Tet tet tet!
Bel sekolah berbunyi, menandakan waktunya Joe pulang. Ia merapikan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, setelah ibu guru mengatakan kalimat penutup. Seperti biasa, Joe keluar kelas menuju kursi panjang dekat gerbang sekolahnya menunggu sang Mommy menjemput.
Kaki kecilnya yang mengantung ia goyang-goyangkan menghilangkan rasa bosan. Sudah hampir 1 jam Joe duduk manis, Jae belum kunjung datang untuk menjemputnya. Joe menegakkan tubuh menebarkan pandangannya kesekeliling, hanya tersisa dirinya duduk disini karena yang lain sudah dijemput oleh orang tua masing-masing.
"Apa Mommy sibuk di tempat kerja?" Monolog Joe. Ia kembali menyenderkan punggungnya, Joe ingin pulang sendirian tapi Jae sudah berpesan untuk menunggunya. Mau tak mau ia harus tetap menunggu sampai sang Mommy datang.
Disisi lain, tanpa Joe sadari ada sepasang mata yang tidak lepas menatap tubuh kecilnya dengan pandangan penuh arti.
***
"Hallo, Kai. Apa aku boleh minta pertolongan?" tanpa basa-basi dengan suara Jae yang terdengar tergesa-gesa ketika Kai mengangkatnya.
"Oh tentu, pertolongan apa?" Kai menjawab telpon Jae dengan kaku. Ia sedang berada di mobil bersama Sammy, yang Kai yakin mendengar percakapannya.
"Aku minta tolong untuk menjemput Joe. Aku tidak bisa, karena begitu banyak pelanggan hari ini."
"Baiklah, aku akan segera menjemput Joe. Kebetulan hari ini aku masuk kerja jam 4 sore."
Sebenarnya Kai sudah tahu apa yang akan Jae ucapkan, tapi ia seolah tidak mengetahui apapun. Jelas ia tahu karena sedang memantau mobil David didepannya yang sejak tadi terparkir diseberang sekolah Joe. Kai yakin, David memantau Joe yang sedang duduk menunggu Jae.
"Apa itu—"
"Ya, Mommy Joe. Dia memintaku untuk menjemput Joe, karena banyak pelanggan saat ini."
Tanpa bertanya apapun lagi, Sammy langsung keluar dari mobil untuk mendatangi mobil David yang sudah satu jam lebih memperhatikan anak kecil yang bernama Joevanca itu. Baru beberapa langkah kaki Sammy terhenti melihat pintu mobil David terbuka menampakkan diri. Tanpa diduga Tuannya beranjak menyebrangi jalanan menuju anak kecil yang masih duduk seorang diri.
Kai yang di dalam mobil juga melihat pergerakan dari David, jantungnya mulai berdegup kencang. Apa yang akan David lakukan bertemu dengan anaknya untuk pertama kali melihat sosok David kecil itu? Ia merasa tak percaya bahwa bayang-bayangnya tentang akan hal ini benar-benar terjadi didepan kepalanya sekarang, melihat Joe dan Ayah kandungnya berinteraksi.
Disisi lain, David melangkah dengan pasti mendekati yang ia yakini adalah Putranya. Jangan tanya jantung David, berdegup sangat kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa jika sudah berhadapan dengan anaknya. Entah kenapa tubuhnya terdorong untuk mendekat tanpa merancang kata-kata untuk menghadap Putranya itu. Oh God! David benar-benar tegang. David berdiri didepan Joe yang masih duduk.
Merasa ada kaki besar menghampiri sudut pandangannya. Tanpa ragu Joe mendongak untuk melihat wajah si pemilik kaki. David pun berjongkok menyajarkan wajah mereka, tanpa ia sadari matanya sudah menelusuri wajah dan tubuh mungil itu.
Apa dia benar-benar Putraku? Wajahnya benar-benar sepertiku. Tanpa sadar air mata David jatuh tanpa permisi. David hampir tidak pernah meneteskan air mata 2 tahun terakhir semenjak sang istri meninggalkannya. Tapi ini bukan air mata kesedihan melainkan rasa takjub bercampur rasa bersalah dengan apa yang didepannya sekarang. Batin David berulang kali mengucapkan rasa syukur, karena telah diberi kesempatan lagi untuk menjadi seorang Ayah walau terlambat untuk mengetahuinya.
"Paman siapa? Kenapa menangis?" tanya Joe yang kebingungan.
David menghapus air matanya menggunakan punggung tangan lalu
tersenyum, "Kenapa kau sendirian disini? Dimana orang tua-mu?" ia tak
berniat menjawab atau bertanya kembali.
"Mommy sepertinya sedang sibuk, jadi tidak bisa cepat untuk menjemputku." Joe kembali menundukkan kepalanya, entah kenapa ia ingin memeluk Mommynya sekarang, karena pria dewasa didepannya ini mengingatkan pada Jae yang juga menangis hanya dengan menatapnya seperti tadi pagi.
Sebenarnya Joe tidak ingin berbicara terlalu lama dengan orang asing, karena ini juga sebagian dari pertintah sang Mommy. 'Jangan terlalu lama berbicara dengan orang asing, Mommy tidak ingin sesuatu terjadi padamu' dan itu sudah pernah Joe langgar. Orang asing seperti Kai sudah menjadi buktinya. Bahkan ia sudah memanggilnya dengan embel-embel uncle, untungnya Kai bukan pria jahat.
Joe memutuskan untuk menunggu Jae di halte bus. Sebelum mengucapkan kata pamit, Joe bertanya, "Apa Paman menjemput anak Paman? Setahuku di dalam sudah tidak ada selain aku, yang lain sudah pergi."
"Daddy," potong David lagi. "Panggil aku Daddy." Sambungnya dengan ekspresi yang membingungkan Joe.
Joe mengerutkan keningnya seolah berkata 'kenapa harus Daddy?' dan David ikut menjawab dalam hati 'because i'm your Daddy' sangat ingin rasanya memeluk tubuh mungil itu kedalam dekapannya, tapi ia yakin Joe akan merasa risih karenanya.
Joe menatap aneh pada pria dewasa didepannya. Joe tidak mengelak atau membantah ucapan itu seperti ia lakukan pada Kai sebelumnya. Apa ini karena tadi Mam Desy menanyakan sosok Daddynya? Joe menggeleng cepat dengan pikiran yang ada di kepala kecilnya itu.
"Apa kepalamu sakit?" Suara berat pria dewasa itu menyadarkan Joe dan ia langsung mentap mata hitam nan besar itu.
"Kenapa aku harus memanggil Daddy? Aku tidak punya Daddy. Hanya ada aku dan Mommy sejak dulu." Ucapan Joe berhasil membuat hati David seperti ditusuk benda tak kasat mata. Ucapan yang keluar dari mulut mungil itu seperti tamparan keras untuknya. David tidak mengerti perasaan apa yang ia rasakan sekarang.
"Karena...aku pernah kehilangan seorang anak yang mungkin umurnya lebih muda 2 tahun darimu, jika ia diberi kesempatan untuk lahir ke dunia ini. Apa Paman boleh memintamu untuk memanggilku ‘Daddy’ sebagai gantinya?" Rasa bersalah kembali merenggut David, terlihat dari senyum miris yang ia perlihatkan. Tapi satu yang David ketahui, ini salah satu dosa yang harus ia tanggung. Betapa brengseknya dirinya tidak mengetahui keberadaan Joe yang tumbuh dengan baik selama 6 tahun terakhir.
Siapa yang merasa baik-baik saja saat anak sendiri tidak mengakuimu sebagai orangtua? Walaupun mereka belum pernah bertemu sebelumnya tapi rasa sakit itu tiba-tiba muncul dengan sendirinya.
Joe mencoba mencerna semua ucapan pria dewasa didepannya, dengan kata kehilangan ia seperti bisa merasakan betapa menyakitkannya bila kehilangan sosok Mommynya.
"Mommy...aku ingin bertemu Mommy." Entah kenapa membayangkannya saja Joe tidak sanggup harus berpisah dengan Jae. Ia takut Jae akan meninggalkan karena bayangannya sendiri, walaupun sebenarnya itu tidak mungkin Jae lakukan.
Perasaan Joe hari ini memang cukup sensitif mengingat Jae tadi pagi menangisi dirinya tanpa sebab, pertanyaan Mam Desy tentang Daddynya di kelas, melihat interaksi Ariana—teman sekelasnya dijemput oleh Papanya, dan ditambah pria dewasa didepannya memaksa dirinya memanggil 'Daddy'.
"Hey sayang, apa yang kau takutkan? Apa yang membuatmu menangis?" David meraih tubuh mungil Joe ke dalam dekapannya. Perlahan ia mengusap punggung kecil Joe yang bergetar hebat bersama isakkan, menangis seperti anak kecil pada umumnya.
Disaat bersamaan, mata Kai yang sejak tadi memperhatikan David dan Joe, membuat rasa takutnya tak kunjung surut malah semakin besar melihat Joe menangis. Untuk pertama kalinya Joe menunjukkan emosional selama ia memantau Joe, pada siapapun termasuk dirinya, terkecuali dengan Jae. Joe memang dikenal berwajah datar oleh orang sekitar.
Apa David menyakitinya? Batin Kai.
"Apa yang kau cemaskan?" Tanya Sammy mencoba menebak wajah Kai yang sejak tadi tidak menolehkan wajahnya walau sedetik hanya demi tak melewatkan setiap interaksi David dan Joe.
Sam mencoba menebak apa yang ia lihat selama disini, temannya yang bernama asli Kim Jongin ini menaruh perasaan pada Ibu dari anak kecil yang bernama Joe itu—anak kandung Tuannya.
Bagaimana Sam tidak tahu? Dari cara bicara Kai yang terlihat gugup dengan Jae, atau mematap khawatir terhadap Joe. Itu terlalu kentara bagi Sam. Apa lagi Kai mengatakan 'aku menyayangi Vanca seperti anakku sendiri' entah itu diucapkan sengaja atau tidak, yang pasti Sam bisa menyimpulkan bahwa Kai melupakan keprofesionalan dalam bekerja. Tapi itu hal wajar bagi Sam, seperti dirinya juga. Ia sudah menganggap David seperti adiknya sendiri walaupun itu terdengar kurang ajar.
Oh hey! Ayolah, bukankah itu yang namanya bekerja dengan sepenuh hati? Elak Sam dalam hati.
***
Alunan musik klasik berputar membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa tenang. Tapi tidak dengan di salah satu meja makan yang terlihat canggung.
"Joe mau es krim?" Tanya David pada Joe yang sedang duduk sampingnya. Sengaja mencoba untuk mengakrabkan diri. Joe ingin menolak tapi es krim terlalu menggoda untuk ditolak, jadi Joe lebih memilih diam.
Melihat Joe seperti berperang dengan pikirannya, membuat David mengulum senyum. Ia memang tidak tahu apa kesukaan Joe, tapi setelah menawarkan es krim David menemukan salah satu kesukaan Putranya. Yang membuat Joe berpikir keras untuk menolak. Seperti sebelum mereka kemari, David menanyakan 'sudah makan atau belum' Joe menjawab sudah, tapi perutnya berbunyi seperti mengatakan lapar.
Perintah sang Mommy memenuhi kepala kecil Joe 'jangan menerima makanan atau apapun dari orang asing'. Ya, kira-kira seperti itu perkataan Jae.
Mereka sedang makan siang di restaurant hotel milik Sungjin. Semua karyawan yang ada di ruangan sedikit kebingungan dengan apa yang Tuan muda mereka bawa kemari—seorang anak laki-laki bagai miniatur David. Mereka juga bertanya-tanya. Bahkan ada yang membicarakannya cukup nyaring hingga sampai ketelinganya, tapi David tidak perduli.
'Anak siapa yang Tuan David bawa?'
'Apa itu anaknya dari kekasih gelapnya yang ia tutupi selama ini?'
'Atau seorang anak kecil yang ditemukan oleh David dijalan?'
'Bukankah mereka begitu mirip untuk itu?'
Begitulah kira-kira pertanyaan yang sudah menyebar di seluruh hotel ini. Karena mulut ke mulut dari kalangan karyawannya terutama wanita para penggosip, semenjak David menggenggam tangan mungil Joe dengan penuh perhatian menuntun untuk masuk. Seolah ia menunjukan dan berkata 'dia adalah Putraku'.
Dan ya, hampir semua karyawan sedikit banyaknya mengetahui kisah kehidupan Tuan muda mereka yang menawan itu. Sehingga siapapun dan apapun yang menyangkut David, akan menjadi bahan pembicaran dikalangan karyawannya.
Penuh perhatian David memperlakukan Joe. Jujur saja, ia belum pernah terbayang olehnya memiliki seorang anak ditengah statusnya yang duda ini. Ada sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan yang berbeda, bahkan jauh lebih menantang dan menyenangkan walau sikap Joe benar-benar diluar dugaannya—begitu acuh dengan orang asing. David hanya bisa tersenyum miris.
Orang asing, kata itu memang kurang pantas jika ditujukan pada hubungan seorang anak dan orangtua. Memikirkan itu membuat hati David seperti diremas begitu kuat. Tapi memang inilah salah satu hukumannya, mau ataupun tidak ia harus siap menerimanya jika hukuman itu—yang mungkin saja bertambah dimasa mendatang.
"Untuk cuci mulutnya, berikan es krim rasa coklat untuk kami berdua." Ucap David pada salah satu pelayannya.
Mendengar itu Joe mendongak melihat pria dewasa di sampingnya. Padahal ia tidak mengatakan apapun, tapi David seolah tahu isi kepala mungilnya. Bahkan tahu rasa favoritnya, coklat.
Sedangkan David hanya asal menyebutnya, karena dirinya juga menyukai rasa coklat dari rasa yang lain. Tak lain hanya ingin Joe protes rasa yang ia pilih, memancing Putranya bicara.
Apa dia memang sependiam ini? Batin David. Kalau memang benar begitu, ia akan mencari cara lain untuk menarik perhatian Joe dan bicara padanya. Setidaknya berbicara atau mengeluh sesuatu padanya. Ayolah David, ini baru awal. Semangatlah untuk mendapatkan hati Putramu! Ucap David dalam hati untuk menyemangati dirinya sendiri.
***
Jam yang tertera di layar ponsel Jae, menunjukan pukul 2 siang. Penuhnya pelanggan membuat Jae tidak bisa menjemput Joe sekolah, terpaksa ia meminta pertolongan Kai untuk membantunya. Jam istirahatnya pun harus diundur 2 jam. Sepertinya Joe pasti sudah kembali ke flat mereka, mengingat Kai mau menjemput Joe untuknya.
Jae membawa ayam goreng berbalut keju ditambah beberapa potong sandwich kesukaan Joe untuk mereka makan bersama. Walaupun ia hanya sebentar dan membuatnya tergesa-gesa harus bolak-balik antara rumah dan tempat kerjanya, itu tidak masalah. Asalkan Jae bisa melihat Putra kecilnya menyantap makan siang dengan baik, itu sudah lebih dari cukup membuatnya tenang.
Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, Jae tidak bisa membiarkan Joe makan sendirian lagi disiang hari. Membersihkan rumah, memasak seorang diri dengan kursi kecil yang dia naiki, melihat Joe memegang tongkat sapu yang lebih tinggi dari badannya. Tidak! Jae tidak kuat membayangkannya.
"Mommy datang, darling."
Hening, tidak ada jawaban. Apa Putranya tertidur? Jae menengok kearah rak sepatu, tidak ada sepatu Joe disana. Setengah berlari, Jae melangkah dengan kecemasan menuju kamar Putranya. Yang benar saja tidak ada siapapun, bahkan kasur masih terlihat rapi seperti tadi pagi ia tinggalkan.
Kemana Joe? Jantungnya berdegup dengan kencang, tangan Jae meraih ponsel pintarnya disaku mantel dan mulai menghubungi Kai. Semoga Putranya masih bersama Kai, karena hanya pria itu satu-satunya yang ia percayai.
"Hallo Kai, apa Joe masih bersamamu?" Tanya Jae dengan panik ketika sudah terdengar sambungan.
"Oh... i—iya, Joe masih bersamaku. Maafkan aku tanpa memberi kabar, kami sedang makan siang bersama. Apa kau baik-baik saja, Jae? Kau terdengar sangat panik." Jawab Kai dengan gugup, ah jantungnya benar-benar seperti sedang lari maraton. Itu karena ia masih disamping Sam dan sudah jelas temannya itu mendengarnya.
Jae bernafas lega. "Syukurlah kalau dia masih bersamamu. Maaf merepotkanmu. Dimana kalian makan? Aku akan menghamipiri kalian dan Joe akan pulang bersamaku. Jadi kau tak perlu mengantar Joe pulang." Dengan ponsel yang masih menempel di telinga, Jae mulai melangkah menuju pintu depan dan memasang sepatunya kembali.
"Apa?! Ma—maksudku... memangnya kau tidak bekerja? Jika kau mengkhawatirkan Joe, itu tidak perlu. Biar aku yang mengantar Joe sampai ke rumah dengan selamat. Kau tidak perlu khawatir, Jae. Lagi pula sebentar lagi kami akan selesai dan segera pulang." Kai mencoba meyakinkan Jae agar tidak perlu menghampirinya. Karena ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika yang ditemukan oleh wanita itu bukan dirinya, melainkan David. Ya ampun! Ini benar-benar diluar perkiraannya.
Jae yang mempunyai pendengaran yang tajam, alisnya berkerut ketika suara Kai terdengar seperti paksaan. "Baiklah aku mempercayaimu, kalau begitu aku akan kembali bekerja. Bisakah aku bicara dengan Joe sebentar?" Permintaan Jae membuat mata Kai membulat sempurna.
Sam yang memperhatikan Kai sejak tadi ikut tersentak dengan ekspresi Kai. Temannya itu menggerakan mulutnya seolah berkata 'Dia ingin bicara dengan Joe!' matanya mengarah pada Joe yang sedang menyantap es krim coklat bersama David, yang berjarak 10 meter dari mereka. Tanpa membuang waktu, Sam melangkah kearah meja David.
David mengarahkan pandangannya pada Sam yang berjalan cukup tergesa mengahampirinya. Sam berdiri di samping kursi David lalu menundukan badan sedikit untuk menceritakan singkat dari kejadian yang belum David tahu. Dengan seksama David mendengarkan, lalu menatap Sam yang sudah tegak berdiri disampingnya.
"Kalau begitu, biarkan aku yang bicara dan menemuinya secara langsung untuk mengantar Joe padanya."