Senja menelan ludah, merasakan ketegangan yang mengikat seluruh tubuhnya. Hawa dingin malam mulai merambat di kulitnya, kontras dengan panas yang masih tersisa di tubuhnya setelah berada di sauna. Namun, bukan udara malam yang membuatnya menggigil—melainkan pilihan yang harus ia buat saat ini. Ali masih menunggu, pintu mobilnya terbuka lebar, menawarkan perjalanan pulang yang jauh lebih nyaman dibandingkan busway yang penuh sesak atau KRL yang selalu berdesakan di jam-jam sibuk. Ali bukan orang asing baginya, bukan pula sosok yang mengancam. Ia selalu dikenal sebagai pria yang baik, ramah, dan mudah bergaul dengan siapa saja. Tak ada alasan logis bagi Senja untuk menolak tumpangan ini, terutama setelah hari yang begitu panjang dan melelahkan. Namun, justru itulah yang membuatnya ragu

