Pesantren kecil itu terhampar di kaki sebuah bukit hijau di salah satu pelosok terpencil Sulawesi, seolah menjadi bagian dari alam yang menyelimutinya. Tempat ini jauh dari hingar-bingar kota, menawarkan ketenangan yang begitu jarang ditemukan. Sepanjang mata memandang, ada hamparan sawah yang bergradasi hijau, berpadu dengan birunya langit yang membentang luas tanpa terhalang gedung-gedung tinggi. Di kejauhan, suara gemericik sungai kecil sesekali terdengar, mengalir perlahan melintasi bebatuan.
Udara pagi di pesantren ini begitu segar, dinginnya menusuk lembut ke kulit. Aroma dedaunan basah bercampur harum bunga liar yang tumbuh di sekitar halaman pesantren. Pohon-pohon kelapa berdiri kokoh di pinggir jalan kecil menuju gerbangnya, melambai pelan ketika angin pagi datang menyapa. Kicauan burung menyelingi kesunyian, menciptakan melodi alami yang menjadi pengantar sempurna untuk memulai hari.
Bangunan pesantren itu sendiri sederhana. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu yang sudah mulai memudar dimakan usia, sementara atapnya menggunakan seng yang berkarat di beberapa sudut. Beberapa bagian lantai masih berupa semen kasar, dingin di telapak kaki, tetapi tetap terasa nyaman. Jendela-jendelanya terbuka lebar tanpa kaca, hanya dilengkapi dengan teralis besi yang berfungsi sebagai ventilasi. Di salah satu sisi halaman, ada mushola kecil yang menjadi pusat kegiatan, berdiri dengan tiang-tiang kayu yang dilapisi cat putih yang sudah mengelupas di beberapa bagian.
Halaman pesantren cukup luas, dikelilingi tanaman bunga kertas yang warnanya cerah-merah, putih, dan ungu. Tanaman itu tumbuh liar namun memberikan sentuhan keindahan tersendiri. Ada ayunan sederhana yang terbuat dari ban bekas tergantung di salah satu pohon mangga besar, sering kali menjadi tempat favorit anak-anak kecil yang tinggal di sekitar pesantren. Di sudut halaman, terlihat beberapa ayam berlarian, sesekali mematuk tanah untuk mencari makan.
Keheningan di sini tidak pernah terasa sepi. Justru, suasana yang tenang itu seolah menyimpan cerita. Setiap sudut pesantren memancarkan kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tempat ini mungkin jauh dari kata megah, tetapi di balik kesederhanaannya, ada kekuatan yang membuat siapa pun yang datang merasa diterima, dipeluk oleh damai yang meluruhkan segala beban. Pesantren kecil ini seperti oasis bagi mereka yang mencari ketenangan, sebuah ruang untuk menyembuhkan diri dari luka dunia luar.
Santri-santrinya datang dari berbagai latar belakang, banyak di antaranya memiliki luka jiwa yang mereka bawa dari masa lalu. Salah satunya adalah Bellova, seorang gadis berusia dua puluh satu tahun yang baru saja memasuki bulan keenam masa pemulihannya di sini.
Awal kedatangannya penuh perjuangan. Wajah Bellova selalu terlihat muram, seperti seseorang yang kehilangan arah di dunia. Trauma yang dialaminya begitu dalam, dan ia menolak berbicara dengan siapa pun. Setiap malam ia terjaga, dihantui mimpi buruk yang membuatnya menangis tanpa suara. Tangannya terkadang gemetar tanpa sebab, terutama jika ia berpapasan dengan laki-laki, bahkan sekadar santri kecil yang berlari di halaman pesantren.
Perlahan, lingkungan pesantren mulai menyentuh hatinya. Tidak ada tekanan, tidak ada paksaan. Semua orang di sana bersikap hangat, penuh penerimaan. Para pengasuh memberikan ruang bagi Bellova untuk beradaptasi, hanya mendorongnya secukupnya tanpa memaksanya melampaui batas.
Kini, setelah berbulan-bulan, Bellova mulai menunjukkan perubahan. Ia sudah mau melakukan aktivitas sederhana, seperti menyapu halaman atau membantu menyiapkan makanan di dapur. Halaman pesantren yang luas sering menjadi tempatnya menenangkan diri. Di bawah rindang pohon mangga, ia menyapu perlahan sambil sesekali mengangkat pandangan ke arah langit biru, seolah mencari jawaban atas luka di hatinya.
"Lova sudah banyak berubah," ujar salah satu pengasuh pada suatu sore kepada ibunya yang datang menjenguk. "Meski kecil, setiap langkah adalah pencapaian besar."
Bellova belum sepenuhnya pulih. Sesekali, trauma masih menyergapnya tanpa peringatan. Suara keras, bayangan gelap, atau sekadar kehadiran laki-laki bisa memicu histeria. Ia menangis, tubuhnya bergetar, dan sering kali hanya bisa ditenangkan oleh suara lembut seorang pengasuh yang membaca ayat-ayat Al-Quran di dekatnya.
Ibunya, yang kini tinggal di sebuah kontrakan kecil tidak jauh dari pesantren, selalu merasa pilu melihat kondisi Bellova. Kadang, rasa bersalah membebaninya. Apakah ini teguran atas dosa-dosanya di masa lalu? Apakah ini balasan atas hidup yang dulu mereka jalani dengan penuh kesalahan?
"Bu, Allah tidak menguji hamba-Nya di luar batas kemampuan," pengasuh mencoba menenangkannya suatu kali. "Yang penting adalah usaha dan doa. Jangan menyerah. Lova butuh dukungan."
Malam itu, ketika ia menatap Bellova yang tertidur di kasur pesantren sederhana, air matanya menetes tanpa henti. Gadis itu terlihat begitu damai, tetapi ia tahu luka di hati anaknya belum sepenuhnya sembuh.
"Kamu pasti bisa, Nak. Mama yakin kamu akan bangkit," bisiknya pelan sambil membelai rambut Bellova.
Di pesantren itu, mereka percaya bahwa luka, seberat apa pun, bisa sembuh dengan cinta, kesabaran, dan doa. Bellova adalah bukti dari keyakinan itu—perlahan, ia menemukan kekuatan untuk kembali berdiri. Walau jalannya panjang dan penuh liku, ada harapan yang mulai tumbuh, seperti bunga kecil yang baru saja merekah di tengah ladang penuh duri.
Malam itu, ketika Bellova terlelap, angin malam membawa kesejukan yang menenangkan. Di luar jendela pesantren, langit bertabur bintang, dan suara alam yang tenang seolah berbisik memberikan ketenangan. Dalam keheningan malam, Bellova merasa sedikit lebih ringan. Meskipun luka di hatinya masih ada, ia tahu bahwa setiap hari yang ia lewati di pesantren ini adalah langkah kecil menuju kesembuhan.
Di pagi hari, saat fajar mulai menyingsing dan cahaya matahari pertama menyentuh tanah, Bellova terbangun dengan perasaan yang sedikit berbeda. Ada rasa damai yang mulai merayapi hatinya, meski tidak sepenuhnya. Ia keluar menuju halaman, di mana pohon-pohon mangga dan kelapa berdiri dengan anggun, menyambut pagi dengan daun-daun yang melambai pelan. Hari itu, ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh, mencoba membuka hatinya sedikit demi sedikit.
Para pengasuh menyambutnya dengan senyum hangat, tidak pernah terburu-buru, tidak pernah menekan. Mereka tahu bahwa proses pemulihan Bellova membutuhkan waktu, dan mereka siap untuk mendampingi setiap langkahnya. Satu per satu, Bellova mulai berbicara dengan mereka, meski hanya dalam percakapan ringan, tetapi itu adalah kemajuan besar bagi dirinya.
Suatu hari, saat ia sedang duduk di sana, seorang pengasuh mendekatinya. "Lova," kata pengasuh itu lembut, "kau sudah jauh lebih kuat sekarang. Jangan ragu untuk melangkah maju, karena kau tidak sendiri."
Bellova menatap pengasuh itu dengan mata yang lebih tenang, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Senyum itu bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ia tahu, perjalanannya masih panjang, namun setiap langkah kecil yang ia ambil adalah bukti bahwa ia bisa bangkit, bahwa ia masih memiliki harapan.
Ibunya yang datang menjenguknya pada sore hari itu melihat perubahan yang begitu mencolok. Ia bisa melihat Bellova duduk dengan lebih tenang, berbicara dengan para pengasuh, dan bahkan membantu di dapur. Ada cahaya yang perlahan mulai muncul di mata anak perempuannya, seberkas harapan yang mulai tumbuh kembali setelah lama terkubur dalam kegelapan.
Malam itu, saat mereka berdua duduk bersama di halaman pesantren, ibunya berkata, "Lova, Mama bangga padamu. Kamu sudah berjuang begitu keras."
Bellova menundukkan kepala, kemudian menggenggam tangan ibunya. "Terima kasih, Ma. Aku tidak bisa melakukannya tanpa Mama."
Mereka duduk bersama, merasakan ketenangan yang tak terucapkan, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bellova merasa bahwa ia bisa menyembuhkan diri—tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibunya yang selalu setia menemani perjalanan panjang ini.
Di pesantren itu, di kaki bukit hijau yang damai, Bellova mulai menemukan kembali dirinya. Ia belajar bahwa meskipun hidup tidak selalu adil dan penuh dengan luka, ada harapan yang bisa tumbuh dari setiap tantangan. Seperti bunga kecil yang merekah di ladang yang penuh duri, Bellova pun perlahan mekar, menemukan kedamaian dalam hatinya, dan membiarkan cahaya itu menyinari masa depannya yang penuh kemungkinan.
***