Pandangan mata Mariya tak luput dari wajah gadis yang terbaring di atas ranjang pasien. Gadis itu sudah tak sadarkan dirinya selama seminggu dan selama itu Mariya menemaninya dan menjaga gadis itu. Penantian Mariya akhirnya selesai tak kala dia melihat tanda-tanda kesadaran itu terlihat, hingga akhirnya Mariya bisa melihat bola mata yang selama ini tersembunyi.
“Ya Tuhan, syukurlah kamu akhirnya bangun.”
Manik abu-abu itu menatap Mariya bingung. “Anda siapa?” tanya gadis itu pada Mariya.
Mariya tersenyum lembut dan berucap, “Namaku Mariya, aku dan suamiku yang menolongmu.” Mariya, dia benar-benar tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya karena gadis yang ditolongnya akhirnya siuman juga.
“Terima kasih.” Dia baru berbicara sebentar tapi dia merasa cukup lelah. Tapi ada satu hal yang harus dia pertanyakan dan dengan sedikit kesusahan dia berucap, “A, apa Anda mengenaliku?” tanya suara itu dengan lemah.
Seketika Mariya terdiam, dia menatap gadis itu dengan lekat. “Apa kamu tidak ingat siapa namamu?” tanya Mariya memastikan dan hanya anggukan yang didapatkannya.
Sontak saja Mariya menutup mulutnya. “Oh Tuhan,” ucapnya tak percaya. “Tunggu di sini,” ucap Mariya lagi lalu pergi untuk memanggil dokter.
Dokter datang dan segera melakukan prosedur pemeriksaan. Di mata Mariya gadis itu tampak sangat rapuh, mata sayu itu balas menatapnya yang membuat Mariya terenyuh. Gadis itu masih terlalu muda untuk mengalami hal itu semua.
“Bagaimana?” tanya Mariya pada dokter di depannya.
“Kita perlu memastikan dengan ct scen.” Setelah mengatakan itu dokter kemudian pergi.
“Beristirahatlah” Setelah itu Mariya meninggalkan ruangan itu. Mariya perlu menelpon Tom dan memeberitahu suaminya bahwa gadis itu sudah siuman dan sepertinya mengalami amnesia. Gadis itu terlihat sangat rapuh dan lugu, seakan dia benar-benar tidak berbohong, walau seperti itu pemeriksaan ct scen benar-benar harus dilakukan untuk mengetahui gadis itu berbohong atau tidak, Mariya tidak ingin ditipu, apalagi dengan adanya tanda yang sama di lengan gadis itu.
Semalaman Mariya dan Tom berjaga setelah proses ct scen berlangsung. Mereka berdua lebih banyak diam dan larut dalam pikiran masing-masing hingga Mariya bertanya.
“Bagaimana jika dia benar-benar hilang ingatan? Dan bagaimana jika tidak?” Ini adalah pertanyaan yang sedari tadi mengganjal hatinya.
“Bukankah itu gampang, kita hanya perlu mengembalikannya ke asalnya dan jika tidak, “
“Tom kau tahu tidak semudah itu kita ke sana. Terlalu berbahaya.”
Tom mengangguk setuju, terlalu berbahaya untuknya dan Mariya ke sana tapi tanggung jawabnya karena menemukan anak itu tak dapat dia berikan kepada orang lain.
“Kita harus merawatnya hingga dia ingat semuanya,” ucap Tom. “Apa kau keberatan?” tanya Tom memastikan.
Mariya lantas segera menggeleng. “Aku tidak keberatan, aku malah kasihan dengannya. Dia memiliki banyak sekali luka di tubuhnya dan itu semua bukan luka yang baru saja. Apa sebelum ini dia selalu mendapatkan kekerasan?”
“Kita tidak akan tahu sebelum dia mengingat semuanya.”
Esoknya hasil ct scen yang ditunggu-tunggu Mariya dan Tompun keluar dan mereka berharap bahwa semuanya berjalan sesuai keinginan mereka. Tak ada hal yang membahayakan dan tak ada pembohongan di sana. Mereka berdua memasuki ruangan di mana dokter yang menangani mereka sudah siap dengan hasil ct scen.
“Kalian sudah tidak sabar sekali ya,” sambut dokter itu.
“Bagaimanapun juga kami yang menyelamatkannya,” balas Tom.
Dokter tersebut mengangguk kemudian memperlihatkan hasil ct scen yang baru saja keluar, kemudian mulai menjelaskan hasil yang diperolehnya. “Kepalanya mengalami benturan yang cukup keras sehingga dinding otaknya mengalami keretakan dan di sini otak kecilnya terhimpit karena benturan itu dan efeknya dia mengalami amnesia.”
“Apa amnesia yang dialaminya permanen?” tanya Mariya takut-takut.
“Syukurnya tidak, biasanya orang-orang yang mengalami ini akan mendapatkan amnesia sementara, untuk jangka waktunya berbeda-beda,.”
Gadis itu tidak berbohong dan Mariya merasa lega dengan hal itu. Dia memandang Tom dan Tom hanya bisa tersenyum kecil.
“Tak ada yang perlu kau takutkan,” bisik Tom yang membuat Mariya mengangguk.
Sekeluarnya dari ruangan dokter itu Mariya dan Tom bergegas menuju ruang rawat inap. Dia ingin segera memastikan sesuatu pada gadis itu, sesuatu yang menurut mereka penting.
“Apa aku baik-baik saja?”
Suara itu terdengar lebih bertenaga dari sebelumnya dan Mariya tak bisa menyembunyikan senyumnya lagi. Dia mengelus surai kecoklatan gadis itu. Mariya mengangguk saat itu juga.
“Kamu tidak apa-apa, hanya saja kamau mengalami lupa ingatan.”
Manik mata itu seketika tampak sedih. “Apa aku tidak akan bisa mengingat apa yang sudah kulupakan?” tanyanya dengan sedih.
Mariya lantas menggeleng dengan cepat. “Tidak, ini tidak akan lama dan seiring berjalannya waktu, kamu akan mengingatnya,” ucap Mariya dengan cepat.
“Lalu sekarang aku harus bagaimana?”
Pertanyaan itu membuat Mariya menatap Tom, Tom hanya memberikan anggukan pada istrinya itu.
“Bagaimana untuk sementara waktu sampai ingatanmu kembali, aku dan Tom suamiku akan menjadi orangtuamu. Kamu bisa memanggil Tom papa dan kamu bisa memanggilku mama,” tawar Mariya. Sudah sepuluh tahun dia menikah dengan Tom dan sampai detik ini mereka berdua belum dikaruniai seorang anak dan saat ada kesempatan seperti ini memiliki Mariya tidak ingin melewatkannya, dia tidak perduli jika hal ini terdengar egois bagi siapa saja.
“Benarkah?”
Mariya mengangguk tanpa ragu. “Kami tidak akan mengecewakanmu.”
“Terima kasih.” Senyum yang Mariya dapatkan tidak pernah lihat dari gadis itu membuat hatinya merasakan suatu getaran, entah kenapa ketulusan dari senyumman itu membuat hatinya bergetar. Apakah ini bentuk Tuhan menjawab semua doa-doanya?
“Tapi sebelum itu kau harus diberikan nama dulu.” Potong Tom.
“Bagaimana jika Elizabeth Elysia?” ucap Mariya dengan antusias. “Kau maukan?” tanyanya.
Elizabeth Elysia, gadis itu merasa tidak asing dengan nama itu namun dia tidak mengerti mengapa. Dengan perlahan gadis itu mengangguk, dia menyetujui itu.
“Aku akan memanggilmu Elysia, jadi biasakan dirimu.”
Mariya sudah mendambakan buah hati sedari dulu jelas terlihat tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia sampai tak sabar untuk segera pulang ke rumah untuk memulai hidup barunya sebagai seorang ibu. Dia akan dipanggil mama dan Tom akan dipanggil papa, sebuah panggilan yang sudah lama sekali Mariya ingin dengar. Sebenarnya Mariya tak mengerti kenapa dirinya mengambil resiko ini, menyuruh anak yang dari pack yang sudah memberikan banyak pil pahit memanggil dia dan Tom dengan sebutan ‘Mama dan Papa’
“Terima kasih, uhmm… Ma, Pa.” Elysia gadis itu tersenyum.
***
Hari-hari penuh kesenangan akhirnya Mariya dan Tom rasakan. Mereka benar-benar menjalani peran sebagai orangtua dengan sepenuh hatinya. Mereka sangat memanjakan Elysia layaknya putri sendiri. Mendapat peran baru sebagai ibu membuat Mariya memaksimalkan semuanya. Kamar yang sudah dia siapkan sedari lama akhirnya terpakai dan dia mendekornya ulang agar pas dengan selera yang dia inginkan untuk anak seusia Elysia.
Semakin berjalannya waktu, kondisi Elysia semakin membaik namun gadis itu yang masih tidak mengetahui banyak hal tentang dunia luar, yang membuat Mariya dan Tom mengajarinya tentang semua hal. Tak cukup sulit bagi Elysia untuk menguasai pelajaran yang diberikan Mariya dan Tom dan itu membuat mereka bangga.
Dalam dua bulan banyak hal yang terjadi dan selama itupula Mariya tetap memberikan terapi pada Elysia agar Elysia bisa mengingat masa lalunya lagi. Walau Mariya sangat menyukai Elysia, tapi dia tidak bisa membiarkan Elysia dalam kebingungan akan jati dirinya.
“Apa yang kamu tonton, sayang.” Tom mengambil duduk tepat di samping Elysia yang tengah fokus pada televisi yang di tontonnya. Serial yang sudah dua hari dia tonton dan Elysia tidak ingin ketinggalan menontonnya.
“Serial drama, Pa lihat dia tampan,” tunjuknya pada pemeran utama lelaki. “Apa di sekolah banyak orang-orang seperti itu?” tanya Elysia dengan antusias. Dia benar-benar sangat awam dengan dunia luar dan hanya melihat dari televisi dan komputer yang diberikan orangtuanya.
“Tidak semua orang setampan itu sayang, tapi ya pasti yang tampan itu akan menyukaimu, karena kamu cantik.”
“Astaga kalian tengah membicarakan apa.” Intrupsi Mariya membuat Elysia dan Tom sontok menggeleng berbarengan.
“Kata Elysia, lelaki di sana lebih tampan dariku, sayang.”
Mariya menyerngitkan dahinya, dia memperhatikan aktor yang di maksud oleh Tom dan tertawa. “Hey, Elys kita benar. Dia lebih tampan darimu,” balas Mariya.
“Tuhkan Pa, dia memang tampan.”
“Ya Tuhan, istri dan anakku kompak mengatakan bahwa aku tidak tampan.”
Sebuah kebahagiaan bagi Elysia melihat dua orang yang menyelamatkannya memberikannya hidup yang seperti ini. Di balik canda tawa dan kasih sayang yang Mariya dan Tom berikan padanya terselip rasa ingin tahu bagaimana kehidupannya yang dulu dan bagaimana nasib kedua orangtuanya? Apakah mereka lelah mencari dirinya?
Kedua orangtua angkatnya saat ini sudah berusaha mencari orangtua kandungnya namun hingga saat ini mereka belum menemukannya. Entah harus sedih atau senang Elysia benar-benar tidak tahu. Yang jelas dia sangat berhutang budi pada Mariya dan Tom, kedua orangtua angkatnya untuk saat ini sangat baik kepadanya. Elysia tak tahu harus membalasnya dengan apa kebaikan itu semua.
Menjelang malam entah kenapa perasaan Elysia tak menentu. Hawa kamarnya yang biasanya dingin mendadak terasa aneh, seperti ada sesuatu yang terasa mengganjal. Perasaan itu benar-benar membuat Elysia tidak tenang. Dia berjalan menuju arah balkon kamar yang tak tertutup dan Elysia dapat melihat jelas langit yang tampak semakin menggelap. Saat matanya menatap langit entah kenapa dia merasakan sesuatu yang tak pernah dia rasakan selama tersadar dari komanya. Karena merasakan sesuatu yang tidak enak, Elysia memutuskan untuk menutup akses balkon kamarnya. Elysia benar-benar tak bisa mengartikan semua perasaan aneh yang mengganjalnya ini.
Dalam keresahan yang terus menghantuinya Elysia mencoba menyibukan dirinya dengan belajar, masih banyak yang harus dia pelajari karena ternyata banyak hal yang dia tidak ketahui dan dipikirannya hanya itu yang bisa dilakukannya untuk membunuh rasa tak mengenakan. Tapi ternyata perkiraan Elysia salah, semakin lama dia duduk dengan membaca dan sebagainya semakin perasaan tak tenang itu menghantuinya. Suhu tubuhnyapun terasa lebih hangat dari biasanya, semakin hangat hingga Elysia bisa merasakan keringat yang membanjiri pelipisnya.
“Apakah aku lupa menyalakan ac?” tanyanya pada diri sendiri. Namun saat mata abu-abu Elysia melihat ke arah ac yang terpasang, ac itu masih menyala. Elysia benar-benar tak mengerti sekarang dengan dirinya.
“Ya Tuhan aku lupa meminum obat.” Elysia saat itu juga mengambil obat yang tersimpan di dalam laci. Saat itu juga Elysia langsung menenggak obat-obat itu yang menjadi barang rutin untuknya minum.
Rasa panas di tubuh Elysia tak semakin membaik namun semakin terasa panas yang membuat dia merasakan kegerahan yang teramat. Air minum yang tersisa segera dia tenggak dengan cepat, tenggorokannya seperti terbakar. Saat Elysia akan meletakkan gelas itu kembali tubuhnya bergetar hebat dan saat setelah itu dia melihat dengan jelas bagaimana tangannya perlahan berubah. Kuku tangannya memanjang kemudian meruncing dan bulu abu-abu kehitaman tumbuh memenuhi tangannya. Mata Elysia melebar begitu saja dan tangannya tanpa sadar menjatuhkan gelas yang dia pegang.
Tubuh Elysia sontak mundur, mata itu masih melihat perubahan yang terjadi pada tangannya. Perlahan namun pasti sesuatu yang tak beres juga terjadi pada tubuhnya. Dengan takut-takut Elysia menoleh ke arah cermin yang ditaruh di pojok ruangan, saat dia melihat cermin dia melihat dengan jelas bagaimana sosoknya.
“Aaaaaahhh….” teriak Elysia dengan kencang sebelum dia berubah sepenuhnya menjadi serigala.
Elysia masih tak percaya dengan apa yang dia lihat hingga dia tanpa ragu menyentuh pecahan gelas yang berserakan di lantai. Sakit dan darah keluar setelah Elysia melakukan itu sontak saja Elysia menyembunyikan dirinya ke pojok ruangan. Dia tidak bermimpi dan semua ini nyata. Kepala Elysia benar-benar pening saat itu juga, di tengah kesadarannya yang semakin menipis Elysia melihat dengan jelas bagaimana mama dan papanya datang membuka pintu secara paksa. Mereka terlihat khawatir dan Elysia tak bisa melihat kelanjutannya karena gelap sudah menguasainya.
Dingin terasa memenuhi pelipisnya, mata Elysia dengan susah payah terbuka memperlihatkan sorot mata sayunya. Saat membuka mata pertama kali dia melihat Tom dan Mariya yang memandangnya dengan khawatir, dua orang yang sangat baik padanya dan menganggapnya seperti anak sendiri.
“Bagaimana perasaanmu sayang? Apa masih sakit?” tanya Mariya.
Hanya gelengan yang Elysia berikan sebagai jawaban. Tom yang melihat itu segera ngambil gelas di atas nakas. “Kau harus memberikannya minum dulu.” kemudian Tom membantu Elysia untuk meminum air yang sudah dipersiapkannya.
Setelah minuman yang diberikan Tom tandas di minum Elysia, ekspresi Elysia benar-benar membuuat Mariya dan Tom takut. Mereka sedari awal memang tak memberitahu Elysia tentang jati dirinya.
“Kami menemukanmu pingsan karena demam.” bohong Mariya.
Elysia menatap Mariya dan Tom, kepalanya saat ini sangat pusing sekali setelah mengingat semuanya dan tanpa bisa dicegah air matanya mengalir. Dua orang ini selama beberapa bulan hidup bersamanya sangat baik dan perhatian padanya hingga membuat Elysia betah dan sekarang bahkan dia sudah nyaman dengan panggilan barunya Elysia. Apakah dia egois ingin selalu tinggal dengan Mariya dan Tom dan menganggap dua orang ini adalah orangtuanya? Namun tentu saja mereka sudah melihat wujud aslinya bukan.
“Oh baby, kenapa menangis.” Tom terlihat khawatir melihat Elysianya menangis dengan sesenggukan.
Mariya sama khawatirnya dengan Tom dan dia dengan sigap mengelus pundak kecil Elysia yang bergetar, anak gadisnya ini sangat rapuh dengan tubuh mungilnya ini. “Kita ke dokter ya?”
“Maaf, maafkan aku….” ucap Elysia di sela-sela tangisnya. “Kalian pasti takut melihat wujud asliku,” sambungnya lagi dengan isak pilunya itu. Elysia terlalu takut untuk memperlihatkan wajahnya dan membiarkan kedua tangannya menyembunyikan ekspresi sedih tak tertahankannya.
Usapan Mariya pada punggung Elysia terhenti. Dia menatap Tom meminta suaminya yang berbicara menenagkan Elysia yang tampak sangat terpuruk.
“Baby, tak ada yang salah denganmu.”
“Kenapa kalian tidak takut dengan wujud asliku? Kenapa kalian masih sebaik ini?” tanyanya Elysia.
Lagi-lagi Mariya dan Tom saling memandang, dan Tom sudah tak bisa menyembunyikan semuanya lagi. “Karena aku sama sepertimu,” ucap Tom akhirnya.
“Jadi tak ada yang perlu kamu takutkan, kami menerimamu.”
“Lalu bagaimana jika aku akhirnya mengingat semuanya? Mengingat siapa aku dan berasal dari mana, apakah kalian akan mengantarku pulang? Lalu bagaimana jika aku betah dengan kalian?” ucap Elysia dengan cepatnya karena dia benar-benar tak bisa menyembunyikan semuanya. Dia tidak ingin membohongi siapa-siapa apalagi sosok Tom dan Mariya yang sangat baik padanya ini. Mereka terlalu baik untuk disakiti oleh siapapun.
Kamar itu mendadak hening setelah ucapan Elysia. Mariya dan Tom tidak pernah menduga bahwa perubahan Elysia ke bentuk serigalanya membawa gadis remaja itu mengingat semua masa lalunya. Mereka sudah terbiasa dengan khadiran Elysia hingga lupa bahwa Elysia hanyalah anak asing yang kehilangan ingatannya dan saat ingatan gadis itu kembali mereka akan membawanya menuju tempat seharusnya berada.
“Kalian diam, berarti kalian akan membawaku kembali ke packkukan? Lebih baik aku menjadi gelandangan saja di sini jika kalian membawaku kembali ke sana. Aku tidak mau ke sana lagi,” sambung Elysia. Sudah terlalu banyak air mata yang dia keluarkan karena kehidupannya di sana dan dia sudah tak tahan dengan semua itu. Sekarang dia baru merasakan hidup yang benar-benar hidup di mana kedua orangtuanya mencintainya dengan sepenuh hati dan selalu mendukungnya.
“Untuk apa menggelandang jika kamu bisa tinggal di sini terus?”
Perkataan Tom membuat Elysia membelakkan matanya. Dia memandang Tom dan Mariya dengan perasaan senang. “Kalian tidak bercandakan?” tanya Elysia memastikan.
“Tidak, kami tidak akan bercanda jika mengenai hal ini.”
Saat itu juga Elysia kembali menangis, namun air mata yang dikeluarkannya untuk pertama kali adalah air mata bahagia. Dia bahagia mendapatkan orang yang bisa dipercaya dan menerimanya seperti ini. Elysia awalnya mengira bahwa di dunia ini hanya di isi oleh orang-orang jahat saja namun ternyata masih banyak orang yang baik, seperti Mariya dan Tom ini misalnya.
“Oh, Elysia putriku, jangan menangis lagi.” Mariya memeluk Elysia dengan sayang. “Bisakah kami terus memanggilmu seperti ini? Elizabeth Elysia?”
Dengan suara parau karena terusan menangis Elysia menjawab, “Ya, aku suka dengan nama itu,” ucap Elysia. Elizabeth di depan namanya merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari dirinya ternyata dan Elysia tak dapat menolak pemberian nama Mariya padanya karena arti dari namanya yang diberikan Mariya sangat indah.