Beberapa tahun lalu.....
Langit pagi itu cerah, memancarkan sinar matahari yang hangat namun lembut. Gedung-gedung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI berdiri kokoh, memancarkan aura akademis yang kental. Koridor panjang dengan tembok yang dihiasi poster kegiatan mahasiswa menambah semarak suasana hari pertama OSPEK. Halaman kampus dipenuhi mahasiswa baru dengan seragam OSPEK khas berwarna putih dan hitam. Sebagian besar dari mereka tampak sibuk, ada yang sibuk merapikan atribut OSPEK yang menggantung di leher, ada juga yang berkerumun dalam kelompok kecil, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka.
Tawa dan obrolan terdengar di sana-sini, sesekali diselingi bunyi peluit para panitia yang berteriak memberi aba-aba. Beberapa mahasiswa baru terlihat gugup, langkah mereka ragu-ragu seolah takut salah arah atau salah bertindak. Sebaliknya, ada pula yang tampak percaya diri, berjalan dengan langkah tegap sambil tersenyum lebar saat berbicara dengan teman-teman barunya.
Namun di tengah keramaian itu, seorang gadis berjalan sendirian. Langkahnya perlahan tapi pasti, seolah tidak terpengaruh oleh suasana sekitarnya. Seragam OSPEK-nya yang bersih dan rapi tampak melekat sempurna pada tubuhnya yang mungil, sementara rambut pendeknya yang hitam berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Gadis itu adalah Adel, sosok yang hari itu menjadi pusat perhatian—bukan karena dirinya yang berusaha mencolok, tetapi justru karena semua mata secara alami tertuju padanya.
Tatapan mata yang mengarah pada Adel begitu beragam. Sebagian memandanginya dengan penuh rasa ingin tahu, seperti berusaha menghubungkan penampilan tenang gadis itu dengan cerita-cerita viral yang pernah mereka dengar. Beberapa tatapan lain mengandung rasa kagum yang tak dapat disembunyikan, terpana pada wajah cantik dan ekspresi dingin yang terpancar dari dirinya. Namun, ada pula tatapan yang penuh dengan kebencian atau cemoohan, menghakiminya bahkan tanpa benar-benar mengenalnya.
Bisik-bisik kecil mulai terdengar dari berbagai sudut. “Itu dia, Adel… yang dulu viral,” kata seorang mahasiswa dengan nada pelan, tapi cukup keras untuk sampai ke telinga teman-temannya.
“Dia beneran ada di sini, ya? Gue kira cuma gosip.”
Beberapa mahasiswa bahkan sengaja menghentikan obrolan mereka untuk melihat lebih jelas, tatapan mereka seperti menusuk, mencoba mengupas lapisan demi lapisan kepribadian gadis itu hanya dari luarnya. Ada yang menyipitkan mata, seolah ingin menemukan bukti dari semua cerita buruk yang pernah mereka dengar.
"Yang mau bunuh temennya itu kan?"
"Iya, yang artis itu! Siapa namanya gue lupa?"
"Si Isabella bukan sih?"
Mereka saling bersitatap karena tak yakin dengan namanya.
Adel tidak bereaksi. Ia berjalan lurus, pandangannya tertuju ke depan, seakan-akan tidak menyadari bahwa ia menjadi bahan perbincangan. Padahal, ia tahu benar bagaimana bisikan-bisikan itu diarahkan padanya. Ia tahu bagaimana tatapan mata penuh kebencian itu berusaha menembus pertahanan dirinya, bagaimana rasa iri dan dendam tersirat dalam ekspresi beberapa orang yang bahkan tidak mengenalnya.
Namun, Adel tetap berjalan dengan langkah tenang, tanpa tergesa-gesa, tanpa melirik ke arah mana pun. Ada aura keteguhan dalam dirinya, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi badai dan kini tak gentar menghadapi angin sepoi-sepoi. Meski begitu, di balik ketenangan wajahnya, hatinya terasa sedikit sesak. Bisik-bisik dan tatapan itu, meskipun tidak asing lagi, tetap saja meninggalkan bekas yang sulit diabaikan.
Di kejauhan, seorang panitia OSPEK yang mengenakan rompi hijau terang ikut memperhatikan gadis itu. Ia mengerutkan kening, lalu berbisik pada rekannya.
“Itu Adel, kan? Gue pikir rumor soal dia bakal masuk sini cuma hoax.”
“Iya, katanya sih dia masuk jalur murni. Tapi gimana caranya, ya?”
Rekannya membalas dengan nada mencurigakan, seolah keberadaan Adel di kampus ini adalah sebuah pelanggaran besar.
Adel tetap melangkah, seakan tembok tak terlihat melindunginya dari semua tatapan itu. Namun, langkah-langkahnya yang mantap adalah sebuah pernyataan tersirat—bahwa ia di sini untuk sebuah alasan, dan tidak ada yang bisa menggoyahkannya. Aku punya tempat di sini, pikirnya dalam hati, sebuah mantra kecil untuk menenangkan gejolak di dadanya.
Hari itu, Adel bukan hanya seorang mahasiswa baru di kampus FISIP UI. Ia adalah sebuah teka-teki yang belum terpecahkan, sebuah cerita yang ingin diungkap oleh setiap orang yang melihatnya. Namun, bagi Adel sendiri, hari itu hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan.
Adel mengenakan seragam OSPEK yang terlihat rapi. Rambut pendeknya yang hitam legam menonjolkan kesan sederhana tapi anggun. Langkahnya mantap, namun sorot matanya dingin, seperti menyadari apa yang menunggunya hari itu. Sejak ia melangkahkan kaki ke kampus ini, pembicaraan tentang dirinya tak pernah berhenti.
Adel selalu berpura-pura tidak mendengar. Ia sudah terbiasa dengan tatapan seperti ini. Namun, di dalam hatinya, ia tetap merasa sedikit sesak. Hari pertama OSPEK ini bukanlah awal yang mudah baginya, apalagi setelah kasusnya yang dulu membuat namanya jadi bahan perbincangan nasional.
Mereka diminta kumpul di aula tentunya. Hanya ia yang duduk tanpa satu teman pun. Ia tahu, tak akan ada yang mau berteman dengan pembunuh bukan? Walau mereka tak pernah tahu nagaimana kejadiannya, apa yang mereka tahu adalah apa yang menjadi kabar berita nasional kala itu. Mereka hanya percaya satu pihak yang sangat hebat 'playing victim'.
Dijam istirahat, Adel memilih duduk di salah satu bangku di koridor, jauh dari keramaian. Ia membuka bekal yang dibawakan oleh umminya pagi tadi—nasi dengan lauk sederhana. Matanya fokus pada makanan di depannya, berusaha tidak terganggu oleh keramaian kantin yang terlihat dari kejauhan.
Namun, dari meja kantin, Miranda dan Ratu mengamati dengan penuh perhatian. Miranda, yang tadinya berharap menjadi pusat perhatian di hari pertama OSPEK ini, merasa posisinya terancam. Ya gadis itu manis. Cantik juga. Wajar kalau ia haus perhatian. Karena ia dapat itu selama SMA. Namun kehadiran Adel, meski tidak banyak bicara, langsung menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
"Sumpah, dia masih berani muncul di sini?" gumam Ratu, kesal.
Miranda mengangkat bahu, mencoba terlihat tidak peduli, meski matanya terus mengamati Adel. Ia mengakui dalam hati bahwa Adel memang cantik—bahkan lebih cantik daripada foto-foto yang dulu viral di media sosial. Tapi ada rasa iri yang perlahan mengusik hatinya.
"Cantik, ya, Tu? Pantas aja kalau Aldo suka sama dia," kata Miranda dengan nada datar, mengalihkan pandangannya ke piringnya yang masih penuh. Luka hatinya kalau berbicara soal perasaannya. Ia berusaha menjadi sahabat terbaik Aldo. Ya hanya agar bisa menakhlukan hatinya karena sejak awal masuk SMA, ia memang menyukai cowok itu. Sayangnya, hati Aldo sudah dipenuhi oleh perempuan itu.
Ratu langsung memprotes. "Yang bener aja, Mir. Cakepan elo ke mana-mana! Dan akhlak lo tuh jauh lebih baik. Dia itu hatinya busuk. Lihat aja, gak ada yang mau dekat sama dia."
Miranda diam, tidak langsung membalas. Ia menatap Adel lagi. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan dari cara Adel membawa dirinya—tenang, tidak terpengaruh, bahkan ketika orang-orang di sekitarnya terang-terangan membicarakannya. Miranda bertanya-tanya, jika Adel memang seburuk yang dikatakan banyak orang, kenapa ia bisa terlihat setenang itu?
Di sisi lain, Ratu semakin kesal. "Udah, nanti gue laporin aja ke nyokap gue. Siapa tahu bisa bikin dia keluar dari kampus ini. Enak banget dia bisa kuliah di sini, sementara banyak orang yang jauh lebih pantas gak lolos!"
Miranda hanya menghela napas. Ia tidak yakin apakah tindakan itu perlu, tapi ia juga tidak ingin memperdebatkan hal ini dengan Ratu. Bagaimanapun, Ratu adalah temannya, dan Miranda merasa seolah-olah ia harus memihak.
Sementara itu, Adel menyelesaikan makan siangnya, memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas. Ia tahu ada tatapan yang terus mengarah padanya, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Baginya, ini hanyalah awal dari perjalanan panjang. Ia datang ke FISIP UI bukan untuk membuktikan apa pun kepada orang lain, melainkan untuk mengejar mimpi yang telah ia pendam sejak lama.
Namun, di dalam hati kecilnya, Adel tahu bahwa perjuangan sebenarnya baru saja dimulai. Kampus ini adalah tempat yang penuh tantangan—tidak hanya dari sisi akademis, tetapi juga dari pandangan orang-orang yang masih menghakiminya atas masa lalunya.
Ketika ia berdiri untuk berjalan menuju aula tempat OSPEK berlangsung, beberapa mahasiswa lain mencuri pandang ke arahnya. Sebagian kagum, sebagian tidak peduli, dan sebagian lainnya menyimpan rasa iri yang tak tertutupi. Adel hanya menundukkan kepala sedikit, berjalan tanpa berkata-kata.
Hati kecilnya berbisik....
Tak apa, Adel. Kamu sudah melalui yang lebih berat dari ini.
***