Ketakutan yang besar menghampiri Joe, sehingga menangis dalam dekapan Jae. Satu kesimpulan yang bisa Joe rasakan, Mommynya marah. Ia tidak pernah melihat Mommynya semarah ini sebelumnya.
Sekarang mereka memasuki flat mereka yang sederhana ini. Selama perjalanan Jae hanya diam menahan air mata yang memberontak untuk keluar hingga matanya memerah. Jae langsung mendudukan Joe di sofa, dan ia duduk di sofa lainnya.
Jae menatap penuh arti ke arah Joe yang sudah menangis dalam diam sejak tadi. Apa aku begitu mengerikan sampai membuatnya ketakutan? Batin Jae.
Jae menelusuri tubuh Joe yang tas masih melekat dipunggung kecilnya. Matanya terhenti dipergelangan tangan Putranya. Bagaimana bisa ia mencekat tangan rapuh itu begitu kuat? Sehingga meninggalkan bekas merah hampir biru? Rasa penyesalan melahapnya tanpa sisa. Emosi yang tak terkendalikan benar-benar membuatnya menggelap. Ia tidak pernah melakukan ini pada Joe. Pantas saja Putranya terlihat sangat ketakutan hingga menangis.
Emosi yang sejak tadi ia tahan, kini menghilang seketika. Jae berlutut didepan Joe untuk melihat wajah kecil itu yang menunduk karena tidak berani melihatnya. Diraihnya tangan Joe penuh kehati-hatian seolah tangan kecil itu akan hancur. Jae tidak bisa lagi menahan air matanya hingga menetes deras.
"Sayang, maafkan Mommy telah menyakitimu. Mommy terlalu keras mencekatmu. M—mommy menyesal, sayang. Maafkan Mommy... Mommy berjanji tidak akan melakukannya lagi. Mommy mohon jangan pernah pergi dari sisi Mommy. Jangan pernah meninggalkan Mommy, eoh?" ucap Jae penuh ketakutan menghantuinya beriringan dengan airmata yang terus mengalir. Bayang-bayang Joe pergi meninggalkannya adalah ketakutan terbesar Jae. Apa lagi karena kesalahannya sendiri, Jae rela memberikan apapun asalkan Putranya tidak pergi darinya.
Jae mendekap tubuh Joe ke dalam pelukannya. "Berjanji untuk tidak meninggalkan Mommy, eoh? Mommy tidak akan bisa hidup tanpamu. Hanya Joe satu-satunya harta Mommy yang paling berharga. Mommya hanya punya kau di dunia ini." Bagaimana tidak ketakutannya semakin besar setelah apa yang terjadi? Keluarga Park, David sudah bertemu dengan Putra kecilnya. Untuk apa kalau bukan merebut Joe darinya?
Joe menggeleng, sang Mommy yang menangis hebat dengan ucapan kalimat yang tidak ia mengerti. Hanya saja, mendengar Mommynya menangis membuat hati kecil Joe seolah bisa merasakan apa yang Jae rasakan.
"Maafkan Joe yang sudah melanggar perintah Mommy. Karena Joe, Mommy marah dan menangis. Maafkan Joe, Mommy... Joe minta maaf."
"Tidak sayang, Mommy yang salah. Tidak seharusnya Mommy menyakitimu." Mereka kembali menangis saling mengeluarkan rasa penyesalan pada dalam dekapan masing-masing.
Setelah tangis mereka mereda, Jae melonggarkan pelukannya lalu menatap wajah kecil Joe sambil mengusap airmata itu menggunakan ibu jarinya. "Joe harus berjanji tidak akan meninggalkan Mommy." Lawan bicara hanya menganggukkan kepalanya patuh dengan sesegukan sisa-sisa tangisnya. Seperti perjanjian mereka sebelum-sebelumnya, yaitu menggaitkan kelingking mereka masing-masing sebagai kesepakatan yang tidak boleh diingkari.
"I love Mommy." Ucap Joe yang terdengar polos namun begitu tulus jika didengarkan seksama. Mereka kembali menghambur pelukan seolah merindukan pelukan kasih sayang setelah pertengkaran antar orangtua dan anak.
"I love you more, darling. You'r my life."
***
Tuk tuk tuk..
Bunyi ketukkan antara kuku jemari David dengan meja kerja di depannya telah mengisi kesunyian beberapa saat yang lalu. Seharian penuh David mencoba mengingat wajah wanita yang tidak lain adalah ibu dari anaknya. Jaevyna, nama itu begitu asing di telinganya, ia belum pernah mendengar sebelumnya.
Setelah berperang dengan pikirannya terlalu lama, rasanya David ingin keluar lalu membeli sekaleng kopi di mini market terdekat. Tunggu...ia merasa janggal dengan tempat mini market.
Oh astaga! David baru mengingatnya, ia pernah melihat wanita itu di mini market. Kenapa David tidak menyadarinya? Pantas saja ia merasa tidak asing dengan raut wajah itu menatapnya tidak suka. Hanya orang bodoh yang bertanya kenapa Jae menatapnya seperti itu dan David tahu betul bagaimana wanita itu menatapnya penuh dengan kebencian. Ya, ia memang si b******k yang pantas mendapatkannya.
Tapi bagaimanapun ia tidak akan menyerah. David akan terus berusaha untuk mengambil hati Putranya, darah dagingnya. Oh God! Ia masih belum percaya diberi kesempatan menjadi seorang ayah. David berjanji akan membahagiakan Putranya, dengan cara apapun.
Langkah pertama yang harus ia lalukan adalah bicara empat mata dengan Jaevyna, hanya berdua. Mengutarakan rasa penyesalannya karena baru mengetahui semua yang dirahasiakan sang Ayah padanya selama ini dan juga meminta maaf sebanyak yang ia bisa walau David tahu tak termaafkan setelah apa yang sudah ia lakukan pada wanita itu. David tersenyum miris. Rasa kecewa, menyesal, bersalah. Semuanya bercampur menjadi satu.
Ting!
Benda tipis persegi panjang disakunya berbunyi menandakan suara pesan. Ternyata pesan dari Sam mengirimkan nomor ponsel Jaevyna yang sebelumnya ia pinta.
David menyimpannya, dengan ragu ia menekan tombol hijau lalu menempelkan ditelinganya. Bunyi deringan tersambung itu mampu membuat jantungnya berdegup kencang menunggu suara berganti dengan suara seorang wanita.
Tidak ada jawaban. David melirik jam dipergelangan tangan kirinya. Ternyata sudah hampir pukul 11 malam. Mungkin wanita itu sudah tertidur, ia lupa melihat jam sebelum menelpon.
David pun memutuskan untuk langsung menemui di sekolah Joe besok. Ia harus berani menahan wanita itu untuk bicara dengannya.
***
Seperti pagi-pagi lainnya, Jae mengantar Joe kesekolah. Setelah apa yang sudah terjadi kemarin membuatnya tidak kembali ketempat kerjanya yang mengharuskan Jae beralasan kepalanya pusing. Ya, pusing terlalu banyak menangis. Dan kembali bekerja hari ini.
Setelah punggung sang Mommy sudah menghilang dari pandangannya, Joe membalikkan badan berjalan menuju kelasnya. Baru beberapa langkah, kaki kecilnya terhenti merasa seseorang memperhatikannya dari kejauhan yang mulai mendekat kearahnya.
"Hey, Joe."
Suara deep pria dewasa yang tidak lagi asing di telinganya, Joe menolehkan kepala ke arah sumber suara. Ternyata benar, pria dewasa ini adalah yang memaksanya untuk dipanggil ‘Daddy’ kemarin.
Sesuai rencana, David kembali menemui Putranya. Ia berjongkok menyajarkan pandangan dengan Joe. David tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya melihat Joe pagi ini. Ia berharap bisa melihat wajah kecil ini mengisi hari-harinya yang sepi di rumah dan bisa melihat pertumbuhan Putranya.
Cukup sudah penyesalan yang David rasakan, dimana ia tidak melihat Joe tumbuh selama 5 tahun terakhir. Sekarang David ingin menyaksikan perkembangan Putranya dengan baik disetiap harinya, hingga ia menua.
Joe tidak mengatakan apapun, hanya saja wajah kecilnya terlihat kaget.
"Ini Daddy. Kau ingat?" Joe mengangguk kecil sebagai jawaban. Bagaimana bisa ia lupa dengan pria dewasa yang memaksanya ini, tapi ada suatu dorongan dari diri Joe untuk menerimanya.
David bisa merasakan perutnya mendesir, perasaan yang baru pertama kali ia rasakan. Joe mengingatnya, hal itu benar-benar membuatnya bahagia dan tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya hingga menampilkan sederet gigi putihnya.
Namun, senyum David memudar setelah melihat sedikit memar di bagian pergelangan tangan Joe. Ia yakin itu bekas cengkraman Jae kemarin yang begitu kuat hingga membuahkan hasil. Wajahnya yang tampan terlihat sangat khawatir meraih tangan kecil Joe.
"Apa ini sakit?" tanya David menatap Putranya memastikan.
Joe menggeleng. "Hanya sedikit," tanpa berpikir lebih lanjut, David mengangkat tubuh Joe ke dalam gendongannya menuju mobil yang terparkir didepan.
"Kita mau kemana? Aku harus masuk kekelas." ucap Joe dengan nada yang meninggi.
"Kita tidak kemana-mana. Hanya mengoleskan krim pereda sakit untuk tanganmu." David masuk ke mobilnya dibagian penumpang mendudukkan Joe diatas pangkuannya. Ia meraih kotak p3k di belakang mobil yang selalu tersedia.
"Kita lepas dulu tasnya, lalu berbalik." Joe hanya menuruti tanpa ragu atau ketakutan. Padahal ini baru pertemuan kedua mereka setelah kemarin.
Sekarang mereka berhadapan dengan Joe yang masih diatas pangkuan David. Perlahan David mengoleskan krim pereda sakit itu di pergelangan tangan Joe. Rasa dingin mulai Joe rasakan di permukaan kulitnya setelah beberapa detik dioleskan yang membuat rasa sakitnya berkurang. Joe merasa takjub hingga tanpa sadar mengangkat alisnya dengan lucu.
David mengulum senyum. "Apa sakitnya sudah hilang?" Tanyanya yang langsung di angguki oleh Putranya yang masih terlihat takjub. "Maafkan Daddy. Karena Daddy, Mommy Joe marah hingga membuat tanganmu seperti ini." Ucapnya penuh penyesalan menatap tangan putranya yang masih ia genggam dengan lembut.
Joe menggelengkan kepalanya lagi, "itu bukan salah D—daddy," ucapnya canggung memanggil ‘Daddy’, "Seharusnya Joe mendengarkan perintah Mommy untuk tidak pergi bersama orang yang tidak dikenal." Ucapan terakhir Joe seperti tamparan bagi David.
Oh ayolah David! Kau memang pantas mendapatkan ini! Kau baru menemuinya kemarin, wajar saja dia menganggapmu orang asing! Teriaknya dalam hati. David menghela nafas panjang meredakan rasa sesak di dadanya lalu menampilkan senyum terbaiknya sebelum bicara.
“Baiklah, biar Daddy memperkenalkan diri. Nama Daddy, David Jerrold. Joe bisa memanggil ‘Daddy David’. Sekarang Joe sudah mengenal Daddy ‘bukan? Itu artinya Daddy bukan lagi orang asing untukmu." Joe hanya mengerjap lalu kembali menganggukkan kecil kepalanya. Sedangkan David tersenyum puas melihat persetujuan dari Joe.
"Sebagai tanda perminta maaf, Daddy ada satu hadiah untuk Joe saat pulang sekolah nanti. Nanti Daddy jemput,"
"Mommy bilang akan menjemput Joe nanti siang."
Astaga, bagaimana David bisa lupa kalau Jae akan menjemput Joe? Ia mengalihkan pandangannya seraya berpikir. "Hmm, bagaimana kalau di rumah? Nanti Daddy akan menemuimu disana?" Tanyanya.
Ya, David sudah tahu mengenai Joe yang hanya sendirian di rumah sampai Jae pulang bekerja, karena Kai sudah menceritakan semuanya, kecuali tentang perasaan pria itu.
Joe terlihat ragu, ia takut Mommynya akan marah lagi jika tahu. Tapi entah kenapa hati kecilnya tidak ingin menolak.
Seolah tahu isi kepala kecil Putranya, David tersenyum tipis. "Joe tidak perlu khawatir, Daddy akan meminta izin pada Mommy. Sekarang kau harus masuk kelas,” Hanya anggukan yang bisa Joe beri sebagai jawaban.
Lagi-lagi David tersenyum hanya karena anggukan kepala yang terlihat menggemaskan itu. Putranya menyetujui saja sudah membuatnya sangat puas. Ah~ sudah berapa kali ia tersenyum pagi ini? Senyuman yang berbeda dari biasa ia tampilkan untuk rekan bisnis atau yang lainnya. Karena senyum ini ada unsur ketulusan di dalamnya dan tanpa sadar membuat hatinya menghangat. Sesederhana itu, tapi mampu membuatnya ingin terus bersama Joe.
"Sebelum Joe masuk, boleh Daddy memelukmu?" Entah apa yang mendorong Joe untuk memeluk tubuh David lebih dulu menggunakan tangan kecilnya.
"Thanks, Dad. Sudah menyembuhkan tangan Joe." Pengucapan terimakasih kepada orang yang sudah menolong—sekecil apapun itu, adalah hal wajib yang diajarkan sang Mommy padanya.
David langsung mendekap tubuh mungil Joe dengan lembut lalu mencium pucuk kepala Putranya sebanyak 3 kali yang berbau bedak bayi dan minyak telon itu. Karena Jae selalu mengoleskannya setelah Joe mandi.
***
"Hey, Jae! Ada seorang pria Asia tampan mencarimu. Apa dia kekasihmu?" goda Daryl—teman sepekerjanya sebagai pelayan ini sedikit berteriak bicara pada Jae.
Jae mengangkat kedua alisnya heran. "Aku tidak mempunyai kekasih!" balas Jae tak kalah nyaring. Jae tidak pernah mendapatkan tamu saat jam kerja, kecuali Kai. Karena hanya pria itu yang ia kenal di luar tempat kerjanya. Tapi entah kenapa firasat Jae mengatakan lain. Jika benar, mana mungkin Daryl tidak mengenali Kai yang pernah kesini menjemputnya untuk makan siang?
Kenapa hatinya merasa mulai tidak enak?
Ia menatap kearah John yang sedang duduk di salah satu kursi dekat dapur dengan jemari memainkan layar ponsel pintarnya, kini terhenti karena teriakan kedua pegawainya lalu beralih menatap Jae yang membuat mereka bertatap.
Seolah mengerti John mengangguk, "Temui tamumu, Jae. Karena ini masih pagi pelanggan belum ramai datang, aku mengizinkanmu. Katakan pada kekasih barumu, untuk menjaga kau yang tidak bisa menjaga diri itu." Majikannya ikut menggoda Jae, benar-benar menyebalkan. Ya, tidak bisa menjaga diri dalam artian pola hidup yang membuat Jae sering mengeluh pusing ataupun kelelahan seperti kemarin.
"Aku tidak mempunyai kekasih, Tuan." Ucap malas Jae. Dengan tidak enak hati Jae melepas celemek yang baru saja ia pasang, karena kemarin dengan seenaknya ia tidak kembali untuk bekerja. Untung saja John tidak marah seperti ekspetasi Jae. Nyatanya John malah mengkhawatirkannya.
