Si Bocah Rusuh

2088 Kata
Ia mengamati penampilannya di depan cermin. Tersenyum senang lalu terkekeh geli. Haaaah. Makasih Allah, gumamnya lalu terkekeh bahagia. Terima kasih Allah karena telah mengembalikannya pada-Mu. Semoga Engkau ridho akan jalan yang diambilnya dan istiqomah. Ingat kan, ketika ia mulai lalai. Ingat kan, bahwa hidup cuma sekali di dunia fana ini. Ingat kan, agar tak ada penyesalan di akhirat nanti. Karena ia tak mau salah masuk pintu nantinya. Ia tak mau jika neraka yang menjadi pilihan untuknya. Setelah merapikan khimarnya sekali lagi, ia tersenyum tipis. Lalu mengambil tasnya dan keluar dari kamar. "Widiiih, lo gak lagi kesurupan kan, kak?" Ia baru saja melangkah turun, tapi Anne sudah mencibir. Daddy dan mommy-nya kompak menoleh lalu terkekeh saat melihatnya mencebikan bibir. "Kakak lo mau tobat malah dikatain!" cibirnya sambil meletakan tasnya di atas sofa. Lalu berjalan menuju meja makan. Anne terkekeh. "Bercanda, masya Allah!" keluh gadis itu lalu menyongsong kakaknya dalam pelukan. "Ann seneng deh liat kak Aya pakek gamis sama khimar gini. Jadi cantik dan tambah cantik. Apalagi dimata Allah duuuuuh," malah ia yang bahagia. Bahkan air matanya tanpa sadar menetes. Aya terkekeh. Mengelus kepala gadis yang tersemat jilbab lalu menguraikan pelukannya. Justru terkadang ia merasa malu. Adiknya ini sudah lebih dulu menutup aurat dengan baik sementara ia dengan usia yang nyaris kepala tiga, baru menyempurnakan penampilan. Tapi tak apa, sebab setiap orang akan berbeda dalam menjalani takdir hidupnya bukan? Dan selama ia masih hidup di dunia dan diberi kesempatan bertobat, maka kenapa perlu ada penyesalan? Asal kan sebelum tubuh ini terkubur, kebenaran yang diyakini telah dijalankan. Ketaatan selalu setia mengiringi langkah menuju-Nya. Sara menghampirinya. Hal yang membuatnya terkekeh. Ia langsung menyambut mommy-nya yang ikut melebarkan tangan untuknya. Ingin memeluknya. "Selamat datang bidadari surgaaaa!" seru mommy-nya. Ia terkekeh apalagi saat daddy-nya ikut-ikutan memeluknya. Aih...pagi-pagi begini ia sudah dibuat haru. Namun rasa syukur itu kian mengalir dan terus mengalir pada-Mu. Allah...terima kasih telah menunjukku sebagai salah seorang pilihan-Mu yang berjalan dalam kebaikan. "Akhirnya anak daddy...." "Apaan?!" ia ketus. Tahu kalau daddy-nya berniat mem-bully namun lelaki paruh baya itu tak melanjutkan ucapannya. Kini malah menatapnya dengan hangat. Aaaah....ini lah kenapa ia tak benar-benar bisa marah pada lelaki paruh baya ini. "Kamu tahu, Ya? Dengan berjilbab begini, kamu sudah menyelamatkan daddy dari panasnya api neraka." Ia melebarkan senyum lalu kembali memeluk daddy-nya dengan haru. Membiarkan lelaki itu terkekeh. Sementara air matanya kian jatuh. Lantas hatinya tak berhenti bersyukur. Allah....terima kasih telah memeluknya dalam hangatnya cinta-Mu dan kasih sayang tak terhingga dari kedua orangtua. Kini doanya, semoga ia bisa istiqomah dan menjadi gadis soleha. Salah satu bidadari surga. Itu yang kini menjadi impiannya. Meski ia mungkin tak sempurna. Daad. Walau kau tak sempurna namun ia tahu bahwa cintamu begitu sempurna. Walau kadang ia membuatmu kecewa, namun sabarmu yang tiada batas itu semoga dibalas-Nya dengan surga. Sebab tak ada hadiah yang lebih indah lagi, selain surga untuk para orang tua. Dan tugasnya sebagai anak adalah menjaga mereka dari panasnya api neraka. @@@ "Yaaaah, maaf, Ra. Bukannya gak mau nemenin elo. Gue udah dibooking duluan sama suami. Hehehe. Mau pacaran," tuturnya yang membuat d**a Tiara agak nyeri. Iri? Ya pasti. Tapi ia selalu melapangkan hati. Ini hanya soal waktu kok, hiburnya. Akhir-akhir ini ia memang agak-agak iri melihat sesuatu yang berbau pasangan. Bahkan sepatu pun, ia begitu jengkel ketika menatapnya. Tapi yaaaa mau bagaimana lagi? Ketika Allah belum berkehendak untuk mempertemukan? "Ya udah deh. Hehehe. Titip salam sama Nabila dan suami lo ya, Ni," pesannya yang disambut seruan 'oke' oleh Arini sambil terkekeh-kekeh. Ia balas tersenyum lalu menutup telepon. Membuang jauh-jauh rasa iri yang muncul. Ia tak mau memelihara keburukan karena ia khawatir, ia akan mudah tersesat. Apapun yang terjadi jika itu keburukan, biar lah meskipun hatinya nyeri. Karena ia tahu, setiap kesakitan yang dirasa pasti akan diganti. Ia menghela nafas panjang. "Yah! Gagal deh acara nonton gue," keluhnya lalu terduduk dengan lesu di sofa. "Minta temenin siapa ya?" ia berpikir keras. "Ann?" ia bertanya pada dirinya sendiri namun dengan cepat menggeleng. Adiknya yang satu itu kan gak hobi nonton film. Mau dibilang kuper, kudet dan sebagainya pun, Anne gak peduli. Kalau ia memaksa, kalimat pedasnya Anne bisa menusuk hati tuh. "Giliran film aja dikejar-kejar, diburu-buruin takut gak kebagian tiket lah, terakhir tayang lah, apalah. Giliran solaaaaat aja, lewat juga dibiarin!" Ia langsung merinding lalu terkekeh sendiri. Kalau dulu sih, tiap mendengar ucapan-ucapan Anne yang pedas itu, hatinya sakit. Lalu ia balas dengan cibiran. Namun kini ia malah terkekeh. Sadar sekali kalau yang dikatakan adiknya yang sok dewasa itu memang benar adanya. Ia tak akan menyangkal jika sesuatu itu memang benar menurut-Nya. "Dina apa ya?" tanyanya lagi. Masih menaruh harap supaya bisa nonton film Conan. "Aih, dia mana hobi kartun!" ia tepuk jidat. Yang ada tuh bocah sableng malah menariknya untuk ganti tontonan jadi film-film bucin gitu deh. Lalu ia menghela nafas. "Masa Rain sih?" Ia berdecak sendiri. "Yang ada tuh bocah berisikin bioskop!" dumelnya. Ia ingat, terakhir nonton bareng Rain, tuh bocah gak berhenti ngomenin apapun yang dilakuin sang tokoh. Jadi, dari pada emosi emang lebih baik gak usah mengajak itu orang. Karena boro-boro menyimak cerita dari filmnya, tensinya naik jadi darah tinggi sih iya sekali. Akhirnya ia menghela nafas lalu beranjak dari sofa. Memberesi meja kerja dan kertas-kertas desainnya yang berantakan di atas meja. Lalu ia mengambil tasnya. Tak jadi menonton. Sepertinya, memang belum rejekinya untuk menonton kartun kesukaannya itu. "Ke rumah Oma aja dah. Ngehibur kakek-nenek, itung-itung dapat pahala," ucapnya lalu terkekeh. "Widiiiiih! Mau ke mana lo, kak? Ngaji?" Ardan nongol tepat saat ia menutup pintu ruang kerjanya. Belum apa-apa emosinya sudah naik seketika. Benar-benar dah nih bocah. Penghancur mood! "Ngapain lo? Mesen baju?" tanyanya galak tapi Ardan malah geleng-geleng kepala sambil berdesis. Matanya gak berhenti menatap Tiara dari bawah sampai atas lalu dari atas sampai bawah hingga ia keliyengan sendiri. Kakak sepupunya pakek gamis begini, kagak lagi kesurupan kan? Mana jilbabnya panjang banget lagi, pikirnya. Biasanya juga kayak ikatan tali itu kerudungnya. "Atau abis diruqyah nih, makanya jadi gini?!" Tiara menggaploknya dengan tas. "Enak aja! Yang perlu diruqyah itu elu bukan gue!" sungutnya lalu berjalan menuju pintu keluar butik. Malas meladeni sepupunya yang sinting itu. "Ya elah, Kak. Gitu aja ngambek!" nyinyirnya dengan cepat-cepat mengejar Tiara lalu menarik tangannya. "E-eh lepas-lepas! Enak aja pegang-pegang! Emang gue cewek apaan?!" serunya kaget sambil mengibas-ibas tangan Ardan. Kini Ardan malah garuk-garuk kepala. Bingung. Tiba-tiba ia ingat pada Farras yang pernah menamparnya gara-gara menarik tangan begini. Hihihi! Kenapa ya para sepupunya ini pada hijrah tapi tambah sangar kepadanya? Hahaha! "Serius, Kak? Hijrah?" matanya berubah berbinar. Tak ada wajah ledekan sedikit pun di sana. Tiara hanya mendengus lalu berkacak pinggang. "Lo ngapain dah ke sini? Kalau ada pesenan bokap atau nyokap lo, pesen aja noh sama Siti! Kagak usah ganggu-gangguin gue! Gue mau pulang juga heish!" tutur Tiara. Galak. Ia hendak berbalik namun Ardan lagi-lagi mencoba mengejarnya namun tangan itu tak menggapainya, karena belum bergerak pun, Ardan sudah dipelototin. Ardan nyengir. "Apalagi sih?!" ketus Tiara. Kali ini sampai berkacak pinggang. Kalau bisa silat, ia sudah silatin sedari tadi deh. Kalau perlu pakek jurus mabok! Eh enggak deh. Yang mabok-mabok begitu haram. Jadi, silat apa ya? "Ya elah, galak bener nih yang gak nikah-nikah!" Mata Tiara melebar. Tangannya langsung membantai kepala Ardan dengan tasnya sampai puas. Lelaki itu mengaduh-aduh, meminta ampun. Gak lagi. Kapok juga ditabok pakek tas. "Gue yang mau pesen baju, Kak! Ya Allah!" Ardan sampai menyebut nama-Nya. Tiara menarik nafas dalam. Mengatur nafasnya yang memburu gegara makhluk sableng yang satu ini. Sementara tangan Ardan masih dalam posisi melindungi kepala. Takut kalau Tiara melayangkan jurus tasnya lagi. "Tumben," Tiara menyinyir. Tampang gak percayanya sama Ardan tiba-tiba muncul. "Perasaan gue, lo baru dua minggu dah kerja di kantor bokap lo, belum gajian kan?" keluhnya lalu berjalan menuju deretan kemeja. "Emang punya duit buat mesen? Gue gak terima hutangan apalagi kreditan yaak!" ingatnya yang membuat Ardan mengelus d**a. Emangnya, tampangnya itu tampang menghutang ya? "Ada duit gue, Kaaaak! Masya Allah!" Tiara terkekeh mendengarnya. Tumben bawa-bawa nama Allah. Biasanya bawa-bawa status. Eeeh! "Emangnya buat ke mana sih? Kondangan? Pasangan aja kagak punya, gak usah belagu pakek pergi kondangan sendirian. Malu-maluin status sebagai cucu Opa!" ketusnya asal. Ardan mendengus mendengarnya. Ia heran, kenapa para sepupunya ini hobi sekali mem-bully-nya? Sehari saja tidak mem-bully rasanya kurang saja hidup mereka. Ia sampai terheran-heran. Walau dengan baik hatinya, ia sama sekali tak pernah memasukan itu ke dalam hati. "Mau ke mana lo?" tanya Tiara. Kali ini ia balik badan sampai menatap Ardan. Ardan malah garuk-garuk kepala. Sikap kikuk dadakannya membuat Tiara memicingkan mata. "Punya pacar lo ya?" tuduhnya. Ardan malah berdeham-deham sambil garuk-garuk ketek eh tengkuk. "Kan Opa udah bilang kalau pacaran itu dosa! Lo tahu artinya dosa kan? Dosa aja udah seabrek dengan status jomblo mau ditambah-tambahin dengan pacaran!" "Iya gue tauk, Kaaak! Lagian siapa yang pacaran coba?!" Ardan merasa tertuduh. Mata Tiara makin menajam. Ekspresi wajahnya mencekam. "Terus?" "Ada acara di rumah Talitha," jawabnya malu-malu. Tiara spontan terbahak tapi saat sadar kalau tawanya memalukan ia menutup mulut lalu terkekeh-kekeh kecil. Maaf ya Allah, kalau ia masih pecicilan. Harap maklum ya Allah, ia kan bentukannya dari sononya emang udah begini. Pecicilan, suka teriak kayak orang utan tapi beneran deh, ia gak pernah kentut sembarangan. "Ciyeeeeeeeeee," ledeknya yang makin membuat wajah Ardan memerah. Ia tergelak. Rasanya malah ingin sekali menimpuk wajah Ardan dengan sesuatu karena geli dengan sikap malu-malunya itu. Lumayan kan! Bisa melepas amarah! Konon ada yang bilang, dengan melepaskan panas di dalam tubuh maka dapat mengurangi rasa panas karena emosi. Entah di mmana Tiara pernah mendengar hal itu atau entah itu benar atau tidak, Tiara sebodo amat. Yang penting esensinya kurang lebih begitu. "Akhirnyaaaaaaa diterima?" tanya Tiara. Ia menatap Ardan dengan antusias. Ardan memutar bola matanya. Boro-boro! Tahu arti dari ekspresi Ardan, Tiara mengerut bingung. "Terus ngapain beli baju kalau ditolak melulu?" "Ya ditolaknya gak usah disebut-sebut kali, Kaaak!" jengkelnya. Matanya melirik beberapa gadis berhijab yang baru masuk butik Tiara. "Gue kan cuma ngomongin kenyataan bukan pendustaan!" sangkalnya yang membuat Ardan ingin menjitak kepalanya tapi gak berani. Tadi aja, gak sengaja megang tangannya, ia udah digaplok dengan tas. Lah kalau kepala? Bisa disepak dia sama Tiara! Abis disepak terus jadi kambing guling deh. Kan gak kece! Apalagi dengan status yang masih sendiri. Hiiiy! Menderita amat akhir hayatnya. Maka itu, akhir-akhir ini ia suka berdoa pada Allah untuk meminta jodoh. Agar apa? Agar nanti ada yang menemani diakhiratnya. Gak sendirian-sendirian amat lah. Itu sih pikiran absurd-nya Ardan. "Buat acara apa sih? Kemeja lo gak ada emangnya?" tanya Tiara. Rasa-rasanya, para sepupunya kalau berjalan-jalan bersama pasti mengenakan kemeja. Paling sesekali mengenakan kaos. Tapi Ardan, Farrel atau Ferril sih lebih sering terlihat dengan kemeja. Kecuali kalau ketiganya sedang santai di rumah. Ardan garuk-garuk kepala. Tadi sih ia udah minta tolong Dina buat nyari baju yang bagus buat dia. Eh....tuh saudara kembar sablengnya malah nyuruh ia pakek hijab, kali-kali langsung direstui mertua, katanya. Yang ada ia udah gak punya masa depan lagi sepulang dari rumah Talitha. Satu-satunya saudara sablengnya emang rada-rada! Efek kelamaan menjomblo kayaknya! keluhnya dalam hati. Eeh atau kelamaan patah hati? Ah entah lah. Ia pun tak bisa membedakannya. "Acara apaan di rumahnya Talitha?" Ardan mengendikan bahu. Ia juga tak tahu. "Tapi kayaknya formal gitu, Kak." "Ya iya. Cowok kalo gak pakek kemeja, mau pakai apa lagi ke acara begitu? Mau formal kek kagak kek, stelannya apsti kemeja. Baju koko? Lo kan bukan Farrel!" nyinyir Tiara yang nyelekit banget. Satu kemeja sudah ada ditangannya. "Nih, yang hitam aja ya? Kek-nya cocok!" ia mencocokan dengan tubuh Ardan juga tampangnya. Kalau menurut Tiara, tampang Ardan saat ini standar. Untuk saat ini ya. Tolong diingat-ingat. Kalah beberapa tahun kemudian, ia berubah kece, itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan hinaan ini. Anggap saja itu keajaiban yang patut disyukuri. Apalagi kalau sampai ada perempuan yang berbaik hati mau menerima Ardan apa adanya. "Serius, Kak? Hitam?" "Iya!" Tiara malas memperpanjang obrolan. Gadis itu langsung berjalan menuju kasir. "Hitam itu cocok buat lo, Dan." "Widiiih!" Ardan geleng-geleng takjub. Ia mengeluarkan dompet dengan senang hati. "Kek masa depan lo! Gelap!" "Asem!" Ardan nyaris menyembur ludah. Tiara sudah terbahak. Bodo amat kalau ketawanya gede banget! Siapa suruh nih bocah sableng ngerusuhin sorenya! @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN