Chapter 1 : Gina's Side

983 Kata
Suasana kota Surabaya sungguh sangat berbeda dengan kota-kota lainnya yang memiliki cabang perusahaan lebih kecil, tempatku bekerja sebelumnya. Di sini aku bisa memakai angkutan kota macam apapun untuk pergi bekerja, tidak harus memiliki kendaraan pribadi. Aku juga bisa mencari jenis makanan apapun, tidak harus memasak sendiri untuk mendapatkannya. Aku menatap padatnya lalu lintas dari jendela angkot. Tapi kota ini sangat bising dan panas, pikirku. Setiap hal pasti selalu ada positif dan negatifnya. Aku merasakan ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Raka muncul. Sayang, hari ini aku harus bertemu dengan dosen pembimbing. Kupikir aku tidak bisa tepat waktu untuk menjemputmu pulang kantor. Yah, akan kupikirkan sendiri nanti saat pulang, jika benar-benar tidak dijemput. Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tasku. Sejujurnya, aku tidak terlalu berharap saat Raka tadi malam menawariku untuk menjemputku pulang kantor hari ini. Tidak hanya sekali dua kali dia membatalkan janjinya tiba-tiba karena urusan kuliahnya. Tiba-tiba, aku teringat saat kami pertama kali bertemu. Saat itu aku sedang di semester akhir kuliah sarjanaku. Aku sudah menyelesaikan skripsi dan hanya tinggal menunggu acara wisuda, sehingga waktu luangku sangat banyak. Seorang teman berbeda jurusan mengajakku nongkrong bersama teman-temannya di sebuah kafe. "Ini nih yang kuceritain anaknya pinter banget," seru temanku, Jihan, pada teman-temannya. Semua temannya terperangah. "Seriusan dia baru umur 20 tahun?" Pertanyaan itu muncul dari seorang pria yang akhirnya kukenal bernama Soni. "Aku kira anaknya kutu buku macam anak kuper gitu. Cewek cantik to ternyata, " lanjut Soni dengan logat Jawa yang masih sangat kental. "Iya. Dia bakalan wisuda sebentar lagi. Keren banget kan!? Dan kita baru begini-begini aja, terjebak di antara kating dan maba." Jihan mempersilahkanku duduk dan memesankan minuman untuk kami berdua. "Nah, jadi nama cewek cantik ini adalah Gina. Gina, ini Soni, Gilang, Raka, Amel, dan Meta, temen satu jurusanku." "Salam kenal." Aku tersenyum. "Aku Gina, teman kos Jihan." Raka, dia memiliki postur tubuh tinggi dan tampak ideal. Dia cukup pendiam dan hanya menimpali obrolan jika dirasanya perlu. Saat itu, aku tidak begitu tertarik dengannya karena kupikir hubungan kami tidak akan berlanjut seperti saat ini. Tapi, sejak pertemuan itu Jihan selalu membicarakan Raka denganku, betapa serasinya jika kami berdua pacaran dan tentu saja dia berlaku sebagai mak comblang di antara kami berdua. Tentu awalnya aku menolak, karena tampaknya antara aku dan Raka sama sekali tidak ada ketertarikan satu sama lain. Tapi, Jihan memang bukan gadis yang pantang menyerah. Dia mempertemukanku dan Raka di sebuah rumah makan di salah satu Mall di Surabaya dan meninggalkan kami berdua. Sangat canggung awalnya, tapi setelah beberapa menit kami saling berbincang, kupikir dia tidak sekaku itu. Proses perkenalan dan pendekatan berlangsung hingga 2 minggu, hingga akhirnya dia mengajakku ke rumah orang tuanya. Setelah makan malam bersama orang tuanya, dia menunjukkan kamarnya padaku dan saat itulah dia berkata, "Gin, mau pacaran denganku?" Aku tahu saat-saat seperti ini akan terjadi. Tapi, aku sungguh tidak menyangka dia akan menembakku di rumahnya sendiri, di kamarnya, saat aku sedang duduk di sisi ranjangnya sedang menikmati es lilin buatan Tante Ella, Mama Raka. Dia memang bukan tipe pria romantis dan norak, tapi setidaknya dia harus menungguku menghabiskan es lilin di tanganku terlebih dulu sebelum menyatakan hal serius. Setengah tersedak, aku tertawa terbahak-bahak dengan cara pemilihan waktu Raka yang sangat buruk. Dia pria yang sangat unik dan aku menyukainya seperti itu. Suara klakson membawaku kembali di tengah kemacetan lalu lintas Surabaya. Aku sudah melihat gedung kantor beberapa ratus meter di depan dan memutuskan untuk turun dari angkot lebih awal karena di jam sibuk seperti ini, tidak ada kendaraan yang ingin mengalah. Setelah membayar supir dengan beberapa lembar uang ribuan, aku segera berlari dengan heels-ku yang cukup tinggi. Aku tidak ingin terlambat di hari pertama kepindahanku ke kantor pusat. "Air, Mbak?" Suara berat seorang pria mengalihkan perhatianku. Aku menatapnya yang berpakaian rapi ala keamanan pada umumnya, memberikan sebotol air mineral padaku. Aku mencoba mengatur napas dan menerima air mineral itu dengan senang hati. "Terima kasih." Aku menenggak air hingga habis setengahnya. Sesaat setelah itu aku baru menyadari betapa mempesonanya pria itu. Rasanya seperti melihat selebriti yang muncul tiba-tiba entah dari mana. "Karyawan baru, Mbak?" tanya pria itu mengejutkanku. Aku tersenyum cepat-cepat untuk menyembunyikan pandanganku yang terang-terangan menatapnya. "Kalau di sini memang baru, Mas. Saya dari cabang." "Oh, Mbaknya dari luar kota? Karena belum punya kartu karyawan di sini, sementara isi buku tamu, ya Mbak." Pria itu mengambil sebuah buku besar dari meja di dekatnya. "Mbaknya di sini kerja di bagian apa?" "Saya disuruh belajar dengan Bu Elisa, Mas." "Bagian inventory berarti, ya? Tulis nama dan nomor handphone di sini, ya, Mbak. Lalu, di sini tanda tangan." Pria itu menunjuk beberapa baris kosong di buku tamu. "Jadi, namanya Mbak Gina? Saya boleh panggil seperti itu?" lanjutnya setelah aku menuliskan nama lengkapku di buku tamu. "Padahal Mbak Gina nggak perlu lari-lari seperti tadi. Jam masuknya masih lama. Lagipula kunci gudang selalu dibawa Bu Elisa, jadi Mbak Gina belum bisa masuk." Aku tertawa. "Tadi macet banget, Mas. Mataharinya sudah tinggi banget, saya pikir saya telat. Masih teringat jam masuk di cabang kayaknya." Walaupun aku sempat terpesona dengan sosok pria di depanku, aku sama sekali tidak berniat untuk mencari perhatian atau flirting. Jadi, aku hanya bersikap seperti biasa seperti kepada orang lainnya. Dia ikut tertawa. "Pakai sepatu tinggi banget gitu nggak sakit, Mbak?" "Nggak, Mas. Sudah biasa. Di cabang malah naik turun tangga seharian." "Oh, ya, kenalin, Mbak, nama saya Adit." "Seragam Mas Adit beda dengan Pak satpam di pos depan, ya." "Iya, Mbak. Saya bagian pemeriksaan karyawan dan juru kunci. Waktu kerja saya juga bukan shift-shift-an, jadi setelah karyawan pulang, saya ikut pulang. Tapi, koordinasi satpam yang lain, saya juga yang mengatur, jadi mereka masih tanggung jawab saya." Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku. "Gin, lama nunggu, ya? Kok pagi banget datangnya?" Seorang wanita paruh baya yang tampak seumuran dengan ibuku berdiri di belakangku. "Makasih ya, Dit udah nemenin Gina. Yuk, Gin, masuk." Bu Elisa menggandengku seperti bersama dengan putrinya. "Mari, Mas, saya masuk dulu," kataku pada kenalan baruku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN