Ali dan Senja

1211 Kata
Beberapa tahun lalu.... Ali duduk di kursi kayu panjang, tepat di depan sebuah warung kecil yang berdiri di luar gerbang Fakultas Teknik UI. Warung itu sederhana, beratapkan terpal biru yang sudah agak kusam karena sering terpapar matahari dan hujan. Aroma gorengan bercampur kopi hitam menguar di udara, sesekali diselingi suara motor yang menderu melintas. Ia menyesap teh manis hangat dari gelas kaca, menatap sekitar sambil sesekali tertawa bersama teman-teman SMA-nya. Kebetulan sekali, mumpung ia sedang libur kuliah di Malaysia sana, ia kembali ke sini. Kemudian ya bertemu dengan para bocah yang masih berada difase ujian. Suasana penuh nostalgia. Sudah lama mereka tak bertemu. Kini, masing-masing menjalani hidupnya di kota yang berbeda. Ada yang sibuk dengan skripsi, ada yang baru mulai magang, dan ada pula yang masih tersandung masalah mata kuliah yang belum kunjung tuntas. Tapi di sini, semuanya kembali seperti dulu—obrolan ringan, candaan receh, dan tentu saja olok-olokan yang tak pernah absen. “Li, inget gak waktu lo ketinggalan di stasiun gara-gara nyari siomay?” Iqbal, si paling tukang roasting, memulai. “Bukan ketinggalan, anjir. Itu keretanya aja yang terlalu cepat!” sahut Ali, mencoba membela diri. Tawa pecah. Teman-temannya seperti sengaja membuka kenangan yang bisa membuat Ali salah tingkah. Ia sendiri merasa canggung, apalagi ini kali pertama mereka berkumpul lagi setelah sekian lama. Tapi, suasana mendadak berubah saat pandangannya terpaku ke arah gerbang kampus. Seseorang muncul dari kejauhan. Senja. Seseorang muncul dari kejauhan. Senja. Sosok itu seperti menghidupkan kembali ingatan yang selama ini tersimpan rapat di sudut hati Ali. Rambut panjangnya tergerai lembut, tertiup angin sore yang menyelinap di sela-sela pepohonan di pinggir jalan. Senja memiliki postur tubuh yang tinggi dan kurus, membuat langkah-langkahnya tampak ringan namun anggun. Kulitnya kuning langsat, seolah memantulkan cahaya matahari yang perlahan mulai redup. Wajahnya, meski tidak tersentuh makeup, memancarkan kecantikan yang alami, dipadu dengan kelembutan yang selalu menjadi ciri khasnya sejak dulu. Dia berjalan dengan teman-temannya, sesekali tersenyum dan tertawa kecil, memperlihatkan sisi dirinya yang ramah. Kemeja putih yang ia kenakan terlihat sederhana namun rapi, lengan digulung hingga siku, menambah kesan santai namun tetap elegan. Rok 3/4 berwarna krem yang membungkus tubuhnya bergerak mengikuti irama langkahnya, memberi kesan feminin yang begitu natural. Sepasang flat shoes berwarna pastel melengkapi penampilannya, memberikan kesan seorang perempuan muda yang bersahaja namun tetap mempesona. Tas kecil berwarna cokelat tergantung di pundaknya, dan tangan kirinya memegang sebuah buku yang tampaknya baru saja ia beli. Ia berbicara dengan teman-temannya, suaranya mungkin tak terdengar dari kejauhan, tapi ekspresinya cukup untuk menunjukkan bahwa ia sedang menikmati momen itu. Setiap gerakannya terasa tenang, seperti tidak pernah terburu-buru, memancarkan aura seseorang yang matang meski usianya masih sangat muda. Senja, bagi Ali, tampak seperti gambaran yang hidup dari sebuah memori manis yang pernah ia miliki—memori yang entah mengapa masih terasa hangat meski bertahun-tahun berlalu. Langkah-langkahnya yang ringan dan percaya diri, dipadu dengan senyumnya yang hangat, membuat sosoknya tak bisa luput dari pandangan. Seolah, keberadaan Senja di tempat ini mengubah suasana sore yang biasa saja menjadi sesuatu yang lebih istimewa. Ali mematung. Ia mengenal langkah itu, postur tubuh yang selalu ia ingat meski bertahun-tahun berlalu. Rambut Senja yang tergerai lembut tertiup angin sore, membuatnya tampak berbeda sekaligus tetap sama. Ali tak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini. Degup jantungnya mendadak tak karuan. Senja berjalan bersama beberapa temannya, mereka tampak bercanda sambil membawa kantong plastik berisi buku dan mungkin beberapa barang kecil lainnya. Tanpa sadar, Ali berdiri, seperti reflek yang tak bisa ia kendalikan. “Li, lo kenapa?” tanya Iqbal sambil menatapnya bingung. Ali tak menjawab. Matanya hanya terpaku pada sosok itu, dan dalam beberapa detik, Senja akhirnya menyadari keberadaannya. Pandangan mereka bertemu. Waktu seperti berhenti. “Anjir, si Senja!” seru Iqbal tiba-tiba, suaranya cukup keras hingga menarik perhatian yang lain. Ia setengah berdiri dari kursinya, melayangkan pandangannya ke arah gadis yang sedang melintas di seberang jalan. Mulut Iqbal segera disumpal oleh salah satu teman mereka yang duduk di sebelahnya. “Sssst! Jangan berisik, Bal!” tegur Danu, sambil menahan tawa. Meski begitu, ekspresi usil di wajahnya tak bisa disembunyikan. Mereka semua tahu siapa Senja dan apa hubungannya dengan Ali—setidaknya, apa yang dulu pernah ada di antara mereka. Ali? Ali hanya diam. Tubuhnya terasa kaku, seperti terpaku di tempatnya. Matanya mengikuti arah pandang Iqbal, dan saat melihat Senja, ia langsung menunduk sebentar, seolah sedang mempersiapkan dirinya. Namun pandangan itu kembali naik, tak mampu menghindar. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk tetap melihat, meski dadanya berdebar seperti dihantam genderang bertalu-talu. Wah ini aneh. Padahal menurutnya dulu, ia biasa-biasa saja pada gadis itu. Tawa kecil terdengar dari teman-temannya yang lain, mencairkan suasana, tapi Ali tak mendengarnya. Dunia di sekitarnya terasa mendadak hening, terfokus sepenuhnya pada gadis yang kini melintas di hadapan mereka. Ia tahu teman-temannya sedang menahan diri untuk tidak menggodanya, tapi ia tidak peduli. Ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan tatapan itu. Hanya Senja yang ada di sana, langkah-langkahnya yang anggun seperti menghentikan waktu. “Eh, Li, santai, napas dulu!” ujar Danu sambil menepuk bahu Ali pelan, mencoba membuatnya kembali ke realitas. Ali hanya tersenyum kaku, tapi tak mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin kehilangan momen itu, bahkan untuk sedetik pun. “Gila, lo gak bakal ngomong apa-apa tuh?” bisik Iqbal, yang meski mulutnya sempat disumpal, tetap tak bisa menahan komentar sarkastiknya. Ali akhirnya melepaskan napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Namun senyumnya yang samar dan sorot matanya yang menerawang cukup untuk menjelaskan segalanya. Sudah kepalang basah. Mari beranjak dari kursi dan berjalan menuju Senja. Menghampiri gadis itu yang tampak menikmati hari-hari di kampus bersama teman-temannya. "Eh, Kak Ali?" sapa Senja, matanya sedikit terkejut. Dia menghentikan langkahnya. Ali mengangguk kaku, berusaha menenangkan dirinya. “Apa kabar?” tanyanya pelan. Senja tersenyum kecil. “Baik kok, Kak. Kakak gimana? Kok di sini?” “Oh. Lagi liburan. Nanti juga balik. Baik kok,” jawab Ali, mencoba santai meski jantungnya masih berdegup cepat. “Kuliah di sini juga?” Ia pura-pura tidak tahu. Padahal ia sering mendengar kabar tentang Senja dari teman-teman yang masih saling terhubung. Tapi tetap saja, bertemu langsung seperti ini membuatnya gugup. “Iya,” jawab Senja singkat. “Ngambil jurusan desain interior.” Ali mengangguk-angguk, seperti mencari sesuatu untuk dikatakan. Tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Ada jeda canggung di antara mereka. "Kak Ali lagi kumpul sama teman-teman ya?" tanya Senja, mencoba mencairkan suasana. Karena ia tentu melihat Ali tak sendirian. Ali menggaruk tengkuknya, salah tingkah. “Begitulah. Jarang-jarang bisa kumpul. Kadang waktu liburnya gak pas.” Senja tersenyum mengerti. Namun karena merasa temannya sudah menunggu cukup lama, ia berpamitan. "Aku balik dulu, Kak. Teman-teman udah nunggu. Duluan, ya!" Ali hanya bisa mengangguk. “Oh, iya. Hati-hati.” Setelah itu, Senja melangkah pergi. Gadis itu pergi menyusul teman-temannya di warung bakso. Ali memperhatikannya dari jauh, tapi hanya sebentar. Segera setelah itu, ia kembali duduk bersama teman-temannya. “Gimana rasanya ketemu Senja, Li?” goda salah satu temannya. Ali tertawa kecil, mencoba mengabaikan tatapan penuh olokan itu. “Biasa aja,” katanya, meski jelas-jelas ada sesuatu di dalam hatinya yang tak bisa ia jelaskan. Namun, apakah ia benar-benar biasa saja? Entahlah. Ali hanya tahu, pertemuan singkat itu membangkitkan kembali perasaan yang selama ini ia coba kubur. Perasaan yang pernah ia tinggalkan karena satu alasan: mereka tak pernah berjalan ke arah yang sama. "Lo masih nyari Lova, Li?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN