lalu memberikan rapor milik Nino pada Pak Aris. Setelah berpamitan pada Wali Kelas, Pak Aris menghampiri Nino dan Dira.
“Nah, ini dia Nino!” Pak Aris menyerahkan rapor itu pada Nino. “Selamat ya kamu juara satu. Ibumu pasti sangat bangga padamu,” tambahnya sembari mengelus kepala Nino.
Nino tertegun. Sentuhan lembut Pak Aris pada kepalanya membuat dadanya menghangat. Nino memandangi rapornya dengan senang. Serasa ada kupu-kupu di dalam perutnya.”Terima kasih, Paman,” katanya lirih.
“Nah, ayo kita makan-makan untuk merayakan nilai kalian!” seru Pak Aris.
“Asyik!” Dira tersenyum girang.”Ayo Nino!” serunya.
“Aku boleh ikut?” tanya Nino. Bagaimana pun dia bukan keluarga mereka. Dia merasa tak enak hati jika menganggu kebersamaan ayah dan anak itu.
“Tentu saja!” Pak Aris tersenyum riang. Pria itu lalu menggandeng Nino dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menggandeng Dira.
Nino tepekur. Dia terus memandangi tangannya yang digandeng oleh Pak Aris. Genggaman tangan yang terasa hangat itu membuat hatinya berbunga-bunga. Apa begini rasanya memiliki seorang ayah?
“Aku mau Bakso Malang! Yang besarnya segini!” seru Dira sembari membentuk lingkaran menyerupai bola tenes.
“Oke. Nino mau apa?” tanya Pak Aris.
Nino tertegun. Senyumnya lalu mengembang. “Apa saja,” jawabnya. “Asal bersama kalian,” tambahnya dalam hati.
Bayangan masa lalu itu menguap menyisakan rasa sesak dalam d**a Nino. Dia masih memandangi foto usang yang diambil sepuluh tahun lalu itu. Dia lalu kembali teringat pada kata-kata Dira tadi siang di sekolah.
“Kamu sebenarnya senang, kan? Kamu senang, kan melihat semua ini!” bentak Dira dengan tatapan tajam bak pedang yang menghunus tepat di jantung Nino. “Dia ayahmu sekarang! Ambil saja dia!”
Tenggorokan Nino tercekat. Tanpa terasa air matanya menetes. Nino meletakkan putung rokoknya pada asbak lalu membenamkan wajahnya pada kedua tangannya. “Maaf Dira. Maaf,” erangnya.
Nino tak pernah punya maksud untuk merebut ayah Dira. Tapi dia juga tak bisa menampik rasa senang dalam dirinya saat pria itu akhirnya menjadi ayahnya. Hal itulah yang membuatnya sadar, bahwa dia telah menari di atas penderitaan Dira.
***
[1] Alat untuk memantau denyut jantung janin.