BAB 3

1958 Kata
Senandung merdu mengusik telinga pendengaran Elizabeth. Rasanya dia baru saja memejamkan matanya dan suara senandung itu membuatnya terganggu, dia ingin beristirahat dengan tenang, jadi dia tidak butuh senandung merdu yang dapat menjadi pengantar tidur itu. Dengan ekor matanya Elizabeth melihat di atas bebatuan sungai. Tampak seorang wanita dewasa dengan surai peraknya duduk di sana, duduk membelakanginya sehingga Elizabeth tidak bisa melihat wajah si empunya suara. Surai perak itu sangat panjang hingga menyentuh bebatuan tempat gadis itu duduk, namun satu hal yang mengganjal, gadis di sana terlihat bersinar dan dipenuhi aura magis yang membuat Elizabeth tak berani mendekat. Senandung itu terhenti yang membuat tempat sepi sunyi, suara aliran sungaipun seakan enggan ribut dan mendadak tenang tanpa riak. Elizabeth meneguk ludahnya, apakah gadis itu menyadari dirinya tengah diperhatikan olehnya? Pikir Elizabeth saat itu juga. “Hidup tidak selamanya manis apalagi pahit.” Suara itu terdengar sangat lembut namun tegas. “Apa kamu mengerti, Elizabeth.” Saat mengucapkan itu sosok itu menoleh ke arahnya namun hanya sinar terang yang Elizabeth lihat hingga membuat Elizabeth harus memejamkan matanya. Saat mata Elizabeth terbuka lagi, sinar matahari menusuk mata hingga membuat Elizabeth memicingkan matanya. “Sinar matahari?” gumam Elizabeth tanpa sadar dan kepalanya langsung terngadah menatap matahari yang sudah berada di atas singgah sananya itu. Elizabeth bangun dan kakinya melangkah dengan cepat dan terhenti di depan sungai. Dia menatap pantulan dirinya yang terlihat jelas. Bekas lukanya mengering namun masih terasa perih, luka di pipinya benar-benar terlihat sangat mengerikan. Dengan sedikit ragu Elizabeth membasuh wajahnya dengan air, rasa perih terasa tak kala air yang dingin menyentuh luka di wajahnya. Dipikiran Elizabeth sekarang dia harus segera pulang ke rumah. Saat itu juga Elizabeth segera bertransformasi menjadi sosok serigala. Dia berlari dengan kencang agar bisa sampai rumahnya dengan cepat dan tak butuh waktu lama untuk Elizabeth sampai ke rumahnya dengan tubuh yang jauh lebih baik dari kemarin. Dia menatap pintu rumahnya dari kejauhan. Tubuh Elizabeth kembali bertransformasi ke sosok manusianya saat dia tepat berada di depan pintu rumahnya. Tangannya memegang knop pintu dengan ragu, dia perlu menenangkan jantungnya yang derdegup dengan cepat. “Kamu pasti bisa Eliz,” Elizabeth menghembuskan napasnya perlahan, dia kemudian memutar kenop pintu rumahnya. Saat dia melangkah masuk dan menutup pintu rumah suara itu membuat Elizabeth membatu. “Kau mau jadi apa jika semalaman tidak pulang dan baru pulang sekarang?” cibiran itu membuat Elizabeth menggigit bibir bawahnya. “Mau jadi apa jika kamu terus seperti ini, ah?!” “Lalu bagaimana dengan dirimu, Bu?” Elizabeth balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari ibunya itu. “Kamu bertanya bagaimana denganku?” Raut wajah Jane tampak penuh amarah. Dia mengambil vas bunga yang berada di sampingnya. “Kau kira karena siapa hidupku hancur, ah?!” katanya sambil melempar vas itu ke samping tubuh Elizabeth kemudian pecah membentur tembok. “Kau tahu bagaimana hancurnya aku karena ayahmu itu meninggalkan kita yang seperti ini?” “Lau bagaiamana dengan aku yang kau terlantarkan sejak saat itu? Aku selalu melakukannya seorang diri, bukankah aku anakmu?” Jane menggeleng dengan cepat. “Tidak, aku hanya membutuhkan John di sini, aku hanya membutuhkan dia,” katanya dengan cepat. “Jika bukan karena kamu, dia pasti masih di sini, ya dia pasti akan masih ada di sini bersamaku.” Selesai meracau seperti itu Jane terdiam, matanya memandang nakas di sampingnya yang masih penuh dengan barang-barang lainnya dan dengan cepat dia melempar semua itu ke arah Elizabeth. “Benar, jika bukan karena kamu yang meminta hadiah pada suamiku, suamiku pasti masih ada di sini!” Lemparan-lemparan itu sukses mengenai tubuh Elizabeth, sejak awal mendapat lemparan itu Elizabeth lantas melindungi kepala dan wajahnya. Beberapa barang-barang sukses mengenai tubuhnya dan saat tidak merasakan lemparan itu lagi, Elizabet menoleh ke arah ibunya. Saat Elizabeth menoleh itu Elizabeth merasakan kepalanya sakit karena ternyata dia dilempari dengan sebuah bingkai foto. Bingkai foto yang jatuh di depannya memperlihatkan figur ayah dan ibunya yang ada dalam balutan pakaian pernikahan. “Keluar, aku tidak membutuhkan anak pembawa sial sepertimu, keluar!” racau Jane pada Elizabeth. Tanpa berpikir panjang Elizabeth lantas berlari meninggalkan rumahnya, Elizabeth bahkan tidak menoleh ke belakang. Dia sudah tidak diinginkan lagi oleh ibunya, itu faktanya sekarang. Mulai saat ini Elizabeth akan merasakan kesepian dan tak memiliki tempat untuk berlindung. Jika berkeliaran di kota, di sama saja akan mempermalukan ibunya dengan kondisi yang seperti ini. Hidupnya ternyata tidak pernah berjalan ke arah yang lebih baik, semuanya semakin buruk. Hidupnya sudah hancur dan sudah tidak ada harapan untuk sebuah kebahagiaan. Elizabeth jadi mengingat mimpi semalam dan sekarang mimpi itu terasa menggelikan baginya.Hidup yang sudah pahit tidak akan bisa manis dengan cepat, apalagi secepat menuangkan gula ke dalam teh pahit. Elizabeth jadi sadar jika Moon Goddess ternyata tak pernah benar-berna berlaku adil, hidupnya terlalu pahit, bahkan rasa manispun Elizabeth sudah lupa rasanya seperti apa. Elizabeth terus berlari tanpa memperdulikan arah yang akan dia tuju. Dia hanya mengikuti ke mana kaki kecilnya itu melangkah dan ternyata membawanya menuju ke sungai tempatnya bermalam. Sebelumnya Elizabeth tak pernah menyebrangi sungai ini karena batas aman yang diperbolehkan jaraknya tak jauh dari sungai ini dan yang Elizabeth dengan beberapa kilometer dari sini merupakan batas wilayah packnya. Banyak yang menceritakan bagaimana mengerikannya hutan di luar wilayah packnya, tapi Elizabeth tidak memperdulikan itu dan tanpa ragu dia berlari melewati sungai yang menjadi tempatnya beristirahat tadi malam. Kaki serigala kecil itu berlari membelah hutan yang tak pernah dia datangi sebelumnya. Elizabeth tidak takut sama sekali mendatangi tempat baru ini, sudah banyak kejadian buruk yang dia hadapi dan sakarang dia tidak berminat sama sekali untuk menjalani hidup yang terasa tak adil ini baginya. Entah sudah berapa lama Elizabeth berlari yang jelas dia terus berlari dengan kencang. Dia bahkan tidak memperdulikan luka di pelipisnya yang mengeluarkan darah segar. Elizabeth seakan tidak memperdulikan itu, padahal darah yang keluar dapat memancing makhluk buas yang lebih kuat darinya, bahkan dia bisa saja ditemukan oleh anggota packnya atau lebih parah ditangkap oleh rogue. Bukankah Elizabeth terlihat seperti orang yang menantang mautnya sendiri? Apakah kematian yang menyakitkan seperti itu yang diharapkannya? Langkah kaki yang sedari tadi berlari tanpa arah membelah hutan perlahan melambat karena rasa lelah yang menderanya. Kepala itu mengadah ke atas, manik mata abu-abu itu memandang langit dengan tatapan sendu. Elizabeth terlalu bingung saat ini, kejadian-kejadian yang menimpanya saat ini benar-benar membuatnya lelah. Kembali Elizabeth melanjutkan perjalanan tak tentu arahnya dan tanpa sadar sore haripun datang. Angin berhembus dengan kencang yang membuat Elizabeth sedikit memelankan langkahnya karena dia mendengar sesuatu saat angin tadi berhembus. Perasaan curiga itu membuat Elizabeth kembali melanjutkan langkahnya dengan lebih cepat sekarang. Suara riak-riak air terdengar dari kejauhan, tanpa pikir panjang Elizabeth berlari menuju arah suara tersebut. Berlari dengan sekuat tenaga hingga akhirnya dia berdiri tepat di ujung jurang. Sebuah sungai berada tepat di bawah jurang dan Elizabeth hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Apakah ini jawaban dari semua kegundahan hati Elizabeth? Sungai yang berada di bawah jurang yang tampak sangat pas untuk mengakhiri hidup, apakah dia akan mengambil keputusan untuk melakukan itu? Suara gemerisik dedaunan di belakang membuat Elizabeth sontok berbalik dan mendapati seekor serigala besar berada tak jauh darinya. Serigala itu tampak menyeringai melihatnya. “Grrrr….” Suara geraman itu membuat Elizabeth seketika merinding. Sosok serigala di belakangnya tampak sangat mengerikan dan ayolah walau dia ingin mati tapi tidak di tangan rogue sialan seperti serigala di belakangnya. Cukup ayahnya saja yang mati terbunuh karena rogue dia tidak ingin mengalaminya juga karena bisa saja dia mengalami kematian yang menyakitkan karenanya. “Menjauh dariku!” Ucap Elizabeth dengan waspada. “Menjauh dari mainan baru? Tentu saja aku tak akan melakukannya.” Serigala itu perlahan melangkahkah kakinya mendekati Elizabeth yang diam. “Maaf tapi aku tidak ingin mati di tanganmu, jadi selamat tinggal.” Setelah mengatakan itu Elizabeth melompat ke dalam jurang dan jatuh ke dalam air yang dingin. Aliran sungai itu cukup deras yang membuat tubuh Elizabeth terbawa arus. Dia tidak melawan, malah membiarkan tubuhnya hanyut dan tenggelam. Inilah akhir hidupnya yang menyedihkan, tenggelam dengan semua rasa sakit yang menyesakkan.   ***   “Bukankah malam ini terasa lebih aneh dari biasanya?” suara itu memecah kesunyian yang terjadi di antara mereka berdua. Suara jangkrik yang semalam terdengar tidak terdengar lagi malam ini dan entah bagaimana aliran sungai di sini tampak sedikit lebih tenang dari biasanya. “Bukankah ini terlihat lebih bagus Tom? Sepi sunyi dan hanya ada suara aliran air.” balas wanita di sampingnya. “Kau benar juga, Mariya.” Tom saat itu juga menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi lipat yang di dudukinya. Setiap tahun Tom dan Mariya akan melakukan cemping di pinggiran aliran sungai yang tak terlalu jauh dari perkampungan asal Mariya. Tempat ini merupakan tempat yang menjadi tempat pernyataan cinta Tom dulu dan semenjak menikah, mereka memutuskan untuk pergi ke kota besar yang merupakan sentral peradaban. Tom dan Mariya duduk bercengkrama di pinggiran sungai. Mereka terus mengingat masa-masa indah yang telah mereka lalui. Hingga tanpa sengaja mata Tom melihat sesuatu yang terasa janggal, sesuatu yang berada di bebatuan depan sana. “Mariya tunggu.” Suara Tom mengintrupsi ucapan Mariya yang terus berbicara. Mariya sontak saja diam, namun penasaran dengan apa yang mengganggu suaminya itu. “Kau kenapa, Tom?” tanyanya kemudian. “Aku melihat sesuatu di sana, aku takut apa yang kupikirkan memang benar.” katanya dengan takut-takut. Namun rasa penasaran itu membuat Tom bangkit dari duduknya dan berjalan ke menyeberangi sungai yang hanya sedalam pinggangnya itu. Dia berjalan hingga tepat berada di depan sebuah batu besar yang di mana dia seketika terkejut saat melihat apa yang tersangkut oleh bebatuan itu. “Tom apa itu?” tanya Mariya yang penasaran karena suaminya hanya diam saja. Setelah tersadar dari keterkejutannya Tom dengan hati-hati membawa sosok gadis belia itu ke dalam dekapannya, ternyata Tom tidak salah lihat. Mariya terkejut saat melihat Tom mendekap sosok gadis belia yang tidak sadarkan diri. “Tom, apa dia masih hidup?” tanya Mariya khawatir sesaat setelah Tom sudah berada di daratan. Tom tak menjawab pertanyaan Mariya namun saat itu juga dia membaringkan sosok gadis belia itu di atas tanah. Dia segera memeriksa tanda-tanda kehidupan, dipegangnya pergelangan tangan gadis itu dan Tom terdiam. Berbekal pengalamannya, Tom segera melakukan pertolongan pertama pada sosok gadis kecil yang ditemuinya itu. Air yang masuk ke tubuh gadis kecil itu perlahan keluar dan saat merasakan hembusan napas lemah itu lagi, Tom bisa bernapas lega. “Cepat Mariya kita harus membawanya ke rumah sakit.” Tom kembali membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Dengan langkah panjangnya dia masuk ke dalam campervan di ikuti istrinya itu. “Aku akan mengemudi dan urus dia di sini.” perintah Tom kemudian dia keluar dari bagian belakang mobil campervannya. Campervan yang dikendari Tom membelah jalan malam. Dia mengemudikan campervannya itu dengan kecepatan maksimal karena ada nyawa yang harus diselamatkannya. “Di desa ada seorang dokter, kita bisa ke sana Tom,” ucap Mariya dari arah belakang. “Ya aku juga berniat membawanya ke sana karena itu tempat paling dekat, denyut nadinya sangat lemah dan akan sangat berbahaya jika kita langsung membawanya ke kota.” Mariya mengangguk paham, mengingat perintah yang diberikan suaminya, Mariya dengan sigap mengganti pakaian basah gadis itu. Begitu tubuh gadis kecil itu telanjang sepenuhnya, Mariya tampak terkejut karena melihat banyaknya luka di tubuh gadis yang diselamatkannya ini. Luka-luka itu membuat Mariya tak kuasa menitikan air matanya. Tangan Mariya gemetar hebat namun dengan sekuat tenaganya dia mencoba memasangkan baju hangat gadis kecil yang ditemuinya. Setelah selesai menggantikannya pakaian, Mariya tak lupa memberikan selimut tebal. Sebisa mungkin Mariya memberikan kehangatan untuk gadis asing ini. Air mata Mariya tanpa sadar jatuh karena melihat kondisi menyedihkan gadis yang ditemuinya ini. “Tom, dia memiliki banyak bekas luka dan wajahnya juga terdapat bekas cakaran,” lirih Mariya. “Aku tahu Mariya.” “Dia juga memiliki tanda sepertimu.” lanjut Mariya dengan suara kecilnya yang sukses membuat Tom mencengkram dengan erat stir kemudinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN