Penghakiman

1183 Kata
Adel menghela napas panjang, menatap kosong layar ponselnya. Panggilan Aldo masuk, tetapi saat ia mengangkatnya, ia hanya diam sejenak sebelum akhirnya menyapa dengan suara pelan. "Assalammualaikum..." "Del?" Suara Aldo terdengar lega, penuh perhatian. "Akhirnya kamu telepon balik. Aku tadi salat, makanya nggak sempat angkat pas kamu menelepon." Adel hanya bergumam pelan, "Oh, iya, Kak. Gak apa-apa." Aldo terdiam sesaat, menyadari sesuatu dalam nada suara Adel yang tidak biasa. "Kamu baik-baik aja, kan? Gimana hari pertama OSPEK?" Ada jeda panjang sebelum Adel menjawab, suaranya terdengar berat. "Baik... kok, Kak," katanya pendek, meski jelas tidak meyakinkan. Namun Adel memang begitu. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya sudah tak pernah sepanjang dulu lagi. Aldo tahu. Ia jelas merasakan perbedaan yang amat signifikan. Tapi setidaknya, ia bersyukur karena bisa dekat lagi setelah Adel sempat menghilang usai tragedi itu. Sedari awal mendengar kasus itu, ia tak pernah percaya kalau Adel akan berbuat seburuk itu. Ia yakin sekali. Ia sangat mengenal Adel. Hanya mungkin sikapnya sekarang lebih kepada menerima semua apa kecurigaan orang. Sekalipun mereka bilang ia pembunuh, ia terima. Walau dalam hati, tentu sakit. Karena ia bahkan tak diberikan kesempatan untuk membela dirinya. Ia selalu dipojokan semua orang kala itu, kecuali memang ada beberapa orang seperti keluarga besarnya, Aldo, dan Manda. Duta termasuk? Ya sahabat Aldo tentu mempercayainya. Aldo mendesah pelan. "Del, kamu nggak harus pura-pura. Aku tahu ada yang salah. Kamu bisa cerita sama aku." Adel terdiam lagi, pandangannya kosong menatap dinding kamarnya. Suara-suara yang ia dengar selama OSPEK kembali menggema di kepalanya: "Itu dia, kan? Yang... pembunuh." "Serem banget ya, masih berani masuk kuliah. Kuliah di sini pula. Nyogok gak sih?" "Udah nggak ada harga diri apa, sih? Kalau aku malu banget." "Kriminal harusnya gak boleh kuliah di sini." Tangannya yang memegang ponsel gemetar sedikit, tapi ia menggigit bibirnya, menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Jelas sakit. Tapi ia menahannya hingga sekarang. Ia sudah tahu kan apa konsekuensinya jika kuliah di sana? Ia sudah bersiap, makanya berusaha menguatkan diri. "Aku..." Adel memulai, tapi suara itu seolah tercekat di tenggorokannya. Ia ingin menceritakan segalanya pada Aldo, tetapi rasa malu, marah, dan sedih bercampur menjadi satu, menutup semua kata-kata. "Aku nggak apa-apa, Kak." Aldo tahu Adel berbohong, tapi ia tidak ingin memaksanya. "Oke," katanya pelan. "Tapi kalau kamu butuh bicara, kapan pun, aku di sini, Del. Kamu nggak sendiri. Oke? Kamu dengar aku kan?" Adel memejamkan mata, mencoba mengendalikan air mata yang hampir jatuh. "Makasih, Kak. Aku cuma... capek aja." "Capek? Mau rehat ya?" Aldo berhenti sejenak, menebak apa yang terjadi. "Atau oh belum makan?" Adel tidak menjawab, tetapi keheningannya cukup menjadi jawaban bagi Aldo. Kehebingan yang kemudian dibuat berisik oleh suara ketukan pintu dan berlanjut umminya Adel. Tentu saja menyuruh anaknya makan. "Del," Aldo melanjutkan dengan nada lembut namun tegas. "Dengar aku. Kamu itu lebih kuat dari apa yang mereka pikirkan. Apa yang mereka bilang itu cuma omong kosong. Mereka nggak tahu apa-apa tentang kamu. Jangan biarkan mereka menentukan siapa kamu. Dan....segera makan." "Ya, Kak." Jawabannya terdengar bergetar. "Mereka nggak tahu apa-apa," potong Aldo dengan tegas. "Apa yang terjadi dulu itu bukan salah kamu. Kamu udah cukup menderita, dan kamu nggak harus mendengarkan omongan mereka. Kamu punya hak untuk hidup, untuk kuliah, untuk bahagia. Jangan biarkan mereka merampas itu dari kamu." Aldo terus menyerocos. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi meski ia tak di sana. Makanya, di sepanjang hari, ia terus khawatir. Meski ia tahu, makin lama, orang-orang memang tak akan berhenti. Tapi setidaknya, Adel yang sudah terbiasa dengan kondisi itu. Jadi, harusnya tak masalah. Adel menelan rasa sesaknya, memastikan suaranya tetap terdengar biasa. "Aku ngerti, Kak. Makasih," katanya lirih sebelum suara umminya kembali terdengar, sedikit lebih tegas kali ini. "Adel, makan dulu, Nak. Jangan main ponsel terus." "Ya, Ummi," jawab Adel cepat. Ia menutup telepon sebelum Aldo sempat berkata lebih banyak. "Del? Halo?!" Suara Aldo menggema di ponselnya yang kini hanya memunculkan notifikasi panggilan berakhir. Adel meletakkan ponselnya di meja tanpa memikirkannya lagi. Ia berjalan ke ruang makan. Aldo meletakkan ponselnya di meja dengan gelisah. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Adel yang semakin tertutup dan berat beban. Ia merasa tak berdaya, meski mencoba menguatkannya lewat kata-kata. Namun, hatinya tak tenang. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang Adel hadapi, sesuatu yang ia belum sepenuhnya mengerti. Ketika ia hendak membuka laptop untuk mencari berita atau rumor terbaru yang mungkin bisa menjelaskan situasi Adel, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama 'Ratu' tertera di layar. Aldo mengernyitkan dahi. Ia jarang sekali mendapat telepon dari Ratu, teman lamanya yang kini satu fakultas dengan Adel. Ya tentu temn dari masa SMP. Pacarnya sahabatnya sendiri, si Duta. "Ada apa, Tu?" tanya Aldo setelah menjawab. Suara Ratu terdengar tajam di seberang sana. "Aldo, gue nggak habis pikir bisa-bisanya tuh cewek malah masuk kampus gue. Lo pasti udah tahu kan? Awas ya lo kalau masih mau deketin dia! Lo harusnya sadar, Do. Dia tuh pembunuh!" katanya dengan nada mencibir. Aldo langsung merasakan darahnya naik. Ia berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang. "Tuu, lo nggak bisa asal tuduh orang begitu. Apalagi kalau kalau cuma tahu dari gosip dan asumsi." Ratu tertawa sinis. "Gosip? Ini bukan gosip, Do. Semua orang tahu. Dan sekarang dia malah kuliah di sini, di fakultas yang sama sama kayal gue? Serius, ini tuh nggak masuk akal. Apa nggak ada tempat lain buat dia selain sini?" Aldo mengepalkan tangannya. "Dia punya hak yang sama, Tu. Sama kayak elo, gue, dan mahasiswa lainnya. Jangan karena lo nggak suka, lo pikir dia nggak layak." "Tapi dia nggak pantas, Do! Kampus kita tuh punya reputasi. Bayangin aja, anak-anak lain tahu dia di sini, mereka bakal mikir apa?" suara Ratu semakin meninggi, menunjukkan rasa tidak sukanya yang mendalam. "Lo ternyata masih aja bela dia ya?" Ratu kan tak pernah melihat lagi kebersamaan Aldo dan Adel. Maklum kan agak privasi karena Adel tak mau dilihat orang banyak. Ia capek dengan tatapan menghakimi dari orang-orang itu. Aldo memotong dengan tegas. "Gye tahu Adel lebih baik daripada lo atau siapa pun yang ngomongin dia. Lo nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi jangan sok tahu." "Lalu menurut lo kenapa orang-orang terus ngomongin dia? Apa mereka semua salah?" Aldo menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Lo tahu apa yang paling salah dari semua ini? Orang-orang kayak lo, yang cuma bisa ngehakimi tanpa tahu cerita sebenarnya. Gue nggak mau diskusi ini lagi. Kalau lo nggak mau berhenti, lebih baik kita sudahi telepon ini." Ratu terdiam sejenak, lalu mendengus. "Ya udah. Tapi gue tetap nggak setuju dia di sini. Gue bakal bikin dia tahu tempatnya." "Ratu!" Aldo hampir berteriak, tetapi sambungan telepon sudah terputus. Aldo menatap ponselnya dengan tatapan tajam, mencoba menahan amarah. Ia tahu Ratu memang tidak pernah menyukai Adel sejak awal. Tapi mendengar bahwa ia berencana 'membuat Adel tahu tempatnya' membuat Aldo merasa kesal. Ia tak khawatir. Ia tahu kemampuan keluarga Ratu tak seberapa. Gadis itu kan hanya anak perantauan di Jakarta selama bertahun-tahun. Ia memang tahu keluarga Ratu punya kebun sawit, tapi Duta bilang tidak sekaya yang orang pikir. Duta tahu karena ia pacarnya kan? Ratu cukup jujur pada lelaki itu.. Tanpa pikir panjang, ia mengirim pesan ke Duta. Dut, pacar lo mau bikin ulah lagi kayaknya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN