Chapter 2 : Adit's Side

1124 Kata
Jantungku berdebar sangat kencang saat melihat wanita itu tersenyum padaku. Tanpa sadar, aku terus mencuri pandang ke arahnya setiap berpapasan dengannya. Wanita itu seperti magnet bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Aku bahkan hampir tidak berkedip setiap kali melihat bibirnya yang bergerak, yang sedang bersemangat bercerita atau hanya sekedar berbicara mengenai pekerjaan. Ini tidak seperti diriku. Aku tidak pernah seperti ini dengan wanita manapun. Aku berusaha menyadarkan diri dengan membasuh wajah di wastafel. Mungkin ini hanya kekaguman sementara melihat wanita cantik. Aku yakin semua pria yang melihat seorang wanita cantik akan bersikap sama denganku. "Mas?" Suara seorang wanita mengejutkanku. Aku menatap pantulan cermin di depanku dan menemukan wanita itu tersenyum padaku. "Ngantuk ya?" godanya sambil tertawa kecil. Secara refleks, aku membalas senyumnya. "Iya," dustaku. Tidak mungkin aku mengatakan alasan sesungguhnya padanya. Aku berbalik dan menatap mata wanita itu dibalik kacamatanya. "Kamu nyari aku?" Wanita bernama Gina itu mengangguk. "Aku minta tolong bantuin angkat barang, Mas. Yang lain sedang makan siang, jadi kupikir Mas Adit bisa bantuin aku." Dia menyodorkan beberapa lembar tisu padaku. "Airnya netes ke baju Mas." Lalu, dia berjalan pergi. "Terima kasih." Aku menyeka tetesan air di wajahku dengan tisu pemberian Gina sambil mengikutinya dari belakang. Aku tidak bisa mengatakan bahwa tubuh Gina mungil. Dia memiliki perawakan yang tidak terlalu tinggi dan tubuhnya cukup proporsional. Walaupun tampak jelas bagian payudaranya cuku besar hingga tidak dapat diaembunyikannya walaupun dengan memakai blus longgar. Aku yakin beberapa pria pasti berfantasi cukup sering setiap kali melihatnya. Aku pun tidak munafik mengakui mungkin beberapa kali tanpa sadar bagian tubuhnya itu menarik perhatianku. Heels yang dipakai Gina bersuara di sepanjang jalan. Dia berjalan tanpa kesulitan dengan benda lancip itu. Dia berjalan dengan percaya diri dan itu membuatku kagum. Tidak hanya pria, aku tahu semua orang yang mengenalnya, mengaguminya secara fisik juga secara kepribadian. "Ini Mas." Gina berhenti di depan sebuah kotak berukuran sedang, di selasar tempat penyimpanan stok barang. "Walaupun udah pake heels, aku tetap ga sampe buat naruh barang ke rak atas." Dia tersenyum kecut. "Harusnya dulu aku rajin olahraga pas sekolah. Sekarang udah ga bisa tinggi lagi menyesal, deh. Makanya aku senang banget lihat orang punya badan tinggi gitu." Aku tersenyum. "Ga papa. Rumput tetangga memang lebih hijau, kan? Padahal mungkin aja orang-orang tinggi itu iri juga sama kamu." kataku sambil merapikan kotak-kotak kardus di rak yang cukup tinggi. Gina tertawa. "Iri apaan sama aku? Cantik juga ga, putih juga ga, gendut iya, pake kacamata lagi, kan kutu buku banget." Mungkin kalau dia menyadari kelebihannya, dia tidak akan sepolos itu. Aku berjalan mendekati Gina. Aku mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di atas meja kayu di sampingnya. Wajahnya kini tepat di depanku, terkejut. "Sekarang tinggi kita sama. Aku akan mengangkatmu jika ingin lebih tinggi." Gina menghindari tatapanku. Aku bisa melihat wajahnya memerah hingga ke telinganya. "Aku mau turun," katanya pelan. Aku menurunkan Gina dari meja. "Aku sudah selesai merapikan rak atas. Ada lagi yang bisa kubantu?" tanyaku. "Ga, Mas. Terima kasih." Gina tampak canggung. "Aku akan makan siang," katanya sambil berjalan dengan cepat meninggalkanku. Aku mengumpat pada diriku sendiri karena telah melakukan hal yang tidak seharusnya. Gina pasti takut padaku. Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini dengan wanita lain, bahkan dengan istriku sendiri. Ini benar-benar bukan diriku yang biasanya. Ponselku berdering. Sebuah nama tertera di layarnya. Tria. Istriku selalu meneleponku setiap jam makan siang. Biasanya aku mengangkat teleponnya dan dia akan menanyakan apakah aku sudah makan siang atau belum. Tapi, kali ini aku sedang enggan mendengar suaranya. Jadi, aku mengabaikan panggilan itu. Aku berjalan ke ruang loker, memikirkan apa yang sedang terjadi denganku saat ini. Walaupun aku tidak mencintai istriku, aku selalu berusaha menjaga perasaannya. Aku selalu mencoba melakukan semua tanggung jawab seorang suami selama dua tahun belakangan ini. Bahkan berhubungan intim pun kulakukan karena kupikir itu adalah hak istriku. Kupikir itu tidak akan berubah hingga mungkin sampai kami tua dan meninggal. Lalu, hatiku mendadak berubah. Tiba-tiba saja kehilangan minat dengan semua mengenai hak dan tanggung jawab suami-istri itu. Tiba-tiba mendambakan wanita lain dan ingin lebih darinya. Ini benar-benar gila, pikirku. Aku bisa saja mencium bibir Gina saat itu. -- -- -- Tria sedang duduk di depan meja rias saat aku masuk ke kamar. Aku duduk di sisi ranjang dan meletakkan ponsel di meja kecil. Aku melepaskan jam tangan dan mulai melepaskan kancing kemejaku, sebelum Tria mendekatiku dengan pakaian tipis berwarna merah. Dia duduk di pangkuanku mencoba menggodaku. "Kenapa tadi siang teleponku ga diangkat?" tanya Tria sambil menyentuh leherku. "Ponselku tertinggal di loker tadi," jawabku dengan tak acuh. Tria mendekatkan wajahnya dan berbisik di telingaku. "Seminggu ini kita belum melakukannya." Dia menarik kepalanya dan menatapku. "Bisakah sekarang kita melakukannya?" Tangan kanannya mengelus pahaku. Aku menghentikan tangan Tria. "Aku capek. Sebaiknya aku tidur di kamar tamu malam ini." Dengan lembut aku mengangkat tubuh Tria hingga berdiri. Sejujurnya sekarang pikiranku sedang dipenuhi oleh Gina. Suami macam apa aku yang memikirkan wanita lain bahkan saat berhadapan dengan istriku. Aku harus merenungkannya. Aku tidak boleh bertindak gegabah pada Gina seperti tadi. Aku mengingat kembali wangi lembut parfum yang menguar di sekeliling Gina. Dia cukup ringan saat aku mengangkat tubuhnya. Mata cokelat polosnya yang menatapku sesaat, begitu dekat, membuat jantungku berdegup semakin cepat. Mungkinkah aku sedang jatuh cinta? Semua hal lain selain Gina sesaat menjadi tidak terlalu penting. -- -- -- Mataku terpaku pada sosok wanita berkuncir kuda di dekat pintu masuk perusahaan. Dia turun dari mobil sedan hitam bersama dengan seorang pria. Pria itu mengecup kening wanita berkuncir kuda di depannya dan menatapnya penuh kasih sayang. Wanita itu tersenyum dan tampaknya mengucapkan sesuatu yang juga membuat si pria ikut tersenyum. Dia pun berjalan menuju pintu. Langkahnya terhenti saat melihatku. Raut wajahnya tiba-tiba saja langsung berubah dan dia mengalihkan pandangannya saat itu juga. Gina terus berjalan masuk tanpa mengacuhkanku. Ada rasa sakit yang perlahan muncul. Entah karena melihat Gina bermesraan dengan pria lain, atau karena dia tidak menyapaku seperti biasa. Sungguh, rasanya tidak pernah sesakit ini. Pagi ini, aku mencoba melakukan semua pekerjaanku, mencoba sibuk untuk melupakan perasaanku. Tapi, mataku selalu mencoba mencari keberadaan Gina di sekitarku. Beberapa kali aku melihat dia sedang bersama beberapa karyawan lain. Gina tampak cantik dengan kemeja berwarna navy dan celana denim yang dipakainya. Rambutnya yang diikat kuda memperlihatkan leher jenjangnya. Beberapa karyawan pria yang kukenal sering membicarakan ketertarikannya pada Gina, sering mendekatinya. Gina bahkan tidak tahu apa yang mereka bicarakan di belakangnya dan hanya tersenyum polos saat mata semua pria itu menelanjangi tubuhnya. Mungkin aku juga seperti mereka. Aku pun terkadang tanpa sadar melakukan hal yang sama persis seperti mereka. Bahkan terkadang dorongan untuk melakukannya lebih kuat saat berada di dekat Gina. Pantas saja wanita bilang kalau semua pria itu sama. Walaupun aku tidak ingin mengakui bahwa aku sama dengan pria lain di luar sana, tapi hal itu tidak berlaku jika aku berada di dekat Gina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN