Marah

1199 Kata
"Apa?!" Kai tersentak mendengar penjelasan Sam. Ia sudah menutup telpon Jae sebelum berteriak. "Jangan berteriak bodoh! Nanti Tuan David bisa mendengarmu!" Hampir berbisik dengan penuh penekanan disetiap katanya. "Kenapa dia begitu gegabah? Ya ampun! Apa dia tidak memikirkan resikonya yang dia ambil secara mendadak itu?" Kai mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana tidak? Jika itu terjadi, maka penyamaran dia selama ini akan terbongkar secepat dari perkiraannya. Demi apapun Kai belum siap. Tak hanya itu, ia memikirkan perasaan Jae. Sudah pasti wanita itu akan mengulang rasa sakit dan masa sulitnya yang mungkin sudah lupa kejadian di 6 tahun silam. "Itu beresiko untuknya atau untukmu? Aku tahu kau menaruh perasaan pada Mommy Joe. Siapa namanya? Aku lupa." Kai yang awalnya memandang ponsel pintarnya, langsung beralih pada Sam didepannya. "Jae, namanya Jaevyna." Kai menghena nafas pasrah. "Bagaimana kau tau?" tanyanya melemah. Sebenarnya Kai lelah dengan berbagai kekhawatiran dan ketakutan yang selalu mengitari kepalanya. "Stupid question, semua orang pasti akan tahu. Itu terlalu kentara saat kau menerima telpon darinya dan kekhawatiranmu yang berlebihan pada Joe, terutama pada Mommynya. Kalau kau tidak ingin terlihat seperti itu, kau tidak perlu memegangi dadamu dulu baru mengangkat telpon darinya." Pernyataan dari Sam, tidak membuat Kai mengelak karena ia sudah mengakui perasaannya sendiri sejak lama, namun hanya ia pendam. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Tidak mungkin Kai menahan Jae atau menyuruh David untuk pergi agar mereka tidak bertemu. Ditambah lagi ia belum menyatakan perasaannya pada Jae. "Hey, kau baik-baik saja? Katakan sesuatu." Kai kembali menatap temannya yang tidak bisa mengerti kegundahan hati yang sedang melandanya. Sam terlalu banyak bicara jika diluar jam kerja. "Memangnya ada sesuatu yang bisa merubah keadaan, kalau aku mengatakan sesuatu?" Ucap Kai ketus. Sam terdiam menatap iba pada temannya. Kai terlihat menyedihkan. "Kau seperti bukan Kai yang biasa kukenal. Biasanya kau selalu profesional dalam bekerja dan tidak pengecut seperti sekarang. Seharusnya kau mengungkapkan perasaanmu sejak awal menyadari perasaan itu, man." "Kau tidak tahu Jae seperti apa. Dia begitu acuh pada orang sekitar. Dia tidak peka sama sekali. Aku selalu menunjukan perhatian dan kepedulianku padanya, tapi dia malah sebaliknya. Seperti tidak ada rasa ketertarikan padaku. Padahal dia tidak dekat dengan pria manapun, apa lagi memiliki seorang kekasih." Keluh Kai. "Kau bicara seperti itu seolah kau tidak tau apapun tentang dirinya. Atau kau tidak terima kalau hanya Jae yang tidak tertarik dengan pesonamu?” jedanya. “Apapun jawabanmu, aku akan memberi tahu biar otakmu bekerja sedikit." Sam memajukan duduknya mencari posisi yang nyaman. "Kau tahukan kalau wanita itu pernah mengalami hal buruk dimasa lalunya? Mungkin kejadian itu berdampak cukup besar untuknya, yang membuat wanita itu menutup hati dan berfokus untuk membahagiakan Putra sematawayangnya. Jadi dia tidak ada kesempatan untuk mencari kebahagiannya sendiri, demi sang buah hati. Selama kau disini, pasti tahu bagaimana kesehariannya bersama Putranya. Yang dia lakukan hanya bekerja ‘bukan? Menjadi single parent itu tidak mudah, harus membagi waktu antara mencari uang dan memberi kasih sayang pada anaknya." Jelas Sam panjang lebar sambil mengamati ekspresi Kai yang terdiam mencerna perkataannya. "Kalau benar kau ingin mengambil hatinya. Ambil dulu hati Joe. Tapi, aku lihat Joe adalah anak yang susah untuk diajak kompromi. Atau beri wanita itu perhatianmu tanpa henti, siapa tahu sedikit demi sedikit dia peka dan tertarik untuk melihat hatimu." Sambung Sam. "Kau benar Sam. Mungkin aku terlalu cepat menyerah. Ternyata urusan perasaan benar-benar diluar dugaanku, begitu rumit hingga membuatku tidak konsen dalam bekerja. Dan membuatku egois ingin memiliki mereka seutuhnya." Ucap Kai dengan suara yang merendah. "Sebenarnya tidak hanya itu yang aku takutkan," Sam yang mendengar sambungan kalimatnya dari Kai langsung menautkan alisnya dengan bingung. "Tuan David. Aku takut Jae akan terpesona padanya nanti." *** Jae kembali mendapat panggilan dari Kai setelah pria itu menutupnya secara sepihak. Yang membuatnya terkejut kali ini adalah, bukan suara Kai. Melainkan suara pria yang lebih rendah membass, membuat telinga Jae seperti disengat listrik mengakibatkan merinding disekujur tubuh. Jae mengenal suara ini. Setelah berbicara jelas nan singkat dari seberang sana, membuat jantung Jae berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak? Joe sedang bersama Ayah kandungnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kai dan David Jerrold, kenapa mereka bisa bersama dan memakai nomor Kai untuk menghubunginya? Ia takut terjadi sesuatu pada Joe disana. Ketakutan terbesar Jae adalah Putranya direbut dari sisinya. Jae bergegas menuju tempat yang ditujukan. Ingin mendengar semua penjelasan dari mulut Kai secara langsung. Ia tidak ingin berasumsi buruk pada Kai sebelum mendengar semuanya. Pria itu sudah begitu baik dengannya dan Joe selama ini. Dengan langkah yang terburu-buru beriringan dengan tempo jantungnya yang berdetak kuat. Jae masuk melalui pintu utama yang berputar itu, lalu memasuki lift dan memencet tombol 3 dimana restaurant hotel ini berada. Pintu lift terbuka, Jae langsung menebar pandangan keseluruh penjuru ruangan mencari sosok Putra kecilnya. Dan tak memerlukan banyak waktu, ia menemukan Joe sedang makan es krim coklat bermangkuk besar untuk porsi seorang anak. Jangan lupa pria disamping Putranya, David dari keluarga Park yang tidak punya hati itu. Langkah yang lebar dan pasti, Jae berjalan menuju meja itu. Entah karena ikatan batin atau firasat anak yang kuat, Joe menengok kearah Jae berjalan dengan wajah yang hampir tidak pernah Jae tunjukan pada Joe. Wajah kecil Joe tersentak kaget. "Mommy?" Mendengar itu David mengikuti arah pandangan Putranya, yang dimana Jae sudah berdiri disamping kursi Joe duduk. Tidak ada niat sedikitpun Jae mengarahkan matanya pada pria disamping Joe saat ini. Ia lebih memilih berjongkok menyajarkan wajahnya dengan Putranya. "Sayang, kita pulang sekarang." Tanpa menunggu jawaban dari Joe, ia meraih pergelangan tangan Putranya cukup kencang hingga membuat Joe sedikit tersentak hampir tersandung. Kemarahan yang membara membuat Jae buta pada sekitar. Yang terpenting saat ini adalah, ia dan Joe harus pergi dari sini. Melihat Joe hampir tersandung membuat David langsung berdiri dan menahan pergelangan Jae yang begitu erat memegang tangan kecil Joe hingga memerah. "Kau menyakitinya!" Tegas David dengan nada yang cukup tinggi agar Jae mendengarkan. "Bukan urusan Anda!" ucapnya penuh tekanan lalu menepis tangan David dari lengannya. Entah karena tangan David yang menahannya, membuat tubuh Jae seketika merinding disekujur tubuh. David terdiam mengamati wajah Jae, ia merasa tidak asing dengan wajah ini. 'Apa dia ibu kandung Joe? Kenapa aku bisa benar-benar lupa pernah menidurinya?' Batin David. Padahal ia ingin menahan Jae untuk bicara sebentar. Tapi diluar dugaannya, wanita itu terlihat begitu membencinya. Sehingga membuatnya lupa melontarkan kalimat untuk menahan pergi. Sudah jelas dia membencimu David! Melupakan kebrengsekkan yang tidak termaafkan itu tanpa bertanggungjawab! Jae menunduk meraih tubuh Joe kedalam gendongannya dan menaruh kepala Putranya disela leher jenjangnya. Ia kembali melangkah menuju lift. Ketika sampai di ambang puntu lift, pandangan Jae menangkap sosok yang sejak tadi ia cari, Kai. "J—Jae," ucap Kai terbata. Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutnya, ia bingung harus mengatakan apa. Menjelaskan semuanya pada Jae benar-benar membuatnya berpikir ulang. Ia tidak ingin menyakiti wanita itu. "Aku akan mendengarkan penjelasan darimu nanti. Aku harap sebuah penjelasan yang tidak menghancurkan kepercayaanku padamu." Ya, Jae memang sulit mempercayai seseorang setelah apa yang terjadi dengan Putranya—pengasuh Joe yang tidak bertanggung jawab dengan tugasnya. Ia memang sensitif akhir-akhir ini jika menyangkut Putranya apa lagi setelah bertemu dengan Ayah kandung Joe. Tak lama pintu lift terbuka, Jae melangkah masuk dengan Joe didalam dekapannya meninggalkan Kai yang masih menatapnya hingga pintu lift ter tutup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN