Kesepakatan Menjadi Istri Kedua
"Tanda tangani ini dan kamu akan segera mendapat uangnya," tegas seorang wanita muda berambut ikal. Wajah cantiknya yang seperti kaum bangsawan memandangku dengan sinis.
Sementara aku hanya bisa tertunduk di bawah dominasinya. Dengan tangan yang gemetar, kupegang pena berwarna silver yang diberikan wanita itu. Entah kenapa menggerakkan pena saja rasanya begitu sulit, seolah tanganku mendadak kehilangan seluruh dayanya.
"Cepat, waktuku tidak banyak," timpal wanita itu membentakku.
Aku mengangguk. Sekuat tenaga kucoba menahan air mata yang sudah berdesakan di sudut mataku. Aku tidak bisa mundur sekarang. Hanya ini satu-satunya jalan keluar untuk mendapatkan uang seratus juta dalam waktu singkat. Aku harus melakukannya demi menyelamatkan nyawa mama yang sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit.
"Maafkan aku, Ma, Pa. Aku mengecewakan kalian. Aku sudah gagal menjadi anak yang berbakti,"
batinku sedih sembari membubuhkan tanda tangan di atas materai. Tanpa membaca lagi isi perjanjian pra nikah tersebut, kuserahkan dokumen yang kupegang ke tangan pemiliknya.
Bulu mata lentik wanita itu pun bergoyang seiring dengan gerakan bola matanya yang mengamati tanda tanganku.
"Bagus. Sekarang juga aku akan mentransfer uangnya."
Wanita di hadapanku ini adalah Navisa Tirtakusuma, bos pemilik butik tempatku bekerja sekaligus istri sah dari pria yang akan kunikahi.
Awalnya aku memohon kemurahan hatinya untuk meminjamkanku uang. Aku berjanji akan bekerja di butiknya tanpa dibayar sampai hutangku lunas. Tapi tak kusangka dia malah menawariku untuk menjadi istri kontrak Raisen Tirtakusuma. Aku tidak mengerti mengapa dia menyuruhku menjadi istri kedua dari suaminya sendiri, bahkan bersedia membayar mahal agar aku bersedia melakukan hal itu. Namun aku enggan mencari tahu karena pikiranku sendiri sedang kacau.
Aku hanya terpaku sambil memperhatikan bagaimana jari Bu Navisa bergerak lincah di atas ponselnya. Sesaat kemudian dia menatapku dengan tajam.
"Ambil ponselmu dan cek. Uangnya sudah masuk."
Tanpa berani membantah, kuambil ponsel dari dalam tas. Di layar ponselku, muncul notifikasi transferan masuk sebesar seratus juta. Antara percaya dan tidak, kubuka saldo rekeningku lewat aplikasi mobile banking. Ini sungguh nyata. Uang seratus juta sudah masuk di dalam rekeningku. Artinya operasi mama bisa dilakukan hari ini juga.
"Terima kasih, Bu Navisa," jawabku dengan suara terbata."
Meskipun pendingin ruangan menyala, tapi kedua telapak tanganku basah dan berkeringat. Segera kumasukkan ponselku ke dalam tas dengan perasaan campur aduk.
"Besok pagi jam sepuluh acara akad nikah akan dilakukan. Supirku akan menjemputmu jam tujuh pagi karena kamu harus dirias terlebih dulu. Jangan coba-coba melarikan diri atau aku akan memenjarakanmu. Mengerti?"
"Saya mengerti, Bu. Boleh saya pergi ke rumah sakit sekarang? Mama saya harus segera dioperasi," tanyaku memberanikan diri.
Bukannya menjawab, Bu Navisa malah melemparkan sebuah map ke tanganku.
"Boleh, tapi pelajari ini. Di dalamnya berisi semua keterangan tentang suamiku. Dari nama sekolahnya, hobinya, makanan kesukaannya hingga jam berapa dia harus minum obat. Kamu harus menghafalnya di luar kepala karena besok kamu menjadi istrinya."
"Iya, Bu," jawabku patuh.
"Okey, silakan pergi. Aku ada urusan lain," titah Bu Navisa sembari mengangkat ponselnya.
Tidak ingin dia berubah pikiran, aku membawa map itu lalu melangkah menuju ke pintu. Sebelum keluar sempat kudengar Bu Navisa berbicara dengan seseorang lewat telpon dan menyebutnya dengan panggilan sayang. Tapi aku tidak terlalu menghiraukannya. Tujuanku saat ini hanyalah tiba di rumah sakit secepat mungkin.
***
Aku duduk termenung sendirian di depan ruang operasi. Lampu masih menyala, pertanda usaha untuk menyelamatkan nyawa mama sedang berlangsung. Dalam diam aku terus memanjatkan doa, berharap agar mama mampu bertahan melewati semua ini. Setelah kehilangan papa, aku tidak sanggup bila harus kehilangan mama lagi.
Masih teringat dengan jelas di benakku bagaimana kepergian papa yang tiba-tiba. Duniaku dan mama serasa runtuh kala itu. Kami tidak tahu harus berbuat apa tanpa papa. Dan penderitaan kami tidak berhenti disitu. Seminggu sesudah pemakaman papa, tiga orang petugas bank datang. Mereka menempelkan plakat kuning berbentuk persegi panjang di pagar rumah kami.
Rumah kami beserta seluruh aset di dalamnya disita oleh pihak bank. Dari situ aku baru mengetahui bahwa papa pergi dengan meninggalkan banyak hutang. Karena papa tidak sanggup membayar semua kewajibannya, maka rumah kami yang harus dikorbankan.
Sejak peristiwa itu, kami terpaksa pindah ke kontrakan kecil di tengah perkampungan. Untuk sementara waktu aku cuti kuliah demi bisa mencari pekerjaan. Aku sangat membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup sehari-hari. Dan aku bersyukur karena bisa diterima bekerja di butik milik Bu Navisa walaupun dengan gaji UMR. Namun mama tampaknya tidak bisa menerima kenyataan ini. Hari demi hari kesehatannya makin memburuk. Hingga sepulang kerja aku menemukannya jatuh pingsan di kamar mandi.
Dengan panik, aku melarikan mama ke rumah sakit. Untuk kesekian kalinya aku harus menelan pil pahit saat dokter mengatakan mama terkena serangan stroke. Ada penggumpalan darah di otaknya sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Bila tidak, kemungkinan besar mama akan meninggalkanku untuk selamanya. Padahal biaya yang dibutuhkan untuk operasi sangatlah mahal. Lalu darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
Dalam kondisi patah arang, aku memohon belas kasihan kepada Bu Navisa. Tapi disinilah aku berakhir sekarang. Aku telah menggadaikan harga diriku demi membiayai operasi mama.
Kupandang map berwarna biru di tanganku. Ya ini adalah bukti nyata bahwa aku telah menjerat diriku di dalam pusaran gelap selama satu tahun ke depan.
Membayangkan wajah Bu Navisa, aku mulai membuka isi map tersebut. Dia sudah berpesan padaku untuk membaca dan menghafalkan isinya sebelum hari pernikahan. Tentu saja aku tidak boleh melanggar perintahnya.
Perlahan, kubuka map itu. Ada dua lembar kertas yang tersimpan di dalamnya. Kuambil lembaran pertama lalu aku mulai membacanya tanpa suara.
"Raisen Tirtakusuma, 32 tahun, tinggi 182cm, pendidikan S2 Magister Manajemen, pekerjaan direktur Tirta Angkasa Group. Warna kesukaan biru, hobi berkuda, menembak, dan berenang. Makanan kesukaan tenderloin steak."
Aku tercengang membaca profil calon suamiku yang luar biasa hebat. Apalagi setelah aku melihat fotonya. Parasnya begitu menawan, perpaduan wajah eropa dan asia. Lalu apa yang kurang dari pria ini? Mengapa Bu Navisa rela membagikan suaminya yang sempurna kepadaku, gadis miskin yang hanya berstatus sebagai pegawai rendahan?
Didorong rasa penasaran, mataku berpindah ke bawah. Kucoba menelusuri satu per satu catatan panjang yang dituliskan Bu Navisa.
"Tahun 2020 mengalami kecelakaan mobil di jalan tol. Kecelakaan itu menyebabkan gegar otak, gangguan mental, kemunduran memori dan...pincang."
Aku membaca tulisan itu dua kali, memastikan agar aku tidak salah membacanya. Aku berusaha mencerna dan memahami makna dari kalimat tersebut. Tanda tanya besar memenuhi kepalaku. Jadi Raisen Tirtakusuma sekarang cacat? Dan gangguan mental seperti apa yang dimaksudkan Bu Navisa? Apakah ini sebabnya Bu Navisa menyerahkan suaminya kepadaku?