Di kejauhan sana, Xin sedang bermesraan bersama Fabi. Menonton TV di rumah Xin sambil ditemani cemilan dan jus segar.
"Mana istri kamu, Yang?" tanya Fabi pada Xin yang fokus menatap TV.
"Di perjalanan pulang," jawab Xin santai.
"Aku masih gak rela loh kamu nikahin dia," ujar Fabi cemberut di pelukan Xin.
Xin tersenyum lucu, ia pun mencium kening Fabi menghiburnya.
"Maafin aku, cuma ini satu-satunya cara melindungi hubungan kita, Sayang."
Kata-kata Xin membuat Fabi menghela nafas, ia tak rela tapi ini juga demi hubungan mereka berdua.
"Tapi bisa kan kalian pisah rumah?" tanya Fabi lagi.
"Bisa aja Sayang, tapi Mama bakal tau dengan cepat kalau kami pisah rumah. Kalau Mama tau, hubungan kita juga gak ada harapan. Kamu tau kan situasinya gak sesederhana itu?" tanyanya lembut.
"Aku ngerti, tapi kamu gak satu ranjang ama dia kan?" tanya Fabi lagi.
"Jangankan satu ranjang, satu kamar aja enggak, Sayang. Kami hanya satu atap, itupun kami membatasi interaksi, malah dia lebih sering ngobrol sama Bi Darti. Pernikahan kami kan tanpa cinta, yah kamu taulah, pernikahan kami kosong. Interaksi kami hanya sebatas kertas," jelasnya halus.
"Syukurlah, tapi ..." ucap Fabi terpotong karena Xin menciumnya di bibir.
Mereka masih menikmati kemesraan mereka, sampai sebuah salam terdengar dari kuar beserta pintu yang terbuka.
"Assalamu'allaiku--um ..." salam Ama, ia terbata-bata ketika matanya tak sengaja melihat sepasang manusia yang berciuman di sofa.
Ama yang melihat pemandangan itu, langsung menutup penglihatannya dengan totebag miliknya. Ia langsung berjalan lurus menuju kamarnya yang ada di lantai dasar membuat kedua sejoli itu menghentikan kegiatan mereka.
"Hey lo!" panggil Fabi langsung berdiri mendekati Ama.
Ama berhenti dan berbalik, tapi ia belum menurunkan totebag itu.
"Turunin tas lo," ujar Fabi memerintah.
Ama perlahan menurunkan totebagnya dan menatap kaget ke arah Fabi. Sangat cantik, bahkan ia sebagai sesama perempuan mengagumi kecantikannya.
Lain dengan Ama, Fabi malah menyeringai melihat penampilan Ama yang sangat biasa. Wajah pas-pasan, penampilan seperti ibu-ibu, terlihat sangat kampungan, yah meskipun wajahnya agak manis tetapi badannya mungil dan kurus.
Kemudian Fabi mengulurkan tagannya masih dengan senyum miring, "Kenalin gue Fabiola Nikitari, pacarnya Xin Xander."
Ama dengan ragu menjabat tangan kanan gadis itu, tersenyum ramah. Xin juga berdiri dan mberdiri di dekat Fabi, ia menatap Ama dengan tatapan datar.
"Saya Amanda Syla, salam kenal."
Fabi masih tersenyum miring, ia melepaskan jabat tangan mereka, kemudian menarik Xin mendekat dan menggelayut mesra. Xin awalnya biasa saja tetapi Fabi memaksanya untuk membalas pelukannya.
"Tapi kamu tau kan posisi kamu yang sebenarnya?" tanya Fabi sok manis.
Ama sedikit terkejut dengan sifat asli Fabi, ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Fabi atau suami palsunya itu.
Wajah Ama tegas dan tampak tabah, "Saya paham posisi saya Mba Fabi. Mba Fabi jangan khawatir, karena saya ini secara tidak langsung adalah bawahan dari pacar anda. Kalau saya tidak salah ingat, kenapa kami harus menikah kontrak seperti ini adalah untuk melindungi hubungan kalian. Jadi saya akan berusaha untuk menempatkan diri saya sendiri, sesuai peran saya. Saya cukup tau diri untuk tidak melangkahi batas yang sudah ditetapkan," ia menatap Fabi dengan tegas.
Saat Fabi sudah terlihat kesal, Ama kembali menjelaskan.
"Jika Mba Fabi khawatir kalau saya akan merebut Tuan Xin dari anda, itu tidak masuk akal. Anda lihat saya, tidak ada hal menarik dari saya, anda jelas lebih segala-galanya dari saya. Tuan Xin juga orang yang tampan dan mapan, dari keluarga konglomerat. Saya tidak ada niatan untuk memiliki pasangan hidup sesempurna itu, tetapi bahkan jika saya menginginkannya dan berusaha merayu ...apakah Tuan Xin mau dengan saya? Kita semua tau jawabannya adalah tidak mungkin. Jadi, mari kita bekerjasama, agar tujuan kalian tercapai," jelasnya panjang lebar.
"Kamu salah, tujuan kita semua," ujar Xin mengoreksi.
Ama menggeleng, "Itu tujuan anda berdua, sementara tujuan saya adalah lepas dari permainan ini. Saya rasa semuanya sudah sangat jelas dari awal, kan?"
Xin diam merasa tertohok, Fabi juga merasa emosi dengan keberanian Ama yang tak terduga itu.
"Heh ...lancang banget lo ngomong kayak gitu, sok bijak lo!" bentak Fabi mencengkeram hijab Ama di bagian kerah.
Ama hanya diam, ia biarkan Fabi melakukan itu dan Xin berusaha melerai.
"Sayang, jangan kayak gini, kita bicarain baik-baik yah," bujug Xin mencoba melepas tangan Fabi dari hijab Ama.
"Lepas, Xin! Aku mau kasih pelajaran sama nih orang gak tau diri!" bentak Fabi tak terima, Xin tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ama menghela nafas lelah, "Tolong jangan salah faham Mba Fabi, saya gak bermaksud lancang. Saya sangat tau diri," ujarnya.
"Tau diri dari mana lo? Lo gak tau diri, di sini lo itu cuma tameng buat kita, lo itu cuma alat dan lo gak berhak nasihatin kami. Ngerti lo?!" bentaknya lagi.
Ama mengangguk kemudian, tangannya melepas cengkeraman tangan Fabi pada hijabnya.
"Saya emang tameng bagi kalian, tapi saya bukan boneka yang kalian atur seenaknya," ujar Ama tegas.
"Hahaha, lo salah paham ternyata," ujar Fabi setelah menertawakan kepolosan Ama. "Sejak awal lo itu boneka yang bakal kami manfaatkan sebagai penghibur Mama Yela biar dia gak tau kalau gue sama Xin itu masih pacaran. Lu harus paham posisi lu di sini, sebagai bo-ne-ka! Paham?" ujar Fabi merasa menang.
Ama menghela nafas berat, matanya sudah berkaca-kaca, ia bingung harus melakukan apa agar bisa membela dirinya sendiri. Namun percuma, posisinya memang membuatnya semakin terinjak dalam hal apapun.
"Kenapa diem, gak bisa ngomong apa-apa lagi kan lo?" tanya Fabi mengejek.
Ama tak bicara lagi, ia masih diam sebelum akhirnya berbalik dan pergi ke kamarnya.
"Nah kan, gak bisa jawab dia," ujar Fabi lagi.
Xin memijit pelipisnya pusing, Fabi kalau sudah tidak suka pada sesuatu tak perduli apa-apa, ia langsung menyerang.
"Udah ah Yang, gak usah peduliin itu. Kamu bilang mau belanja tadi ..." bujug Xin pada Fabi.
Fabi terdiam sejenak sebelum akhirnya ia alngsung berbinar setelah mendegar kata belanja.
Sementara Ama, ia duduk di tepi ranjang meratapi nasibnya yang seperti terjebak dalam rumah tangga yang hampa itu. Ini yang namanya toxic relationship itu, atau lebih spesifik lagi toxic marriage. Tidak ada yang jelas di sini, pada intinya, ia hanyalah boneka bagi mereka yang katanya punya kuasa.
"Ibu ..." gumamnya sedih.
Namun, di tengah kesedihannya ponselnya berdering menandakan ada yang menelpon.
"Assalamu'allaikum, Mus?" sapa Ama sekaligus bertanya.
"Wa'allaikumsalam, ah elah, gue dari tadi nyepam WA gak dibales-bales!" geram Mus langsung komplen.
Ama terkekeh, "Maaf Mus, aku kan juga baru nyampe rumah."
"Emang rumah lo dimana?" tanya Mus.
"Gue lupa," ujar Ama tanpa sadar mengikuti gaya bicara Mus.
"Cie elah pakai elo-gue," goda Mus membuat Ama malu.
"Apaan sih, ya gak papa kali ...biar gak kaku," ujar Ama.
"Iya sih, bay the way masa lo gak tau tinggal dimana. Share lok coba," ujar Mus kepo.
Yah, satu yang paling menonjol dari Mus itu tukang kepo dan suka gosip. Roman-romannya Mus ini adalah Ratu Gosip sekampus.
"Bentar," ujar Ama sambil share lokasi.
Setelah dikirim dan Mus melihatnya, tiba-tiba Mue heboh.
"Lu beneran tinggal di Griya Garuda Emas, Ma?" tanya Mus heboh.
"Iya, itu yang gue sharelok yah tempat tinggal gue sekarang," ujar Ama bingung sendiri.
"Wah, lu tajir juga yah," puji Mus tak menyangka.
"Hah, maksudnya gimana?" tanya Ama bingung sendiri.
"Griya Garuda Emas kan tempatnya orang elit, rumahnya udah kayak istana. Tempatnya pejabat, artis dan pengusaha. Lo tinggal sama siapa di sana?" tanya Mus penasaran.
Ama baru sadar, 'Mampus deh gue!' ia harus berkata apa pada Mus. Haruskah ia berbohong, mereka juga baru kenal kan.
"Em, sama kerabat jauh. Alhamdilillah mau nampung gue yang dari desa, hehe ..." ujarnya berusaha biasa saja.
"Oh, kirain lo anak pengusaha atau pejabat gitu, makanya bisa tinggal di sana," ujar Mus santai.
"Iya sih, mereka keluarga pengusaha," ujar Ama mencoba tetap santai.
"Hem, oh ya jadi lupa. Tadi ada tugas dari Pak Juni, lo udah buka aplikasi belum? Di assigment, jangan lupa jatuh temponya tengah malem nanti," ujar Mus mengingatkan.
"Aduh gue belum sempet liat tugasnya," ujar Ama kemudian mengotak-atik ponselnya. "Eh iya bener ada tugas, kudu baca materinya dulu dari bab pertama dong," ujarnya lesu.
"Hehe, iya. Tapi tenang, meskipun dia kasih tugas banyak, dia kalo sama nilai mah gak pelit," ujar Mus.
"Alhamdulillah kalo gitu," balas Ama lega.
"Ya udah, besok gue jemput lo yah berangkat kuliahnya?" tawar Mus.
"Ih enggak usah ngerepotin tau," tolak Ama tak enak hati.
"Gue juga pingin rasain masuk ke Griya Garuda Emas, boleh ya ..." Mus memohon.
"Emang kenapa sih, kan bisa gampang tinggal masuk ke Griya," ujar Ama.
"Enggak bebas Cayang, kalo masuk ke gerbangnya aja perlu diintrogasi dulu ama Pak Satpam, males gue."
"Oh gitu, ya udah. Tadi udah aku sharelok, kita berangkat jam tujuh ya."
"Yoi," ujar Mus. "Gue tutup dulu, assalamu'allaikum."
"Wa'allaikumsalam."
Ama menghela nafas, masih ada Mus yang baru saja menjadi temannya. Benar, ia tak sendirian, masih ada yang berada di sisinya.
Daripada memikirkan hal yang tidak penting, lebih baik ia mengerjakan tugas saja. Lagipula, memikirkan nasibnya yang menyedihkan hanya akan semakin menumpuk penyakit hati, ia tak mau jadi pribadi yang menyedihkan. Padahal banyak yang lebih menderita darinya, ia harus kuat dan tidak boleh memanjakan diri sendiri dengan menganggap bahwa ialah yang paling menderita.
Ketika waktu menunjukkan waktu 'asar, ia meninggalkan kegalauannya dan pergi sholat. Ia tak sendiri masih ada Allah dan Mus, atau mungkin akan ada banyak teman yang juga siap menemani langkahnya di waktu berat itu. Ia tak boleh mengabaikan eksistensi Allah dan teman-temannya, kemudian mulai menjalani harinya dengan tabah.
•••