Walaupun John adalah majikan yang pengertian dengan semua pegawai, tetap saja Jae menjaga etika pada atasan. Jika tidak, siapa yang akan menerimanya bekerja yang hanya lulusan sekolah menengah atas dari negara asing? Karena itulah Jae tetap menjaga etikanya walau John adalah orang yang friendly pada siapapun, tanpa pandang bulu.
Disisi lain, seperti biasa David mengetukkan ujung kukunya pada meja di depannya ketika ia sedang berpikir, bagaimana menghadapi wanita seperti Jae. Tak berapa saat setelahnya, ia berdiri dari duduknya sambil merapikan bajunya ketika melihat Jae menghampiri mejanya dengan mengenakan seragam kerja yang bertulisan di bagian saku kiri, tak lupa wajah yang sama—tatapan tajam tidak suka.
Jae tidak menyangka pria tampan yang disebut temannya itu adalah pria yang sangat ia hindari, David. Sweater rajut berwarna navy berpadu dengan celana jeans hitam yang begitu cocok di tubuh tinggi besar David, menandakan pria itu sedang menikmati waktu santainya yang bertolak belakang dengan pakaiannya yang sangat siap untuk bekerja.
Dengan seenaknya mendatangi dijam kerja? Sangat tidak sopan saat bertamu, tidak mengenal waktu dan tempat. Dia pikir tempat ini miliknya?! Okay, Jae tidak bisa menekan emosinya jika bertemu dengan David.
"Bolehkah kita bicara sebentar?" tanya David membuka pembicaraan.
"Apa yang membawa Anda kemari? Apa Anda tidak melihat saya sedang bekerja saat ini?" Tanya Jae balik dengan nada dinginnya.
David menghela nafas perlahan mencoba mengurangi kegugupannya. Wanita di depannya ini sungguh menunjukan benteng yang besar di antara mereka. Tapi sebesar apapun benteng itu, ia tidak akan menyerah dan terus mencoba meruntuhkannya demi Joe.
Sekarang mereka duduk berhadapan dengan hawa dingin yang dikeluarkan oleh Jae. Sungguh, jika ini bukan tempat kerjanya, mungkin Jae tidak bisa menahan amarahnya pada pria di depannya ini.
"K—kau tahu siapa aku?" pertanyaan bodoh itu keluar dengan sendirinya dari mulut David. "Maaf, maksudku... kau sudah pasti mengenalku." Ucapnya cepat dengan nada menyesal. "Sebelumnya—"
"Jika tidak ada hal penting yang dibicarakan, saya akan kembali bekerja." Potong Jae yang sudah berdiri dari duduknya. Dengan sigap David mencegat pergelangan tangannya yang hendak beranjak dengan pelan.
Tubuh Jae meremang seperti kemarin, saat pria ini menahan lengannya membuat jantung Jae mulai berdetak cepat. Ia tidak tahu berdetak karena marah atau tidak terima yang Jae rasakan saat ini.
"Lepaskan." Ucap Jae datar.
"Aku mohon padamu dengarkan penjelasanku dulu, Nona Jae. Biarkan aku menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tidak akan menuntut apapun darimu, aku mohon. Demi Joe." Kalimat terakhir David berhasil menarik perhatian Jae yang sejak awal menghindari kontak mata dengannya, dan kini mereka saling bertatap seolah mereka bisa merasakan emosi masing-masing.
Tentu saja Jae begitu sensitif mengenai Putranya, apa lagi sekarang ia harus menjaga Joe dengan baik—sebaik mungkin. Sejak kemarin Jae berpikir sepanjang malam, ia yakin masalah ini tidak akan berhenti dengan mudah. Sudah pasti akan menumbuhkan masalah lainnya—yang seharusnya hubungan antara dirinya dengan keluarga Park benar-benar sudah berakhir setelah perjanjian itu.
Pandangan Jae melihat kesekeliling, ia takut yang lain mendengar masalah pribadinya. "Ikut aku!" Perintah Jae yang beranjak dari duduknya menuju keluar restaurant pizza. David pun hanya menurut mengiringi Jae dari belakang.
Mereka kembali duduk berhadapan di tempat yang berbeda. Karena masih pagi, kafeteria yang tidak jauh dari tempat sebelumnya ini cukup leluasa untuk mereka bicara.
"Pertama-tama, maafkan aku atas kejadian malam itu." Ucap David penuh sesal memecah keheningan. "Aku sangat mabuk sehingga melupakan semuanya tanpa tersisa. Aku begitu ceroboh jika dibawah pengaruh alkohol yang berlebihan, menimbulkan kesalahan yang sangat fatal tanpa kesadaran yang penuh. Seandainya aku sadar paling tidak 1 meni—tidak, beberapa detik saja. Aku akan mencarimu dan—"
"Bertanggung jawab dan menikahiku, begitu?" potong Jae lalu terkekeh. "Kau pikir Ayahmu akan membiarkan itu? Menikahi wanita sebatangkara yang menyedihkan sepertiku? Lalu menganggapku seperti wanita jalang di luaran sana yang memaksamu untuk ditiduri? Aku yakin Ayahmu tidak akan tinggal diam dengan tindakan muliamu yang ingin bertanggungjawab pada wanita sepertiku.
“Karena itulah orang tuamu yang terhormat itu bersikeras memindah—oh tidak, membuangku ke negara ini agar aku tidak menganggu atau meminta pertanggungjawaban pada Putra kesayangannya yang akan menikah! Dan sekarang kau ingin menyalahkan alkohol atas perbuatan yang kau lakukan padaku, begitu?!” Jeda Jae mengambil nafas setelah bicara panjang lebar.
“Jika kau mengerti apa yang aku katakan, aku harap kau berhenti omong kosong dan mengatakan seolah kau tidak bersalah!" Jae tidak bisa menahan emosinya lagi setelah mendengar ucapan David sebelumnya.
Jika Jae pikirkan, sungguh konyol kehidupan yang ia jalani sekarang setelah kejadian 6 tahun lalu. Ia yang diperkosa, ia juga yang harus menanggung semuanya. Meninggalkan negara kelahirannya dan juga putus dari perguruan tinggi—harapan Jae satu-satunya agar bisa melangkah ke masa depan yang sudah ia rancang sedemikian rupa sudah hancur. Sedangkan David hidup dengan tenang selama ini seolah tidak tahu apapun tentang perbuatannya di bawah pengaruh alkohol pada wanita seperti Jae.
Siapa yang patut untuk disalahkan di sini? Sudah jelas kekejaman Sungjin yang tidak punya hati itu. Membahagiakan seorang anak dengan caranya sendiri yang Sungjin pikir adalah hal yang wajar untuk dilakukan.
Saat dimana Jae sangat putus asa dengan kehidupannya, hanya satu yang ia syukuri dari kejadian itu. Jae diberikan seorang Putra yang lucu nan tampan membuatnya kembali bersemangat menjalani kehidupannya yang sangat jauh dari kata sempurna. Senyum dan tawa Joe membuat Jae seperti lahir kembali, hingga membuatnya lupa akan kisah hidupnya yang sangat menyedihkan.
David hanya bisa terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Jae yang penuh tekanan disetiap katanya. Ya, kira-kira seperti itulah Kai menceritakan semua padanya, bedanya wanita didepannya penuh amarah yang sudah lama terpendam. Jujur saja David ikut marah, bukan kepada Jaevyna melainkan pada dirinya dan sang Ayah. Betapa kejamnya Sungjin memindahkan seorang wanita hamil sendirian di negara New York.
Wanita hamil, bagaimana Jae bisa mengatasi rasa keinginannya saat mengidam? Ya, David sedikit tahu mengenai kehamilan di threemestri pertama kebanyakan wanita akan menginginkan sesuatu yang harus dipenuhi, seperti Yura mendiang istrinya dulu. Jangan lupakan saat melahirkan, atau mengurus bayi seorang diri tanpa seorang suami atau siapapun. Oh God! David tidak bisa membayangkan bagaimana Jae bisa melalui itu sendirian. Semua karena perbuatannya dan kekejaman Ayahnya.
Ya, benar ini semua adalah salahnya. Andai saja dirinya tidak pergi ke kelab malam itu, mungkin Jae masih di negara Korea dengan damai.
Mungkin inilah dosa terbesar yang telah David perbuat pada Jae, sehingga Tuhan menghukumnya dengan cara mengambil istri dan calon anaknya. ‘Aku memang pantas mendapatkannya’ Batin David
"Aku tahu ini memang sangat terlambat dan tidak pantas untuk dimaafkan." David menurunkan padangannya sedikit menunduk yang sejak tadi tak hentinya menatap mata coklat milik wanita itu.
"Dengan penuh penyesalan atas kejahatan yang telah aku dan Ayah perbuat... aku meminta maaf sebesar-besarnya padamu. Izinkan aku untuk menebus dosa, setidaknya dengan memberikan tanggungjawab layaknya seorang Ayah terhadap Joe."
"Tidak! Semua sudah berakhir sesuai perjanjian, ketika aku sudah menginjakkan kaki di negara ini yang artinya semua sudah selesai. Perjanjian di mana aku harus menginggalkan Korea dengan syarat anak yang aku kandung bukan lagi darah dagingmu atau siapapun! Joe hanya milikku seorang.
“Dan Ayahmu menyetujui itu! Jadi kau tidak perlu merasa bersalah atau bertanggungjawab dengan apa yang telah terjadi. Lagi pula kau memang tidak mengenalku dan melupakan perbuatanmu dimasa lalu. Apa perlu aku ulangi, Tuan?" Mata Jae berkaca-kaca dengan nada yang terdengar bergetar mengingat kejadian 6 tahun yang lalu begitu menyakitkan untuknya, padahal dengan sekuat tenaga Jae menahannya agar tidak terdengar lemah apa lagi menyedihkan di depan David.
"Setidaknya memberikan kasih sayang seorang Ayah kepada Putranya. Aku harap kau memikirkan perasaan Joe. Aku tahu aku tidak termaafkan olehmu dan semua perbuatan Ayahku padamu. Tapi tidakkah kau memikirkan Joe yang juga butuh seorang Ayah di sampingnya? Tidakah dia akan menanyakan sosok Ayah suatu hari nanti?" ucap David yang meninggi agar meyadarkan Jae, bahwa Joe akan menjadi korban selajutnya jika hal ini tidak diselesaikan dengan kepala dingin.
Air mata Jae turun melalui pipinya mendengar kenyataan yang sangat menyakitkan untuknya. Hati kecil Jae membenarkan, namun tidak dengan masa lalu. Membuat kebencian menggerogoti hatinya hingga lupa dengan keberadaan Putranya yang membutuhkan kasih sayang seorang Ayah diusianya sekarang.
"Aku harap kau mengerti, Nona Jae. Aku mohon kau memikirkannya. Percayalah, aku tidak akan menjauhkan atau mengambil Joe dari sisimu. Aku tahu diri tidak ada hak sama sekali untuk itu. Tapi biarkan aku memberikan apa yang dia butuhkan. Aku memohon padamu, setidaknya menebus dosaku yang tidak termaafkan ini dengan memberi yang seharusnya dia terima."
Jae hanya diam mencerna semua ucapan David yang tidak bisa ia beri pada Joe, yaitu kasih sayang seorang Ayah.
"Walaupun kejadian itu adalah suatu kesalahan fatal yang pernah aku perbuat, aku tidak pernah menyesal dengan keberadaan Joe sebagai anakku—darah dagingku sendiri."
Bagiku Joe adalah anugrah yang Tuhan beri melalui kesalahan. Sambung David dalam hati.